Arnita masih tetap berdiri di sisi Arman sambil menunggu Arman membuka surat itu. Ia merasa deg deg-an melihat isi di dalam surat itu. Arman terlihat membaca isi laporan kepolisian itu dengan kening mengernyit. "Sebenarnya itu surat apa mas?" tanya Arnita."Surat investigasi tentang kecelakaan kemarin." balas Arman. "Apa hasilnya? Apa kata polisi?" mata Arnita berkedip beberapa kali menunggu jawaban dari Arman yang tak kunjung bersuara."Polisi mengatakan kalau ini bukan kecelakaan, tetapi disengaja. Rem mobilnya sengaja dipotong oleh orang." jelas Arman dengan raut wajah yang tidak bisa dijelaskan.Mata Arnita terbelalak mendengarnya. Kenapa ada orang yang begitu jahat ingin menyakiti suaminya? Arnita menolehkan wajahnya untuk melihat reaksi Arman. Laki-laki itu tidak terlihat marah atau kesal sedikitpun. Arnita merasa masih ada sesuatu yang sedang disembunyikan oleh Arman. "Apa pelakunya sudah diketahui mas?" pertanyaan Arnita membuat Arman diam seribu bahasa.Arman diam, tatapa
Arman memasuki restoran, matanya menjelajah ke sekitar restoran. Ia tidak menemukan keberadaan mamanya di dalam restoran, itu berarti mamanya belum datang. Arman memilih duduk di bangku paling ujung yang dirasa tidak terlalu bising. "Mau pesan apa mas?" seorang pelayan restoran mendekat ke meja Arman."Saya pesan es americano satu, saya akan pesan lagi nanti." ujar Arman.Arman menatap keluar restoran, sebuah mobil yang tidak asing baru saja memasuki area parkir restoran. Itu adalah mobil yang biasa mamanya pakai sehari-hari. Satu menit kemudian Arman melihat mamanya keluar dari mobil dan berjalan masuk ke dalam restoran."Kamu sudah dari tadi Ar? Maaf ya mama agak telat soalnya tadi mama mampir dulu ke toko kue." Cintya mendudukan dirinya di hadapan Arman."Nggak lama kok ma, Arman juga baru aja datang." "Mama pesan makanan dulu aja dulu." lanjut Arman. Arman memberikan buku menu ke mamanya. "Kamu kelihatan agak kurusan Ar, istri kamu tuh bisa nggak sih menjaga kamu!" ujar Cintya
"Mas tadi dari mana?" Arnita menghadang Arman yang ingin masuk ke dalam kamar. Tadi pagi Arman ijin pada Arnita jika ingin keluar sebentar. Tetapi Arman keluar begitu lama hampir tiga jam. Bahkan laki-laki itu tidak menghubunginya sama sekali dan saat Arnita menghubungi panggilan teleponnya tidak diangkat. Arnita khawatir setengah mati menunggu kabar dari Arman. Ia takut terjadi apa-apa pada suaminya itu. Ditambah keadaan kaki Arman yang masih sakit."Ketemu temen." balas Arman.Arnita menyipitkan matanya, ia tidak akan mudah percaya begitu saja dengan alasan Arman. "Mas habis ketemu sama perempuan lain kan?" tuduh Arnita. Jarinya menunjuk ke arah Arman dengan wajah kesal.Bukannya marah Arman malah dibuat ketawa dengan tingkah Arnita. Tidak biasanya Arnita bersikap se ekspresif ini jika mengingat mereka lebih sering diam. Arnita juga selalu bersikap sopan dan jarang menunjukkan emosinya. Dan kali ini Arman dibuat tertegun sekaligus tertawa oleh tingkah Arnita. Arnita bertingkah seo
"Mas hari ini belum latihan kan?" tanya Arnita mengingatkan.Terakhir merek mengontrolkan kaki Arman, dokter mengatakan keretakan kaki Arman sudah delapan puluh lima persen membaik. Tetapi dokter menyarankan agar Arman tetap menerapi kakinya dengan melakukan jalan ringan setiap hari agar tidak kaku. "Sudah." balas Arman sekenanya."Kapan? Aku belum lihat." ujar Arnita dengan dahi mengernyit."Tadi jalan dari kamar kesini." ujar Arman enteng yang langsung mendapat pelototan dari Arnita."Jalan dari kamar kesini kan nggak nyampe satu menit mas Arman." ujar Arnita dengan gemas."Dokter kan udah bilang dibuat jalannya selama sepuluh menit. Sekarang berdiri, ayo mas pakai kakinya buat jalan." Arnita menarik lengan Arman, tetapi laki-laki itu tak kunjung juga bangkit dari duduknya."Mager Nit." rengek Arman yang masih nyaman menonton acara tv kesukaannya."Nanti bisa dilanjut lagi nonton tv nya mas." "Keburu habis acaranya." balas Arman tak mau kalah."Yaudah terserah mas aja!" Arnita mel
"Wa, setelah makan temui mama di kamar, ada yang mau mama bicarakan." ujar Cintya sebelum beranjak pergi dari meja makan."Ada apa ya mas? Aku ngerasa sikap mama beberapa hari ini dingin banget sama kita." ujar Mawar dengan perasaan tidak enak."Kamu antar Kenzie ke sekolah, mas mau bicara dulu sama mama." Dewa menyelesaikan makanannya. Ia meneguk minumannya sebelum pergi menemui mamanya.Tok tokDewa mengetuk kamar mamanya yang sedikit terbuka. Tidak biasanya mamanya mengajaknya berbicara hanya empat mata, kecuali ada hal yang sangat penting untuk dikatakan oleh mamanya. Hal penting apa yang ingin mamanya katakan padanya? Perasaan Dewa merasa resah, apalagi ditambah bagaimana sikap mamanya yang tidak biasa padanya."Masuk." Dewa melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar mamanya. Disana mamanya sedang duduk di sofa single yang dulu biasanya dipakai oleh papanya bersantai karena menghadap ke arah balkon teras kamar. "Mama ingin bicara sama Dewa?" "Hmm, duduk." Cintya menyerongkan ba
"Mas, mama tadi pagi bicara apa sama mas?" tanya Mawar sambil melihat Dewa dari pantulan kaca meja riasnya. Tangannya terus bergerak menghapus make up di wajahnya."Cuman bicara tentang perusahaan." balas Dewa singkat."Mas, aku minta dua ratus juta dong, aku mau beli tas Smes keluaran terbaru." ujar Mawar. Seketika Dewa berdecak malas. Tangannya memijat keningnya yang tiba-tiba berdenyut nyeri. Mawar selalu saja menghambur-hamburkan uang banyak hanya untuk hal-hal yang tidak penting. Meski sudah memiliki banyak koleksi tas branded, tetapi perempuan itu sama sekali tidak pernah merasa puas dan selalu ingin membeli lagi dan lagi."Aku cuman bisa transfer lima puluh juta." ujar Dewa.Mawar membanting pelan kapas yang ada di tangannya. Ia memutar tubuhnya menghadap ke arah Dewa. Terlihat raut wajahnya tidak terima jika suaminya hanya memberikan lima puluh juta untuknya."Mas, harga tasnya dua ratus juta loh masa kamu cuman kasih lima puluh juta." rengek Mawar.Dewa menghela nafasnya pan
Arnita memasukkan satu persatu pakaian kotor ke dalam mesin cuci. Tidak semua pakaian ia cuci dengan mesin cuci. Untuk kemeja dan jas kerja Arman, Arnita sengaja mencucinya secara manual agar tidak cepat rusak. Itu karena ia tahu seberapa mahal jas-jas yang Arman punya. Sambil menunggu cucian kering, Arnita menyibukkan dirinya membuat kue matcha. Jujur saja setelah ia hidup bersama Arman kehidupannya berubah seratus delapan puluh derajat. Jika dulu ia harus menabung lebih dulu sebelum bisa melakukan hobinya yang suka mencoba-coba membuat kue. Dan sekarang ia tidak perlu menabung lebih dulu untuk menyalurkan hobinya, di rumah ini Arman sudah menyediakan kebutuhan dapur dengan sangat lengkap. Setiap harinya Arnita mengasah kemampuan memasaknya. Bukan hanya membuat kue atau masakan indonesia. Tetapi sekali-kali ia juga mencoba membuat masakan luar negeri. Dan yang membuatnya senang adalah Arman selalu mendukung hobinya itu. Dia bahkan menawarkan dirinya untuk mencicipi semua makanan ya
"Nit masuk." ujar Arman dengan wajah dinginnya. Tatapannya tak lepas dari Alif yang sedari tadi berdiri di samping Arnita.Arnita menundukkan kepalanya, ia berjalan masuk ke dalam rumah yang juga diikuti oleh Arman. Arnita merasa jika punggungnya seperti di laser oleh tatapan tajam Arman. Arnita masuk ke dalam kamar untuk mengganti pakaiannya yang basah. Setelah mengganti pakaiannya, Arnita menghampiri Arman yang sedang duduk di ruang tengah sambil menonton acara tv kesukaannya. Arnita sedikit takut jika Arman akan marah padanya. Apalagi mengingat bagaimana wajah laki-laki itu ketika melihatnya keluar dari dalam rumah Alif."Mas mau aku ambilkan makan?" tanya Arnita dengan nada suara ramah. Arman hanya menggelengkan kepalanya tanpa mau menatap ke arahnya. "Mas, mas marah sama aku?" cicit Arnita. Kepalanya menunduk takut."Mas salah paham, kejadiannya sama sekali nggak seperti yang mas bayangin." Arnita mengambil tempat duduk di samping Arman dengan memberikan sedikit jarak diantara
"Nit?" Arman menyentuh bahu Arnita."Mas, mas kapan pulangnya?" tanya Arnita dengan bingung."Kamu dari tadi duduk di balkon nggak lihat saya masuk?" kini gantian Arman yang bingung.Sebab Arnita sudah duduk di balkon kamar cukup lama tapi tidak melihat mobil Arman masuk ke halaman. Arman juga tadi sempat memanggil Arnita saat masuk ke dalam kamar, tetapi Arnita tidak menjawabnya. Dan akhirnya Arman menemukan Arnita duduk termenung di balkon kamar."Kamu nggak papa? Apa yang kamu pikirkan sampai nggak denger saya panggil." tiba-tiba Arnita memeluk pinggang Arman sambil menyandarkan kepalanya di perut Arman."Kamu mikirin apa hmm?" tanya Arman lagi karena masih belum mendapat balasan dari Arnita."Tadi mbak Jenny datang ke rumah." gumam Arnita di perut Arman. Arnita tahu jika ucapannya pasti tidak akan terdengar jelas di telinga Arman."Hmm?" Arman bergumam mendengar ucapan Arnita yang kurang jelas.Arman menangkup wajah Arnita dan menjauhkannya dari perutnya. "Coba ulangi lagi tadi ng
Dewa merangkul pinggang Mawar sambil tersenyum lebar ke arah semua tamu. Dewa membawa Mawar semakin masuk ke dalam pesta. Mata Dewa menjelajahi setiap tamu yang datang ke pesta itu. Satu sudut bibirnya terangkat ketika melihat targetnya tertangkap oleh penglihatannya. Dewa menarik Mawar ke arah meja tersebut. Matanya tak lepas menatap laki-laki yang berdiri di kerumunan itu."Pak Dewa." sapa laki-laki paruh baya yang berada di kerumunan itu."Selamat malam pak Albert." Dewa balas menyapa pria paruh baya itu dengan ramah."Selamat malam pak Atlas." sapa Dewa dengan menekan nama laki-laki di depannya itu.Dewa merasakan atmosfer disekitarnya berubah menjadi canggung dan tegang. Ia menatap Atlas di depannya yang terlihat kikuk saat melihat kehadirannya."Selamat malam pak Dewa." balas Atlas.Beberapa kali Dewa menangkap tatapan Atlas yang mencuri lirik ke arah istrinya. Dewa menatap istri Atlas yang terlihat seperti tidak tahu apa-apa yang sudah diperbuat suaminya di belakangnya."Bagaim
Arnita menunggu Arman di meja makan. Kepalanya terus menatap ke arah pintu menunggu kedatangan Arman. Dua porsi sate yang tadi ia beli sudah disiapkan di piring. Karena Arman terlalu lama berada diluar, Arnita jadi berpikir untuk memanggil Arman untuk segera masuk ke dalam. Perutnya sudah lapar minta diisi."Mas Arman." panggil Arnita sambil kepalanya celingukan mencari keberadaan suaminya itu.Seketika Arnita sadar jika mobil suaminya yang tadi terparkir di halaman rumah sekarang sudah tidak ada lagi disana. Arnita terdiam berpikir apa yang sebenarnya sudah terjadi. Apa Arman pergi lagi setelah mengangkat telepon tadi? Sepertinya memang ada hal penting yang Arman lakukan saat ini.Dengan langkah lesu Arnita kembali melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah. Ia kembali membungkus sate milik Arman dan menyimpannya. Arnita kemudian menghabiskan seporsi sate ayam seorang diri di meja makan.Selesai makan Arnita menunggu Arman pulang di depan tv. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh mala
Kandungan Arnita sudah memasuki bulan ketiga kehamilan. Tak terasa perut Arnita semakin membesar. Seperti menjadi kebiasaan baru Arman, setiap kali Arnita berada di dekatnya ia selalu mengelus perut istrinya itu. Hingga kadang Arnita kesal kepadanya karena risih dengan sikapnya itu.Hingga sampai sekarang Arman belum memberitahu mamanya tentang kehamilan Arnita. Tapi rencananya Arman akan memberitahu mamanya dalam waktu dekat. Ia akan membawa Arnita ke rumah.Arman menggeser layar tab nya. Keningnya berkerut melihat berita sebuah agensi model yang ia ketahui Jenny menjadi salah satu model disana itu sedang terjerat kasus penipuan. Arman membuka artikel berita tersebut dan mencari tahu kebenarannya. Ia tercengang jika agensi tersebut benar-benar melakukan tindakan penipuan. Bukan hanya menipu modelnya saja, tetapi juga menipu pengusaha lain yang menggunakan jasa modelling perusahaan tersebut. Kasus itu juga ikut menyeret para model di perusahaan tersebut dan Arman melihat nama Jenny ju
"Makasih ya Ar udah mau temani aku makan." ujar Jenny."Hmm." "Istri kamu nggak akan marah kan?" tanya Jenny hati-hati. Arman menggelengkan kepalanya."Oh iya untuk perpanjang kontrak yang kamu tawarkan sepertinya aku nggak bisa ambil." tangannya memainkan pisau dan garpu di atas steaknya.Arman mendongakkan sedikit kepalanya untuk menatap perempuan di depannya. "Kenapa?" "Emm, bukannya aku nggak tertarik mau ambil perpanjangan kontrak yang kamu tawarkan. Tapi aku mau mencoba untuk ekspor modelling yang beda dari sebelumnya.""Manajer aku bilang kalau ada salah satu merk fashion ternama di Indonesia yang nawarin kerja sama dengan aku. Aku harap kamu nggak tersinggung sama keputusan aku."Arman menganggukkan kepalanya pelan. Ia mengerti jika Jenny ingin mencoba dunia modelling lain yang ada di negara ini. Itu juga akan mempermudah karirnya di negara ini."Bagus kalau kamu mau ekspor dunia modelling disini." balas Arman.Jenny lega mendengar jawaban Arman yang mendukung keputusannya.
Arman menyandarkan kepalanya ke bahu Arman. Kakinya diluruskan sampai ujung kakinya menyentuh batas ujung sofa yang ia duduki. Tangannya asik menggeser layar ponselnya. Disisi lain Arman terlihat sibuk dengan tab di tangannya. Ia tidak sama sekali tidak kelihatan pegal saat Arnita menyandarkan tubuhnya ke tubuh Arman. Arman melepas kacamata yang bertengger di hidungnya dan meletakkan tab di tangannya ke atas meja. Ia sedikit menggerakkan tubuhnya dengan pelan."Kamu sudah minum susu hamilnya?" tanya Arman."Belum." balas Arnita pelan seperti gumaman."Kenapa belum? Ayo minum susunya dulu." Arman mengambil ponsel yang ada di genggaman Arnita.Arnita sempat memasang wajah kesalnya saat Arman tiba-tiba mengambil ponselnya. Namun segera ia merubah raut wajahnya saat Arman menatapnya dengan tatapan tajam. "Jangan main ponsel terus. Ayo saya buatkan susu." Arman menggandeng lengan Arnita ke dapur. Ia menyuruh Arnita untuk duduk sambil menunggunya selesai membuatkan susu untuk Arnita."Mi
Mawar berjalan berlenggak-lenggok memasuki lobi hotel. Dengan masker dan kacamata hitam yang menghiasi wajahnya tidak akan membuat orang lain mengenalinya. Mawar berjalan ke arah meja resepsionis."Ada yang bisa saya bantu bu?" tanya resepsionis hotel tersebut dengan ramah."Saya ingin ambil kunci nomor 506." ujar Mawar."Atas nama siapa bu?" "Pak Atlas." "Tunggu sebentar ya bu." "Silahkan di isi data diri ibu disini." resepsionis wanita tersebut menyerahkan buku tamu kepada Mawar.Setelah mendapatkan kunci kamar milik Atlas, Mawar masuk ke dalam lift menuju lantai lima hotel tersebut. Langkahnya berhenti di depan pintu bernomor 506. Dengan menempelkan kartu akses, pintu itu sudah bisa terbuka.Mawar masuk ke dalam kamar itu. Matanya menyoroti setiap sudut ruangan. Satu sudut bibirnya terangkat ke atas membentuk sebuah senyum miring. Diambilnya pigura foto yang ada di atas meja. Terlihat sebuah keluarga bahagia di foto itu. Tiitt tittSuara seseorang yang baru saja menempelkan kar
Alif dan Arnita menengokkan kepalanya ke belakang secara bersamaan. Terlihat mobil Arman yang berhenti tepat di belakang mereka. Arman berjalan cepat menghampiri mereka berdua dengan tergesa-gesa. Arnita meneguk ludahnya dengan susah payah ketika melihat Arman terus menatap Alif dengan begitu intens."Kaki kamu kenapa?" tanya Arman dengan khawatir."Ini tadi nggak sengaja nginjek pecahan kaca mas." ujar Arnita sambil menunjuk ke pecahan kaca yang sudah Alif singkirkan ke tepi jalan."Kamu kenapa bisa disini?" "Aku tadi habis ikut penyuluhan RT terus pulangnya mampir ke warung es dawet di depan. Ini aku baru mau pulang ke rumah." jelas Arnita menceritakannya dengan singkat dan jelas."Kamu bisa jalan?" tanya Arman lagi. Pandangannya tidak lepas dari kaki Arnita yang terluka."Bisa kok mas." Arnita berjalan pelan menunjukkannya kepada Arman."Bisa dari mana? Kamu jalan aja kesusahan." Arman sedikit membungkukan badannya. Satu tangannya ia selipkan di belakang dengkul Arnita."Mas!" Arn
Arnita berusaha menahan tawanya agar tidak mengeluarkan suara yang mengganggu tidur Arman. Sudah hampir sepuluh menit Arnita terbangun. Pertama ia terbangun ia terkejut dengan Arman yang memakai piyama hello kitty miliknya. Pagi ini piyama berwarna ungu itu sudah tidak berbentuk lagi. Dua kancing piyama di bagian tengah terlepas entah kemana. Mungkin karena terlalu sempit di tubuh Arman hingga membuat kancing piyama itu terlepas dengan sendirinya. Arnita merasa kasihan dengan Arman yang terlihat tidak nyaman memakai piyama miliknya. Tangan Arnita bergerak membuka satu persatu kancing piyama. Ia hanya ingin membukakan kancing piyama itu agar Arman bisa bergerak dengan nyaman dalam tidurnya. "Hmm." tanpa sepengetahuan Arnita, Arman terbangun dari tidurnya karena gerakan tangan Arnita.Arman menundukkan pandangannya ke bawah di mana Arnita sedang sibuk membuka kancing piyama yang ia pakai. Tangan Arman langsung memegang tangan Arnita. Arnita yang sebelumnya sedang terfokus membuka kan