Benar saja, tak lama Harry datang ke kantor dan aku langsung bertanya padanya, “Tadi James telepon kamu? Pagi-pagi begini kamu pergi ke mana?”“Iya, tadi dia telepon, dia bilang kalau kamu datang ke kantor. Aku sampai kaget dengarnya. Kemarin malam kamu nggak ada bilang mau datang,” jawab Harry sambil melepas mantelnya. “Tadi aku sekalian mampir lihat-lihat ke tempat proyek.”“Aku cuma iseng saja. Habis ngantar Adele ke TK tadi, aku ngerasa kayaknya terlalu santai. Jadi aku ke sini, deh!”“Tadi aku sempat mikir. Kalau kamu mau balik kerja, aku kasih ruang kantor yang terbuka saja. Aku rasa itu lebih cocok buat kamu. Tempatnya luas, dan kebetulan kamu juga lebih enak kasih kerjaan ke yang lain.”“Nggak, aku mau balik ke bagian marketing lagi saja. Aku sudah paling cocok di sana!” balasku dengan langsung menyampaikan apa yang aku mau.Tentu saja aku tahu apa maksud Harry menyediakan kantor semacam itu untukku. Yang aku inginkan adalah menggali lebih dalam. Aku harus mencari tahu Aurous C
Ketika panggilan tersambung, yang menjawabku hanyalah suara mesin yang memberi tahu kalau telepon Harry sedang tidak aktif. Di saat itu aku langsung berjongkok di lantai dan menangis sejadi-jadinya. Namun mengingat Adele yang entah bagaimana kabarnya, aku langsung berdiri dan kembali ke tempatnya dengan kaki yang sudah tak bertenaga.Aku kembali ke lobby dan menghubungi Fanny, tapi sama saja, dia tidak bisa dihubungi. Karena tidak ada lagi yang bisa kuminta tolong, aku terpaksa menghubungi mertuaku. Aku yakin mereka pasti kaget aku menghubungi mereka di tengah malam begini.Benar saja, begitu telepon tersambung, ibu mertuaku bertanya, “Maya, ada apa telepon malam-malam begini? Kamu kenapa?”Dengan tidak enak hati aku bilang kalau Adele sedang di rumah sakit karena demam tinggi, dan aku tidak punya uang sepeser pun. Mertuaku langsung mengatakan kalau mereka akan berangkat ke rumah sakit sekarang juga dan langsung menutup telepon. Ketika mereka sampai, dokter sedang memberikan infus untu
Seketika itu juga aku tersadar. Benar juga, aku tidak boleh sampai kehilangan semua yang aku punya begitu saja. Kalaupun aku melawan, pada akhirnya aku yang akan rugi. Alhasil ponselku pun lama-lama berhenti berdering.Sembari menatap sorot mata Fanny yang begitu tegas, aku pun kembali tenang dan pikiranku jadi jernih kembali.“Aku ngerti sekarang! Untung saja di saat begini ada orang lain di sampingku yang terus mengingatkan aku harus gimana,” kataku.Saat itu ponselku kembali berdering. Aku sudah menenangkan diri dan Fanny mengembalikan ponselnya padaku, sambil berkata, “Kamu pasti bisa.”Aku menarik napas panjang dan mengangkat teleponnya. “Halo, sayang! Akhirnya kamu telepon juga. Aku mau tanya, uang yang ada di kartu kita ke mana, ya? Ini Adele lagi kena pneumonia akut, tengah malam tadi aku bawa dia ke rumah sakit. Pas itu aku lagi nggak bawa cash, pas aku mau tarik uangnya, ternyata uangnya sudah nggak ada!”Fanny langsung menepuk jidatnya seketika dia mendengar aku berkata sepe
Aku sungguh tak habis pikir ternyata masih ada kabar baik apa lagi di saat seperti ini. Fanny tidak bilang apa pun kapan waktu untuk bertemu, dan aku juga tidak bertanya lebih jauh. Pokoknya dia hanya membuat janji untuk bertemu besok.Semua orang ada di rumah saat aku pulang ke rumah keluarganya Harry. Mereka semua sedang menungguku pulang dengan penuh rasa cemas. Bahkan Jasmine juga ada di sana.“Ayo makan! Maya, sudah lama kamu nggak pulang dan makan bareng!” kata ibu mertuaku.Selagi makan, mereka menanyakan Harry tentang pekerjaannya di luar kota kemarin. Harry menjawab seadanya saja, lalu ibu mertuaku gantian bertanya kepada Jasmine, “Kamu sama Harry ngapain saja?”Jasmine langsung tertegun saat ditanya begitu. Dia melirik Harry dan Harry spontan bertanya, “Memangnya dia juga pergi ke Linde?”“Eh … aku perginya bareng teman!” jawab Jasmine.“Terus kenapa kamu bilang perginya bareng Harry?” tanya ibu mertuaku.“Kalau aku bilang mau pergi ke sana, memangnya Mama bakal izinin aku?”
Tiba-tiba aku merasa diriku sungguh pantas ditertawakan. Bisa-bisanya aku masih berpikir untuk mencari jalan pulang, bahkan rumahku saja sudah hilang entah ke mana. Mungkin memang aku yang sudah gila.Benar seperti apa yang Fanny katakan, aku ini hanyalah manusia bodoh. Harry ingin menjualku, tapi aku justru malah membantunya menghitung uang. Sampai detik ini, aku masih tidak tahu siapa selingkuhannya Harry.Akan tetapi, sejujurnya bagiku sudah tidak penting lagi siapa wanita itu. Itu hanya sebatas rasa penasaranku saja. Setiap orang pasti ingin tahu dari siapa mereka kalah. Sebenarnya siapa pun orangnya, hasilnya akan tetap sama. Akulah yang kalah.“Yang paling aku mau tahu, ke mana perginya uang itu,” kataku.“Aku sudah minta orang buat selidiki, nggak perlu buru-buru,” balasnya.Sesudah itu aku kembali ke kantor. Aku harus memikirkan cara bagaimana caranya aku mendapatkan kembali perusahaan yang sudah kudirikan ini. Aku ingin membuat Harry kembali ke wujud asalnya, hanya itulah hara
Harry tampak tercengang mendengar pertanyaanku.“Uang untuk beli rumah baru kita! Uang itu harus balik secepatnya. Kalau ada tanah yang bagus, aku bakal langsung beli nggak pakai lama. Apalagi sehabis Adele jatuh, aku jadi makin panik. Aku mau cari TK lain, kalau bisa yang terbaik kayak Sekolah Bina Karunia.”Karena Harry dari tadi hanya diam saja, aku pura-pura bertanya lagi, “Kamu kenapa nggak ngomong apa-apa? Kayaknya kamu nggak begitu peduli, ya?”“Mana mungkin! Aku sudah punya perhitunganku sendiri, tenang saja! Soal uang itu aku sudah bilang, ‘kan. Aku pakai untuk investasi ke satu proyek. Banyak orang yang sudah nunggu-nunggu, karena kepepet, jadi aku pakai uangnya. Kalau nanti perusahaan kita sudah makin besar, kita nggak perlu pusing lagi mikirin rumah!”Harry tersenyum ramah dan mencubit hidungku. Namun aku bisa melihat bahwa senyumannya itu hanya sebatas di permukaan saja. Makan siang itu berjalan dengan kami berdua yang sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku sangat khawati
“Biar aku kasih tahu sesuatu. Dia hebat banget!”Sebuah pesan tertulis yang pendek itu membuatku berimajinasi tiada henti. Apa yang dia maksud dengan “hebat” itu tentu sudah tak perlu dijelaskan lagi.Sontak darahku naik sampai ke ubun-ubun dan spontan aku langsung melempar ponselku dengan sangat keras. Aku menahan napasku sekuat tenaga agar aku tidak berteriak histeris.Rupanya wanita ini sedang menantangku! Beraninya dia menantangku secara terang-terangan. Aku menggertakkan gigi dan memejamkan mata, lalu menarik napas yang dalam. Beberapa saat kemudian aku mengambil ponsel dan tasku, lalu pergi keluar. Aku masih tak bisa mengontrol emosiku saat bertemu dengan Fanny. Aku pun menangis sejadi-jadinya dalam pelukannya.aku tidak tahu mengapa aku harus melalui cobaan yang begitu menyiksa ini.Setelah Fanny melihat fotonya,dia juga marah dan menggila, yang mana itu sudah sangat membantu dalam meredakan kesedihanku.“Dasar nggak tahu malu! Orang gila!”Setelah kami berdua lebih tenang, aku b
Akhirnya, James dikonfirmasi berada di lokasi itu. Ketika Fanny melaporkan padaku, aku merasa sangat terkejut. Ternyata, tempat yang dikunjungi James setiap hari adalah Godland Villa, sebuah kawasan vila kecil yang baru dikembangkan.Fakta ini membuatku tiba-tiba teringat pada kunci itu. Jangan-jangan kunci yang selama ini tidak diketahui fungsinya sebenarnya adalah kunci untuk vila itu? Aku kesulitan menerima kenyataan ini.Selama bertahun-tahun, aku menjalani hidup susah bersama Harry. Aku berulang kali memintanya mencari lingkungan belajar yang lebih baik untuk Adele. Usulanku untuk pindah ke apartemen yang lebih besar di area sekolah tidak pernah dianggap serius olehnya dan tidak pernah terealisasi. Sekarang, dia malah membeli vila kecil di Godland Villa.Perbuatan Harry benar-benar mengubah pandanganku terhadap pria yang berselingkuh. Dia bukan bodoh, melainkan tidak bermoral. Setelah lokasinya dipastikan, aku tidak berani bertindak gegabah. Fanny mengatur seseorang untuk mengawas