Raka
Beban pikiranku bertambah, setelah projectku yang terpaksa diundur karena penyandang dana yang membatalkan kerjasama, sekarang bertambah pula dengan rasa penasaranku dengan pertemuan ayah dan Jonas, juga Maureen.
Aku jadi yakin betul, jika Jonas ada hubungannya dengan ayah. Denganku.
Pantas saja sejak kami pertama kali bertemu, rasanya aku seolah sudah mengenal dia dari lama. Ada rasa kesal yang tak bisa kuungkapkan setiap kali bertemu dengan Jonas. Mungkin itu rasa sebal yang biasa dirasakan saudara kandung.
Usianya tidak jauh denganku, sepertinya ayah menduakan mama dengan ibunya Jonas dalam waktu berdekatan. Karena usia kami juga mungkin hanya berbeda beberapa bulan saja.
Lalu Maureen, sejak kutanyakan soal dia yang berani-berani memundurkan jadwal penting tempo hari. Dia belum pulang ke rumah, tak tahu dia pergi kemana. Paling ke rumah Jonas. Kembali mengulang masa-masa penuh mimpi, yang saat sudah terbangun dar
RakaSelama 15 menit aku berdiri di depan rumah om Samuel, tidak menyangka jika ternyata satu-satunya orang yang bisa membantuku sudah meninggal. Sekarang aku hanya bisa melamun, memikirkan langkah berikutnya yang bisa aku lakukan.Perempuan tua yang begitu kurus itu juga tidak masuk ke dalam rumah, ia hanya berdiri di ambang pintu yang setengah terbuka. Tubuhnya sudah renta, jelas terlihat kekurangan gizi dan rumahnya sangat kotor seperti rumah kosong. Aku bisa melihat sepasang tungkai perempuan itu gemetar, mungkin menahan beban tubuhnya yang kurus kerontang, atau bisa juga karena lapar.Ah iya! Kenapa aku sampai tidak terpikir untuk memberikan bantuan untuk jandanya om Samuel ini?!Dia terlihat sangat sengsara, bahkan mungkin dia sedang menahan lapar di perutnya.“Tante, maaf kalau saya enggak sopan. Tante sudah makan?” tanyaku ragu, wanita itu langsung menggeleng dengan mata yang mulai berair. Menangis.
CitraTidak terasa hari ini sudah jadwalku kontrol rutin ke dokter kandungan, aku membuat jadwal kontrol kandunganku sebulan sekali saja. Itu sudah cukup, karena aku harus menghemat dana sehingga tidak bisa tiap minggu mengecek kondisi si kecil ke klinik.Aku juga sudah bertanya-tanya berapa biaya melahirkan di sana, setelah kuhitung-hitung ternyata uang yang kumiliki masih cukup sehingga tak terlalu membebani pikiranku. Untuk biaya kehidupan kami berdua di masa yang akan datang, dengan gajiku di cafe ini sudah cukup.Aku akan mengajak anakku hidup sederhana, lebih baik dari hidupku dahulu tetapi tidak perlu memaksakan diri bermewah-mewah karena memang aku belum mampu untuk seperti itu.Andai saja Raka tidak egois, mungkin anak kami akan merasakan fasilitas yang premium saat lahir nanti.Tapi sudahlah, aku tidak akan menyesali keputusanku pergi dan menyepi di tempat ini. Sebab jika aku di sana pun belum tentu anakku ini
CitraAku berangkat ke klinik sekitar 15 menit kemudian, setelah menyapu bersih dan membuang pecahan piring dari lantai dapur. Tak lupa kufoto dulu keadaannya sebelum bebenah, mungkin foto itu bisa membantuku suatu saat nanti, kalau-kalau Lola menuduhku yang tak becus mencuci piring sampai menyebabkan hal itu terjadi.Pintu dapur dan pintu mess sudah kukunci, dan anak kunci kubawa di dalam tas. Sudah kuberitahu Dadan dan Jalu bahwa kunci aku yang bawa, sehingga nanti mereka bisa bilang padaku jika sudah pulang.Menurut hematku, waktu pengobatan Lola dengan jadwal kontrolku lebih lama. Sehingga ada kemungkinan aku yang akan lebih dulu kembali ke cafe, dan bisa membukakan pintu untuk mereka.Seperti biasa, klinik kehamilan yang kukunjungi tidak terlalu ramai. Ada beberapa ibu hamil yang duduk di ruang tunggu, ada juga yang menggendong anaknya bolak-balik keluar masuk karena anaknya rewel.“Silahkan dipegang nomor urutnya ya bu, na
RakaSehari setelah kembali dari rumah om Samuel, pikiranku terasa lebih berisi. Aku masih dipenuhi oleh rasa penasaran dan ingin segera memecahkan masalah keluarga ini. Tetapi setidaknya sekarang aku sudah punya petunjuk dan rencana apa yang akan kulakukan setelahnya.Berbekal selembar foto yang kuminta dari janda om Samuel, aku akan menemukan istri pertama ayahku dan membuktikan apakah benar Jonas kakak lelakiku yang tak pernah kuketahui atau bukan.“Gimana Ndre, ketemu orangnya?”Tanyaku pada Andre, dia adalah informanku yang bekerja sebagai staff HRD di Cemara Group. Sudah sejak dua tahun yang lalu ia rutin memberitahuku perkembangan Cemara Group, memberi berbagai informasi penting mengenai perusahaan mana yang mendapatkan bantuan dana, bagaimana cara goals tender di Cemara Group dan banyak lagi.Salah satunya ia bisa membantuku untuk menemukan orang-orang yang sedang kucari. Termasuk dua orang lela
RakaBerbekal sebaris alamat yang kudapatkan dari foto yang Andre dapatkan, aku mendatangi kampung ini. Sebuah tempat yang terbilang jauh dari perusahaan batubara miliki Cemara Group. Sepertinya orang itu merantau, dan setelah keluar dari perusahaan ia kembali ke kampungnya.Mungkin, sebab aku juga tak yakin ia masih ada di tempat tinggalnya yang lama.Lokasi kampung ini cukup terpencil, di sekelilingnya masih banyak pohon besar yang usianya kutaksir lebih dari puluhan tahun. Baru kuinjakkan kaki ke gerbang masuk kampungnya saja sudah terasa aneh, rasanya seperti masuk ke kampung mati.Begitu sepi, membosankan.Bangunannya tua, catnya kusam, bentuknya pun terlihat sangat sederhana. Bahkan jika dibandingkan dengan rumahku saat kecil, bangunan-bangunan ini terlihat lebih tua lagi. Mungkin mereka dibangun dari zaman penjajahan Belanda, bahannya saja hampir semuanya dari kayu, sedikit saja yang dibangun permanen menggunakan batu bata.
Citra***Ini adalah hari kedua setelah Lola pergi ke rumah sakit untuk mengobati tangannya, dan sejak saat itu ia benar-benar manja. Ia bahkan tidak mau melakukan pekerjaannya dengan maksimal, dengan alasan takut tangannya berdarah lagi.“Citra, itu kan mejanya masih berantakan. Gimana sih? Kamu enggak liat? Beresin cepet. Nih aku bantuin…manja banget mentang-mentang lagi hamil!” celetuknya.Ia lalu menumpuk piring dan gelas di tengah meja, gerakannya sangat kasar sampai-sampai bunyi denting piring dan gelas yang beradu bisa terdengar dari jarak yang agak jauh. Aku yang sedang membereskan meja lain cuma bisa menghela napas.“Sebentar, kamu enggak liat aku lagi beresin meja ini?”“Iya tau, dan kamu itu kelamaan kerjanya! Makanya aku tegur! Kamu enggak liat lagi banyak tamu gini?!”Lagi-lagi aku menghela napas, Lola sangat keterlaluan. Ia bicara dengan nada tinggi,
Citra***“Citra…Citra. Hey!”Kurasakan tepukan halus di pipiku, tetapi rasanya berat untuk membuka mata. Sekarang aku bisa merasakan tubuhku lagi, jari-jari tangan, punggungku yang sedang berbaring di atas ranjang, angin sepoi-sepoi yang mengusap wajah.Tetapi sungguh, berat sekali kedua mataku ini untuk kubuka.“Citra, kamu enggak apa-apa? Citra!”Aku mengenali suara itu, sepertinya itu suara Jalu dan ia sedang berusaha untuk membuatku sadar. Apa mungkin tadi aku jatuh pingsan di café? Aduh, pasti sangat memalukan, juga sangat merepotkan.Perlahan, akhirnya aku mampu membuka mataku dan melihat langit-langit putih di atas kepala. Bukan langit-langit kamarku di mess. Ini di mana?“Citra? Hey, beneran udah bangun? Citra!”“Iya..” suaraku serak, seperti kodok dan rasanya malu karena Jalu mendengar suara aneh itu.Tetapi sepertinya ia baik-ba
Raka***“Terakhir bapak bertemu dengan Wine, saat dia mengandung anaknya. Waktu itu ayahmu…menikah lagi. Bapak enggak tau siapa istrinya yang baru, tapi yang jelas karena pernikahan itu Wine benar-benar sengsara.”“Dia bahkan bersumpah enggak akan biarkan Atra mengenal anak pertamanya, sampai kapanpun.”Ucapan pak Kahar terus terngiang di telingaku, meninggalkan rasa aneh yang tidak kusukai. Rasa bersalah, untuk sesuatu yang sebenarnya bukan salahku. Penyesalan dan rasa tidak enak yang harusnya ayah yang rasakan, bukan aku, bukan mama. Juga bukan Wine dan anaknya.“Kabar terakhir yang bapak dengar, Wine menikah dengan salah satu pimpinan Cemara Group dan saat itu pula bapak diPHK dari sana. Bapak enggak tau ada hubungannya dengan Wine atau tidak, tetapi saat itu hanya kami berdua yang diPHK. Yang jadi saksi pernikahannya dulu.”“Kenapa bapak yang jadi korbannya? Ka
Selama berada di depan Raka, Citra tidak menangis sama sekali, sebab semua tangisnya sudah habis. Malah Raka yang menangis, ia terlihat sangat menyesali semua yang ia rasakan saat ini. “Maafkan aku Citra, maafkan aku. Aku bahkan tak pantas untuk menggendong anak kita.. karena semua kelakuanku di masa lalu.” Citra tak menanggapi hal itu, biarkan saja Raka dengan penyesalannya sendiri. Ini salah satu cara untuk mengikhlaskan semuanya. Lagipula mau minta pertanggungjawaban dalam bentuk apa? Raka saja nyaris tak bisa menghidupi dirinya sendiri. Tak mau berlama-lama, Citra mengajak Angga pergi. Raka yang masih bercucuran air mata meminta untuk menggendong Hana sebentar. “SIlahkan,” sahut Citra. Walau sangsi, ia tetap memberikan Hana untuk digendong. Selama beberapa saat Hana dalam gendongan ayahnya sendiri, ia sangat anteng dan cuma mengoceh kecil sementara Raka makin banjir dalam air mata penyesalan. Tak berselang lama, Maureen datang sambil kesusahan menggunakan kursi rodanya. “Rak
Walaupun baru beberapa bulan saja Citra tinggal bersama bu Susi dan Anwar, tetapi perpisahan yang terjadi antara mereka cukup menyedihkan. Ketiganya menangis dengan haru bercampur sedih, namun mereka sama-sama berjanji supaya bisa tetap saling berkomunikasi walaupun sudah tak bersama.Citra kembali ke kampung halamannya, di mana ayah dan adiknya tinggal. Juga tentu saja Raka.Tetapi dia tak begitu peduli dengan Raka, bukan urusannya lagi sekalipun harus tinggal satu daerah dengan lelaki yang sudah mengacaukan hidupnya yang damai.Memang, saat belum menikah dengan lelaki itu dirinya juga dipusingkan dengan kelakuan Angga, tetapi paling tidak batinnya tak terluka sedalam saat bersama dengan Raka.Sebab karena Raka juga, dirinya mengalami patah hati dan rasa kecewa yang luar biasa karena dibohongi oleh orang yang telah ia percayai. Bahkan Citra juga sudah memikirkan kemungkinan jika dirinya akan mempercayakan hatinya juga pada Jalu.Iya, Jalu.Lelaki itu tipe pendamping yang sempurna, de
POV RakaCitra tak main-main dengan apa yang telah ia katakan dua bulan yang lalu, di rumah sakit, ketika lukanya masih berdarah dan bayi kecil kami masih belum terbuka matanya.Dia benar-benar pergi, meninggalkan semuanya. Masa lalunya, termasuk aku yang ternyata bukan siapa-siapa untuknya, sekalipun ada darahku dalam tubuh gadis mungil dalam pelukannya itu.Ah andai saja dulu aku tahu hidupku bakal sesusah ini, niscaya aku tak akan berkata hal yang buruk tentang anak kami. Paling tidak, aku tidak akan merasakan penyesalan sedalam ini.Aku akui, dahulu diriku memang sangat buta dan mengahalalkan segala cara, aku sangat takut jatuh miskin, apalagi dengan adanya papa dan Maureen yang menjadi tanggunganku.Kuakui saat itu menjadi kesalahan besar yang telah kulakukan, setelah banyak kesalahan lain yang telah kulakukan dan menyakiti hati Citra. Aku berangkat bukan untuk benar-benar menemui Citra, dan buah hati kami.Tetapi untuk memaksanya kembali denganku, dan meminta bagian warisan dar
Raka mengusap wajahnya dengan kasar, lalu berkacak pinggang sambil memalingkan mukanya ke arah lain. Ke mana pun, asal tak perlu bertatapan dengan Jalu.Ia merasa jika Jalu memiliki semacam kemampuan untuk mengintimidasi orang lain. Entah karena memang dirinya yang terlalu pengecut, Raka tidak terlalu paham akan hal itu.“Mau apa datang ke mari? Mengacaukan semuanya lagi, hah?” desak Jalu.“Terus salahku di mana? Aku cuma mau ketemu anak istriku. Aku cuma mau mengatakan yang sebenarnya saja. salah?!”“Masih berani tanya salahmu di mana? Hmm. Kau lupa dengan semua yang telah kau lakukan pada Citra? Pernikahan kontrak itu, tindakanmu yang semena-mena padanya cuma karena ingin menyenangkan Maureen?”Raka jengah, ternyata Jalu juga tahu sampai sedetail itu.“Tau dari mana kamu? Jangan sok tau!”“Aku bukan sok tau, aku memang sudah tau. Kamu juga tak mengakui darah dagingmu, sampai Citra harus pergi jauh sekali. kalau aku jadi kamu, aku tak akan pernah menampakkan mukaku lagi di depan Citr
Citra berusaha untuk bangkit dari tidurnya, namun ia merasa kepalanya begitu berat dan ditambah lagi luka di perutnya terasa makin nyeri saja.“Duh, perutku sakit banget..” keluhnya sambil memegang perut, dan ia merasa jika perutnya sudah diperban lagi.Terakhir ia ingat jika dirinya sudah melepaskan perban saat berlari, karena perbannya sudah basah oleh darah dan perekatnya lepas. Tapi sekarang benda itu sudah diganti dengan yang baru, demikian juga pakaian yang ia kenakan.“Bu Susi pasti bawa aku ke mari.. aduh ya Tuhan, mau bayar pakai apa?” keluhnya lagi sambil menahan tangis.Tetapi ia tak bisa menangis, sebab dalam pikirannya kini hanya bayinya, bayinya dan bayinya. Urusan bayar rumah sakit, atau rasa nyeri yang tak tertahankan ini, semua masih bisa dipikirkan nanti.Bagaimana dengan bayinya yang masih merah? Di mana dia sekarang? Bersama siapa? Bagaimana jika dia ingin minum susu?“Ya Tuhan, kuatkan aku..”Citra turun dari ranjang, dan melepas infusan yang menempel di tangannya
Citra baru menyelesaikan makannya, dan bayi kecil yang baru saja dia lahirkan masih tidur terlelap tanpa menangis, rewel atau apapun. Setahunya, bayi baru lahir memang tidak terlalu banyak menangis, bahkan cenderung lebih banyak tidur.Maka karena itu dirinya harus memaksimalkan waktu, harus mampu memulihkan diri dalam waktu cepat namun juga harus bisa bekerja.Citra keluar kamar dan menutup pintunya rapat, ia berniat mengantarkan piringnya ke depan sambil bertanya apakah ada yang bisa dia bantu. Bagian belakang rumah sekaligus warung makan ini tidak dipagar, melainkan langsung mengarah ke kebun yang cukup padat tumbuhannya.Sejauh yang Citra lihat, ada beberapa batang pohon jengkol, rambutan dan pohon-pohon besar berbuah lainnya. Di ujung kebun yang cukup jauh terlihat ada jalan setapak kecil yang entah mengarah ke mana.“Agak ngeri juga ya kalau begini? Tapi enggak apa-apa. Siapa juga yang mau datang ke mari?” gumam Citra, mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri.Di dalam kepalany
Kamar yang diberikan untuk Citra adalah sebuah ruangan yang cukup untuk satu kasur single, ada lemari pakaian dan kipas angin. Satu pintu di bagian depan dan di sebelahnya ada jendela yang lumayan besar, dengan gorden yang bersih. “Syukurlah, tempatnya bersih. Aku bisa menidurkan anakku dulu, sementara aku makan. Aduh, perutku.. “ keluh Citra, sambil memegang bagian bawah perutnya. Ia khawatir jika luka jahitannya berdarah, atau parahnya jahitannya lepas. Tetapi saat ia melihat bagian bawah perutnya, sepertinya baik-baik saja. Semoga memang tak ada masalah apapun. “Permisi kak, ini nasinya dari depan.” Remaja lelaki anak pemilik warung nasi mengantarkan makanan Citra, bahkan sudah ditambah dengan es teh manis dan juga ayam goreng. “Makasih. Eh iya, nama kamu siapa Dek?” “Anwar, kak. Kalau Kakak siapa?” “Citra.” “Oh Kak Citra. Ya udah selamat makan dan istrirahat kak, kalau ada butuh apa-apa tinggal panggil aja aku di depan.” Citra mengangguk dan berterima kasih. Ia benar-benar
Selama hampir setengah jam Citra hanya duduk termangu di depan toserba, ia masih menggendong bayinya dalam posisi yang sama seperti saat pertama ia datang ke tempat ini. Jalanan di depannya masih ramai, beberapa orang yang melintas melihat dia dengan tatapan aneh.Wajar, semua orang juga pasti akan merasa aneh melihat seorang wanita muda dengan bayi yang masih merah. Pakaiannya berantakan dan bahkan mukanya juga masih pucat, hanya saja tidak ada yang cukup peduli untuk bertanya keadaannya, atau bahkan curiga jika dia penculik bayi atau apalah.Tetapi pada kenyataannya memang Citra lebih suka tidak ada yang peduli padanya, ia benar-benar sedang tidak mau bicara dengan siapapun.Citra baru tersadar saat bayinya bersuara, tidak menangis, hanya merengek sedikit lalu kembali tidur.“Ahh, aku harus beli baju buat anakku. Kasihan.. nanti dia mau pake apa?” gumamnya sambil berdiri.Ia membetulkan letak tas yang tersampir di bahunya, memperbaiki
Para perawat dan bruder mengeluarkan semua orang yang ada dalam ruangan rawat Citra, dan membiarkan ibu muda itu berduaan saja dengan bayinya. Seorang perawat sempat memberitahunya bagiamana cara untuk menyusui bayi yang benar, dan Citra sangat bersyukur tentang hal itu.“Sayang, kita pergi dari sini yuk? Di sini udah enggak aman. Mama enggak mau hidup kamu kacau kayak mama. Padahal ini hari pertama kamu di dunia, tapi kamu udah dapat masalah begini. Maafin mama ya?” bisik Citra, ia mendekap bayinya dengan erat.Bayi mungil dalam dekapannya sudah dibalut dengan selimut bayi, ia turun dari ranjang untuk mencari barang-barang pribadinya. Ia terkejut melihat tas yang biasa ia gunakan sudah ada di lemari kecil dekat ranjang.Isinya masih lengkap seperti terakhir dia meninggalkannya, ada HP, dan dompet.“Baguslah, aku bisa pergi sekarang.” Gumamnya sambil menghela napas.Tidak ada pakaian ganti, tidak ada baju untuk si baby. Suda