Sementara Martin yang merencanakan kepulangannya ke Newland. Di mana dia bisa menggunakan seluruh fasilitasnya di sana, mengingat di Newland segala sesuatu yang diperlukan semua ada, dan tidak bersembunyi lagi untuk melawan Leonardo.Jesica masih berperang dengan perasaannya sendiri, apakah ia ingin ikut bersama sang Suami atau tetap tinggal di Souland bersama dengan Ibunya.Martin kembali ke kamarnya, terlihat Jesica yang sedang bersandar dari ranjang langsung beranjak berdiri menghampiri sang Suami."Apa kamu sudah memutuskan?" tanya Martin lembut."Martin, apakah aku boleh meminta waktu untuk tinggal bersama dengan orang tuaku terlebih dahulu, aku janji setelah mendapatkan jawaban akan langsung menyusul kamu ke Souland," jawabnya yakin.Martin mengepalkan tangannya, ia memaksakan sebuah senyum, pria itu mengambil sesuatu dari laci, sebuah Black Card yang isinya tanpa batas."Aku tidak bisa memaksa kamu untuk tinggal bersamaku, hanya ini yang bisa aku berikan, aku harap kamu menjalan
Ada kata-kata yang mengatakan, jika hubungan rumah tangga akan awet saat mereka bisa saling mengerti satu sama lain. Mungkin kata-kata itu benar adanya.Martin yang berusaha keras untuk mengerti sang Istri, dengan memberikan kebebasan padanya untuk memilih. Sementara sang Istri tidak berusaha mengerti kondisi Martin yang ingin menjauhkannya dari bahaya.Dari situ saja sudah jelas, kalau mereka tidak bisa mengerti satu sama lain. Ego Jesica masih terlalu tinggi. Martin terlalu baik membiarkan Jesica bersikap semaunya. Sementara Jesica tidak mengindahkan perkataan Martin sama sekali, wanita itu cenderung masih mementingkan dirinya sendiri dibandingkan dengan perasaan sang Suami. Sebab itulah ada mis komunikasi diantara keduanya.Sekarang keduanya sedang berada dalam masa dilema, antara membenarkan keputusan masing-masing atau malah salah mengambil keputusan. Namun, semua itu sudah terjadi dan Martin sudah memutuskan untuk mematikan perasaannya agar bisa fokus menyelesaikan masalah yang
Martin masih membaca email dari orang-orangnya di laptop milik Norman. Ia tampak sangat serius membaca semua laporan tersebut.Norman, Ivan dan Daryl tidak berani menegur sama sekali, mereka bertiga diam menunggu Martin berbicara terlebih dahulu."Daryl, apa kamu tahu dimana Istri dan Anak Leonardo berada?" tanya Martin masih menatap laptop.Daryl menggelengkan kepalanya. "Saya tidak tahu sama sekali Tuan. Bahkan saya tidak tahu kalau dia sudah menikah atau belum," jawabnya yakin.Martin memegang dagunya dan bertanya, "jadi selama ini tidak ada yang tahu dia sudah menikah atau tidak, begitu maksudmu, Daryl?" "Benar Tuan, kami tidak pernah tahu dia sudah menikah atau belum. Kemungkinan yang tahu Leonardo luar dalam, mereka yang selalu bersamanya," jawab Daryl lagi."Mereka yang selalu bersamanya ...." Martin menyenderkan tubuhnya di kursi, pria itu tampak berpikir sebentar, lantas bertanya lagi, "apa kamu mengenal orang yang selalu bersama Leonardo?" Daryl mengangguk. "Saya pikir ada
Leonardo di ruangannya bersama dengan Helinsiki. Seperti kata Daryl, pria itu memang hampir selalu ikut kemanapun Leonardo pergi, termasuk di kantornya."Galard belum memberiku kabar sama sekali semenjak ia akan memulai penyerangan terhadap Martin, apakah menurutmu dia juga gagal?" tanya Leonardo serius sambil menopang dagunya dengan kedua tangan yang saling bertautan."Saya tidak tahu Tuan, selama ini yang bisa menghubungi Galard cuma anda seorang," jawab Helinsiki jujur.Leonardo menghela napas berat, ia menyenderkan tubuhnya di kursi. Terlihat wajah kesal pira itu, mengingat tidak biasanya Galard akan mengabaikan dirinya.Galard orang yang sangat Leonardo percayai selain Helinsiki, pasalnya pria itu selalu menjalankan misi sesuai dengan perintah yang ia berikan."Aku mungkin terlalu khawatir padanya," ucap Leonardo tidak berdaya.Tok! Tok!Terdengar suara ketukan pintu dari luar. Leonardo menatap Helinsiki menyuruhnya membuka pintu. Bawahan setia Leonardo itu mengangguk mengerti mem
Martin sampai di pelabuhan ketika larut malam, pria itu sengaja tidak ingin terlihat oleh orang lain saat sampai di sana.Bawahan Norman yang sudah diberitahu perihal Martin yang akan secara langsung memimpin transaksi, mereka langsung menyambutnya."Selamat datang Tuan besar, mari ikut saya," ajak bawahan Norman sopan.Martin mengangguk, ia mengikuti bawahan Norman, masuk ke sebuah kontainer yang sudah di sulap menjadi rumah yang sangat nyaman.Pria itu menyapu pandangannya ke seluruh isi kontainer, ia cukup puas dengan tempat yang di sediakan bawahan pamannya tersebut."Maaf Tuan, hanya tempat ini yang bisa saya sediakan," ucap bawahan Norman sopan."Tidak apa, ini cukup bagus. Siapa nama kamu?" tanya Martin sambil duduk."Raka Tuan," jawabnya sopan.Martin mengangguk pelan. "Jam berapa kapal akan berangkat?" "Jam delapan, nanti saya akan jemput Tuan, istirahatlah dengan nyaman," jawabnya sopan.Martin mengangguk lagi. Raka langsung pamit undur diri, ia sebenarnya sangat gugup saat
Ke esokan harinya Martin dibangunkan Raka, ketika Kapal akan berangkat menuju Arkansas. Bawahan Norman tersebut tidak berani bertanya apa pun kepada Martin, meski ia selalu ada di samping Martin saat di dalam Kapal."Kenapa? Apa kamu takut?" tanya Martin sambil menatap lautan."Jujur iya Tuan," jawab Raka lemah."Kamu masih sangat muda, apa memiliki keluarga sampai setakut itu?" tanyanya lagi.Raka menggelengkan kepala. "Saya sudah hidup sebatang kara dan kebetulan ikut Tuan Norman saat dia masih gelandangan," jawabnya jujur."Begitu ternyata, apa kamu tahu kenapa aku memberikan kesempatan padamu?" cecar Martin.Raka menggelengkan kepalanya, ia memang tidak tahu sama sekali apa yang ada didalam pikiran Martin."Keluarga, semua yang masuk dalam Kelompoknya Mafia Luther adalah keluarga, jangan meragukan keluarga kalian yang berada di atas. Jika semua yang kamu lakukan benar, pastikan musuhmu terbunuh dan beritahu ke kami masalahnya secara langsung, apa kamu mengerti, Raka?" tanya Martin
Martin masih menatap wajah wanita itu dengan seksama, si wanita juga semakin mendekatkan wajahnya. Ia sudah tertarik dengan Martin, mengingat semenjak pertama datang pria itu tidak menyentuhnya sama sekali.Martin sedikit menoyor kepala wanita itu dengan jarinya sambil tersenyum. "Kau masih bocah, seharusnya fokus dulu dengan belajarmu," ucapnya sambil memalingkan wajah dan menenggak minuman yang ada di tangannya.Si wanita menggembungkan pipinya, ia kesal ternyata Martin masih kekeh dengan pendiriannya."Siapa nama kamu?" tanya Martin sambil menatap lautan."Buat apa tanya nama ku, lagian kita juga tidak akan bertemu lagi dan Anda terlalu suci untukku," jawabnya ketus.Martin menoleh, melihat si wanita yang sedang menenggak minuman digelasnya. Entah kenapa ia sedikit tertarik dengan wanita tersebut yang tampak tidak takut sama sekali dengan dirinya. Meskipun tahu kalau ia seorang pemimpin Mafia."Andai, Istriku seperti kamu, mungkin aku akan menghanyutkannya ke laut," celetuk Martin t
Ke esokan harinya Martin keluar dari hotel pagi-pagi buta. Tentu saja hal tersebut membuat Raka dan yang lainnya terkejut."Tuan, anda mau kemana?" tanya Raka yang berjaga di depan pintu kamar Martin semalaman."Ke taman kanak-kanak yang di kunjungi Leonardo, siapkan mobil segera!" perintah Martin sambil berjalan cepat.Raka langsung mengambil ponselnya, menghubungi bawahannya yang berjaga di depan hotel untuk menyiapkan mobil.Sesampainya di bawah Mobil sudah di siapkan. Raka bergegas membukakan pintu untuk Tuannya dan dia sendiri yang mengemudi untuk Martin.Bawahan Raka langsung bergegas mengikuti Mobil yang di naiki Martin dari kejauhan, agar mereka tidak terlihat mencolok.Setelah satu jam perjalanan, Mobil yang di naiki Martin sampai di taman kanak-kanak di mana Leonardo pernah datang ke sana."Kamu tunggu di sini, aku akan masuk sendirian!" perintah Martin sembari keluar dari Mobil.Raka hanya menganggukkan kepalanya patuh. Ia langsung menghubungi bawahannya agar mengawasi daera