Annisa menghapus air matanya. Dia meraih ponsel miliknya yang tergeletak di atas nakas saat benda pipih itu berdering cukup lama. Annisa pikir, Zidane yang meneleponnya untuk meminta maaf, tetapi dugaannya salah.
"Asalammualaikum, Nisa." Suara cempreng itu menyapa dari seberang telepon.
"Waalaikumsalam," jawab Annisa dengan suara serak karena habis menangis.
"Suara kamu kenapa, Nisa? Kamu habis nangis?" tanya Nayla bernada cemas. "Sekarang aku ada di depan rumahmu. Tolong bukakan pintunya."
Annisa beranjak dari tempat tidurnya dengan hati-hati berjalan menuruni anak tangga untuk membukakan pintu depan setelah sambungan teleponnya dia matikan secara sepihak.
"Ya ampun, Nisa ... kenapa wajah kamu sembab seperti ini?" Nayla langsung mengomentari wajah sahabatnya yang sembab akibat menangis.
Dia hendak mendekat, bermaksud memeluk Annisa, tetapi gadis berhijab itu segera menghindar kerena takut mengenai lukanya. Al
"Keputusan ada sama kamu, Nisa. Tapi sebaiknya kamu bicarakan dulu semua ini dengan suamimu, mana tahu ini hanya salah paham saja," ucap Nayla.Annisa terdiam, selanjutnya dia menghela napas panjang dengan pandangan kosong menerawang ke depan. Setelah dipikir-pikir, nasihat dari Nayla ada benarnya juga. Meski pun pada awalnya pernikahannya hanya sebatas kontrak, tetapi tetap saja semua itu sah secara hukum dan agama. Semua permasalahan harus dibicarakan terlebih dulu dengan kepala dingin sebelum mengambil keputusan."Kamu benar, aku harus membicarakan hal ini dengannya," ucap Annisa lirih. Dia melirik ke arah Nayla yang juga sedang menatap ke arahnya. "Tapi, bagaimana jika semua itu benar? Apa nanti aku akan sanggup menanggung rasa sakit ini?" sambungnya lagi."Sepertinya kamu sudah terperangkap jerat cinta suamimu," goda Nayla sambil tersenyum-senyum."Aku? Tidak!" Annisa menyangkal tuduhan Nayla sambil memalingkan wajahnya ke arah lain.Nayla ter
"Tahan sedikit, sakitnya tidak akan lama," ucap Zidane sambil mendongak melihat wajah istrinya.Gadis itu tak menjawab, terdiam sambil menggigit bibir bawabnya. Kedua tangannya meremas ujung handuk bawah yang dikenakannya."Selesai," ucap Zidane.Dia beranjak berdiri, memasukkan obat dan perban ke dalam kotak P3K, kemudian menaruh kotak itu pada tempatnya kembali.Annisa mengambil kesempatan itu untuk melarikan diri menuju kamar mandi karena tidak tahan menahan rasa malu dengan penampilannya saat ini yang lebih pantas disebut seperti wanita penggoda."Mau ke mana?" tanya Zidane.Langkah Annisa terhenti. Dia menelan salivanya dengan susah payah karena mendadak terasa menyangkut ditenggorokan. Gadis itu terdiam, tak berani menoleh.Tiba-tiba, selembar kain menyelimuti bagian atas tubuh Annisa yang terbuka. Rupanya, Zidane telah mengambil kemeja putih miliknya untuk dipakaikan pada istrinya. Dengan hati-hati, pria itu memasangkan satu pe
"Kalau ada apa-apa itu, coba dibicarain dulu. Bisa?" tanya Zidane.Netra tajam menyerupai elang itu menatap teduh wajah istrinya yang sedikit sembab, akibat menangis. Dia meraih kedua tangan Annisa dan menggenggamnya lembut, lalu menempelkan punggung telapak tangan itu di bibirnya."Aku ini hanya manusia biasa. Tak semua hal dapat kupahami hanya dengan menebak-nebak saja. Jadi, jika kamu tidak setuju dengan apa pun yang kulakukan, tolong katakan saja. Kita bisa membicarakannya dengan baik-baik hingga mendapatkan solusi terbaik," jelas Zidane sambil menatap dalam-dalam manik teduh di hadapannya."Maafkan aku karena telah membuatmu menangis. Maaf karena telah membuatmu salah paham," ucap Zidane lagi, tulus.Pandangan Annisa tertunduk selama beberapa detik, kemudian kembali menatp wajah suaminya dengan sorot yang sulit diartikan.Dia mendesah kasar. "Aku tidak suka melihatmu dekat dengan wanita lain, apa lagi mantanmu," akunya.Zidane tersenyum
Zidane mengakhiri pergumulannya dengan kecupan hangat di kening dan bibir istrinya."Terima kasih, Sayang, kau telah menjaganya selama ini," ucap Zidane sambil mengusap anak rambut yang menghalangi wajah istrinya.Tak ada jawaban yang terucap, hanya senyum tipis yang cantik dengan tatapan yang meneduhkan. Zidane ikut tersenyum, lalu menarik tubuh sang istri ke dalam dekapannya penuh kelembutan."Aku mencintaimu, Tazkia. Sangat mencintaimu," gumam Zidane.Annisa tersenyum dalam dekapan suaminya. Kepalanya menyembul agar bisa melihat wajah Zidane."Aku juga mencintaimu, Zidane," akunya.Mendengar pengakuan perasaan yang terucap dari mulut sang istri membuat hati Zidane berkembang penuh bunga-bunga bermekaran. Dia kembali mengecup kening Annisa cukup lama, menghirup aroma wangi tubuh sang istri hingga tembus ke dalam hati.Sejak saat itu, hubungan Zidane dengan Annisa semakin erat, penuh cinta dan kasih. Mereka saling berjanji untuk hidu
"Kau yang benar saja, Sayang. Mana mungkin aku suka dengannya, aku ini sangat normal. Bukankah aku sudah membuktikannya selama ini?" ujar Zidane kepada Annisa sambil mengedipkan sebelah matanya."Ch, dasar budak cinta!" cibir Rizky menyindir Zidane.Annisa yang merasa malu mendengar kalimat terakhir yang diucapkan suaminya itu langsung bersemu merah, lantas memukul bahu Zidane geram."Maksudku bukan seperti itu," sahut Annisa ketus kepada Zidane. Dia menoleh ke arah sekretaris suaminya. "Kau cocok dengan Tiara," katanya."Aku?" ulang Rizky yang langsung dibalas anggukkan plos oleh Annisa."Ya, tentu saja kau. Tidak mungkin aku mengatakannya untuk suamiku," ujar Annisa gemas.Zidane terkekeh pelan lantas menarik pinggang istrinya itu agar merapat dengannya. "Sudah sana, kejar jodohmu!" titahnya kepada Rizky. "Kami mau pergi makan siang sambil pacaran dulu. Yang lajang dilarang ikut, bahaya!" tegasnya sambil menarik Annisa meninggalkan Rizky y
Zidane mengusap tengkuknya yang tak gatal sambil memikirkan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan semua kepada papanya."Kay, apa benar kau bekerja di perusahaan Buana?" ulang Alfianto sambil menatap tajam putranya yang nampak kebingungan."Ya, sekarang aku menjadi bagian dari perusahaan Buana," jawabnya lemah sambil tertunduk. Sedetik kemudian Zidane mendongak, menatap wajah papanya yang sudah memerah menahan amarah."Beraninya kau melakukan semua itu?" geram Alfian kesal. "Apa kau sudah gila? Selama ini papa membiarkanmu bebas melakukan semua hal yang kau inginkan, tapi bukan berarti kau boleh bekerja di sana. Apa kau lupa bahwa selama ini perusahaan kita bersaing ketat dengan Buana Grup?" sambungnya lagi bernada penuh penekanan di setiap kata-katanya.Zidane terdiam tetapi tidak merasa bersalah atas apa yang dia putuskan untuk bergabung dengan Buana Grup. Meskipun Zidane tahu, pekutusannya tersebut akan membuat papanya murka."Apa kau sengaja i
"Apa aku terlihat cantik dengan pakaian ini, Ma?" tanya Nayla kepada mamanya.Gadis itu sedang berdiri di depan cermin, melihat pantulan tubuhnya sendiri yang sedang mencoba gaun yang baru saja dia dan mamanya beli untuk acara makan malam."Anak mama memang cantik," sahut mamanya Nayla sambil tersenyum memuji penampilan putrinya."Aaah, Mama bisa saja," ucapnya. Nayla merasa tersanjung dengan pujian sang mama dan langsung memeluk wanita paruh baya itu, tak lupa meninggalkan kecupan hangat di kedua pipi mamanya."Eh, Ma. Kira-kira dia seperti apa ya, sekarang?" tanya Nayla sambil menatap lurus ke depan, mengingat masa kecilnya bersama seorang pria yang saat ini dijodohkan dengannya."Tentu saja dia sangat tampan. Pokoknya kamu tidak akan merasa menyesal menerima perjodohan ini.""Benarkah?" tanya Nayla yang langsung dibalas anggukkan kepala oleh mamanya."Tapi, kenapa kalian tidak menunjukkan fotonya yang sekarang kepadaku?" Nayla cemb
"Zidane," panggil Annisa.Gadis itu menyembulkan kepalanya untuk melihat wajah Zidane yang sedang mendekapnya. Mereka baru saja selesai melakukan ritual wajib suami istri penuh gairah."Hm," gumam Zidane sambil kembali mengecup kening istrinya."Apa aku boleh menghadiri acara makan malam bersama Nayla? Tadi dia memintaku menemaninya," tanya Annisa. Dia masih menatap wajah suaminya dengan sorot yang berbinar teduh."Boleh," jawab Zidane."Benarkah?" Annisa terdengar bahagia. "Apa kamu juga akan ikut?" tanyanya.Zidane terdiam seperti sedang berpikir. "Kalau aku tidak ikut, apa kau akan marah?""Menangnya kenapa tidak ikut?" tanya Annisa sambil cemberut."Sebenarnya, besok sore aku akan menemui mama. Sudah lama tidak bertemu, jadi mama memintaku pulang," ucap Zidane.Kening Annisa mengerut. Dia segera merenggangkan tubuhnya agak menjauh agar bisa melihat wajah Zidane dengan jelas."Kenapa tidak bilang? Kalau begitu