Aku tercengang mendengar pertanyaan Taufan. Aku tidak mengerti maksud pertanyaannya."Bukankah harusnya sidang ceraimu dilaksanakan hari ini? Kenapa sidang kalian dibatalkan?" Ekspresi Taufan terlihat datar, nada bicaranya terdengar ketus seperti marah.Aku menatap Taufan, apakah dia pergi ke pengadilan? Tidak ada seorang pun yang mengetahui penundaan sidang perceraianku. Taufan pasti pergi ke pengadilan, makanya dia tahu persidanganku ditunda."Terpaksa ditunda karena ada urusan mendadak," aku menjelaskan."Kamu ragu lagi? Gara-gara alasanmu yang tidak masuk akal itu?" Mata Taufan memancarkan sorotan yang dingin. "Kamu malaikat, ya? Belum kapok juga?"Aku menghadapi Taufan dengan tenang. Sebelum menjawab pertanyaannya, aku mengambil segelas jus dan meneguknya. "Kayaknya aku nggak bisa bercerai dalam waktu dekat.""Kenapa?" Taufan menatapku dengan serius."Aku nggak berdaya, dia menggunakan orang tuaku untuk mengancamku. Semua nggak berjalan seperti yang aku harapkan. Aku terlalu merem
Aku tidak tenang saat melihat Jasmine masuk ke dalam mobilku.Pertama, Jasmine dan Giana sengaja pindah ke rumahku, mereka pasti memiliki niat yang buruk. sekarang Jasmine pun masuk ke dalam mobilku, dia selalu memprovokasi kemarahanku.Namun aku tidak mengusir Jasmine dari mobil. Aku langsung menyalakan mobil sesaat setelah Jasmine duduk."Maya, kenapa? Kamu nggak senang?" Jasmine bertanya dengan nada bicara yang menantang."Menurutmu? Jujur saja, aku mual melihat wajahmu, rasanya mau muntah.""Sama dong, aku juga mual melihat wajahmu." Jasmine melirik sinis. "Sebaiknya kamu angkat kaki dari rumah itu. Kalau nggak, kamu tanggung sendiri akibatnya.""Jangan mimpi! Akibatnya? Kamu lupa akibat yang didapatkan Jack? Aku nggak keberatan memenjarakan lebih banyak orang. Selama kamu bersedia, aku nggak keberatan mengirimmu untuk menemani ayah angkatmu. Jangan lupa, aku masih memegang semua buktinya," jawabku tanpa menatapnya."Maya, jaga sikapmu!" Jasmine meninggikan suara, malah dia yang ma
Aku tersenyum sinis, lalu membawa Adele dan orang tuaku masuk ke taman bermain. Sesekali aku menemani Harry bersandiwara dan memamerkan kemesraan untuk membuat Jasmine marah.Walaupun marah, Jasmine tidak berani membalasku.Sesi cabut undian diadakan setelah kami selesai mengunjungi wahana bawah laut. Aku meminta Adele untuk mencabut undian, tidak disangka kami mendapatkan sebuah kejutan yang "tak terduga".Kami mendapatkan 3 tiket perjalanan gratis ke Pulau Pabus selama tiga hari. Para pengunjung yang lain iri melihat hadiah yang kami dapatkan.Aku langsung menunjukkan ketertarikanku, aku mengatakan Pulau Pabus adalah tempat yang indah. Aku paling menyukai suasana pantai, deburan ombak laut, dan pepohonan tropis.Ayah dan ibuku ikut semangat melihat antusiasku. Aku menanyakan kepada pihak penyelenggara mengenai detail perjalanannya.Sesampainya di rumah, di saat kami masih mendiskusikan masalah liburan ini, Harry mendesakku untuk membawa orang tuaku pergi bersama.Harry berkata dengan
"Kalau kamu masih ada sedikit hati nurani, segera bawa dia pergi dari sini. Seandainya terjadi sesuatu pada ayahku, aku nggak bakal melepaskanmu!" Aku berteriak kepada Harry.Harry takut terjadi sesuatu kepada ayahku, akhirnya dia menarik Jasmine dan membujuknya. "Sudah, tutup mulutmu."Namun Jasmine sama sekali tidak memedulikan kondisi ayahku. Dia malah makin memprovokasi kemarahan ayahku."Maya, berhenti menjual kesedihan! Cepat, kembalikan semua yang kamu rebut dari Keluarga Sinjaya. Ini adalah rumah yang diberikan Harry kepadaku. Kamu mendapatkan rumah ini dengan cara yang kotor, sekarang malah membawa keluargamu buat tinggal di sini juga. Kamu sudah gila?" Jasmine bersenang-senang di atas penderitaanku.Giana datang ke kamar kami saat mendengar keributan. Raut wajah Giana terlihat muram dan panik."Ayah, kembali ke kamar. Bu, tolong bawa Ayah ke kamar." Aku mengkhawatirkan keadaan ayahku, makanya aku memaksanya kembali ke kamar.Ayahku menggenggam erat tanganku. "Maya, jangan tak
"Ayah ...." Aku menjerit sambil menangis, "Ayah!"Semua orang tersentak melihat keadaan ayahku, Harry sampai buru-buru menelepon ambulans.Seisi rumah dipenuhi oleh suara tangisan aku, Adele, dan ibuku.Fanny dan ambulans tiba bersamaan. Begitu naik, Fanny langsung mengerti sesaat melihat ayahku yang tersungkur tak berdaya.Aku menitipkan Adele kepada Fanny, aku dan ibuku masuk ke dalam ambulans dan ikut ke rumah sakit. Di dalam ambulans, dua orang perawat buru-buru memberikan pertolongan pertama kepada ayahku.Aku yang gemetar pun mencari ponselku untuk menghubungi Taufan. Sesaat panggilannya dijawab, aku menangis sambil berkata, "Tolong bantu aku cari dokter. Ayahku ....""Di rumah sakit mana?" tanya Taufan."Rumah Sakit Bangsa.""Oke."Aku merasa agak lega setelah menghubungi Taufan.Sesampainya di rumah sakit, ayahku langsung dibawa ruang UGD. Aku duduk sambil bersandar tak berdaya di tembok. Aku memeluk diriku sendiri, hatiku terasa sangat sakit.Ayah dan ibuku bersusah-payah memb
Aku mengkhawatirkan Taufan dan mengingatkannya, "Hati-hati, takutnya dia membalasmu.""Tenang saja." Taufan mengajakku kembali ke ruang UGD.Ketika kami kembali, ibuku bertanya, "Di mana bajingan itu.""Sudah pergi," jawabku.Setelah dua jam, akhirnya seorang dokter keluar dari ruang UGD. "Kondisi pasien sudah stabil, untungnya segera dibawa ke rumah sakit. Kalian harus menjaga emosi pasien, jangan sampai emosi, apalagi terpukul."Aku pun lega mendengarnya. Taufan berpesan kepada dokter, lalu memberikanku saran. "Jangan bilang ayahmu sudah sadar. Sebarkan berita ayahmu masih kritis."Taufan meminta pihak rumah sakit untuk memberikan kamar VIP kepada ayahku. Taufan juga meminta ibuku tinggal di rumah sakit agar lebih mudah untuk merawat ayahku. Dengan begitu, juga tidak ada orang asing yang mengetahui kondisi ayahku yang sebenarnya.Aku sedih melihat wajah ayahku yang pucat dan mengenakan tabung oksigen. Begitu melihat aku, ayahku tidak bisa membendung air mata, bibirnya bergetar marah.
Aku makin kesulitan bernapas, kurangnya oksigen membuat kepalaku pusing. Aku memelotot tak berdaya, aku mencengkeram tangan Harry yang mencekikku.Di mataku, Harry tak lebih dari seorang iblis. Apa yang membuatku mencintai bajingan ini?Pandanganku semakin kabur. Sebelum kehilangan kesadaran, Harry melempar tubuhku hingga menabrak tembok. Rasa sesak dan lemas bercampur jadi satu.Aku meringkuk sambil memegang leherku dan batuk-batuk. Giana dan Jasmine berdiri di depan pintu, mereka diam saja melihat Harry menyiksaku.Jasmine tersenyum puas. "Maya, akhirnya kamu mendapatkan karma yang setimpal, haha. Kak, seharusnya kamu memukulinya sejak lama. Orang kayak dia nggak pantas dikasihani."Pujian Jasmine membuat Harry merasa di atas angin. Sepertinya Harry lupa bagaimana kondisinya saat dihajar Taufan di rumah sakit."Mau serahkan atau tidak?" Harry berteriak seperti seekor binatang buas. "Tadinya aku mengira kamu masih berguna, aku bisa memanfaatkanmu untuk mendapatkan proyek dari Taufan.
Fanny mengangguk, dia buru-buru mengeluarkan ponsel untuk menghubungi asistennya dan memintanya untuk mengirimkan wartawan ke rumah ini.Setelah Fanny menyimpan ponselnya, aku memintanya untuk membantuku berbaring di lantai. "Lepaskan aku, taruh saja di lantai. Cepat, foto! Foto!"Fanny memapahku sampai ke lantai satu, lalu terpaksa meletakkanku di atas lantai dan mengeluarkan ponsel untuk memotret kondisiku yang baru disiksa. Fanny mengambil fotoku dari segala arah, dia juga memotret semua memar yang ada di tubuhku.Fanny juga menghubungi Haikal dan Komisi Perlindungan Wanita untuk datang ke rumah.Ternyata Harry, Jasmine, dan Giana belum pergi. Mereka bersembunyi di lantai satu. Harry pun panik menyaksikan tindakan Fanny. Dia berteriak dari kejauhan, "Maya, kamu yang cari mati! Nggak ada gunanya lapor polisi, ini adalah rumahku. Suami istri bertengkar adalah hal yang wajar.""Bajingan, kamu belum pergi?" Fanny mengeluarkan pisau dan mengejar Harry.Harry berlari ke dalam kamar utama
Aku menenangkan diri untuk sesaat. Kemudian, aku menyalakan mobil dan perlahan-lahan meninggalkan jalan kecil itu. Dari persimpangan di depan, aku kembali ke jalan utama. Pada saat ini, kemacetan sudah agak mendingan. Aku langsung bergegas pulang ke rumah.Ibuku langsung merasa lega begitu melihatku sudah sampai di rumah. Dia buru-buru mulai memasak makanan. Jarang sekali aku bisa makan bersama mereka di rumah seperti ini.Begitu mendengar jika aku ingin makan di rumah, kedua orang tuaku langsung menunggu kepulanganku. Ibuku mengatakan, makanan yang paling enak adalah makanan yang baru dimasak.Setelah makan malam, aku menelepon Fanny dan bertanya apakah dia sedang ada di rumah. Fanny mengatakan jika dirinya baru saja sampai di rumah. Oleh karena itu, aku mengajak Adele jalan-jalan dan pergi menemui Fanny.Sudah beberapa hari aku tidak bertemu dengan Fanny. Begitu melihatku, Fanny langsung menanyakan tentang Taufan. Aku hanya bisa menggelengkan kepala tanpa daya.Fanny mengatakan, akhi
Entah kenapa, pada saat itu, punggungku terasa dingin dan merinding. Aku merasa ngeri saat memikirkannya. Bayangkan saja, manusia yang masih hidup dan baik-baik saja ditabrak mobil hingga tewas saat dalam perjalanan menemui diriku. Mungkinkah semua ini hanya kebetulan belaka?Selain itu, dia hanya ingin menyampaikan informasi mengenai Taufan kepadaku. Hanya sebuah informasi. Akan tetapi, apakah semua itu harus ditebus dengan mengorbankan nyawanya? Bagaimana mungkin orang yang begitu lembut itu sekarang dibilang sudah meninggal …Semua ini makin membuatku mengerti jika situasinya tidaklah sesederhana itu.Melihat Danny yang buru-buru pergi, makin aku memikirkannya, makin aku merasa jika ada yang tidak beres. Kenapa polisi tidak menanyakan apa pun mengenai Taufan kepadaku? Bukankah itu adalah pertanyaan yang paling penting? Apakah mungkin bagi mereka untuk mengabaikan pertanyaan sepenting itu?Selain itu, jika sudah dipastikan bahwa sopir mobil karavan kecil itu mabuk dan Bastian meningg
Yang datang ke kantorku adalah dua petugas berseragam polisi.Hal ini membuatku agak terkejut dan bingung. Apa yang menyebabkan polisi mendatangiku di kantor?Aku mempersilakan mereka untuk duduk dan menatap mereka. Salah satu dari mereka bertanya kepadaku dengan sangat serius, “Bolehkah aku bertanya padamu? Apa kamu kenal Bastian Luzman?”“Siapa?” Aku agak bingung dan langsung menyangkalnya. “Aku nggak kenal.”Petugas polisi itu langsung menatapku dengan tajam. Jelas, dia tidak percaya dengan jawabanku. Kemudian, dia melirik rekannya dan berkata, “Mana fotonya?”Polisi satunya buru-buru mengeluarkan foto dari tas kerja yang dipegangnya dan menyerahkannya kepadaku. “Perhatikan baik-baik orang yang ada di foto ini.”Aku menerima foto tersebut dengan kedua tanganku dan melihat orang yang ada di foto itu. Dia adalah seorang pria. Wajahnya terlihat cukup tampan. Sepertinya dia adalah seorang mahasiswa yang masih berusia sekitar 20 tahun.Aku menggelengkan kepalaku dan berkata dengan tegas,
Orang yang meneleponku itu adalah seorang pria asing. Dia memintaku untuk menemuinya seorang diri. Pria itu mengatakan bahwa dia punya informasi mengenai Taufan.Aku menanyakan siapa dirinya. Namun, pria itu langsung menutup teleponnya. Akan tetapi, dia mengirimkan pesan kepadaku, berupa sebuah alamat. Sepertinya, alamat tersebut merupakan lokasi di mana kami akan bertemu nanti.Tanpa berpikir panjang, aku langsung mengambil tasku dan turun ke bawah.Setelah mengatur navigasi, aku langsung menuju ke tempat yang dia sebutkan sebelumnya. Hatiku merasa cemas. Dalam beberapa hari terakhir, inilah pertama kalinya aku mendengar ada seseorang yang memberitahuku bahwa dia memiliki informasi mengenai Taufan.Aku bahkan tidak memikirkan apakah informasinya itu benar atau salah. Sekalipun salah, aku tetap ingin mendengar apa yang ingin dia katakan. Setidaknya, itu lebih baik daripada aku tidak tahu apa-apa.Dalam beberapa hari terakhir, kecelakaan mobil yang menimpa Taufan seakan-akan tidak perna
Hatiku langsung berdebar kencang saat melihat nama yang muncul di layar ponselku adalah nama Luna.“Luna, kalau kamu mau bicara omong kosong, sebaiknya hentikan saja. Aku sedang malas berurusan denganmu.” Aku mengangkat telepon dan langsung berkata kepada Luna. “Informasi mengenai Taufan, kalian mau mengatakannya atau nggak, aku pasti akan tetap mengetahuinya.”“Hahaha … Kak Maya, kayaknya kamu benar-benar cemas.” Luna terlihat aneh saat mengetahui kecemasanku. Sikapnya begitu menyenangkan. “Kayaknya Kakak marah besar.”“Kayaknya kamu lagi nggak ada kerjaan ya?” Setelah berkata seperti itu, aku langsung menutup teleponnya. Aku tahu betul. Makin aku memedulikannya, Luna akan makin menjadi-jadi.Benar saja. Ponsel di tanganku kembali berdering. Aku menahan diri dan baru mengangkatnya setelah berdering beberapa kali. “Jangan menguji kesabaranku.”“Hahaha … Kak Maya, aku cuma ingin memberitahumu kalau dia baik-baik saja. Sungguh.” Nada bicara Luna menyiratkan jika dia bersukacita atas musi
Bagai membuka pintu misterius, aku buru-buru melangkahkan kakiku dan masuk ke dalam. Aku memeriksa setiap ruangan yang ada, tetapi tidak ada seorang pun di sana.Sampai-sampai seorang perawat membentakku dengan tegas, “Apa yang kamu lakukan? Ini ruang steril. Bagaimana kalian bisa masuk ke sini? Cepat keluar!”Aku mencengkeramnya dengan satu tanganku. “Kalau begitu, katakan padaku. Di mana orang yang barusan kalian selamatkan? Bagaimana keadaannya?”“Cepat keluar! Orang yang diselamatkan apa? Banyak yang kami selamatkan.” Perawat itu berusaha melepaskan diri dari cengkeramanku dan mendorong kami keluar. “Cepat keluar!”“Pak Taufan. Pak Taufan yang barusan kalian selamatkan. Bagaimana keadaannya?” Aku masih belum mau menyerah.Perawat itu terlihat marah dan langsung mendorongku keluar. “Aku nggak tahu.”Kemudian, pintu dibanting dengan keras sampai berbunyi ‘brak’ dan terdengar suara kunci pintu yang diputar dari dalam.Aku bersandar di dinding dengan putus asa dan agak hilang akal. Aku
Tatapanku menjadi tegang. Jantungku kembali berdegap kencang. Aku mengulurkan tanganku dan mendorong Luna yang menghalangi di depanku. Luna terhuyung-huyung dan hampir jatuh tersungkur beberapa langkah ke samping. Aku tidak peduli. Aku buru-buru berlari menuju koridor. Namun, para pengawal berpakaian hitam itu tetap saja menghalangiku.Aku melihat dokter sedang menjelaskan sesuatu kepada Cynthia di depan pintu. Akan tetapi, aku sama sekali tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.Tidak sampai dua menit, dokter itu sudah berbalik dan kembali masuk ke ruang gawat darurat. Yang bisa kulihat hanyalah sarung tangan yang dikenakannya berlumuran darah yang mengerikan.Mataku tertuju pada Cynthia. Aku melihat Cynthia masih berdiri di tempatnya dengan tatapan kosong. Ekspresinya sangat aneh. Aku tidak tahu apakah yang disampaikan dokter tadi adalah kabar baik ataukah kabar buruk.Cynthia tertegun untuk waktu yang lama, sebelum akhirnya mengatakan sesuatu kepada Fara yang ada di belakangn
Telepon berdering untuk waktu yang lama sebelum akhirnya Danny mengangkatnya. Aku berkata kepada Danny dengan suara bergetar, “Danny … kamu di mana? Tolong selidiki …. Sesuatu terjadi pada Taufan …. Dia mengalami kecelakaan mobil di jalan tol menuju bandara …”“Jangan khawatir, Kak Maya. Aku sudah langsung menyelidikinya begitu mendapat kabar.” Mungkin, karena mendengar suaraku yang tidak jelas, Danny pun menghiburku. “Kakak ada di mana?”“Aku di rumah sakit.” Aku menarik napas dalam-dalam. “Ceritakan hasil penyelidikanmu padaku.”“Itu pasti. Jaga diri Kakak baik-baik. Apa Kak Maya ingin aku menyuruh Shea untuk menemani Kakak di rumah sakit?” tanya Danny kepadaku. Mungkin saja dia merasa jika suasana hatiku sedang tidak baik.“Aku nggak apa-apa,” jawabku cepat-cepat. Kemudian, aku bertanya kepada Danny, “Apa kamu tahu bagaimana kondisi cedera yang dialami Taufan?”Di ujung telepon, Danny terdiam selama beberapa saat. Kemudian, dia berkata, “Menurut para saksi mata … lukanya sangat para
Wajah Cynthia tampak begitu muram dan menakutkan. Dia duduk jauh di sana sambil menegakkan punggungnya. Matanya menyiratkan aura ganas, yang sama sekali tidak terdapat kehangatan di dalamnya. Mata Cynthia itu membuatku tanpa sadar teringat pada posisi seekor ular sebelum melancarkan serangan pada musuhnya.Kejam, ganas, dan menakutkan.Aku menenangkan diri sebentar. Sebenarnya, saat melihat Cynthia, aku sudah yakin jika orang di dalam ruangan itu pastilah Taufan. Rasa takut yang belum pernah kurasakan sebelumnya memenuhi dadaku. Aku kembali menatap pintu ruang gawat darurat yang tertutup rapat dan berdoa dalam hati agar tidak terjadi apa-apa.“Kenapa? Apa kamu mau membuat keributan dengan datang kemari?” Nada bicara Cynthia begitu dingin. Matanya yang bagaikan elang terus saja menatap wajahku.Aku menarik napas dalam-dalam, menggertakkan gigiku, dan berjalan menghampirinya. Seketika itu juga, aku bisa merasakan apa yang dirasakan orang yang ada dalam ruangan itu. Hal tersebut langsung