Permintaan Maaf yang Tak Tahu untuk Apa
Citra
Sudah terhitung dua malam sejak kejadian itu, perasaanku masih sama seperti terakhir kusebutkan. Merasa jijik dengan diriku sendiri, karena sudah menaruh harapan. Padahal aku sudah berjanji tetap menjaga kesucianku sampai perkawinan ini berakhir, tapi akhirnya malah kuberikan begitu saja.
Sudah begitu, dia tak ingat apa yang terjadi pula!
Apa aku ini terlalu murahan?
“Ibu terlihat murung, ada masalah apa bu?” tanya Risa, pelayan muda itu memang selalu ada di dekatku. Bisa dibilang ia yang paling akrab denganku dibandingkan pelayan lain di rumah ini.
Kugelengkan kepala, sambil mencoba untuk tersenyum seperti tidak ada masalah apa-apa. Tak ada gunanya kuceritakan masalah ini, apalagi pada orang yang tak ada hubungannya sama sekali dengan apa yang kualami.
“Saya buatkan minuman hangat, ya?” tawarnya ramah, sambil mengangkat bot
CitraSemalam sebelum kami tidur di kamar masing-masing, Raka menghampiriku dan menyodorkan amplop coklat berukuran besar.“Apa ini?” tanyaku, hanya melirik benda itu sekilas.“Ambilah, beli apapun yang kamu mau...ini tanda permintaan maafku.”“Permintaan maaf?”“Ayolah, jangan bikin aku merasa makin bersalah. Terima saja! Terserah mau kamu apakan uangnya.”Raka menjejalkan benda itu ke tanganku, sebuah permintaan maaf yang benar-benar tipikal orang kaya. Mereka merasa dengan uang yang banyak sudah cukup meredakan rasa bersalah, membuat orang yang mereka sakiti melupakan hal yang telah terjadi.Kuremas amplop coklat di tanganku, tak ada niatan sedikit pun untuk kubuka dan kulihat isinya, apalagi untuk kugunakan. Ukurannya besar dan isinya juga tebal, pasti jumlah yang cukup besar. Aku mungkin bisa liburan sebulan penuh di hotel bintang tiga dekat pantai dengan
Raka Lelaki berperut gemuk itu berjalan cepat menyusuri koridor di lantai dua, menjauh dari balkon tempatku dan Maureen duduk bersama. Aku tak suka dengan gayanya yang bertingkah seolah dia adalah ayah yang paling bijak. Aku tak suka melhat dia bicara seolah dirinya adalah figur suami yang paling sempurna, apa dia lupa dengan jejak langkahnya di masa lalu hingga mama memutuskan untuk menggugat cerai? Gilanya lagi, ia masih bisa memutarbalik fakta seolah dia yang disakiti. Sial! Kenapa juga ayahku harus datang sepagi ini tanpa pemberitahuan apapun? Tapi memangnya apa yang aneh dengan aku duduk bersama Maureen? Ini bukan kali pertama ia melihatku bersama gadis itu. Bahkan kami juga sempat dijodohkan—walau perjodohannya ditolak Maureen. Tadi aku memang sedang memijiti kaki Maureen, membiarkan ia menumpangkan kedua kakinya di atas pahaku. Apa yang salah dengan itu semua? Reaksinya sangat berlebihan dan itu membuat aku merasa sangat muak.
Raka10 tahunAku baru saja pulang sekolah, sambil membawa selembar kertas berisi gambar yang kubuat tadi di sekolah. Gambar tentang aku, ayah dan mama yang sedang berwisata di taman hiburan. Aku memakai topi dan memegang lolipop, ayah memegang tanganku dan tersenyum lebar. Lalu mama memegang tanganku yang lain, juga tersenyum lebar dengan lipstik merah.Itu bukan gambar pengalamanku saat ke taman hiburan, melainkan cita-cita yang ingin kuwujudkan. Aku ingin pergi ke taman hiburan dengan mereka berdua, supaya aku pun bisa bercerita dengan bangga pada teman-temanku bahwa keluargaku baru saja jalan-jalan.Karena seingatku, aku tak pernah pergi bersama untuk berjalan-jalan. Ayah saja nyaris tak pernah tinggal di rumah dan sehari-hari aku bersama mama. Aku pergi ke tempat-tempat wisata pun dengan mama.Yaa itu memang menyenangkan, tetapi aku merasa ada yang kurang.Semoga dengan melihat has
CitraAku tidak menyangka jika Raka serapuh itu. Kejadian kemarin membuatku sedikit banyak memahami, mengapa Raka tidak akrab dengan ayahnya dan cenderung ketus saat bicara dengan lelaki itu, walaupun ayahnya sudah berusaha mencairkan suasana. Karena kejadian kemarin pula, aku bisa memahami mengapa Raka bersikap buruk padaku.Memang dia tak menceritakan apapun padaku, namun mendengar semua percakapan mereka, melihat reaksi Raka saat ayahnya mulai mendiskriminasinya, saat ia menangis di bahuku. Aku langsung paham, aku mengerti bahwa ia terluka sangat dalam.“Raka, mau kuambilkan makanan? Dari semalam belum makan, bukan?” tanyaku, pada Raka yang sedang duduk di ruang kerja, menghadapi laptopnya yang menyala dan setumpuk map yang sepertinya belum disentuh sama sekali.Ia melirikku sekilas, lalu menunduk menatap keyboard dan membiarkan jemarinya menggantung. Seperti tak tahu apa yang mau dia lakukan, seolah sedang menca
CitraGara-gara Risa yang mengira aku sedang ngidam, akhirnya jadi kepikiran. Bagaimana jika aku benar-benar hamil? aku takut sekali. Mengingat bahwa kemungkinanku untuk hamil sangat besar, tubuhku terasa sangat lunglai.Kudekati cermin, lalu kuamati bagian perutku yang masih terlihat normal. Kutatap perutku dari depan, lalu menyamping, lalu kutarik bagian belakang bajuku supaya bisa melihat seperti apa perutku dengan lebih jelas.Tidak ada perubahan apa-apa.Perutku masih rata, dadaku juga masih sama ukurannya seperti semua. Aku juga tidak muntah-muntah di pagi hari, makanku masih normal dan entahlah, aku tidak merasakan semua gejala yang dirasakan oleh ibu yang sedang hamil muda. Hanya kemarin saja aku merasa mual, saat memegang buncis. Benda lain tak ada yang membuatku mual separah itu!Sejak kejadian di malam itu, mungkin baru seminggu lamanya. Apa mungkin aku langsung hamil? kami hanya melakukannya sekali!Ku
CitraAku tak mau tahu, calon bayi ini harus kusingkirkan sebelum semuanya terlambat.Sejak pagi aku sudah mencari-cari klinik bersalin yang paling jauh yang bisa kutemukan, semakin jauh semakin baik. Tujuannya supaya tidak bertemu siapapun yang kukenal, supaya aku bisa dengan leluasa berkonsultasi dan menemukan solusi terbaik untuk masalahku ini.Klinik bersalin Cahaya Hati, begitu namanya yang terpampang di depan bangunan tiga lantai dengan cat kuning pastel itu. Desainnya sederhana, bangunannya juga tidak terlalu besar sekalipun terdiri dari tiga lantai. Area parkirnya sempit, hanya cukup beberapa mobil dan motor saja.Aku sendiri datang dengan menggunakan taksi online, berangkat sendirian setelah Kevin pergi ke kantor. Kudekap tas cangklong yang kubawa dari rumah, di dalamnya ada uang saku yang Kevin berikan dan jumlahnya lumayan. Siapa tahu sekarang aku bisa langsung ditindak, aku tak perlu memikirkan bagaimana membayar tagihan medisnya
RakaHingga saat ini aku belum berkomunikasi lagi dengan ayah, lelaki egois itu selalu saja bersikap tidak adil kepadaku. Ia memperlakukan aku seperti seseorang yang berhutang seluruh nyawa kepadanya, apa yang ia katakan harus kulakukan, apa yang ia mau aku harus mampu wujudkan.Hanya karena ia memiliki sebutan sebagai ayah.Dia pikir dengan memberikan aku luka dan rasa takut sejak kecil sudah cukup membuatnya jadi ayah yang baik?Lalu karena aku bisa tumbuh dewasa dan tetap hidup, maka aku harus membalas budi padanya karena ia yang membuatku bertahan? Tidak. Aku bertahan karena Tuhan yang mau aku tetap hidup, aku tetap bertahan karena berharap hidupku akan lebih baik setelah pergi dari lelaki itu.Iya, karena harapan kecil di dalam dadaku.Setelah kuliah aku mulai bisa bebas, aku pun bertemu dengan mama dan syukurlah mama menikah dengan seseorang yang layak. Bisa kulihat papa tiriku menyayangi mama, sekalipun ia jarang bicara
CitraPrak!Kuseret semua benda yang ada di atas meja riasku, jatuh ke lantai dan berserakan. Ada botol parfum yang pecah dan botol serum yang juga terbelah menjadi dua. Agak sayang melihatnya, tetapi merasa lebih tenang karena sudah meluapkan rasa sesak dalam dadaku.Apa-apaan itu tadi?Raka diam saja melihatku diperlakukan seburuk itu oleh Maureen.Aku tahu dia mencintai Maureen, tapi jangan biarkan sikapnya yang kolokan itu membuatnya bersikap sesuka hari dia. Masih bagus jika ia meluapkan semua kemarahannya pada benda mati, membanting pintu, melempar ponsel, memecahkan kaca atau apalah. Tapi yang ia lakukan malah menyakiti aku.Memangnya apa salahku?!Sekarang kubantingkan tubuh ke atas ranjang, pegasnya melemparkan tubuhku lagi ke atas dan membuatku sesaat merasa sedang melayang-layang. Seluruh sendi terasa kaku, ototku pun nyeri, sejak beberapa hari belakangan memang terasa begitu, mungkin karena aku sedang hamil m
Selama berada di depan Raka, Citra tidak menangis sama sekali, sebab semua tangisnya sudah habis. Malah Raka yang menangis, ia terlihat sangat menyesali semua yang ia rasakan saat ini. “Maafkan aku Citra, maafkan aku. Aku bahkan tak pantas untuk menggendong anak kita.. karena semua kelakuanku di masa lalu.” Citra tak menanggapi hal itu, biarkan saja Raka dengan penyesalannya sendiri. Ini salah satu cara untuk mengikhlaskan semuanya. Lagipula mau minta pertanggungjawaban dalam bentuk apa? Raka saja nyaris tak bisa menghidupi dirinya sendiri. Tak mau berlama-lama, Citra mengajak Angga pergi. Raka yang masih bercucuran air mata meminta untuk menggendong Hana sebentar. “SIlahkan,” sahut Citra. Walau sangsi, ia tetap memberikan Hana untuk digendong. Selama beberapa saat Hana dalam gendongan ayahnya sendiri, ia sangat anteng dan cuma mengoceh kecil sementara Raka makin banjir dalam air mata penyesalan. Tak berselang lama, Maureen datang sambil kesusahan menggunakan kursi rodanya. “Rak
Walaupun baru beberapa bulan saja Citra tinggal bersama bu Susi dan Anwar, tetapi perpisahan yang terjadi antara mereka cukup menyedihkan. Ketiganya menangis dengan haru bercampur sedih, namun mereka sama-sama berjanji supaya bisa tetap saling berkomunikasi walaupun sudah tak bersama.Citra kembali ke kampung halamannya, di mana ayah dan adiknya tinggal. Juga tentu saja Raka.Tetapi dia tak begitu peduli dengan Raka, bukan urusannya lagi sekalipun harus tinggal satu daerah dengan lelaki yang sudah mengacaukan hidupnya yang damai.Memang, saat belum menikah dengan lelaki itu dirinya juga dipusingkan dengan kelakuan Angga, tetapi paling tidak batinnya tak terluka sedalam saat bersama dengan Raka.Sebab karena Raka juga, dirinya mengalami patah hati dan rasa kecewa yang luar biasa karena dibohongi oleh orang yang telah ia percayai. Bahkan Citra juga sudah memikirkan kemungkinan jika dirinya akan mempercayakan hatinya juga pada Jalu.Iya, Jalu.Lelaki itu tipe pendamping yang sempurna, de
POV RakaCitra tak main-main dengan apa yang telah ia katakan dua bulan yang lalu, di rumah sakit, ketika lukanya masih berdarah dan bayi kecil kami masih belum terbuka matanya.Dia benar-benar pergi, meninggalkan semuanya. Masa lalunya, termasuk aku yang ternyata bukan siapa-siapa untuknya, sekalipun ada darahku dalam tubuh gadis mungil dalam pelukannya itu.Ah andai saja dulu aku tahu hidupku bakal sesusah ini, niscaya aku tak akan berkata hal yang buruk tentang anak kami. Paling tidak, aku tidak akan merasakan penyesalan sedalam ini.Aku akui, dahulu diriku memang sangat buta dan mengahalalkan segala cara, aku sangat takut jatuh miskin, apalagi dengan adanya papa dan Maureen yang menjadi tanggunganku.Kuakui saat itu menjadi kesalahan besar yang telah kulakukan, setelah banyak kesalahan lain yang telah kulakukan dan menyakiti hati Citra. Aku berangkat bukan untuk benar-benar menemui Citra, dan buah hati kami.Tetapi untuk memaksanya kembali denganku, dan meminta bagian warisan dar
Raka mengusap wajahnya dengan kasar, lalu berkacak pinggang sambil memalingkan mukanya ke arah lain. Ke mana pun, asal tak perlu bertatapan dengan Jalu.Ia merasa jika Jalu memiliki semacam kemampuan untuk mengintimidasi orang lain. Entah karena memang dirinya yang terlalu pengecut, Raka tidak terlalu paham akan hal itu.“Mau apa datang ke mari? Mengacaukan semuanya lagi, hah?” desak Jalu.“Terus salahku di mana? Aku cuma mau ketemu anak istriku. Aku cuma mau mengatakan yang sebenarnya saja. salah?!”“Masih berani tanya salahmu di mana? Hmm. Kau lupa dengan semua yang telah kau lakukan pada Citra? Pernikahan kontrak itu, tindakanmu yang semena-mena padanya cuma karena ingin menyenangkan Maureen?”Raka jengah, ternyata Jalu juga tahu sampai sedetail itu.“Tau dari mana kamu? Jangan sok tau!”“Aku bukan sok tau, aku memang sudah tau. Kamu juga tak mengakui darah dagingmu, sampai Citra harus pergi jauh sekali. kalau aku jadi kamu, aku tak akan pernah menampakkan mukaku lagi di depan Citr
Citra berusaha untuk bangkit dari tidurnya, namun ia merasa kepalanya begitu berat dan ditambah lagi luka di perutnya terasa makin nyeri saja.“Duh, perutku sakit banget..” keluhnya sambil memegang perut, dan ia merasa jika perutnya sudah diperban lagi.Terakhir ia ingat jika dirinya sudah melepaskan perban saat berlari, karena perbannya sudah basah oleh darah dan perekatnya lepas. Tapi sekarang benda itu sudah diganti dengan yang baru, demikian juga pakaian yang ia kenakan.“Bu Susi pasti bawa aku ke mari.. aduh ya Tuhan, mau bayar pakai apa?” keluhnya lagi sambil menahan tangis.Tetapi ia tak bisa menangis, sebab dalam pikirannya kini hanya bayinya, bayinya dan bayinya. Urusan bayar rumah sakit, atau rasa nyeri yang tak tertahankan ini, semua masih bisa dipikirkan nanti.Bagaimana dengan bayinya yang masih merah? Di mana dia sekarang? Bersama siapa? Bagaimana jika dia ingin minum susu?“Ya Tuhan, kuatkan aku..”Citra turun dari ranjang, dan melepas infusan yang menempel di tangannya
Citra baru menyelesaikan makannya, dan bayi kecil yang baru saja dia lahirkan masih tidur terlelap tanpa menangis, rewel atau apapun. Setahunya, bayi baru lahir memang tidak terlalu banyak menangis, bahkan cenderung lebih banyak tidur.Maka karena itu dirinya harus memaksimalkan waktu, harus mampu memulihkan diri dalam waktu cepat namun juga harus bisa bekerja.Citra keluar kamar dan menutup pintunya rapat, ia berniat mengantarkan piringnya ke depan sambil bertanya apakah ada yang bisa dia bantu. Bagian belakang rumah sekaligus warung makan ini tidak dipagar, melainkan langsung mengarah ke kebun yang cukup padat tumbuhannya.Sejauh yang Citra lihat, ada beberapa batang pohon jengkol, rambutan dan pohon-pohon besar berbuah lainnya. Di ujung kebun yang cukup jauh terlihat ada jalan setapak kecil yang entah mengarah ke mana.“Agak ngeri juga ya kalau begini? Tapi enggak apa-apa. Siapa juga yang mau datang ke mari?” gumam Citra, mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri.Di dalam kepalany
Kamar yang diberikan untuk Citra adalah sebuah ruangan yang cukup untuk satu kasur single, ada lemari pakaian dan kipas angin. Satu pintu di bagian depan dan di sebelahnya ada jendela yang lumayan besar, dengan gorden yang bersih. “Syukurlah, tempatnya bersih. Aku bisa menidurkan anakku dulu, sementara aku makan. Aduh, perutku.. “ keluh Citra, sambil memegang bagian bawah perutnya. Ia khawatir jika luka jahitannya berdarah, atau parahnya jahitannya lepas. Tetapi saat ia melihat bagian bawah perutnya, sepertinya baik-baik saja. Semoga memang tak ada masalah apapun. “Permisi kak, ini nasinya dari depan.” Remaja lelaki anak pemilik warung nasi mengantarkan makanan Citra, bahkan sudah ditambah dengan es teh manis dan juga ayam goreng. “Makasih. Eh iya, nama kamu siapa Dek?” “Anwar, kak. Kalau Kakak siapa?” “Citra.” “Oh Kak Citra. Ya udah selamat makan dan istrirahat kak, kalau ada butuh apa-apa tinggal panggil aja aku di depan.” Citra mengangguk dan berterima kasih. Ia benar-benar
Selama hampir setengah jam Citra hanya duduk termangu di depan toserba, ia masih menggendong bayinya dalam posisi yang sama seperti saat pertama ia datang ke tempat ini. Jalanan di depannya masih ramai, beberapa orang yang melintas melihat dia dengan tatapan aneh.Wajar, semua orang juga pasti akan merasa aneh melihat seorang wanita muda dengan bayi yang masih merah. Pakaiannya berantakan dan bahkan mukanya juga masih pucat, hanya saja tidak ada yang cukup peduli untuk bertanya keadaannya, atau bahkan curiga jika dia penculik bayi atau apalah.Tetapi pada kenyataannya memang Citra lebih suka tidak ada yang peduli padanya, ia benar-benar sedang tidak mau bicara dengan siapapun.Citra baru tersadar saat bayinya bersuara, tidak menangis, hanya merengek sedikit lalu kembali tidur.“Ahh, aku harus beli baju buat anakku. Kasihan.. nanti dia mau pake apa?” gumamnya sambil berdiri.Ia membetulkan letak tas yang tersampir di bahunya, memperbaiki
Para perawat dan bruder mengeluarkan semua orang yang ada dalam ruangan rawat Citra, dan membiarkan ibu muda itu berduaan saja dengan bayinya. Seorang perawat sempat memberitahunya bagiamana cara untuk menyusui bayi yang benar, dan Citra sangat bersyukur tentang hal itu.“Sayang, kita pergi dari sini yuk? Di sini udah enggak aman. Mama enggak mau hidup kamu kacau kayak mama. Padahal ini hari pertama kamu di dunia, tapi kamu udah dapat masalah begini. Maafin mama ya?” bisik Citra, ia mendekap bayinya dengan erat.Bayi mungil dalam dekapannya sudah dibalut dengan selimut bayi, ia turun dari ranjang untuk mencari barang-barang pribadinya. Ia terkejut melihat tas yang biasa ia gunakan sudah ada di lemari kecil dekat ranjang.Isinya masih lengkap seperti terakhir dia meninggalkannya, ada HP, dan dompet.“Baguslah, aku bisa pergi sekarang.” Gumamnya sambil menghela napas.Tidak ada pakaian ganti, tidak ada baju untuk si baby. Suda