98. BERHARAP (Bagian B)Usman segera menggelar karpet di sisi ranjang Galuh, dan juga satu karpet di sisi ranjang Ellen. Setelahnya dia ikut membereskan makanan dan buah-buahan yang tadi dijinjing oleh Dewi."Istirahat, Bu!" pintanya pada Mai yang masih terlihat sangat sedih."Hah … Ibu ini tidak capek, Man. Tidak mengantuk juga, kalau bisa Ibu mau menggantikan posisi adikmu saja!" jawab Mai dengan nada getir."Mbak, ikhlaskan! Nanti sampeyan ikut sakit," kata Ajeng menepuk bahu Mai. “Jangan ngomong begitu, kita harus kuat!” ujar Ajeng tegas.Dia juga sedih, dia terpukul, dan dunianya juga hancur. Tapi semua sudah terjadi, dan tidak akan bisa diperbaiki, maka Ajeng berusaha berdamai dengan kenyataan."Sedih aku, Jeng! Ngeliat ke kanan, menantuku yang sakit. Ngeliat ke kiri, anakku yang terbaring sakit," kata Mai hampir terisak. “Bagaimana aku bisa kuat?” tanyanya pelan."Sudah-sudah, Buk! Benar kata Ajeng, ikhlaskan! Maka akan Allah ganti dengan yang lebih baik," ujar Rohman sambil me
Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas99. ASING NAMUN AKRABPOV GALUHSakit! Kepalaku terasa sangat sakit seolah tengah dipukul dengan godam yang sangat besar, dan aku baru menyadari kalau aku berada di suatu tempat yang sangat asing di indra penglihatanku. Tempat yang dipenuhi dengan rumput hijau seperti lapangan luas atau padang rumput, dan sebuah pohon di tengah-tengah nya, yang sedang aku jadikan tempat bernaung saat ini.Ini dimana?Aku sebelumnya tidak pernah berada di sini, bahkan melihatnya pun tidak pernah. Padahal sudah dua puluh delapan tahun aku hidup di dunia ini, namun aku tidak tahu dan tidak punya ide saat ini sedang ada di mana.Di desaku tidak ada padang rumput sehijau ini, setenang ini, dan sedamai ini. Di sana hanya ada kebun sawit, atau hamparan hutan belukar.Jadi, aku saat ini ada di mana?Aku mencoba menggali ingatanku, namun tak kutemukan apapun di dalam sana. Ah, tidak bisa begini. Mau sampai kapan aku diam dan menunggu nasib yang tak jelas?Aku bangkit d
Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas101. BAPAK DAN ANAK (Bagian A)"BAPAK?!" Aku berseru kaget, merasa gamang antara yakin dan tidak dengan penglihatanku sendiri dan segera berlari, entah kenapa aku merasa ketakutan kalau sosok yang persis seperti Bapak itu akan pergi dan menghilang. Walau tertatih dengan rasa sakit yang mendera, namun aku tetap berusaha berlari sambil tetap menggendong anak kecil yang tadi aku jumpai.Hosh hosh hosh ….Nafasku tersengal-sengal, entah kenapa pohon yang seharusnya dekat itu terasa sangat jauh untuk kugapai. Namun semakin dekat aku bisa melihatnya, Bapak, aku yakin itu adalah Bapak. Postur tubuhnya, dan cara duduknya, tak salah lagi itu pasti Bapak. "Pak! Bapak!" Aku berteriak.Jarak kami yang tidak sudah tidak terlalu jauh, membuat dia bisa mendengar suaraku dan mendongak. Wajahnya berkerut keheranan, matanya memicing tajam, dan akupun segera kembali berjalan agar bisa secepatnya sampai ti tempat itu."Galuh?!" pekiknya tak percaya.Aku mengham
102. BAPAK DAN ANAK (Bagian B)"Galuh, kau tidak boleh di sini! Kau harus menjaga Ibu dan juga Kakak-kakakmu!" kata Bapak sambil mencengkram bahuku.Melihat raut wajahnya dan ketakutannya, aku menyadari ini tempat apa. Yah, tidak mungkin bapak yang sudah meninggal lima belas tahun yang lalu tiba-tiba hidup kembali, aku merasa ingin menangis. "Apa Galuh sudah mati, Pak?" tanyaku dengan nada bergetar."Tidak! Tidak! Kamu belum mati, Bapak yakin itu," kata Bapak dengan tenang."Jadi? Kenapa aku bisa di sini?" tanyaku entah pada siapa."Entahlah, bapak juga tidak mengerti," kata Bapak lagi.Hening, kami sama sekali tidak mengeluarkan suara setelahnya. Aku segera menatap ke bawah, tangan mungil anak kecil tadi kembali menarik-narik bajuku."Apa?" tanyaku padanya."Galuh?" tanyanya gamang, dia menatapku dengan pandangan kosong.Aku heran, kenapa pula anak kecil ini menyebut namaku? Bapak menatapnya dengan pandangan yang sama."Iya, nama Om adalah Galuh!" kataku menjelaskan."Dia siapa?" ta
Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas104. KESADARAN GALUH (Bagian A)"Papa!" Suara itu terdengar."Pa!" Lagi."Papa bangun, Mama butuh Papa!" Lagi."Pa!" Dan lagi.Suara anak kecil yang baru aku tahu adalah anakku, terdengar berbisik di telingaku dengan sangat lirih. Seolah menyemangatiku untuk segera bangkit, namun rasa sakit di tubuhku seolah menahan segala pergerakan yang ingin aku lakukan.Dulu, dulu sekali. Waktu remaja dan darah muda masih menggelora di dada, aku pernah mengalami hal ini. Berhari-hari terkapar kesakitan, akibat melakukan adu jotos dengan kakak kelas. Takut pulang, hingga menginap di rumah Sugeng selama satu Minggu. Di urus oleh Bu Atik, ibunya Sugeng, dengan sepenuh hati. Kesakitan yang dulu, dan yang sekarang, terasa amat berbeda, aku sulit sekali untuk keluar dari alam bawah sadar. Apa mungkin karena aku sudah tidak mempunyai darah muda lagi? Atau karena aku takut meninggalkan anakku sendirian di alam sana?Anakku, yang belum pernah aku sentuh, belum per
105. KESADARAN GALUH (Bagian B)"Galuh! Ya Allah anakku!" Suara Ibu yang diiringi isak tangis tangisnya, benar-benar menyayat hatiku. Benar apa yang dikatakan Ellen, Ibu sudah berubah, dan dia benar-benar menyayangiku saat ini."Nang! Galuh! Pak panggil dokter!" Ah, Ibu mertuaku. Karena jasanya yang tak terhingga lah makanya aku bisa bersama dengan Ellena kini, dia lah yang meluluhkan hati Bapak agar mengizinkan anak kesayangannya dilamar olehku yang hanya pengangguran tak jelas saat itu.Ah ….Aku hampir mendesah saat merasakan sakit di lengan kananku, rasanya seperti di suntik oleh sesuatu karena terasa ada cairan yang masuk ke dalam tubuhku. Namun tak bisa, bibirku terasa amat kering sehingga amat sulit untuk mengeluarkan suara."A—air," lirihku mencoba berbicara.Kak Dewi dengan tanggap memberikan minum dengan sendok, tetes demi tetes air berhasil mengaliri kerongkonganku yang terasa amat kering dan juga panas.Alhamdulillah, kelegaan mengambil alih kerongkonganku. Rasanya seper
Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas106. HARUS JAWAB APA? (Bagian A)POV AUTHOR "Bang, sini!" Dewi menarik tangan Abdul dengan tergesa-gesa, Usman yang juga berada di sana sampai terkaget-kaget saat melihat keberingasan Dewi tadi. Karena takut terjadi sesuatu, Usman segera mengikuti pasangan suami istri itu.Di depan sana Usman bisa melihat Abdul yang juga tengah menolehkan kepalanya ke belakang, menunjukkan raut bertanya. Usman mengangkat bahu karena dia pun tak tahu apa-apa, jika Abdul yang berstatus sebagai suami Dewi saja tidak tahu, bagaimana bisa dia tahu?Dewi berhenti di kantin rumah sakit, duduk di salah satu kursi dan matanya segera memicing tajam melihat seksama dua pria yang sekarang duduk di depannya.Satu suaminya dan yang satu temannya semenjak kecil. Dua pria yang kini hanya bisa menatap Dewi dengan pandangan bertanya-tanya."Ada apa, sih, Dek?" tanya Abdul pelan."Apa yang kalian sembunyikan?" tanya Dewi balik.Tajam, lurus, dan tanpa tedeng aling-aling. Pertany
107. HARUS JAWAB APA? (Bagian B)Suara Ahmad terdengar tenang dan juga berwibawa, pakaian nya yang putih bersih sangat cocok dengan wajahnya yang terlihat sangat teduh."Dari kantin, Pak!" kata Abdul sambil menyalami tangan Ahmad."Kapan datang, Pak, Bu?" tanya Usman setelah bergantian ikut menyalami kedua orang tua Abdul."Dari tadi, sih," kata Bu Zainab sambil tersenyum kecil."Kenapa Bapak dan Ibu di luar? Bukannya di dalam ada sofa dan karpet? Ruangan Galuh juga cukup luas," kata Usman ikut mendudukkan dirinya di samping Abdul, yang sudah lebih dahulu duduk."Iya, kami baru saja keluar, kok. Karena di dalam ada dokter yang memeriksa Ellen, dia sudah sadar." Ucapan dari Zainab, sukses membuat Usman melotot dan tak lama kemudian dia segera melakukan sujud syukur."Alhamdulillah, ya Allah …." "Alhamdulillah, hu hu hu, adikku akhirnya sadar …." Dia bersyukur di sela tangisannya."Alhamdulillah ya Allah, akhirnya engkau ijabah doa kami." Abdul berujar dengan sangat haru."Pak, Bu, se