Zidane terkejut saat mendapati ruang rawat yang ditempati Annisa dalam keadaan kosong. Ranjangnya sudah tertata rapi seperti tidak ada lagi yang menempati. Dia segera keluar, lalu bertanya kepada suster yang kebetulan melintas di depan Zidane.
"Maaf, Sus, istri saya ke mana, ya? Kenapa dia tidak ada di ruangannya?" tanya Zidane.
Kedua alis perawat itu mengernyit dalam, mencoba mencerna maksud pertanyaan Zidane baru saja. Namun, otaknya langsung terhubung saat pria itu menunjuk ke arah kamar yang beberapa saat lalu sudah mereka bereskan.
"Oh, pasien yang menempati kamar ini sudah pulang, Mas," jawabnya.
"Pulang?" ulang Zidane yang langsung dibalas anggukkan oleh perawat itu.
"Kenapa pulang? Bukankah keadaannya belum stabil?" tanya Zidane menyelidik.
"Maaf, Mas, saya tidak tahu hal ini. Mungkin sebaiknya Mas tanyakan saja kepada dokter yang bersangkutan," ujar perawat itu.
Zidane menghela napas panjang, lalu mengangguk pelan. "Terima ka
Saat tengah malam, Annisa terbangun karena tenggorokannya terasa kering. Gadis itu meringis saat hendak bangun karena bahunya masih terasa sakit. Dia menoleh ke samping, melihat Zidane sedang terlelap.Perlahan dan hati-hati Annisa bangun dan hendak turun dari ranjang. Namun, niatnya tertahan karena pergerakannya telah membangunkan pria yang tertidur di sebelahnya."Mau ke mana?" tanya Zidane dengan suara parau."Aku mau ambil minum," jawab Annisa sambil berniat untuk pergi."Biar aku saja. Tunggulah di sini sebentar," ucap Zidane.Annisa terpaku menatap punggung lebar suaminya menjauh dan menghilang di balik pintu. Tak butuh waktu lama, Zidane sudah kembali dengan membawa segelas air putih, secangkir cokelat hangat dan sepiring nasi lengkap dengan lauk pauknya."Aku hanya ingin munum. Kenapa kau membawa semua ini?" tanya Annisa sambil menatap nampan yang dibawa Zidane."Tadi kau balum sempat makan 'kan? Makanlah, aku sudah menghangat
Suara dering ponsel Zidane di pagi hari membuat pria itu merasa terusik. Dia berusaha menggapai benda pipih yang dia simpan di atas nakas dengan mata yang masih terpejam karena masih mengantuk.Zidane mengejapkan mata, menyesuaikan dengan silau cahaya dari layar ponselnya. Sambil menguap, dia menggeser icon berwarna hijau untuk menjawab panggilan yang ternyata dari Jenny."Ada apa menghubungiku sepagi ini?" tanya Zidane kepada Zenny yang meneleponnya.Meski enggan, dia terpaksa bangun dan turun dari tempat tidur. Berjalan menuju ke arah balkon agar suaranya tidak sampai mengganggu Annisa yang masih terlelap. Namun ternyata, istrinya itu sudah bangun, hanya saja dia berpura-pura masih tertidur.Annisa meremas selimutnya, menahan napas selama beberapa detik lalu mengembuskan secara perlahan melalui mulut untuk menetralisir rasa sesak di dadanya.Tak lama kemudian, Zidane kembali ke kamarnya. Dia sedikit terkejut melihat Annisa yang sudah bangun, teta
"Kamu mau apa ke sini?" tanya Annisa.Kedua alisnya mengernyit, menatap Zidane yang merangkak naik ke atas kasur, lalu berbaring di sampingnya tanpa merasa sungkan."Mau tidur lagi," jawabnya tak acuh.Annisa semakin terheran dengan sikap suaminya. "Bukannya seharusnya kamu ke kantor sekarang?""Urusan kantor sementara diatasi oleh Rizky. Aku cuti selama istriku masih sakit," jawab Zidane."Kenapa begitu?" tanya Annisa semakin bingung. "Aku tidak memintamu menemaniku. Aku bisa menjaga diriku sendiri," sambungnya lagi.Jujur saja, Annisa senang Zidane menunjukkan perhatian kepadanya. Namun, bila mengingat video kemarin, hatinya kembali merasa kecewa. Hal itu membuat moodnya seketika menjadi semakin buruk."Pergilah! Kau tidak perlu mencemaskanku. Aku akan baik-baik saja di sini," ujar Annisa datar.Zidane tersenyum tipis, tak menggubris perkataan istrinya. Dengan tanpa merasa bersalah sedikit pun, pria itu malah membalikkan tubu
Annisa menghapus air matanya. Dia meraih ponsel miliknya yang tergeletak di atas nakas saat benda pipih itu berdering cukup lama. Annisa pikir, Zidane yang meneleponnya untuk meminta maaf, tetapi dugaannya salah."Asalammualaikum, Nisa." Suara cempreng itu menyapa dari seberang telepon."Waalaikumsalam," jawab Annisa dengan suara serak karena habis menangis."Suara kamu kenapa, Nisa? Kamu habis nangis?" tanya Nayla bernada cemas."Sekarang aku ada di depan rumahmu. Tolong bukakan pintunya."Annisa beranjak dari tempat tidurnya dengan hati-hati berjalan menuruni anak tangga untuk membukakan pintu depan setelah sambungan teleponnya dia matikan secara sepihak."Ya ampun, Nisa ... kenapa wajah kamu sembab seperti ini?" Nayla langsung mengomentari wajah sahabatnya yang sembab akibat menangis.Dia hendak mendekat, bermaksud memeluk Annisa, tetapi gadis berhijab itu segera menghindar kerena takut mengenai lukanya. Al
"Keputusan ada sama kamu, Nisa. Tapi sebaiknya kamu bicarakan dulu semua ini dengan suamimu, mana tahu ini hanya salah paham saja," ucap Nayla.Annisa terdiam, selanjutnya dia menghela napas panjang dengan pandangan kosong menerawang ke depan. Setelah dipikir-pikir, nasihat dari Nayla ada benarnya juga. Meski pun pada awalnya pernikahannya hanya sebatas kontrak, tetapi tetap saja semua itu sah secara hukum dan agama. Semua permasalahan harus dibicarakan terlebih dulu dengan kepala dingin sebelum mengambil keputusan."Kamu benar, aku harus membicarakan hal ini dengannya," ucap Annisa lirih. Dia melirik ke arah Nayla yang juga sedang menatap ke arahnya. "Tapi, bagaimana jika semua itu benar? Apa nanti aku akan sanggup menanggung rasa sakit ini?" sambungnya lagi."Sepertinya kamu sudah terperangkap jerat cinta suamimu," goda Nayla sambil tersenyum-senyum."Aku? Tidak!" Annisa menyangkal tuduhan Nayla sambil memalingkan wajahnya ke arah lain.Nayla ter
"Tahan sedikit, sakitnya tidak akan lama," ucap Zidane sambil mendongak melihat wajah istrinya.Gadis itu tak menjawab, terdiam sambil menggigit bibir bawabnya. Kedua tangannya meremas ujung handuk bawah yang dikenakannya."Selesai," ucap Zidane.Dia beranjak berdiri, memasukkan obat dan perban ke dalam kotak P3K, kemudian menaruh kotak itu pada tempatnya kembali.Annisa mengambil kesempatan itu untuk melarikan diri menuju kamar mandi karena tidak tahan menahan rasa malu dengan penampilannya saat ini yang lebih pantas disebut seperti wanita penggoda."Mau ke mana?" tanya Zidane.Langkah Annisa terhenti. Dia menelan salivanya dengan susah payah karena mendadak terasa menyangkut ditenggorokan. Gadis itu terdiam, tak berani menoleh.Tiba-tiba, selembar kain menyelimuti bagian atas tubuh Annisa yang terbuka. Rupanya, Zidane telah mengambil kemeja putih miliknya untuk dipakaikan pada istrinya. Dengan hati-hati, pria itu memasangkan satu pe
"Kalau ada apa-apa itu, coba dibicarain dulu. Bisa?" tanya Zidane.Netra tajam menyerupai elang itu menatap teduh wajah istrinya yang sedikit sembab, akibat menangis. Dia meraih kedua tangan Annisa dan menggenggamnya lembut, lalu menempelkan punggung telapak tangan itu di bibirnya."Aku ini hanya manusia biasa. Tak semua hal dapat kupahami hanya dengan menebak-nebak saja. Jadi, jika kamu tidak setuju dengan apa pun yang kulakukan, tolong katakan saja. Kita bisa membicarakannya dengan baik-baik hingga mendapatkan solusi terbaik," jelas Zidane sambil menatap dalam-dalam manik teduh di hadapannya."Maafkan aku karena telah membuatmu menangis. Maaf karena telah membuatmu salah paham," ucap Zidane lagi, tulus.Pandangan Annisa tertunduk selama beberapa detik, kemudian kembali menatp wajah suaminya dengan sorot yang sulit diartikan.Dia mendesah kasar. "Aku tidak suka melihatmu dekat dengan wanita lain, apa lagi mantanmu," akunya.Zidane tersenyum
Zidane mengakhiri pergumulannya dengan kecupan hangat di kening dan bibir istrinya."Terima kasih, Sayang, kau telah menjaganya selama ini," ucap Zidane sambil mengusap anak rambut yang menghalangi wajah istrinya.Tak ada jawaban yang terucap, hanya senyum tipis yang cantik dengan tatapan yang meneduhkan. Zidane ikut tersenyum, lalu menarik tubuh sang istri ke dalam dekapannya penuh kelembutan."Aku mencintaimu, Tazkia. Sangat mencintaimu," gumam Zidane.Annisa tersenyum dalam dekapan suaminya. Kepalanya menyembul agar bisa melihat wajah Zidane."Aku juga mencintaimu, Zidane," akunya.Mendengar pengakuan perasaan yang terucap dari mulut sang istri membuat hati Zidane berkembang penuh bunga-bunga bermekaran. Dia kembali mengecup kening Annisa cukup lama, menghirup aroma wangi tubuh sang istri hingga tembus ke dalam hati.Sejak saat itu, hubungan Zidane dengan Annisa semakin erat, penuh cinta dan kasih. Mereka saling berjanji untuk hidu