“Pelan-pelan, Na. Gue gak bakal lepas tangan lo.”
Luna memegang tangan Allard yang sedang menuntunnya untuk berjalan, langkah demi langkah menjadi saksi bertapa bahagianya gadis itu. Akhirnya ia memiliki waktu berdua dengan Allard, tanpa gangguan gadis lain, dan Nora tentu saja.
Allard tersenyum hangat pada Luna, karena pacarnya itu terus menatapnya dengan tatapan berbunga-bunga.
“Kenapa senyum terus?”
“Gak pa pa.” Luna menggelengkan kepalanya dengan senyum yang masih bertahan.
“Lo jatuh cinta, ya, sama gue?” tuduh Allard.
Senyum salting Luna menjadi-jadi, ia masih mengikuti Allard yang terus menuntunnya.
“Kan udah jadi pacar, masa gak boleh jatuh cinta?” Luna menampilkan wajah yang sangat ingin Allard gigit pipinya saking gemasnya.
“Masa udah jadi pacar? Kapan?”
“Ih, kamu mah.” Luna memukul tangan Allard dengan kekuatan penuh dan membuat pria itu meringis sakit.
“Kok KDRT? Gue laporin ke pihak berwenang, ya, lo!”
“Laporin aja, gak takut!” Luna berhenti melangkah karena ia sudah merasakan pegal, “kamu udah sarapan, belum?”
Allard menggelengkan kepalanya lalu menuntun Luna menuju teras rumah gadis itu.
“Mau sarapan bareng, gak?” tawar Luna.
“Boleh.”
Dengan antusias Luna meraih tongkatnya yang berada di sampingnya lalu berjalan dengan bersemangat memasuki rumahnya, ia akan memasukkan masakan spesial yang sehat untuk ia makan dengan Allard pagi ini.
“Semangat banget, Neng.” Allard menggelengkan kepalanya melihat tingkah sang pacar.
Allard mengikuti langkah sang pacar yang terlihat begitu bersemangat, senyum Luna sangat menjadi candu untuknya. Kekasihnya itu terlihat seribu kali lipat lebih cantik saat tersenyum, membuatnya sangat tidak rela jika saja ada pria lain yang membuat gadis itu tersenyum.
“Hati-hati, Na. Kaki lo belum sembuh, jangan lari-lari!” kata Allard mengingatkan.
“Iyaa!” sahut gadis itu, tapi langkahnya tidak menggambarkan ucapannya. Luna masih melangkah cepat hingga akhirnya sampai di dapur.
Luna berkutat dengan bahan bahan-bahan yang akan ia jadikan capcay, ia memotong-motong wortel dan brokoli dengan sangat bersemangat. Gadis cantik itu sangat senang bisa memasakkan sesuatu untuk sarapan Allard pagi ini.
“Allard, aku masakin capcay mau, kan?” tanya Luna sambil merebus wortelnya.
“Iya. Lo masakin racun juga gue makan, Na,” jawab Allard yang tengah menonton TV.
“Bisa dicoba, tuh.”
“Mati dong gue kalo lo beneran kasih racun.” Allard melirik sang kekasih dengan senyum teduh miliknya yang mampu membuat Luna bertahan sampai sekarang.
“Kan makannya berdua, jadi matinya ya berdua nanti.”
“Jangan dulu, gue belum nikahin lo. Nanti kalo udah nikah baru, deh, mati berdua.” Perkataan Allard sukses membuat pipi Luna bersemu.
“Merah dah, tuh, pipi.” Allard bergumam dan menggelengkan kepala melihat Luna yang tidak berhenti tersenyum.
Tadi pagi sekali Luna menelepon Allard untuk membantunya berlatih berjalan, sedikit ragu sebenarnya karena takut Allard masih tidur. Tapi ternyata tidak, Allard sudah bangun dan mau melatihnya. Itu sedikit sebab Luna sangat baik suasana hatinya sekarang.
“Na, jangan pedes-pedes, ya!” sahut Allard mengingatkan, padahal Luna sudah tahu jika dia tidak suka pedas.
“Iya!”
Sekitar lima belas menit Luna memasak, capcay yang ia buat akhirnya jadi. Dengan perasaan berbunga-bunga dia membawa semangkuk besar capcay itu ke meja makan, menyiapkan peralatan makan dan juga ayam yang sudah ia goreng sebelum Allard datang tadi.
Ponsel Allard berdering, pria itu lantas mengangkat teleponnya. Sedang Luna menuangkan air putih di gelas yang akan Allard pakai.
“Sini!” Luna melambaikan tangan memanggil Allard untuk sarapan.
Allard mendekat dengan wajah yang tidak secerah tadi. “Na, gue gak bisa sarapan di sini, gue harus pergi.”
“Mau ke mana?” Luna terlihat kebingungan.
“Nora minta gue nganter dia beli sarapan, di rumahnya gak ada siapa-siapa.” Allard menjauh mengambil kunci motornya di dekat TV, “kasian, dia belum sarapan.”
“Ya kalo gitu kamu sarapan dulu bentar, udah aku siapin buat kamu.” Suara Luna terdengar bergetar di akhir, senyumnya pun sudah hilang.
“Lo makan aja, gue gampang. Nanti makan sama Nora.”
“Tapi, Lard. Aku udah masakin capcay buat kamu, gak pedes sama sekali.”
Allard mendekati Luna dan mengecup pelipis kekasihnya itu. “Maaf, gue pergi.”
“Lo jangan lupa sarapan, gue sayang lo.” Setelah mengacak-acak rambut Luna, pria itu meninggalkan Luna yang berantakan malah hatinya.
Luna mengusap setetes air mata yang jatuh dari pipinya saat pria itu berlalu, sekali lagi ia menjadi yang terabaikan. Baru sebentar ia bersama Allard, berharap waktunya akan terasa panjang untuk dihabiskan dengan pria itu. Tapi Nora lagi-lagi merusak semuanya.
Dengan hati yang kembali tertampar, Luna menyantap sarapannya dengan berdarah-darah. Tidak bisa Luna jabarkan apa yang tengah ia rasakan saat ini, bagaimana perasaan saat pasangan lebih memilih dengan perempuan lain bahkan setelah kita sudah berusaha menahannya?
Tidak. Luna tidak sekuat itu jika sama sekali tak merasakan sakit. Dan ia harus menelan makanan yang tenggorokannya menolak keras akan kehadiran makanan itu. Allard seperti beling yang harus ia telan mentah-mentah setiap harinya.
“Kita itu sebenarnya apa Allard ...?”
***
“Lo di rumah?”
Luna menganggukkan kepalanya, dua jam setelah kepergian Allard, Arshaka tumbenan meneleponnya.
“Iya, aku di rumah.”
“Nanti malam mau ke pameran, gak? Ada waktu?”
Luna berpikir sejenak lalu memutuskan untuk menerima ajakan Arshaka. “Gak ada, sih, Ka. Tumben banget kamu ngajakin aku, ada maunya kah?” curiga Luna tak serius.
“Suudzon mulu lo mah sama gue, padahal, kan, niat gue baik.”
Gadis itu terkekeh mendengar jawaban Arshaka yang terdengar tidak terima, Luna kemudian bangkit dari baringnya menyandar di sisi kasurnya.
“Aku harus dandan yang cantik gak, nih?”
“Lo walaupun dandan tetep jelek, sih.”
Mata Luna membola mendengar penuturan Arshaka yang tidak bisa diterima akal dan pikirannya, pasti pria di seberang sana katarak matanya jika bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Luna pernah menjadi incaran para pria sebelum berpacaran dengan Allard, wajah Luna bisa dikatakan sebagai visual yang bisa bersaing dengan jajaran anak hits-nya Mediterania.
“Kamu beli kacamata, deh, sana. Aku curiga selama ini kamu gak bisa liat aku dengan jelas. Muka aku cantiknya udah level paripurna, ya.”
Arshaka terkekeh mendengar perkataan Luna, di seberang sana pria itu geli sendiri dengan kepercayaan diri Luna yang sedikit narsis.
“Ya udah nanti lo dandan, deh, gue mau lihat kecantikan lo yang katanya paripurna itu.”
“Okeh, bye Shaka.”
“Bye, calon.”
“Calon apa, nih?”
“Calon pembantu gue.”
Luna memutuskan teleponnya dengan kesal mendengar Arshaka yang tertawa sangat keras mengejeknya, namun dibanding dengan perasaan kesal, Luna lebih merasa agak baikan setelah ditelepon Arshaka. Ia sedikit terhibur hatinya mendengar lelucon pria itu.
Ia melirik jam dinding, masih jam sebelas. Waktunya masih sangat banyak, Luna kemudian memilih membaringkan lagi tubuhnya yang entah kenapa sangat lelah, padahal ia tidak habis bekerja kuli. Gadis itu memutuskan untuk tidur agar lebih fresh nantinya, berharap mimpi indah akan menemani tidurnya siang ini.
Luna, gadis itu sudah sangat lelah meniti hatinya di atas bandar. Tapi tidak urung berhenti, karena ia juga tengah membawa segunung cinta di pundaknya yang menjadi alasan Luna untuk tetap bertahan di sisi Allard.
“Pake bedak merk apa lo bisa jadi cantik gini?” tanya Arshaka yang melihat Luna terlihat lebih cantik malam ini.“Kalo udah cantik diapain mah tetap cantik, gak usah sinis gitu kamu!” balas Luna mengibaskan rambutnya percaya diri dan membuka pintu mobil Arshaka.Arshaka menggelengkan kepala melihat tingkah Luna, ia kemudian ikut keluar setelah memarkirkan mobilnya. Ia mendekati gadis yang sudah menyiapkan tongkatnya.“Gak usah pake tongkat coba, Na.”“Terus kamu nyuruh aku jalan gimana? Merangkak?” bingung Luna.Arshaka meraih tongkat gadis itu dan melipatnya kembali lalu ditaruh di dalam mobil. “Gue gandeng aja, biar tangannya gak pegel pake tongkat terus.”“Modus gak, nih?”“Lo sok tau banget, ya. Mana ada gue modus sama lo, gak selera gue sama cewek narsis kayak lo. Bisa-bisa gue yang nahan malu tiap hari kalo sama lo.”Luna tertawa mendengar
Seandainya cinta tidak ada di dunia ini, dipastikan Luna adalah orang yang akan menyandang predikat manusia dengan bibir paling kaku. Hanya saja cinta sudah mencuci hatinya, ia selalu memaksa bibirnya untuk tersenyum walaupun hati terus ditikam.Luna seakan seperti manusia yang berjalan di tengah hutan dengan badai yang tidak bisa ia toleran, jika maju akan terkena petir, dan jika mundur pohon tumbang akan menerpanya. Hari semakin gelap, sedang ia tidak memiliki lilin untuk menerangi jalannya. Jadinya, kaki telanjang itu semakin terluka karena duri dan beling yang tidak bisa diraba oleh mata.Karena cinta sialan yang Luna miliki, dia menjadi gadis bodoh yang terbodoh di antara yang paling bodoh. Mampu untuk terus memaafkan kesalahan Allard yang sudah diluar batas, padahal sakit yang dia rasakan sudah sangat teratas.Di depan sana, kekasihnya sedang bercanda ria dengan gadis lain yang katanya hanya seorang sahabat. Tapi yang Luna lihat dari cara dua insan itu beraks
“Shaka, aku gak mau ke UKS!”Arshaka mengabaikan penolakan Luna, gadis itu butuh pengobatan sekarang. Kakinya tergores dan terluka.“Lo mau kaki lo gak sembuh-sembuh, hah? Kaki lo keluar nanah!!”Luna terdiam, ia pasrah saja pria itu membawanya. Ia tidak akan menolak lagi. Kakinya memang sangat sakit, ia menahan dua rasa sakit yang menyerangnya di saat yang bersamaan.Baru memasuki UKS, suara pria lain terdengar begitu khawatir dan menuntut.“Luna kenapa?!!”Allard berdiri dari duduknya yang semula di samping Nora yang sedang di periksa oleh perawat UKS, ia terlihat begitu khawatir saat pria yang tidak ia kenali membaringkan Luna di atas brankar.“Lo kenapa, Na?!”Luna menggeleng pelan dengan air mata yang terus mengalir, ia memegang erat tangan Arshaka yang masih berada di genggamannya.“Lo masih tanya Luna kenapa?!” Arshaka terlihat murka, “harusnya lo tanya sama diri lo sendiri!!”“Gak usah sok peduli!! Urus aja selingku
Malam petang diisi ribuan cahaya indah menemani Luna, gadis itu termenung menatap rerumputan yang bergoyang karena udara seenaknya meniupkan anginnya. Namun bukan itu perhatian Luna, pikirannya melayang jauh menerawang entah ke mana. Gadis itu seakan tuli, padahal nyanyian jangkrik terdengar begitu jelas.Luna si gadis tangguh yang tidak pernah mengeluh, terlihat tidak baik-baik saja sekarang. Ini seperti Luna mempunyai liontin perak yang indah, dan juga memiliki dua pilihan. Pertama, ada amplop berisi cek yang harganya jauh di atas liontin. Yang kedua, hanya ada sekantong udara yang berisi lebah.Pilihan mana yang akan Luna tukarkan dengan Liontin miliknya?Sesuatu yang berharga, harusnya ditukar dengan yang berharga pula. Namun bodohnya, Luna malah membuang amplop jauh-jauh, dan memilih untuk merawat lebah itu. Untuk banyak orang, mungkin mereka berpikiran jika Luna melepaskan sesuatu yang begitu besar. Tapi bagi Luna, ia sedang merawat madu. Walaupun harus meras
Luna melangkah tertatih dengan Allard yang menjadi penopangnya, mereka melangkahkan kaki menaiki tangga perlahan. Menuju ruang kelas Luna. Gadis itu tidak bisa menahan senyumnya tatkala Allard menggendongnya karena takut akan terjatuh lagi.Allard menggendong Luna menuju kelas gadis itu, diturunkan setelah benar-benar duduk di kursinya. Allard membelai rambut panjang Luna, lalu diikat setinggi-tinggi mungkin.“Ada ikat?”Luna memberikan ikat rambutnya pada Allard, membiarkan pria itu mengikat rambutnya walaupun ia tau akan serusak apa jadinya.“Gue ke kelas dulu, kakinya jangan sampek kebentur, ya.”Luna tersenyum dan menganggukkan kepalanya, membuat Allard gemas dan sangat ingin menggigit gadis itu. Tapi ditahan-tahan.“Dah, sayang.” Allard berlalu dengan mendaratkan kecupan di dahi Luna.Luna menganggukkan kepalanya dengan hati berbunga-bunga. “Dah, Allard.”Setelah peninggalan
Pagi di akhir bulan Maret ini terlihat sangat cerah, mentari membawa cahayanya untuk bersinar begitu terang pagi ini. Sampai-sampai harus memicing untuk jarak yang tidak terlalu jauh padahal. Semua murid Mediterania terlihat mengenakan seragam olahraga sesuai kelas jurusan masing-masing. Hari ini adalah di mana sekolah mengadakan olahraga bersama untuk semua kelas. Jarum jam menunjukkan hampir pukul tujuh, sebentar lagi bel akan berbunyi. Luna melangkahkan kaki pelan untuk melatih otot kakinya, tongkatnya sengaja ia taruh di dekat vas bunga. Jika hanya beberapa langkah, Luna masih bisa tanpa tongkat. Kecuali jaraknya tidak memungkinkan untuk Luna, barulah ia memakai kembali tongkatnya. Triingg! Bunyi bel mendengung di telinga Luna, ia mengambil tongkatnya dan melangkahkan kaki menuju tangga. Ia sendiri saja karena Maya sudah berada di lapangan, temannya itu menjadi pemandu senam pagi ini. Sebelum kakinya menapak di anak tangga, seseorang memanggilnya
Melihat Allard yang muncul dari balik tangga, Allard hendak menyapa pacarnya itu tapi urung. Luna melewatinya begitu saja, dan menimbulkan robekan kecil di hatinya. Pria itu berlalu meliriknya sekilas dan berlalu begitu saja, sangat bajingan. Apakah kejadian dua hari lalu membuat Allard sangat marah padanya? Padahal bukan salah Luna sepenuhnya, pasti Nora sudah memberi garam dan cuka agar seolah-olah semua karenanya. Luna mematung di tempatnya hingga Arshaka mendekat, sedari tadi pria itu mengamati Luna. Mulai dari menyendiri di depan kelas, Allard yang muncul hingga gadis itu kembali merenung. Pemandangan entah kenapa membuat matanya tidak enak, ia tidak suka Luna bersedih. “Beli cireng, yuk!” Luna menoleh pada Arshaka yang merangkulnya, ia lalu mengangguk dan melengkungkan bibir. Helaan nafas berat terdengar, rasanya sesak sekali melihat tatapan Allard tadi. Seakan ia yang paling dihindari. “Ka, aku gak salah.” Arshaka mengangguk pah
“Dia siapa Allard?!” sentak seorang gadis meminta penjelasan pada pria tampan di hadapannya.Pria itu hanya bergeming, diam saja di tempatnya tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, sedang gadis itu sudah banjir air mata. Sebut saja ia Allard, Allard Zilo. Pria tampan berhati batu yang memiliki sifat sedingin pegunungan Himalaya.“Siapa perempuan itu, Allard?” Satu tangan gadis itu menarik-narik t-shirt yang dipakai Allard, tidak bisa membendung perasaan kecewanya.“Allard jawab aku!”“Dia pacar gue!”Jawaban Allard berhasil membuat Luna terhenyak, sakit, itu yang ia rasakan saat ini. Tangan yang awalnya berpegangan pada pria itu, kini terlepas.“Terus aku siapa ...?” lirihnya dengan air mata yang sudah membasahi matanya.“Kamu anggap aku apa selama ini, hah?!”“Kamu kenapa Allard? Di mana kamu simpan perasaan kamu itu?! Di mana Allard?!”Luna tidak bisa lagi menahan rasa sakitnya. Allard bermain belakang, dan itu sangat m
Melihat Allard yang muncul dari balik tangga, Allard hendak menyapa pacarnya itu tapi urung. Luna melewatinya begitu saja, dan menimbulkan robekan kecil di hatinya. Pria itu berlalu meliriknya sekilas dan berlalu begitu saja, sangat bajingan. Apakah kejadian dua hari lalu membuat Allard sangat marah padanya? Padahal bukan salah Luna sepenuhnya, pasti Nora sudah memberi garam dan cuka agar seolah-olah semua karenanya. Luna mematung di tempatnya hingga Arshaka mendekat, sedari tadi pria itu mengamati Luna. Mulai dari menyendiri di depan kelas, Allard yang muncul hingga gadis itu kembali merenung. Pemandangan entah kenapa membuat matanya tidak enak, ia tidak suka Luna bersedih. “Beli cireng, yuk!” Luna menoleh pada Arshaka yang merangkulnya, ia lalu mengangguk dan melengkungkan bibir. Helaan nafas berat terdengar, rasanya sesak sekali melihat tatapan Allard tadi. Seakan ia yang paling dihindari. “Ka, aku gak salah.” Arshaka mengangguk pah
Pagi di akhir bulan Maret ini terlihat sangat cerah, mentari membawa cahayanya untuk bersinar begitu terang pagi ini. Sampai-sampai harus memicing untuk jarak yang tidak terlalu jauh padahal. Semua murid Mediterania terlihat mengenakan seragam olahraga sesuai kelas jurusan masing-masing. Hari ini adalah di mana sekolah mengadakan olahraga bersama untuk semua kelas. Jarum jam menunjukkan hampir pukul tujuh, sebentar lagi bel akan berbunyi. Luna melangkahkan kaki pelan untuk melatih otot kakinya, tongkatnya sengaja ia taruh di dekat vas bunga. Jika hanya beberapa langkah, Luna masih bisa tanpa tongkat. Kecuali jaraknya tidak memungkinkan untuk Luna, barulah ia memakai kembali tongkatnya. Triingg! Bunyi bel mendengung di telinga Luna, ia mengambil tongkatnya dan melangkahkan kaki menuju tangga. Ia sendiri saja karena Maya sudah berada di lapangan, temannya itu menjadi pemandu senam pagi ini. Sebelum kakinya menapak di anak tangga, seseorang memanggilnya
Luna melangkah tertatih dengan Allard yang menjadi penopangnya, mereka melangkahkan kaki menaiki tangga perlahan. Menuju ruang kelas Luna. Gadis itu tidak bisa menahan senyumnya tatkala Allard menggendongnya karena takut akan terjatuh lagi.Allard menggendong Luna menuju kelas gadis itu, diturunkan setelah benar-benar duduk di kursinya. Allard membelai rambut panjang Luna, lalu diikat setinggi-tinggi mungkin.“Ada ikat?”Luna memberikan ikat rambutnya pada Allard, membiarkan pria itu mengikat rambutnya walaupun ia tau akan serusak apa jadinya.“Gue ke kelas dulu, kakinya jangan sampek kebentur, ya.”Luna tersenyum dan menganggukkan kepalanya, membuat Allard gemas dan sangat ingin menggigit gadis itu. Tapi ditahan-tahan.“Dah, sayang.” Allard berlalu dengan mendaratkan kecupan di dahi Luna.Luna menganggukkan kepalanya dengan hati berbunga-bunga. “Dah, Allard.”Setelah peninggalan
Malam petang diisi ribuan cahaya indah menemani Luna, gadis itu termenung menatap rerumputan yang bergoyang karena udara seenaknya meniupkan anginnya. Namun bukan itu perhatian Luna, pikirannya melayang jauh menerawang entah ke mana. Gadis itu seakan tuli, padahal nyanyian jangkrik terdengar begitu jelas.Luna si gadis tangguh yang tidak pernah mengeluh, terlihat tidak baik-baik saja sekarang. Ini seperti Luna mempunyai liontin perak yang indah, dan juga memiliki dua pilihan. Pertama, ada amplop berisi cek yang harganya jauh di atas liontin. Yang kedua, hanya ada sekantong udara yang berisi lebah.Pilihan mana yang akan Luna tukarkan dengan Liontin miliknya?Sesuatu yang berharga, harusnya ditukar dengan yang berharga pula. Namun bodohnya, Luna malah membuang amplop jauh-jauh, dan memilih untuk merawat lebah itu. Untuk banyak orang, mungkin mereka berpikiran jika Luna melepaskan sesuatu yang begitu besar. Tapi bagi Luna, ia sedang merawat madu. Walaupun harus meras
“Shaka, aku gak mau ke UKS!”Arshaka mengabaikan penolakan Luna, gadis itu butuh pengobatan sekarang. Kakinya tergores dan terluka.“Lo mau kaki lo gak sembuh-sembuh, hah? Kaki lo keluar nanah!!”Luna terdiam, ia pasrah saja pria itu membawanya. Ia tidak akan menolak lagi. Kakinya memang sangat sakit, ia menahan dua rasa sakit yang menyerangnya di saat yang bersamaan.Baru memasuki UKS, suara pria lain terdengar begitu khawatir dan menuntut.“Luna kenapa?!!”Allard berdiri dari duduknya yang semula di samping Nora yang sedang di periksa oleh perawat UKS, ia terlihat begitu khawatir saat pria yang tidak ia kenali membaringkan Luna di atas brankar.“Lo kenapa, Na?!”Luna menggeleng pelan dengan air mata yang terus mengalir, ia memegang erat tangan Arshaka yang masih berada di genggamannya.“Lo masih tanya Luna kenapa?!” Arshaka terlihat murka, “harusnya lo tanya sama diri lo sendiri!!”“Gak usah sok peduli!! Urus aja selingku
Seandainya cinta tidak ada di dunia ini, dipastikan Luna adalah orang yang akan menyandang predikat manusia dengan bibir paling kaku. Hanya saja cinta sudah mencuci hatinya, ia selalu memaksa bibirnya untuk tersenyum walaupun hati terus ditikam.Luna seakan seperti manusia yang berjalan di tengah hutan dengan badai yang tidak bisa ia toleran, jika maju akan terkena petir, dan jika mundur pohon tumbang akan menerpanya. Hari semakin gelap, sedang ia tidak memiliki lilin untuk menerangi jalannya. Jadinya, kaki telanjang itu semakin terluka karena duri dan beling yang tidak bisa diraba oleh mata.Karena cinta sialan yang Luna miliki, dia menjadi gadis bodoh yang terbodoh di antara yang paling bodoh. Mampu untuk terus memaafkan kesalahan Allard yang sudah diluar batas, padahal sakit yang dia rasakan sudah sangat teratas.Di depan sana, kekasihnya sedang bercanda ria dengan gadis lain yang katanya hanya seorang sahabat. Tapi yang Luna lihat dari cara dua insan itu beraks
“Pake bedak merk apa lo bisa jadi cantik gini?” tanya Arshaka yang melihat Luna terlihat lebih cantik malam ini.“Kalo udah cantik diapain mah tetap cantik, gak usah sinis gitu kamu!” balas Luna mengibaskan rambutnya percaya diri dan membuka pintu mobil Arshaka.Arshaka menggelengkan kepala melihat tingkah Luna, ia kemudian ikut keluar setelah memarkirkan mobilnya. Ia mendekati gadis yang sudah menyiapkan tongkatnya.“Gak usah pake tongkat coba, Na.”“Terus kamu nyuruh aku jalan gimana? Merangkak?” bingung Luna.Arshaka meraih tongkat gadis itu dan melipatnya kembali lalu ditaruh di dalam mobil. “Gue gandeng aja, biar tangannya gak pegel pake tongkat terus.”“Modus gak, nih?”“Lo sok tau banget, ya. Mana ada gue modus sama lo, gak selera gue sama cewek narsis kayak lo. Bisa-bisa gue yang nahan malu tiap hari kalo sama lo.”Luna tertawa mendengar
“Pelan-pelan, Na. Gue gak bakal lepas tangan lo.”Luna memegang tangan Allard yang sedang menuntunnya untuk berjalan, langkah demi langkah menjadi saksi bertapa bahagianya gadis itu. Akhirnya ia memiliki waktu berdua dengan Allard, tanpa gangguan gadis lain, dan Nora tentu saja.Allard tersenyum hangat pada Luna, karena pacarnya itu terus menatapnya dengan tatapan berbunga-bunga.“Kenapa senyum terus?”“Gak pa pa.” Luna menggelengkan kepalanya dengan senyum yang masih bertahan.“Lo jatuh cinta, ya, sama gue?” tuduh Allard.Senyum salting Luna menjadi-jadi, ia masih mengikuti Allard yang terus menuntunnya.“Kan udah jadi pacar, masa gak boleh jatuh cinta?” Luna menampilkan wajah yang sangat ingin Allard gigit pipinya saking gemasnya.“Masa udah jadi pacar? Kapan?”“Ih, kamu mah.” Luna memukul tangan Allard dengan kekuatan penuh dan membuat pria itu meringis sakit.“Kok KDRT? Gue laporin ke pihak berwenang, ya, lo!”
‘Lard, mau malam mingguan sama aku?’Luna menunggu balasan pesan yang ia kirimkan pada Allard, semoga saja Allard mengiyakan permintaannya. Sudah dua pekan ini Luna tidak menghabiskan hari-hari libur dengan Allard, karena pria itu selalu beralasan sibuk.‘Mau ke mana?’Luna segera membalas pesan masuk dari Allard, ia tidak menuntut pacarnya itu untuk bermalam mingguan di mana. Luna yang ingin Allard ada waktu untuknya, itu saja.‘Terserah kamu aja.’Tak lama, Allard membalas pesan teks Luna.‘Ya udah, nanti gue jemput, ya.’Luna tersenyum cerah ketika Allard mengiyakan permintaannya, ia jingkrak-jingkrak saat itu juga. Hari masih sore, masih ada banyak waktu untuk Luna bersiap-siap. Ia berjalan riang menuju lemari pakaiannya, dia akan memberikan penampilan terbaiknya malam nanti.Hati Luna begitu berbunga-bunga, akhirnya ia ada waktu untuk bersama dengan Allard. Ia akan mengabadikan momen malam nanti