“Nadina, bisakah kamu kemari sebentar?” Suara Nadhif langsung membuat Nadina tersentak dan meletakkan kembali ponselnya ke atas nakas. Wanita itu berjalan lalu berhenti di samping Nadhif tanpa berjongkok atau turut duduk di bawah. “Duduklah dulu,” pinta Nadhif. Kali ini Nadina langsung melaksanakannya tanpa banyak melawan. Duduklah ia di depan sang suami yang hanya berbataskan meja Al-Quran. “Ini yang akan kita lakukan setiap hari selepas sholat maghrib sembari menunggu waktu isya datang. Kamu dan saya, akan bersama-sama membaca surah Al-Waqiah.” Nadhif memandang Nadina yang malah melamun memandang rentetan tulisan arab di sana. “Nadina?” panggil Nadhif. “Nadina tidak sefasih Mas Nadhif. Nadina akan membacanya sendiri nanti. Mas Nadhif tetap bisa membacanya dengan tempo yang Mas Nadhif punya,” jawab Nadina. “Saya akan menuntun dan menunggumu, Nadina. Kita akan membacanya bersama. Dan setelah membacanya, saat itu akan masuk waktu isya. Dan setelah isya, kamu bebas menanyakan apap
“Mengapa Mas Nadhif selalu lama di kamar mandi saat datang waktu tidur, hah?!” omel Nadina sambil terus mengentakkan kakinya dan memandang ke arah toilet. Sepuluh menit yang lalu Nadhif memutuskan untuk pergi ke toilet sebelum keduanya hendak menuju ranjang dan tidur dengan pembatas guling yang telah Nadina tata. “Astaga! Apa dia sengaja berlama-lama di sana dan membiarkanku tertidur lebih dulu?! Lalu dia akan– astaga!! Tidak!! Tidak akan kubiarkan itu semua terjadi! Biar aku tunggu lima menit lagi jika tetap saja ia tak keluar, kudobrak pintunya kencang!” imbuhnya. Namun mustahil bagi Nadina menunggu lebih lama lagi. Baru setengah menit mulutnya mengatup, ia malah berjalan cepat menuju toilet. Tak menunggu apapun ia segera menempelkan tubuhnya dan hendak mendorong pintu tersebut. Namun rupanya, dari dalam toilet Nadhif juga tengah membuka pintu toilet. Bencana terjadi, Nadina terhuyung ke dalam toilet dan menabrak Nadhif di dalam sana. Kejadian yang tanpa aba-aba itu sontak memb
“Kenapa Mas Nadhif tersenyum seperti itu? Mas Nadhif mau meledek Nadina?” sergah Nadina menatap tajam mata Nadhif. Nadhif sejenak menundukkan pandangannya lalu kembali tersenyum kepada Nadina bersamaan dengan diangkatnya tisu itu dari bibirnya. “Tidak, tidak apa-apa. Maaf karena membangunkanmu dengan begitu mengejutkan,” sahut Nadhif. “Tangan Mas Nadhif sakit?” Nadhif dengan cepat menggeleng. Karena benar meskipun tangannya itu telah sekian jam menjadi bantal tidur Nadina, namun keajaiban datang dan tak membuatnya merasakan sakit atau lelah. “Kalau begitu pasti bibirnya sakit?!” lanjut Nadina. “Tidak, Nadina. Saya baik-baik saja. Sungguh. Kamu tidak perlu khawatir. Semua baik-baik saja. Bagaimana dengan kamu? Ada yang sakit?” tanya Nadhif mengingat jika kepala sang istri juga sempat terantuk. “Tidak ada. Nadina mau ke kamar mandi saja dulu, Mas Nadhif jangan ke sana!” segah Nadina tampak sedikit panik lalu pergi ke dalam toilet segera. Nadhif sebentar menyunggingkan senyuman.
Nadhif sebentar mengerutkan dahi dan menaikkan alisnya memandang Nadina. Pemuda itu tampak sangat berharap mendapat jawaban dari Nadina atas kebingungannya yang seketika datang itu. Nadina sejenak memegang ujung bibirnya sebagai pertanda apa yang sang bibi katakan ada hubungannya dengan bibir luka milik Nadhif. Nadhif dengan segera meraba ujung bibirnya, dilihatnya jari jemarinya usai menyentuh bibir itu pelan. Warna merah membasahi jarinya. “Astaga! Sepertinya saya sudah membersihkannya tadi di toilet dan sudah tidak keluar lagi. Kenapa saat berada di hadapan keluarga dia malah tampak bebas keluar seperti ini!” batin Nadhif. “Aah, sudahlah! Tidak apa-apa! Tidak perlu malu seperti itu! Kita semua juga pasti pernah mengalami ini bukan?!” sergah sang bibi memandang Aminah mencari persetujuan wanita itu. “Jangan membuat mereka malu. Ayo segera duduk dan makan Nadhif, Nadina!” kekeh Aminah. Nadhif dan Nadina segera duduk di kursi makan mereka dengan perasaan canggung yang amat memba
“Ehm, umi jangan seperti ini. Nadina jadi malu. Nadina juga bingung harus menjawabnya seperti apa,” lirih Nadina akhirnya menjawab pertanyaan sang ibu mertua. “Ahaha, baiklah. Tidak perlu kamu jawab juga. Kalau begitu umi hanya akan menitipkan pesan padamu. Umi titip Nadhif ya, Sayang! Jika ada yang tidak kamu sukai darinya, kamu boleh memberitahunya baik-baik atau membicarakannya dengan umi. Umi akan dengan senang hati mendengarnya, Sayang!” papar Aminah. “Terima kasih, Umi!” Akhirnya Nadina kembali ke dalam ruang kamarnya dengan napas yang menggebu usai pintu itu kembali tertutup. Dirinya dengan cepat langsung menjatuhkan kembali tubuhnya ke ranjang dengan posisi tengkurap. “Sudah selesai bertemu uminya, Nadina? Apa yang terjadi?” Suara Nadhif sontak langsung membuat Nadina membalik tubuhnya. Wanita itu tampak langsung bangkit dari ranjang dan menghampiri sang suami. Ia berdiri tepat di depan Nadhif dengan jarak yang hanya satu ruas jari. Entah apa yang merasuki tubuh Nadina s
“Siapa, Nadina?” tanya Nadhif sambil berjalan mendekati Nadina yang kala itu masih membeku usai membaca pesan yang diterimanya dari Sadewa. Pertanyaan Nadhif juga pergerakan pemuda yang mendekatinya itu sontak membuat Nadina langsung menarik ponsel ke dekapannya. Nadina seketika menoleh ke arah Nadhif dan sebentar meneguk salivanya susah payah. “Bukan, Mas! Ini! Operator ternyata! Kita berangkat sekarang saja, ya!” pekik Nadina lalu langsung berjalan membuka pintu kamar. Dahi Nadhif mengerut melihat tingkah laku Nadina yang tampak mencurigakan. Namun tetap saja ia berusaha untuk percaya dengan apa yang sang istri katakan. Singkat cerita, keduanya kini telah berada di dalam mobil. Nadhif tengah fokus menyetir sementara Nadina tampak memandang kosong jalan di depannya sambil mengetuk-ketukkan jemarinya pada layar teleponnya. “Nadina,” panggil Nadhif sembari sedikit melirik. Tak ada balasan, Nadina tetap pada lamunannya. Nadhif menepikan mobilnya di depan salah satu kios yang masih
“Ibu! Kenapa ibu seperti seolah hendak mengatakan Nadina tidak memiliki teman? Tentu teman Nadina, Bu! Tak akan lama kok! Mas Nadhif juga bisa menemani ibu di sini untuk beberapa saat. Ya ‘kan, Mas?” sela Nadina mencari pembelaan. “Iya, Bu! Tidak apa-apa, mungkin Nadina sangat merindukan kawan-kawannya itu.” Nadhif tersenyum memandang Khoiri. Sementara itu, Khoiri balas tersenyum getir kepada sang menantu. Beberapa saat setelahnya, Nadina yang tengah mengatur hijabnya di depan kaca kamar dikejutkan dengan kedatangan Khoiri yang langsung menutup pintunya. “Nadina, kawan mana yang kamu maksud, Sayang? Kemarin sebelum pernikahan kamu bilang mereka semua sedang bekerja di luar kota?” terang Khoiri. “Ibu, teman Nadina itu banyak sekali! Bukan hanya yang itu saja. Ibu tidak perlu khawatir seperti itu, ah! Dia orang yang baik kok! Sangat baik, malah!” pekik Nadina sambil tersenyum. Wanita itu tampak terus memoles bibirnya dengan pewarna merah redam. Dan tersenyum di depan kaca seolah me
Di dalam kafe sana, Nadina langsung bernapas lega saat melihat mobil Nadhif telah keluar dari pelataran parkir kafe tersebut. Berulang kali ia mengucapkan terima kasih kepada keempat wanita itu karena telah membantunya, juga memesankan makanan untuk mereka semua. Saat sedang menunggu makanan tiba, Sadewa datang menghampiri Nadina ke meja tersebut. Seluruh wanita asing itu sedikit melirik siapakah pemuda yang kali ini mendekati Nadina lagi. Namun dengan lantang Nadina malah memperkenalkan Sadewa pada mereka. “Ehm, sekali lagi terima kasih, ya! Kalian bisa menikmati makanannya. Tenang saja aku yang akan membayarnya. Aku permisi dulu, ya!!” pekik Nadina lalu menggandeng Sadewa pergi dari sana tanpa keraguan. “Mereka siapa, Nadina?” tanya Sadewa sambil menoleh ke arah empat wanita itu bahkan saat Nadina telah menariknya pergi. “Ceritanya panjang, Mas! Kita cari tempat duduk saja dulu, ya!” pekik Nadina. “Bagaimana jika di dalam saja? Akan lebih tertutup dari depan. Aku takut jika Mas
Melati memegang tangan Nadina dan membuat Nadina segera menoleh. “Benar, Mbak. Semuanya begitu cepat. InsyaAllah Abi Ali yang membantu kami juga, apa Mbak Nadina tidak keberatan?” tanya Melati. Wajah terkejut Nadina seketika berubah menjadi raut bahagia, wanita itu bahkan balas memegang tangan Melati dan menepuknya sebentar. “Untuk apa aku keberatan, Mel? Sudah pasti aku sangat senang!! Akhirnya sahabatku ini akan menikah juga! Aku turut bahagia untuk kalian berdua, ya! Kapan tanggal pernikahannya?” Nadina menoleh bergantian ke arah Melati dan Rayyan. Sepasang calon suami istri itupun tampak tersipu malu dengan ucapan yang Rayyan tuturkan. Sementara itu Nadina bisa melihat dengan jelas kebahahiaan di mata keduanya. Termasuk kebahagiaan lain yang tak Nadina lihat saat Rayyan mengatakan pemuda itu telah jatuh hati padanya. “Syukurlajh jika mereka benar-benar telah menemukan satu sama lain!” batin Nadina masih terus tersenyum tulis. “Insyaallah dalam waktu dekat, Mbak! Kami sekalia
Nadina terbangun di sebuah brankar rumah sakit, ia menoleh ke kiri dan melihat brankar lain yang menaungi putranya yang tak sadarkan diri. Ia kembali meneteskan air matanya. Baru saja ia tersadar, ingatannya kembali memutar apa yang terjadi, ia kembali mengingat kenyataan pahit Azif yang telah meninggalkan dunia ini. “Sayang, tenangkan dirimu. Semua sudah Allah takdirkan. Hidup dan mati hanya ada di tangan Allah. Azfi tidak lagi merasa cemas, tidak lagi takut, tidak lagi sakit dan sedih, dia pasti telah bahagia di sana.” Aminah mengelus pucuk kepala Nadina. “Putramu baik-baik saja, dokter bilang ia akan siuman tak lama lagi. Pertolongan datang tepat waktu sebelum Adnan harus lebih banyak menghirup gas beracun itu, Nadina.” Nadina tak bisa membalas, ia hanya terdiam sementara air matanya terus mengalir. Di satu sisi ia bersyukur karena putranya dapat selamat. Di sisi lain, ia sedih atas kematian Azif. Bahkan keajaiban Allah mengirimkan Azif untuk memberinya petunjuk agar bisa meng
Rayyan berlari ke arah Nadina dan segera mengambil alih Adnan dari pelukan Nadina. “Rayyan?!” pekik Nadina terkejut bercampur bingung. “Jangan banyak bertanya dan bicara dulu, Nadina! Kita harus bawa Adnan ke rumah sakit sekarang!” pekik Rayyan langsung membawa Adnan pergi. Nadina menoleh ke belakang berniat menggendong Azif untuk juga pergi dari sana. Namun anehnya, bocah itu menghilang. Tak ada di sana, Nadina dengan sedikit kebingungan mesti melanjutkan langkahnya menyusul Rayyan. Tempat itu telah digerebek polisi, semua antek Azalea ditangkap, begitu pula dengan Azalea. Namun sudut mata Nadina menangkap bayangan Rukmi tengah menangis mengikuti petugas medis membawa seseorang lain masuk ke dalam ambulans. “Nadina, ayo cepat!!” pekik Rayyan mengingatkan Nadina untuk segera naik ke ambulans lain. Petugas medis segera melakukan pertolongan pertama pada Adnan, Nadina terus memegang tangan Adnan dan mengusapnya berharap sang anak akan sadar dan selamat. Rumah sakit menjadi tempat
“Azalea, berhentilah. Kau terlalu jauh. Adnan hanya anak kecil yang tak tahu apapun!” pekik Nadina. Azalea berjalan berkeliling ruangan menuju kaca tempat mereka bisa memandang Adnan yang mulai kelelahan itu. “Muhammad Adnan Maulana, dia memang masih seorang anak kecil berusia tujuh tahun, tapi ketahuilah Nadina. Anak tujuh tahun itu telah membuatku diadili oleh putraku sendiri!” “Ya, aku memang mengatur Azif untuk menarik perhatian Adnan. Aku membuat mereka berdua sangat dekat hingga Adnanmu itu sangat mempercayai putraku sehingga secara tak langsung mempercayaiku untuk secara cuma-cuma masuk ke dalam mobilku dan menemui kematiannya.” Pengakuan Azalea tiba-tiba mengingatkan Nadina dengan pesan Rukmi untuk terus menjaga diri dan putranya terlebih untuk tak mudah percaya kepada orang baru. “Tapi sayangnya! Anak kecil itu terlalu polos! Azifpun juga begitu! Dia rupanya sangat bahagia memiliki teman seperti Adnan, dia bahkan menyukaimu! Kau tahu? Telingaku panas mendengarnya merenge
Jantung Nadina seakan berhenti berdetak. Foto yang ada benar-benar membuatnya kebingungan. Tampak di foto Azif bersama Adnan tengah bersiap memasuki mobil bersama seorang wanita yang tak lain dam tak bukan memili paras wajah yang sama dengan Putri Azalea. “Ya Allah! Jadi apa yang aku lihat kemarin ini benar? Foto dalam telepon itu benar Putri Azalea? Jadi dia dan putranya, Azif? Masih hidup? Ya Allah, dan Adnan! Bagaimana dengannya sekarang!” Tangisan Nadina tak bisa lagi terbendung ia gemetar bahkan amat lemas dan nyaris tak bisa mengendalikan dirinya. Namun tiba-tiba sebuah telepon video datang. Nadina getar hendak mengangkatnya. Baru saja panggilan itu terhubung, wajah Adnan berada di sana. “Adnan!! Ya Allah! Adnan!!” teriak Nadina histeris. Putranya tampak duduk lemas pada sebuah kursi dengan tangan dan tubuh yang terikat. Bocah itu tampak kelelahan dan menunduk setengah tak sadarkan diri. [“Hai, Nadina! Apa kau terkejut?”] Suara yang tujuh tahun lalu menghilang kini kembali
“Nadina?!” pekik Rayyan yang terkejut atas kehadiran seseorang di kamar penginapannya itu. Pemuda itu segera berjalan memasuki kamar itu, Nadina terus berteriak seolah kembali teringat dengan kejadian kala itu. Rayyan meletakkan tasnya ke ranjang lalu mendekati Nadina dengan berjongkok. “Jangan!! Jangan mendekat!” teriak Nadina terus histeris. “Nadina! Ada apa?! Kau? Nadina! Ini aku Rayan! Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau di sini? Bagaimana bisa kau–” cecar Rayyan sembari menyentak pundak Nadina. Sentakan Rayyan seolah memberi membuat Nadina kembali tersadar. Wanita itu yang semula berteriak histeris ketakutan sekarang malah tampak menatap Rayyan tajam. Tangan Nadina dengan cepat mendorong Rayyan hingga pemuda itu tersungkur ke belakang. “Nadina? Apa yang kau la–” lirih Rayyan terputus. “Di mana, Adnan?!! Apa yang kau lakukan padanya, Ray!? Kenapa kau tega menyiksaku seperti ini?!! Kembalikan Adnan sekarang!! Di mana putraku?!” sergah Nadina segera bangkit dari posisinya. “
Nadina menyipitkan matanya, tepatnya ia tak menyangka jika Rayyan akan melakukan sesuatu senekat ini dengan mengambil Adnan dari sisinya dengan menggunakan kepercayaan yang telah diberikan ia dan keluarganya berikan. “Apa-apaan ini, Ray?! Jadi kau membawa Adnan dan mengancamku? Apa yang terjadi sebenarnya!?” sergah Nadina berusaha menelepon namun tetap saja Rayyan tak membalasnya. Tak mau semakin mengulur waktu apalagi Adnan yang menjadi taruhan, Nadina segera memeriksa share location yang Rayyan kirimkan. Tak menunggu kama, Nadina segera melakukan mobilnya dan mengikuti jalur yang ada pada petunjuk arah itu. Segala pujian, doa, serta dzikir terus keluar dari mulut Nadina. Dengan jelas raut kekhawatiran mewarnai wanita itu. Tak ada yang bisa ia lakukan saat ini selain fokus pada jalanan hingga bisa sampai secepat yang ia bisa. “Ya Allah, lindungi putraku. Jangan sampai ada sesuatu hal buruk menimpanya. Kumohin, ya Allah!” pekik Nadina. “Adnan, tunggu ibu ya, Nak! Ya Allah, bagai
Hari berganti hari, usia keputusan itu, Rayyan dan Nadina tak sesering dulu bertemu mungkin memang selayaknya pertemuan antara wali murid dan guru adalah seperti ini. Nadina yang semula ingin memutuskan kerja sama pada Rayyan untuk memberi kelas tambahan pada Adnan akhirnya mengurungkan niatnya. Ia sempat berbicara pada Adnan mengenai kekhawatirannya itu, dan jawaban yang sang putra berikan sangat membuatnya sadar. Ia tak perlu lagi menghindar. Ia tahu, Adnan mungkin sesekali merindukan ayahnya. Namun di dalam hati anak itu telah terpatri satu nama yang hanya akan menjadi aba untuknya. Muhammad Nadhif. Sejak kemarin Nadina, Adnan, dan Nadhin memutuskan untuk tinggal di rumah kedua orang tuanya, Harun dan Khoiri. Memang dalam satu bulan mereka akan ada waktu untuk tinggal bersama. Mengobati rasa rindu kepada anak cucu, serta orang tua dan kakek nenek. “Ibu senang kamu bisa lebih dewasa sekarang, Nadina. Ibu mendengar semuanya dari umi Aminah tentangmu dan pemuda itu. Apapun keputusa
Pertemuan itu diakhiri dengan penerimaan atas jawaban yang diutarakan dan maksud yang disampaikan. Usai meneguk habis teh dan mencicipi roti yang Nadina sajikan, akhirnya Rayyan memutuskan untuk pamit. Aminah maupun Nadina mengantar Rayyan hingga pemuda itu memasuki mobilnya. Sepertinya mobil itu beserta pengemudinya, Aminah menoleh ke pada Nadina. “Umi pasti sudah tahu jawabannya bukan?” celetuk Nadina. Aminah mengangguk paham. Memang benar wanita paruh baya itu paham jika entah bagaimana wanita itu menyampaikan alasannya, ia pasti akan tetap menyimpulkan penolakan atas niat lamaran yang hendak Rayyan berikan padanya. Aminah merangkul Nadina dan keduanya berbalik hendak kembali menuju dalem. “Maafkan Nadina jika keputusan Nadina mengecewakan abi dan umi. Tetapi maafkan Nadina umi, Nadina tidak mau sesuatu yang sama terjadi. Mas Nadhif telah merasakan banyak rasa sakit setelah menikah dengan Nadina hanya untuk meyakinkan Nadina pada cinta semata itu.” “Nadina tak akan bisa menan