Entah kebetulan atau bagaimana, mobil Lambhorgini Aventador berhenti di depan garasi yang menjual mobil-mobil langka. Dia sempat berkenalan dengan pemilik garasi, lalu pergi menyusuri bundaran.
“Hmm, enaknya di kafe mana...”
Davin keliling sejenak, dia bingung harus santai di kafe sebelah mana. Banyak sekali kafe menarik di situ. Hari ini dia ingin duduk santai di sebuah kafe mahal, bukan warung kopi murah yang selalu menemani hari-harinya waktu masih miskin.
“Dyaja Djiwa, nama yang unik, semoga tidak hanya namanya yang unik.” Davin melangkahkan kakinya menuju sebuah kafe lantai dua. Kafe itu cukup besar untuk disebut kafe. Ukurannya mungkin bisa menampung puluhan orang.
Begitu dibuka, pemandangan pertama yang terlihat adalah wanita-wanita pemuas dengan pakaian minim. Davin tidak tertarik meskipun beberapa wanita cantik menawarinya bermain. Beberapa nampak acuh karena Davin hanya mengenakan celana tiga perempat dibalut kaos oblong.
Tangannya hampir saja meremas dada Claudia, tapi Claudia berhasil berontak. Dia menginjakkan sepatu hak tingginya ke kaki lelaki itu. “Joni, apa kamu sudah gila!” bentak pelayan laki-laki teman akrab pria hidung belang bernama Joni. “Diam kau, Romi, aku tidak tahan lagi melihat kemolekan tubuh wanita ini! Jangan bergerak atau kau dan rekan-rekanmu jadi pelampiasan kemarahanku!” Joni bertubuh kekar, sepertinya dia preman yang berkuasa di daerah itu. Bahkan laki-laki dengan perawakan Romi saja takut ketika Joni mengancamnya. “Bukan itu, Jon, aku teman dekatmu, aku tidak ingin kau kenapa-kenapa karena salah milih target.” Romi memasang wajah melas, dia takut yang digarap Joni adalah seorang anak miliarder. “Hmm?” “Dia anak bungsu Keluarga Latusia, aku tidak ingin hal buruk terjadi padamu.” Ternyata Romi tahu yang datang adalah Claudia. Sepertinya wajar, toh Claudia sering masuk majalah kecantikan negara. Kemolekan tubuh da
Romi mengantar Davin naik dan Davin langsung mendobrak kamar itu dengan sekali tendang. Romi langsung lari karena takut Joni marah atas perbuatannya. Pakaian Claudia sudah dilucuti, hanya tersisa daleman atas dan bawah. Joni siap meluncurkan rudalnya ke tameng Claudia, tapi Davin datang tepat waktu. “Bangsat kau! Apa kau tidak mengenalku? Aku Joni Taruna, kepala preman di daerah ini!” Joni marah dan melempar remot televisi yang ada di atas kasur. Davin berhasil menghindar dan segera menendang Joni dengan tendangan sabit memutar. Prak! Rahang Joni jadi target. Dia terpental hingga menabrak laci. Joni meringis kesakitan. “Aku tidak peduli siapa kau! Laki-laki yang melecehkan gadis polos sepertinya tidak bisa dimaafkan!” Davin loncat ke atas kasur dan menghujani Joni dengan pukulan tepat di wajah. Darah mengalir dari hidung Joni, pandangannya mulai kabur. Davin melihat Claudia yang masih ketakutan, dia lengah. Rasa iba menghancurk
Romi mengobati luka Davin lalu memanggil dua temannya untuk membereskan bercak darah yang menempel di lantai. Tubuh Joni disembunyikan di ruangan khusus bagian belakang kafe agar para pegawai kafe tidak dituduh sebagai tersangka.Claudia keluar dari kamar mandi menggunakan pakaian lengkap. Dia mengambil gunting dan merobek bagian atas kemejanya, tak lupa juga menggunting salah satu tali dalamannya untuk memperkuat tuduhan kepada Davin.Davin masih merintih dan Claudia tidak peduli akan hal itu. Romi dipanggil mendekat dan diminta mengangkat tubuh Davin ke atas ranjang dengan imbalan uang dua juta.“Kamu mau uang? Aku bisa membayarmu mahal, tapi dengan satu syarat...”Romi mulai buta. Selain memiliki hati nurani, dia juga punya nafsu bejat. Uang bisa membunuh kemanusiaan. Dan itu yang terjadi di kafe ini.“Anda pasti bohong, Nona?” ragu Romi. “Dua juta hanya untuk membopong tubuh laki-laki itu ke atas ranjang ... jangan
“Ha...” Davin melongo, untuk membalas ucapan Claudia saja hampir tidak mampu.“Udah, diam aja, dari pada kamu mati karena banyak omong! Tuh liat lukamu, darahnya makin deres tiap kali kamu buka mulut! Eits ... tapi bagus, sih, kalau kamu mati di sini. Tidak ada lagi biang kesialan yang terus menghantui keluargaku.”Dak!Dak!Dak!Suara derapan kaki terdengar nyaring menaiki anak tangga kayu kafe Djaya Djiwa.Tiga orang datang, salah satunya memakai pakaian polisi lengkap disertai pistol peredam suara. Dia membawa surat perintah, entah formalitas, atau memang surat perintah resmi.“Angkat tangan!” Julius menodongkan senjatanya ke arah Davin.“Jangan bergerak, kau tertangkap basah melakukan tindak kriminal, melecehkan anak miliarder, serta niat menyetubuhi anak sulung Gerald selaku kepala Keluarga Latusia. Perbuatanmu tidak bisa dimaafkan!”“Aaaaaaaa!” Claudia pur
“Sidang dilakukan pukul sembilan nanti. Hakim agung siap mengadili pria ini, aku sudah mengabari Pak Taruma.” Inez, sekretaris Julius, menyiapkan berkas dan laporan yang akan dibacakan oleh majelis hakim.“Kamu nanti ikut,” kata Julius pada Romi.“Saya ikut? Ta-tapi...” Romi kembali merinding. Claudia terus menatapnya tanpa henti. Tatapan itu seolah berkata, ikutlah jika ingin kafe dan hidupmu aman sejahtera.Romi gemetar dan langsung bersedia menjadi saksi di persidangan nanti. Dia terpaksa, meskipun hati nuraninya menolak permintaan itu mentah-mentah.Julius kembali bertanya pada Davin, tapi lelaki itu tidak menjawab sepatah katapun.“Kapan kamu datang ke kafe? Apa saja yang kamu lakukan di kamar ini, berdua dengan Nona Claudia? Dan jika kamu ingin membela diri, bukti apa saja yang bisa kamu berikan pada kami?” Tiga pertanyaan dilempar, tapi Davin tetap diam.Kevin marah dan langsung memukuli
“Baik, aku ke sana lima belas menit dari sekarang. Tunggu aku! Akan kuhancurkan seisi kantor polisi, termasuk oknum polisi yang nekat menjebak Davin. Dia harus dihinakan, harus lebih rendah dari tanah!”Melvin menutup telepon. Dia lantas berangkat menuju kantor kepolisian cabang. Dengan mobil BMW merah, lelaki itu melesat cepat dari kafe, tidak peduli dengan kemacetan ibukota.Hanya butuh waktu lima belas menit sampai Melvin sampai di kantor polisi.“Tunggu, Anda harus diperiksa! Selain anggota, tidak boleh ada yang sembarangan masuk ke pangkalan. Setiap tamu harus menjalani protokol keamanan, tak peduli walau dia merupakan anggota keluarga salah satu petinggi di sini.”Salah satu polisi kumis tebal memeriksa sekujur tubuh Melvin, dia bisa sabar karena penjaga gerbang kantor polisi melakukan SOP sesuai yang diatur di undang-undang.“Aman?” tanya polisi dengan name tag Rakha.“Tidak ada masalah,
Kartu!Dua bawahan Julius bergetar hebat, sampai-sampai kaki mereka tidak bisa digerakkan.“Ammar, kamu tahu kartu apa itu? A-aku pernah melihatnya, tapi entah di mana. Itu kartu yang hanya dimiliki jajaran miliarder dunia...”“A-aku ti-tidak mau ikut cam-campur urusan ini.” Ammar menjawab dengan bibir gemetar, dia punya dua anak di rumah. Apabila dia ikut campur masalah ini, bisa-bisa dia dipecat dari kepolisian. Bagaimana caranya menafkahi keluarga setelah dipecat nanti?Melihat kartu hitam dengan sepuhan emas Nayama membuat mereka mati kutu.Ammar menepuk pundak Julius dan kartu itu diberikan kepadanya. “Sa-saya berhenti jadi bawahan Anda, Pak, saya masih sayang keluarga. Tidak ada lagi yang bisa saya andalkan selain menjabat jadi anggota kepolisian dengan gaji halal.”“Haaa...” Julius terkejut. “Jangan seenaknya berbicara seper...”“Kartunya!” Ammar menaikkan
Sebuah mobil jeep parkir di depan kantor kepolisian. Hanya melihat plat nomornya, semua anggota polisi bergidik ngeri. Tujuh belas orang polisi membentuk barisan di kiri dan kanan.“Hormat ... grak!” pimpin salah satu anggota.Senapan diangkat vertikal untuk memberi penghormatan pada penumpang mobil tersebut, hingga pintu dibuka, tidak ada bising terdengar di sekitar mobil.Brek!Dua orang berpakaian preman turun dari kursi depan. Satu menata barisan para polisi, satunya lagi membukakan pintu untuk empunya mobil. Begitu dia keluar, semua polisi meneguk ludah karena rasa takut menguasai alam bawah sadar mereka.“Di mana komandan kalian?” tanya lelaki itu.Tidak ada yang berani menjawab. Melihat sepatunya saja sudah membuat para polisi merinding. Hening tercipta, sampai pria itu menarik kerah salah satu polisi yang ada di depannya.“Jawab!”“Ko-komandan Markus ada di dalam kantor, Jendera