BRAKKK!
Suara pintu dibuka dengan paksa. Annisa dan Yogi yang sedang berbicara dibuat kaget karenanya. Refleks keduanya menoleh, melihat pelaku yang sangat tidak sopan itu."Maudy?"Kedua alis Annisa menyatu, menatap bingung pada wanita yang baru saja memasuki ruangannya tanpa permisi.Seringai terukir di bibir Maudy, tatapannya begitu sinis melihat Annisa yang sedang duduk di atas ranjang."Apa kau sudah merasa puas sekarang, hah? Gara-gara kamu, sekarang mamaku dipenjara!" bentak Maudy sambil menunjuk ke arah Annisa.
Melihat hal itu, Yogi pun langsung beranjak dari tempat duduknya, lalu menepis tangan Maudy dan mendorongnya agar tidak melukai Annisa."Kau ini kenapa, Maudy? Datang-datang langsung bersikap tidak sopan seperti ini!" tegur Yogi.Maudy meliriknya sekilas, nampak sinis."Apa aku tidak salah? Kau baru saja membelanya? Membela orang yang sudah membuat papamu mas"Aku memang hancur, tapi kau lebih hancur, Annisa!" tegas Maudy.Annisa terbengong sambil mencerna maksud perkataan Maudy yang semakin melantur dan sulit dipahami."Maudy!" bentak Yogi.Dia sudah benar-benar geram dengan sikap Maudy saat ini. Memang benar, tujuannya datang menemui Annisa ialah untuk memastikan sesuatu selain meminta maaf. Namun, menurutnya saat ini bukan waktu yang tepat untuk mengatakan informasi yang mereka baru ketahui."Kenapa? Apa sekarang kau mulai luluh lagi dengan wanita ini?" tanya Maudy kepada Yogi bernada sinin.Yogi mendengkus kasar sambil mengusap wajahnya merasa kesal dengan keadaan seperti ini."Sebaiknya katakan saja apa yang ingin kau katakan. Jangan berbelit-belit!" tegas Annisa yang mulai kesal melihat tingkah Maudy dan Yogi yang sedari tadi meributkan sesuatu yang dia sendiri tidak tahu apa masalahnya."Aku beri waktu lima menit. Selesai tidak selesai, silakan kalian keluar dari sini!" tegasnya lag
Zidane terkejut saat mendapati ruang rawat yang ditempati Annisa dalam keadaan kosong. Ranjangnya sudah tertata rapi seperti tidak ada lagi yang menempati. Dia segera keluar, lalu bertanya kepada suster yang kebetulan melintas di depan Zidane."Maaf, Sus, istri saya ke mana, ya? Kenapa dia tidak ada di ruangannya?" tanya Zidane.Kedua alis perawat itu mengernyit dalam, mencoba mencerna maksud pertanyaan Zidane baru saja. Namun, otaknya langsung terhubung saat pria itu menunjuk ke arah kamar yang beberapa saat lalu sudah mereka bereskan."Oh, pasien yang menempati kamar ini sudah pulang, Mas," jawabnya."Pulang?" ulang Zidane yang langsung dibalas anggukkan oleh perawat itu."Kenapa pulang? Bukankah keadaannya belum stabil?" tanya Zidane menyelidik."Maaf, Mas, saya tidak tahu hal ini. Mungkin sebaiknya Mas tanyakan saja kepada dokter yang bersangkutan," ujar perawat itu.Zidane menghela napas panjang, lalu mengangguk pelan. "Terima ka
Saat tengah malam, Annisa terbangun karena tenggorokannya terasa kering. Gadis itu meringis saat hendak bangun karena bahunya masih terasa sakit. Dia menoleh ke samping, melihat Zidane sedang terlelap.Perlahan dan hati-hati Annisa bangun dan hendak turun dari ranjang. Namun, niatnya tertahan karena pergerakannya telah membangunkan pria yang tertidur di sebelahnya."Mau ke mana?" tanya Zidane dengan suara parau."Aku mau ambil minum," jawab Annisa sambil berniat untuk pergi."Biar aku saja. Tunggulah di sini sebentar," ucap Zidane.Annisa terpaku menatap punggung lebar suaminya menjauh dan menghilang di balik pintu. Tak butuh waktu lama, Zidane sudah kembali dengan membawa segelas air putih, secangkir cokelat hangat dan sepiring nasi lengkap dengan lauk pauknya."Aku hanya ingin munum. Kenapa kau membawa semua ini?" tanya Annisa sambil menatap nampan yang dibawa Zidane."Tadi kau balum sempat makan 'kan? Makanlah, aku sudah menghangat
Suara dering ponsel Zidane di pagi hari membuat pria itu merasa terusik. Dia berusaha menggapai benda pipih yang dia simpan di atas nakas dengan mata yang masih terpejam karena masih mengantuk.Zidane mengejapkan mata, menyesuaikan dengan silau cahaya dari layar ponselnya. Sambil menguap, dia menggeser icon berwarna hijau untuk menjawab panggilan yang ternyata dari Jenny."Ada apa menghubungiku sepagi ini?" tanya Zidane kepada Zenny yang meneleponnya.Meski enggan, dia terpaksa bangun dan turun dari tempat tidur. Berjalan menuju ke arah balkon agar suaranya tidak sampai mengganggu Annisa yang masih terlelap. Namun ternyata, istrinya itu sudah bangun, hanya saja dia berpura-pura masih tertidur.Annisa meremas selimutnya, menahan napas selama beberapa detik lalu mengembuskan secara perlahan melalui mulut untuk menetralisir rasa sesak di dadanya.Tak lama kemudian, Zidane kembali ke kamarnya. Dia sedikit terkejut melihat Annisa yang sudah bangun, teta
"Kamu mau apa ke sini?" tanya Annisa.Kedua alisnya mengernyit, menatap Zidane yang merangkak naik ke atas kasur, lalu berbaring di sampingnya tanpa merasa sungkan."Mau tidur lagi," jawabnya tak acuh.Annisa semakin terheran dengan sikap suaminya. "Bukannya seharusnya kamu ke kantor sekarang?""Urusan kantor sementara diatasi oleh Rizky. Aku cuti selama istriku masih sakit," jawab Zidane."Kenapa begitu?" tanya Annisa semakin bingung. "Aku tidak memintamu menemaniku. Aku bisa menjaga diriku sendiri," sambungnya lagi.Jujur saja, Annisa senang Zidane menunjukkan perhatian kepadanya. Namun, bila mengingat video kemarin, hatinya kembali merasa kecewa. Hal itu membuat moodnya seketika menjadi semakin buruk."Pergilah! Kau tidak perlu mencemaskanku. Aku akan baik-baik saja di sini," ujar Annisa datar.Zidane tersenyum tipis, tak menggubris perkataan istrinya. Dengan tanpa merasa bersalah sedikit pun, pria itu malah membalikkan tubu
Annisa menghapus air matanya. Dia meraih ponsel miliknya yang tergeletak di atas nakas saat benda pipih itu berdering cukup lama. Annisa pikir, Zidane yang meneleponnya untuk meminta maaf, tetapi dugaannya salah."Asalammualaikum, Nisa." Suara cempreng itu menyapa dari seberang telepon."Waalaikumsalam," jawab Annisa dengan suara serak karena habis menangis."Suara kamu kenapa, Nisa? Kamu habis nangis?" tanya Nayla bernada cemas."Sekarang aku ada di depan rumahmu. Tolong bukakan pintunya."Annisa beranjak dari tempat tidurnya dengan hati-hati berjalan menuruni anak tangga untuk membukakan pintu depan setelah sambungan teleponnya dia matikan secara sepihak."Ya ampun, Nisa ... kenapa wajah kamu sembab seperti ini?" Nayla langsung mengomentari wajah sahabatnya yang sembab akibat menangis.Dia hendak mendekat, bermaksud memeluk Annisa, tetapi gadis berhijab itu segera menghindar kerena takut mengenai lukanya. Al
"Keputusan ada sama kamu, Nisa. Tapi sebaiknya kamu bicarakan dulu semua ini dengan suamimu, mana tahu ini hanya salah paham saja," ucap Nayla.Annisa terdiam, selanjutnya dia menghela napas panjang dengan pandangan kosong menerawang ke depan. Setelah dipikir-pikir, nasihat dari Nayla ada benarnya juga. Meski pun pada awalnya pernikahannya hanya sebatas kontrak, tetapi tetap saja semua itu sah secara hukum dan agama. Semua permasalahan harus dibicarakan terlebih dulu dengan kepala dingin sebelum mengambil keputusan."Kamu benar, aku harus membicarakan hal ini dengannya," ucap Annisa lirih. Dia melirik ke arah Nayla yang juga sedang menatap ke arahnya. "Tapi, bagaimana jika semua itu benar? Apa nanti aku akan sanggup menanggung rasa sakit ini?" sambungnya lagi."Sepertinya kamu sudah terperangkap jerat cinta suamimu," goda Nayla sambil tersenyum-senyum."Aku? Tidak!" Annisa menyangkal tuduhan Nayla sambil memalingkan wajahnya ke arah lain.Nayla ter
"Tahan sedikit, sakitnya tidak akan lama," ucap Zidane sambil mendongak melihat wajah istrinya.Gadis itu tak menjawab, terdiam sambil menggigit bibir bawabnya. Kedua tangannya meremas ujung handuk bawah yang dikenakannya."Selesai," ucap Zidane.Dia beranjak berdiri, memasukkan obat dan perban ke dalam kotak P3K, kemudian menaruh kotak itu pada tempatnya kembali.Annisa mengambil kesempatan itu untuk melarikan diri menuju kamar mandi karena tidak tahan menahan rasa malu dengan penampilannya saat ini yang lebih pantas disebut seperti wanita penggoda."Mau ke mana?" tanya Zidane.Langkah Annisa terhenti. Dia menelan salivanya dengan susah payah karena mendadak terasa menyangkut ditenggorokan. Gadis itu terdiam, tak berani menoleh.Tiba-tiba, selembar kain menyelimuti bagian atas tubuh Annisa yang terbuka. Rupanya, Zidane telah mengambil kemeja putih miliknya untuk dipakaikan pada istrinya. Dengan hati-hati, pria itu memasangkan satu pe
“Kamu pasti bohong, kan?” Zidane berusaha untuk tidak percaya dengan kebenaran itu. Namun, binar mata Rizky yang tidak berkedip sedikit pun itu menghancurkan pengharapannya. “Saya punya buktinya, Pak. Orang suruhan Pak Alfian telah mengaku kepada kita. Bahkan saya sudah memberikan sejumlah uang yang nominalnya lebih besar dari yang ia terima agar pria itu mau membuka mulutnya,” jelas Rizky sambil mengutak atik layar IPADnya kemudian memberikannya kepada Zidane untuk dilihat pria itu. Zidane menggebrak meja lagi. Darahnya berdesir. Dadanya terasa sakit seperti ada pisau yang menusuk di sana. “Apa motifnya?” tanya Zidane lagi. Tangan lebarnya meraup wajah kasarnya. Rambut tipis telah tumbuh di dagu dan kumisnya akibat ia belum punya waktu untuk mencukur. “Perusahaan Alfian ingin menekan perusahaan ini agar anjlok dan tunduk di bawah kekuasaan mereka. rencana mereka ingin membeli separuh saham milik kita. Maka dari itu mereka sengaja menciptakan rumor palsu tentang perusahaan ini.” Z
Setelah mengetahui kebenaran kalau selama ini Annisalah yang membantu perusahaan ayahnya ketika hampir bangkut membuat Zidane semakin bersemangat untuk bekerja dan tidak boleh berleha-leha lagi. Zidane sangat berterimakasih kepada istrinya itu yang masih mau membantu perusahaan milik mertuanya meski Annisa belum mendapatkan restu sama sekali dari mereka. Cara satu-satunya yang bisa Zidane lakukan untuk membalas semua kebaikan istrinya meskipun tidak bisa semua kebaikan istrinya yang bisa ia balas adalah dengan memastikan pekerjaan di kantor bisa beres semua tanpa ada kesalahan sedikit pun. Zidane tidak boleh membebani Annisa lagi, istrinya itu belum cukup pulih benar. Selama kehamilan ini, keadaan Annisa selalu dipantau oleh dokter spesialis kandungannya. Dokter juga menyarankan Zidane untuk bisa menjadi suami siaga. Maka dari itu, sebisa mungkin ia tidak akan membawa pekerjaan ke rumah karena selama di rumah fokusnya harus penuh ke istrinya itu. Tumpukan berkas di meja Zidane dari
Zidane masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya barusan. Ternyata isi amplop cokelat besar itu adalah dokumen penting yang tertera bahwa Annisa telah mengalirkan dana miliaran rupiah ke perusahaan Alfian. Zidane baru menyadari bahwa orang yang telah membeli saham perusahaan Alfian ketika perusahaan itu hampir bangkrut adalah Annisa."Bagaimana bisa aku nggak tahu Kia melakukan ini di belakangku?" gumam Zidane seraya mengembus napas lirih. Ia agak sedikit marah karena waktu itu ia sudah melarang Annisa melakukan itu sebab tak mau dianggap sebagai suami yang memanfaatkan kekayaan sang istri. Kedua mata Zidane masih fokus membaca isi dokumen secara runut. Dari mulai lembaran pertama hingga ke lembaran selanjutnya. Saking fokusnya ia tak menyadari jika sudah menghabiskan waktu hampir lima belas menit. "Astaga! Aku ke kamar 'kan niatnya mau cari obatnya Kia." Zidane menepuk keningnya pelan. Ia pun kembali memasukkan lembaran-lembaran itu ke amplop dan menaruhnya di tempat semula. Ama
Zidane sejenak tertegun sambil memandang ke arah jendela ruang kantornya. Waktu sudah hampir petang sebab eksistensi matahari sebentar lagi akan digantikan oleh bulan. Sesekali ia mengembus napas kasar sebab memikirkan masalah yang tengah melanda perusahaannya. Suasana di ruangan kantor itu juga terasa sangat gelap dan sunyi, hanya terdengar denting jam dinding. Zidane sengaja tak menghidupkan lampu karena ia lebih senang berpikir dalam keadaan minim cahaya. Menurutnya itu bisa lebih membuat pikirannya rileks. Seperti yang diperintahkan oleh Zidane tadi, Rizky sudah menyuruh admin publishing untuk mengunggah sertifikat uji kelayakan produk milik perusahaan. Setelah sertifikat itu di-upload banyak pihak yang berkomentar dan komen negatif mulai sedikit terkikis. Untung saja mereka bertindak cepat, kalau tidak perusahaan akan mengalami kerugian lebih besar. "Saya juga sudah menangani beberapa artikel buruk mengenai produk kita, Pak. Semuanya akan dihapus secara bertahap," terang Rizky
“Annisa!!!” Zidane berteriak seperti orang kesetanan begitu sampai di rumah. Pria itu mencari istrinya ke setiap sudut rumah dengan perasaan campur aduk. Begitu melihat Annisa di dapur, ia langsung berlari dan memeluknya. “Kamu kenapa tumben pulang cepat?” tanya Annisa bingung begitu ia memisahkan diri dari pelukan Zidane. “Tangan kamu kenapa ini?” Zidane manatap tangan Annisa dengan penuh kekhawatiran begitu melihat tangan kanan Annisa yang penuh dengan luka gores. “Oh ini, tadi nggak sengaja kena duri mawar.” Tatapan Zidane kini beralih ke arah Vivi. “Mama nyuruh Annisa untuk melakukan ini semua kan? Iya kan? Jawab pertanyaan aku.” Vivi langsung memasang tampang masam. Kedua tangannya ia lipat di depan dada. “Istrimu yang ngadu ya? Mama cuma mau membantu Annisa semua nggak malas-malasan saja di kamar. Ternyata istri kamu ini adalah wanita yang lemah. Baru segini saja sudah mengeluh,” sindir Vivi. “Mama!!! Sudah berapa kali Zidane bilang kalau Annisa ini tidak boleh terlalu cap
Annisa terpaksa bangun dari istirahat siangnya begitu mendengar suara pintu kamar yang diketuk. Sejak tadi pagi tubuhnya letih sekali sehingga memutuskan untuk tidur setelah mengantarkan Zidane berangkat bekerja. Sudah beberapa hari Annisa dan Zidane memutuskan untuk tinggal di rumah Vivi dan Alfian demi mengupayakan agar Vivi bisa sembuh lebih cepat. Meskipun kurang nyaman, tapi Annisa mencoba untuk bertahan sekuat mungkin di rumah besar dan megah ini. Andaikan hubungan Annisa dengan Mama mertuanya tidak seburuk ini, mungkin ia akan betah untuk tinggal. Selama berada di sini, Annisa merasa waktu berjalan sangat lambat dibandingkan dengan waktu yang ia habiskan di rumahnya sendiri. Pun dengan Zidane yang akhir-akhir ini sering pulang terlambat dari kantor menambah kurangnya semangat Annisa dalam menjalani harinya. Annisa bisa saja meminta Zidane untuk kembali saja ke rumah mereka, tapi itu akan menambah buruk hubungannya dengan Vivi. Ditambah lagi Annisa tidak ingin mertuannya jatu
Keesokan harinya Tiara bisa bermalas-malasan di rumah karena memang sedang weekend. Tadinya ia akan pergi berkencan dengan Rizky, tapi nyatanya kekasihnya itu harus bekerja lembur sehingga rencana mereka gagal. "Ra, kamu sudah bangun belum?" panggil Rubi sambil mengetuk pintu kamar putri sulungnya. Tiara yang sudah bangun sedari tadi dan hanya main smartphone di atas kasur pun menyahuti mamanya dengan malas. "Aku udah bangun kok, Ma. Cuma lagi males aja keluar kamar. Lagian sekarang juga libur."Rubi yang berada di depan pintu kamar Tiara hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum. Ia paham betul putrinya itu memang suka sekali bermalas-malasan saat libur kerja. Namun, mulai saat ini ia harus segera mengubah pola hidup anaknya itu. "Sekarang kamu keluar dulu, Ra. Masa perempuan yang sudah mau dilamar orang kerjanya malas-malasan. Coba belajar untuk tetap mandi pagi dan turun dari kasur setelah bangun walaupun sedang libur," suruh Rubi. Tak berapa lama, Tiara muncul membuka pintu
Setelah berbincang dengan Zidane di kafe tadi, Rizky sedikit mempertimbangkan saran dari atasannya itu. Namun, ia masih merasa jika saat ini belum waktunya untuk menjelaskan semuanya pada Tiara. Hatinya masih meragu karena takut kekasihnya itu akan pergi jika ia menceritakan soal rencana perjodohannya. Waktu sekarang menunjukkan tepat pukul lima sore dan Rizky bersiap-siap untuk pulang. Namun, baru saja ia membuka pintu ruangannya tiba-tiba saja Tiara muncul di hadapannya sambil tersenyum manis. Wajah Rizky terlihat kusut karena sedari tadi memikirkan masalah perjodohannya. Sebagai kekasih dari Rizky, jelas Tiara bisa sangat peka jika pasangannya itu sedang menyembunyikan masalah. "Biasanya kalau aku muncul kamu langsung peluk aku terus nyengir. Nah ini kok kamu diem aja dan mukanya ditekuk gitu. Kamu ada masalah ya?" tebak Tiara sambil mengerutkan dahi dan menatap Rizky tajam. "Nggak ada kok. Aku cuma lagi capek aja soalnya kerjaan lagi numpuk," dalih Rizky. Tiara tak serta mert
Setelah menghabiskan waktu pagi bersama Annisa dengan sarapan dan berjalan-jalan di taman, Zidane pun berangkat ke kantor. Hatinya baru bisa lega saat istrinya itu sudah tidak marah lagi padanya. Sebenarnya Zidane agak khawatir meninggalkan Annisa sendiri di rumah orang tuanya, tapi Annisa meyakinkannya jika tidak akan ada masalah. Istrinya itu mengatakan jika bisa mengatasi semuanya dengan baik. Ia pun percaya karena memang harus segera berangkat ke kantor sebab pekerjaan sudah menunggu. "Aku berangkat dulu ya," pamit Zidane. "Hati-hati ya, Mas," sahut Annisa sambil mencium punggung tangan kanan suaminya. Zidane pun menaiki mobilnya menuju kantor. Ia harus segera sampai karena memang sudah telat. Untung saja tidak ada panggilan mendadak sehingga ia tak perlu terlalu terburu-buru. Lagi pula sebelumnya ia juga sudah menghubungi Rizky perihal kedatangannya yang terlambat. Baru saja sampai di kantor, Zidane langsung bergegas menuju ruangannya. Kedatangannya disambut oleh beberapa pe