Arman terbangun dari tidurnya. Ia membuka matanya perlahan. Pandangannya menatap ke sekitar dengan wajah ling lung. Ia kembali memejamkan matanya begitu ingat jika semalam ia tertidur di rumah sakit. Bergegas Arman bangun dan mengambil jaket yang tersampir di sofa."Ar?" Jenny membuka matanya. Matanya mengerjap-ngerjap menyesuaikan cahaya di ruangan itu."Kamu mau kemana?" tanya Jenny dengan suara serak khas bangun tidur."Aku mau pulang." balas Arman.Jenny terlihat kecewa karena Arman akan meninggalkannya. Tapi Jenny sadar jika ia tidak akan bisa menahan Arman terlalu lama disini. "Hmm. Hati-hati Ar." ***Arman memasuki rumah dengan tergesa-gesa. Saat membuka pintu, pintu rumah sudah tidak terkunci. Tentu saja ini sudah jam enam dan pastinya Arnita sudah bangun. Arman masuk kedalam rumah dengan langkah hati-hati. Ia naik ke lantai atas menuju kamarnya. Saat tangan Arman menyentuh handle pintu untuk membuka pintu kamar, pintu itu tiba-tiba terbuka lebih dahulu sebelum Arman berhasi
Sudah tiga hari ini Arnita dilanda curiga oleh sikap Arman yang kembali seperti dulu. laki-laki itu jarang berbicara padanya karena terlalu sibuk. Arnita tidak tahu pekerjaan apa yang membuat Arman sampai sangat sibuk. Beberapa hari Arman selalu pulang larut malam.Arman akan berangkat pukul tujuh kemudian akan pulang kerumah pukul dua belas malam. Selama tiga hari selalu seperti itu. Mereka bahkan tidak punya waktu untuk mengobrol karena Arman yang baru pulang kerja merasa sangat lelah dan akhirnya langsung tertidur. Keesokannya Arman bangun dan pergi bekerja. Akhirnya tidak ada waktu untuk bicara.Satu hal lagi yang aneh dari Arman. Setiap pulang dari kantor, Arnita selalu mencium bau khas rumah sakit dari tubuh Arman. Arnita tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Arman tidak memberitahukan apapun padanya. Arnita merasa ada yang sedang disembunyikan oleh Arman darinya.CeklekPintu kamar terbuka, tanpa melihatnya
"Maaf ya Ar aku jadi ngerepotin kamu." Arman membantu Jenny duduk di sofa. Hari ini Jenny sudah diperbolehkan dokter untuk pulang setelah tiga hari dirawat inap di rumah sakit. Arman harus meng-cancel rapatnya hari ini karena ia harus membantu Jenny berkemas."Kamu nggak mau pakai pembantu?" tanya Arman. Mata Arman mengedar melihat setiap titik di sudut apartemen milik Jenny."Aku baru mau cari Ar, kamu ada kenalan yang bisa dipercaya mengurus rumah?" "Nggak ada Jen, nanti biar saya suruh Dani coba cari bantu." "Nggak perlu Ar, aku nggak enak jadi ngerepotin kamu lagi." Jenny mengibaskan selimut tipis untuk menutupi kakinya. Meski dokter sudah memperbolehkannya untuk pulang, tapi dokter masih mewanti-wanti dirinya untuk istirahat di rumah selama dua hari."Kalau gitu saya pergi sekarang." Arman kembali setelah membawa beberapa tas milik Jenny ke kamar."Hmm, makas
Air mata Arnita semakin banyak keluar. Sontak saja hal itu membuat Arman menjadi kelabakan sendiri. Arman menarik lengan Arnita untuk duduk. Tetapi Arnita lagi-lagi menepis tangan Arman."Kamu duduk dulu, saya bakalan jelasin semuanya." ujar Arman yang akhirnya membuat Arnita mau duduk.Arman mengambil tempat di samping Arnita. Badannya sedikit menyerong menghadap ke arah Arnita. Arman berdehem sebelum mulai menjelaskan kejadiannya. "Jadi perempuan yang ada di rumah sakit itu adalah teman saya, namanya Jenny." jelas Arman. Matanya terus menatap ke arah Arnita."Saya waktu itu memang sedang menjenguk Jenny di rumah sakit beberapa kali karena Jenny tidak punya keluarga disini. Dan lagi dia baru saja kembali dari Paris seminggu yang lalu.""Lalu kenapa dia hanya menghubungi mas Arman? Apa dia tidak punya teman?" tanya Arnita. Akhirnya Arnita mengeluarkan apa yang ada dalam pikirannya."Iya, Jenny
Arnita yang tengah merapikan tempat tidur melirik sebentar ke arah suaminya yang sedang bersiap akan pergi ke kantor. Arnita tersenyum kecil melihat Arman yang kesulitan memasang dasinya. Arnita meninggalkan pekerjaannya dan beralih membantu Arman bersiap. Dengan cekatan tangannya mengambil alih dasi Arman."Saya sudah menemukan pembantu yang cocok untuk rumah ini. Saya sudah mengecek semua tentang latar belakangnya." ujar Arman."Mas nggak perlu sampai mengecek mengenai keluarganya juga." balas Arnita sambil tertawa geli dengan sikap Arman yang menurutnya berlebihan."Itu pentin Nita, bagaimana kalau keluarganya orang jahat? Bagaimana kalau pembantu baru itu mempunyai niat jahat? Mengetahui latar belakangnya itu penting." ujar Arman dengan sangat yakin.Arnita hanya menganggukkan kepalanya dengan malas."Saya juga sudah memikirkan tentang permintaan kamu." Arnita mengangkat satu alisnya. "Perm
Arnita memasukkan belanjaannya ke dalam kulkas. Ia membeli beberapa bahan makanan untuk dua minggu kedepan. Arnita menata bahan masakan dengan tatapan kosong. Meski sikapnya terlihat tenang seperti biasanya, tetapi pikirannya tidak bisa tenang sedari tadi. Ia masih memikirkan banyak kemungkinan setelah pulang dari supermarket. BrukkArnita mengerjapkan matanya beberapa kali untuk mengembalikan kesadarannya. Ia sampai tidak sadar telah menjatuhkan sebungkus tepung hingga mengenai kakinya. "Apa yang aku pikirkan?" gumam Arnita. Ia menghela nafas panjang karena berpikir buruk tentang Arman."Mas Arman bukan orang yang seperti itu, nggak mungkin mas Arman selingkuh." gumamnya. Arnita terus memotivasi dirinya dengan pikiran positif.***Cintya menatap anak dan menantunya yang sedari tadi tidak banyak bicara. Hari ini anak dan menantunya itu bersikap tidak biasa. Mawar yang biasanya selalu mengambilkan makan untuk Dewa, tetapi hari ini Dewa terlihat mengurus dirinya sendiri. Mereka juga t
Arman mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk kecil di tangannya. Selesai mengeringkan rambutnya, Arman membuka lemari pakaiannya untuk mengambil baju santai. PlukPandangan Arman langsung turun ke bawah. Sebuah bungkus obat terjatuh mengenai kakinya. Saat ia menarik pakaiannya yang terletak di paling bawah, tiba-tiba sebuah benda keluar dari dalam tumpukan lipatan pakaiannya. "Obat apa ini?" Arman membolak-balik bungkus obat itu dan membacanya. "Pencegah kehamilan?" gumamnya. Matanya terbelalak melihat obat yang ada di tangannya. Arman segera memakai pakaiannya dengan tergesa-gesa. Tangannya kembali menutup pintu lemari dengan dorongan yang kuat sehingga menimbulkan suara yang cukup keras.Arman melangkahkan kakinya dengan cepat menuruni tangga. Seakan sudah hafal berapa jumlah anak tangga yang ada di rumahnya, Arman menuruni anak tangga tanpa melihat dan tanpa membuat kesalahan. Langkah lebarnya membawanya ke dapur. Matanya menjelajah ke seluruh penjuru dengan tatapan ta
Arnita kembali mematut dirinya di depan cermin. Celana kain berwarna putih panjang diatas mata kaki, dan kemeja lengan panjang berwarna tosca membalut tubuhnya. Ini pertama kalinya Arnita berpakaian seperti karyawan kantor. Biasanya ia hanya memakai dress dan rok di bawah lutut. Tidak lupa rambut panjangnya ia kuncir kuda agar tidak menghalangi wajahnya. Ini hari pertama Arnita bekerja di kantor. Ia harus berpenampilan rapi dan menarik di hari pertamanya bekerja. Kedua sudut bibir Arnita terangkat bersamaan. Arnita tidak sabar bertemu dengan Arman. Ia sangat merindukan suaminya itu. Setelah dirasa tidak ada yang kurang, Arnita melangkahkan kakinya keluar kamar. Ia masuk ke dalam mobil yang Arman belikan untuknya. Beberapa kali matanya mengawasi kaca spion belakang. Pagi ini jalanan cukup padat. Arnita menyetir sambil melihat pemandangan yang ia lewati. Ada rasa kebahagiaan tersendiri saat melihat jalanan yang padat di pagi hari. Sesampainya di kantor, Arnita pergi ke tempat layanan
"Nit?" Arman menyentuh bahu Arnita."Mas, mas kapan pulangnya?" tanya Arnita dengan bingung."Kamu dari tadi duduk di balkon nggak lihat saya masuk?" kini gantian Arman yang bingung.Sebab Arnita sudah duduk di balkon kamar cukup lama tapi tidak melihat mobil Arman masuk ke halaman. Arman juga tadi sempat memanggil Arnita saat masuk ke dalam kamar, tetapi Arnita tidak menjawabnya. Dan akhirnya Arman menemukan Arnita duduk termenung di balkon kamar."Kamu nggak papa? Apa yang kamu pikirkan sampai nggak denger saya panggil." tiba-tiba Arnita memeluk pinggang Arman sambil menyandarkan kepalanya di perut Arman."Kamu mikirin apa hmm?" tanya Arman lagi karena masih belum mendapat balasan dari Arnita."Tadi mbak Jenny datang ke rumah." gumam Arnita di perut Arman. Arnita tahu jika ucapannya pasti tidak akan terdengar jelas di telinga Arman."Hmm?" Arman bergumam mendengar ucapan Arnita yang kurang jelas.Arman menangkup wajah Arnita dan menjauhkannya dari perutnya. "Coba ulangi lagi tadi ng
Dewa merangkul pinggang Mawar sambil tersenyum lebar ke arah semua tamu. Dewa membawa Mawar semakin masuk ke dalam pesta. Mata Dewa menjelajahi setiap tamu yang datang ke pesta itu. Satu sudut bibirnya terangkat ketika melihat targetnya tertangkap oleh penglihatannya. Dewa menarik Mawar ke arah meja tersebut. Matanya tak lepas menatap laki-laki yang berdiri di kerumunan itu."Pak Dewa." sapa laki-laki paruh baya yang berada di kerumunan itu."Selamat malam pak Albert." Dewa balas menyapa pria paruh baya itu dengan ramah."Selamat malam pak Atlas." sapa Dewa dengan menekan nama laki-laki di depannya itu.Dewa merasakan atmosfer disekitarnya berubah menjadi canggung dan tegang. Ia menatap Atlas di depannya yang terlihat kikuk saat melihat kehadirannya."Selamat malam pak Dewa." balas Atlas.Beberapa kali Dewa menangkap tatapan Atlas yang mencuri lirik ke arah istrinya. Dewa menatap istri Atlas yang terlihat seperti tidak tahu apa-apa yang sudah diperbuat suaminya di belakangnya."Bagaim
Arnita menunggu Arman di meja makan. Kepalanya terus menatap ke arah pintu menunggu kedatangan Arman. Dua porsi sate yang tadi ia beli sudah disiapkan di piring. Karena Arman terlalu lama berada diluar, Arnita jadi berpikir untuk memanggil Arman untuk segera masuk ke dalam. Perutnya sudah lapar minta diisi."Mas Arman." panggil Arnita sambil kepalanya celingukan mencari keberadaan suaminya itu.Seketika Arnita sadar jika mobil suaminya yang tadi terparkir di halaman rumah sekarang sudah tidak ada lagi disana. Arnita terdiam berpikir apa yang sebenarnya sudah terjadi. Apa Arman pergi lagi setelah mengangkat telepon tadi? Sepertinya memang ada hal penting yang Arman lakukan saat ini.Dengan langkah lesu Arnita kembali melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah. Ia kembali membungkus sate milik Arman dan menyimpannya. Arnita kemudian menghabiskan seporsi sate ayam seorang diri di meja makan.Selesai makan Arnita menunggu Arman pulang di depan tv. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh mala
Kandungan Arnita sudah memasuki bulan ketiga kehamilan. Tak terasa perut Arnita semakin membesar. Seperti menjadi kebiasaan baru Arman, setiap kali Arnita berada di dekatnya ia selalu mengelus perut istrinya itu. Hingga kadang Arnita kesal kepadanya karena risih dengan sikapnya itu.Hingga sampai sekarang Arman belum memberitahu mamanya tentang kehamilan Arnita. Tapi rencananya Arman akan memberitahu mamanya dalam waktu dekat. Ia akan membawa Arnita ke rumah.Arman menggeser layar tab nya. Keningnya berkerut melihat berita sebuah agensi model yang ia ketahui Jenny menjadi salah satu model disana itu sedang terjerat kasus penipuan. Arman membuka artikel berita tersebut dan mencari tahu kebenarannya. Ia tercengang jika agensi tersebut benar-benar melakukan tindakan penipuan. Bukan hanya menipu modelnya saja, tetapi juga menipu pengusaha lain yang menggunakan jasa modelling perusahaan tersebut. Kasus itu juga ikut menyeret para model di perusahaan tersebut dan Arman melihat nama Jenny ju
"Makasih ya Ar udah mau temani aku makan." ujar Jenny."Hmm." "Istri kamu nggak akan marah kan?" tanya Jenny hati-hati. Arman menggelengkan kepalanya."Oh iya untuk perpanjang kontrak yang kamu tawarkan sepertinya aku nggak bisa ambil." tangannya memainkan pisau dan garpu di atas steaknya.Arman mendongakkan sedikit kepalanya untuk menatap perempuan di depannya. "Kenapa?" "Emm, bukannya aku nggak tertarik mau ambil perpanjangan kontrak yang kamu tawarkan. Tapi aku mau mencoba untuk ekspor modelling yang beda dari sebelumnya.""Manajer aku bilang kalau ada salah satu merk fashion ternama di Indonesia yang nawarin kerja sama dengan aku. Aku harap kamu nggak tersinggung sama keputusan aku."Arman menganggukkan kepalanya pelan. Ia mengerti jika Jenny ingin mencoba dunia modelling lain yang ada di negara ini. Itu juga akan mempermudah karirnya di negara ini."Bagus kalau kamu mau ekspor dunia modelling disini." balas Arman.Jenny lega mendengar jawaban Arman yang mendukung keputusannya.
Arman menyandarkan kepalanya ke bahu Arman. Kakinya diluruskan sampai ujung kakinya menyentuh batas ujung sofa yang ia duduki. Tangannya asik menggeser layar ponselnya. Disisi lain Arman terlihat sibuk dengan tab di tangannya. Ia tidak sama sekali tidak kelihatan pegal saat Arnita menyandarkan tubuhnya ke tubuh Arman. Arman melepas kacamata yang bertengger di hidungnya dan meletakkan tab di tangannya ke atas meja. Ia sedikit menggerakkan tubuhnya dengan pelan."Kamu sudah minum susu hamilnya?" tanya Arman."Belum." balas Arnita pelan seperti gumaman."Kenapa belum? Ayo minum susunya dulu." Arman mengambil ponsel yang ada di genggaman Arnita.Arnita sempat memasang wajah kesalnya saat Arman tiba-tiba mengambil ponselnya. Namun segera ia merubah raut wajahnya saat Arman menatapnya dengan tatapan tajam. "Jangan main ponsel terus. Ayo saya buatkan susu." Arman menggandeng lengan Arnita ke dapur. Ia menyuruh Arnita untuk duduk sambil menunggunya selesai membuatkan susu untuk Arnita."Mi
Mawar berjalan berlenggak-lenggok memasuki lobi hotel. Dengan masker dan kacamata hitam yang menghiasi wajahnya tidak akan membuat orang lain mengenalinya. Mawar berjalan ke arah meja resepsionis."Ada yang bisa saya bantu bu?" tanya resepsionis hotel tersebut dengan ramah."Saya ingin ambil kunci nomor 506." ujar Mawar."Atas nama siapa bu?" "Pak Atlas." "Tunggu sebentar ya bu." "Silahkan di isi data diri ibu disini." resepsionis wanita tersebut menyerahkan buku tamu kepada Mawar.Setelah mendapatkan kunci kamar milik Atlas, Mawar masuk ke dalam lift menuju lantai lima hotel tersebut. Langkahnya berhenti di depan pintu bernomor 506. Dengan menempelkan kartu akses, pintu itu sudah bisa terbuka.Mawar masuk ke dalam kamar itu. Matanya menyoroti setiap sudut ruangan. Satu sudut bibirnya terangkat ke atas membentuk sebuah senyum miring. Diambilnya pigura foto yang ada di atas meja. Terlihat sebuah keluarga bahagia di foto itu. Tiitt tittSuara seseorang yang baru saja menempelkan kar
Alif dan Arnita menengokkan kepalanya ke belakang secara bersamaan. Terlihat mobil Arman yang berhenti tepat di belakang mereka. Arman berjalan cepat menghampiri mereka berdua dengan tergesa-gesa. Arnita meneguk ludahnya dengan susah payah ketika melihat Arman terus menatap Alif dengan begitu intens."Kaki kamu kenapa?" tanya Arman dengan khawatir."Ini tadi nggak sengaja nginjek pecahan kaca mas." ujar Arnita sambil menunjuk ke pecahan kaca yang sudah Alif singkirkan ke tepi jalan."Kamu kenapa bisa disini?" "Aku tadi habis ikut penyuluhan RT terus pulangnya mampir ke warung es dawet di depan. Ini aku baru mau pulang ke rumah." jelas Arnita menceritakannya dengan singkat dan jelas."Kamu bisa jalan?" tanya Arman lagi. Pandangannya tidak lepas dari kaki Arnita yang terluka."Bisa kok mas." Arnita berjalan pelan menunjukkannya kepada Arman."Bisa dari mana? Kamu jalan aja kesusahan." Arman sedikit membungkukan badannya. Satu tangannya ia selipkan di belakang dengkul Arnita."Mas!" Arn
Arnita berusaha menahan tawanya agar tidak mengeluarkan suara yang mengganggu tidur Arman. Sudah hampir sepuluh menit Arnita terbangun. Pertama ia terbangun ia terkejut dengan Arman yang memakai piyama hello kitty miliknya. Pagi ini piyama berwarna ungu itu sudah tidak berbentuk lagi. Dua kancing piyama di bagian tengah terlepas entah kemana. Mungkin karena terlalu sempit di tubuh Arman hingga membuat kancing piyama itu terlepas dengan sendirinya. Arnita merasa kasihan dengan Arman yang terlihat tidak nyaman memakai piyama miliknya. Tangan Arnita bergerak membuka satu persatu kancing piyama. Ia hanya ingin membukakan kancing piyama itu agar Arman bisa bergerak dengan nyaman dalam tidurnya. "Hmm." tanpa sepengetahuan Arnita, Arman terbangun dari tidurnya karena gerakan tangan Arnita.Arman menundukkan pandangannya ke bawah di mana Arnita sedang sibuk membuka kancing piyama yang ia pakai. Tangan Arman langsung memegang tangan Arnita. Arnita yang sebelumnya sedang terfokus membuka kan