"Zidane, kenapa kamu belum tidur?" tanya Annisa.
Dia beranjak bangun dan melihat jam yang menempel di dinding menunjukan sudah pukul dua dini hari. Namun, suaminya nampak masih sibuk membaca file-file yang diberikan Reza.
"Aku sedang mempelajari file penting perusahaan. Kenapa kamu bangun, Nona? Apa aku mengganggumu?" jawab Zidane. Dia merasa tidak enak hati karena telah mengganggu tidur Annisa dengan tidak mematikan lampu di kamarnya.
"Tidak. Aku terbangun karena tenggorokanku terasa kering," ucap Annisa sembali menurunkan kakinya dari ranjang.
"Oh. Tunggu sebentar, biar aku ambilkan minum untukmu." Zidane bersiap untuk pergi mengambilkan air minum untuk sang istri. Namun, niatnya tertahan karena Annisa mencegahnya.
"Tidak perlu. Aku bisa mengambilnya sendiri di dapur. Kamu lanjutkan saja pekerjaanmu," ucap Annisa sambil beranjak berdiri dan bersiap untuk pergi.
Zidane hanya mengangguk membiarkan istrinya pergi ke dapur, lalu dia mela
Sinar matahari pagi menyeruak masuk melalui celah-celah kaca jendela kamar, menerpa wajah cantik yang masih bergelung dalam selimut. Menyilaukan sekaligus menghangatkan.Gadis itu menggeliat merenggangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku, lalu menguap hingga sudut matanya mengeluarkan cairan bening karena masih mengantuk.Waktu menunjukkan sudah pukul 7.30 lewat beberapa detik. Annisa beranjak bangun dan turun dari tempat tidurnya, berniat untuk membereskan mukena dan sajadah yang dia pakai untuk salat subuh tadi. Namun, niatnya diurungkan karena ternyata seseorang sudah membereskannya lebih dulu."Pasti Zidane yang melakukannya," gumam Annisa. Seulas senyum tipis terukir di bibirnya.Ingatannya berputar pada percakapan tadi malam mengenai kejelasan hubungannya dengan Zidane. Dan mereka sudah sepakat akan memulai semuanya dari persahabatan. Setidaknya, sekarang mereka tidak akan merasa canggung satu sama lain saat sedang berdekatan."Sudah bangu
"Bagaimana menurutmu? Apa kamu sudah paham semuanya?" tanya Annisa. Zidane terdiam sambil mengusap dagunya dengan pandangan tertuju pada file terakhir yang dia baca. Tak lama kemudian, kepala pria itu mengangguk-angguk pelan. "Ya, aku sudah mengerti." Annisa mengernyitkan alisnya merasa tidak yakin dengan jawaban Zidane karena pria itu berucap dengan ekspresi yang bertolak belakang dengan perkataannya. "Tapi kenapa aku merasa tidak yakin denganmu?" tanya Annisa, serius. Pria beralis tebal itu mengusap tengkuknya yang tidak gatal. "Apa yang membuatmu ragu, Nona?" "Ekspresi wajahmu menjelaskan bahwa kamu sedang ragu," sahut Annisa ketus. Zidane menyeringai, bersikap seolah tak melakukan dosa. "Entah kenapa, tiba-tiba saja jantungku berdebar hebat? Aku takut tidak bisa menjaga amanah ini, Nona." Nampak terlihat sorot kecemasan tersirat pada mata pria itu saat menatap istrinya. Ada gundah yang tak bisa dijel
Suara dering beserta getaran ponsel yang beradu dengan meja berhasil memecah keheningan yang tercipta di antara pasangan suami istri yang sedang terhanyut dalam pikiran masing-masing.Tersadar akan jarak yang begitu dekat, membuat keduanya refleks saling menjauh. Yang satu menarik kursi tempat duduknya semula, lalu meminum minuman yang dibawakan oleh pelayan tadi.Sementara yang lainnya segera meraih ponsel miliknya yang tergeletak di atas meja untuk menjawab panggilan dari seseorang yang menghubunginya.Annisa berdehem pelan sebelum menggeser icon berwarna hijau untuk menetralkan suasana hatinya yang sedari tadi menjadi tidak karuan akibat ulah sang suami."Halo, asalamualaikum," sapanya kepada seseorang yang ada di seberang panggilan."Ya, ada apa Papa menghubungiku?" tanyanya.Rupanya Reza lah orang yang sedang berbicara dengan Annisa melalui sambungan telepon. Awalnya, Zidane tidak tertarik mencari tahu apa yang sedang istri dan mertuany
"Syukurlah kalau begitu. Papa lega mendengarnya," ucap Reza sambil mengangguk-anggukkan kepala.Tak lama kemudian pria paruh baya itu beranjak berdiri sambil membenarkan jas yang dikenakannya."Sarah, Maudy, mari kita pulang sekarang!" titah Reza pada istri dan anak tirinya yang langsung disambut riang oleh kedua wanita berbeda usia itu. Mereka memang sudah tidak betah berlama-lama diam di rumah kumuh dan sempit itu."Jadi, Papa ke sini hanya untuk ini saja?" tanya Annisa, tak percaya. Senyum simpul terukir di bibir tipisnya. Setelah itu, dia pun ikut beranjak dari duduknya diikuti oleh Zidane."Terima kasih karena Papa sudah mau berkunjung ke rumah kami," ucap Zidane sopan, yang dibalas anggukkan ringan oleh Reza.Pria paruh baya itu menepuk dan sedikit mencengkram sebelah pundak menantunya sambil menatapnya dalam."Kamu sudah siap untuk besok?" tanyanya.Zidane tersenyum tipis, kemudian mengangguk yakin."InsyaAllah, saya sia
Seluruh jajaran dewan direksi perusahaan sudah berkumpul di dalam ruang meeting. Sesuai informasi yang mereka dengar beberapa hari yang lalu bahwa hari ini akan diumumkan pergantian CEO lama dengan yang baru."Kamu sudah siap?" tanya Annisa kepada Zidane.Gadis berhijab itu menghentikan langkahnya sejenak di depan pintu ruang meeting. Memastikan bahwa suaminya sudah benar-benar bersiap, baik fisik atau pun mental.Zidane membalas tatapan istrinya dengan senyum manis merekah di bibirnya."Aku sudah siap, Nona."Annisa mengangguk, puas. Dia menghela napas panjang sebelum memegang gagang pintu untuk membukanya."Tunggu, Nona!""Apa?" tanya Annisa heran."Apa sekarang aku sudah terlihat pantas bersanding denganmu?" Zidane merapikan dasi dan jas yang dikenakannya.Mata Annisa menyipit, menatap tajam wajah suaminya yang akhir-akhir ini selalu bersikap menyebalkan."Ya, dan walau tidak berpenampilan seperti ini, kau teta
[Kamu di mana, Nona?][Aku sedang di perjalanan menuju ke kantor. Ada apa?]Zidane tersenyum begitu membaca pesan balasan dari Annisa. Dengan cepat dia mengetikkan pesan untuk istrinya lagi.[Sudah jam istirahat. Mau makan siang bersama denganku, Nona?][Baiklah. Kita bertemu di restoran dekat kantor.]Lagi-lagi, Zidane tersenyum membaca balasan pesan dari istrinya. Dia langsung mematikan laptop yang masih menyala dan memasukkan ponsel ke dalan saku jas, kemudian bergegas pergi menuju ke restoran untuk menemui Annisa.Derap langkah Zidane tak lepas dari perhatian para karyawan yang masih ada di kubikel-nya. Mereka terpesona dengan ketampanan wajah CEO baru yang masih sangat muda."Lihat, lihat. Ternyata benar kata teman-teman, CEO kita masih muda dan sangat tampan," ucap salah satu gadis berambut sebahu kepada teman yang ada di sebelah kubikel-nya."Iya, dia memang sangat tampan dan mempesona," ucap gadis lainnya sambil menatap
Setelah makan siang, Zidane kembali ke kantor bersama Annisa. Kehadiran mereka yang datang bersama-sama menyita perhatian para karyawan yang sudah berada di kubikel-nya masing-masing.Berbagai macam tatapan tersirat di mata para karyawan itu, mengekspresikan pikiran mereka. Ada yang terpesona dengan keserasian atasannya itu, ada juga yang iri dan cemburu, juga pikiran-pikiran lainnya.Meski bisikan-bisikan tersebut terdengar di telinga Zidane dan Annisa, tetapi mereka tak mengacuhkannya."Terima kasih sudah mengantarkan hingga ke ruanganku," ucap Annisa.Seulas senyum manis terukir di bibirnya."Sama-sama, Nona. Aku akan melakukan ini setiap harinya," jawab Zidane."Selesai bekerja, kita pulang sama-sama." Zidane menyambung perkataannya.Annisa mengangguk mengiakan. Kemudian, tanpa aba-aba pria tampan itu mengusap puncak kepala yang berbalut hijab itu dengan lembut."Aku pergi dulu," pamitnya.Annisa tak menjawab. Dia te
"Jadi, ini rumah baru kita?""Ya. Bagaimana menurutmu?" Zidane balik bertanya kepada Annisa.Dia menatap wajah istrinya dari samping sambil tersenyum tipis."Aku suka," jawab Annisa.Gadis itu berjalan mendahului Zidane untuk memeriksa bangunan berukuran minimalis yang akan menjadi rumah barunya.Ya, setidaknya ini lebih layak dari pada tempat tinggalnya yang lama. Walau namanya apartemen, tetapi lebih pas disebut rumah kontrakan kecil.Rumah itu memang tidak sebesar rumah Reza yang mewah. Bangunan ini lebih kecil, memiliki satu kamar utama yang ada di lantai dua dan satu kamar tamu di lantai bawah, dapur, dan ruang tamu, dan ruang TV.Saat gadis itu sedang melihat-kihat seluruh ruangan, tiba-tiba saja dia teringat akan sesuatu.Dari mana suaminya mendapatkan banyak uang untuk membeli rumah?Annisa menoleh ke belakang, ke arah Zidane yang berdiri di belakangnya."Zidane, kamu mendapatkan uang dari mana untuk membe
“Kamu pasti bohong, kan?” Zidane berusaha untuk tidak percaya dengan kebenaran itu. Namun, binar mata Rizky yang tidak berkedip sedikit pun itu menghancurkan pengharapannya. “Saya punya buktinya, Pak. Orang suruhan Pak Alfian telah mengaku kepada kita. Bahkan saya sudah memberikan sejumlah uang yang nominalnya lebih besar dari yang ia terima agar pria itu mau membuka mulutnya,” jelas Rizky sambil mengutak atik layar IPADnya kemudian memberikannya kepada Zidane untuk dilihat pria itu. Zidane menggebrak meja lagi. Darahnya berdesir. Dadanya terasa sakit seperti ada pisau yang menusuk di sana. “Apa motifnya?” tanya Zidane lagi. Tangan lebarnya meraup wajah kasarnya. Rambut tipis telah tumbuh di dagu dan kumisnya akibat ia belum punya waktu untuk mencukur. “Perusahaan Alfian ingin menekan perusahaan ini agar anjlok dan tunduk di bawah kekuasaan mereka. rencana mereka ingin membeli separuh saham milik kita. Maka dari itu mereka sengaja menciptakan rumor palsu tentang perusahaan ini.” Z
Setelah mengetahui kebenaran kalau selama ini Annisalah yang membantu perusahaan ayahnya ketika hampir bangkut membuat Zidane semakin bersemangat untuk bekerja dan tidak boleh berleha-leha lagi. Zidane sangat berterimakasih kepada istrinya itu yang masih mau membantu perusahaan milik mertuanya meski Annisa belum mendapatkan restu sama sekali dari mereka. Cara satu-satunya yang bisa Zidane lakukan untuk membalas semua kebaikan istrinya meskipun tidak bisa semua kebaikan istrinya yang bisa ia balas adalah dengan memastikan pekerjaan di kantor bisa beres semua tanpa ada kesalahan sedikit pun. Zidane tidak boleh membebani Annisa lagi, istrinya itu belum cukup pulih benar. Selama kehamilan ini, keadaan Annisa selalu dipantau oleh dokter spesialis kandungannya. Dokter juga menyarankan Zidane untuk bisa menjadi suami siaga. Maka dari itu, sebisa mungkin ia tidak akan membawa pekerjaan ke rumah karena selama di rumah fokusnya harus penuh ke istrinya itu. Tumpukan berkas di meja Zidane dari
Zidane masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya barusan. Ternyata isi amplop cokelat besar itu adalah dokumen penting yang tertera bahwa Annisa telah mengalirkan dana miliaran rupiah ke perusahaan Alfian. Zidane baru menyadari bahwa orang yang telah membeli saham perusahaan Alfian ketika perusahaan itu hampir bangkrut adalah Annisa."Bagaimana bisa aku nggak tahu Kia melakukan ini di belakangku?" gumam Zidane seraya mengembus napas lirih. Ia agak sedikit marah karena waktu itu ia sudah melarang Annisa melakukan itu sebab tak mau dianggap sebagai suami yang memanfaatkan kekayaan sang istri. Kedua mata Zidane masih fokus membaca isi dokumen secara runut. Dari mulai lembaran pertama hingga ke lembaran selanjutnya. Saking fokusnya ia tak menyadari jika sudah menghabiskan waktu hampir lima belas menit. "Astaga! Aku ke kamar 'kan niatnya mau cari obatnya Kia." Zidane menepuk keningnya pelan. Ia pun kembali memasukkan lembaran-lembaran itu ke amplop dan menaruhnya di tempat semula. Ama
Zidane sejenak tertegun sambil memandang ke arah jendela ruang kantornya. Waktu sudah hampir petang sebab eksistensi matahari sebentar lagi akan digantikan oleh bulan. Sesekali ia mengembus napas kasar sebab memikirkan masalah yang tengah melanda perusahaannya. Suasana di ruangan kantor itu juga terasa sangat gelap dan sunyi, hanya terdengar denting jam dinding. Zidane sengaja tak menghidupkan lampu karena ia lebih senang berpikir dalam keadaan minim cahaya. Menurutnya itu bisa lebih membuat pikirannya rileks. Seperti yang diperintahkan oleh Zidane tadi, Rizky sudah menyuruh admin publishing untuk mengunggah sertifikat uji kelayakan produk milik perusahaan. Setelah sertifikat itu di-upload banyak pihak yang berkomentar dan komen negatif mulai sedikit terkikis. Untung saja mereka bertindak cepat, kalau tidak perusahaan akan mengalami kerugian lebih besar. "Saya juga sudah menangani beberapa artikel buruk mengenai produk kita, Pak. Semuanya akan dihapus secara bertahap," terang Rizky
“Annisa!!!” Zidane berteriak seperti orang kesetanan begitu sampai di rumah. Pria itu mencari istrinya ke setiap sudut rumah dengan perasaan campur aduk. Begitu melihat Annisa di dapur, ia langsung berlari dan memeluknya. “Kamu kenapa tumben pulang cepat?” tanya Annisa bingung begitu ia memisahkan diri dari pelukan Zidane. “Tangan kamu kenapa ini?” Zidane manatap tangan Annisa dengan penuh kekhawatiran begitu melihat tangan kanan Annisa yang penuh dengan luka gores. “Oh ini, tadi nggak sengaja kena duri mawar.” Tatapan Zidane kini beralih ke arah Vivi. “Mama nyuruh Annisa untuk melakukan ini semua kan? Iya kan? Jawab pertanyaan aku.” Vivi langsung memasang tampang masam. Kedua tangannya ia lipat di depan dada. “Istrimu yang ngadu ya? Mama cuma mau membantu Annisa semua nggak malas-malasan saja di kamar. Ternyata istri kamu ini adalah wanita yang lemah. Baru segini saja sudah mengeluh,” sindir Vivi. “Mama!!! Sudah berapa kali Zidane bilang kalau Annisa ini tidak boleh terlalu cap
Annisa terpaksa bangun dari istirahat siangnya begitu mendengar suara pintu kamar yang diketuk. Sejak tadi pagi tubuhnya letih sekali sehingga memutuskan untuk tidur setelah mengantarkan Zidane berangkat bekerja. Sudah beberapa hari Annisa dan Zidane memutuskan untuk tinggal di rumah Vivi dan Alfian demi mengupayakan agar Vivi bisa sembuh lebih cepat. Meskipun kurang nyaman, tapi Annisa mencoba untuk bertahan sekuat mungkin di rumah besar dan megah ini. Andaikan hubungan Annisa dengan Mama mertuanya tidak seburuk ini, mungkin ia akan betah untuk tinggal. Selama berada di sini, Annisa merasa waktu berjalan sangat lambat dibandingkan dengan waktu yang ia habiskan di rumahnya sendiri. Pun dengan Zidane yang akhir-akhir ini sering pulang terlambat dari kantor menambah kurangnya semangat Annisa dalam menjalani harinya. Annisa bisa saja meminta Zidane untuk kembali saja ke rumah mereka, tapi itu akan menambah buruk hubungannya dengan Vivi. Ditambah lagi Annisa tidak ingin mertuannya jatu
Keesokan harinya Tiara bisa bermalas-malasan di rumah karena memang sedang weekend. Tadinya ia akan pergi berkencan dengan Rizky, tapi nyatanya kekasihnya itu harus bekerja lembur sehingga rencana mereka gagal. "Ra, kamu sudah bangun belum?" panggil Rubi sambil mengetuk pintu kamar putri sulungnya. Tiara yang sudah bangun sedari tadi dan hanya main smartphone di atas kasur pun menyahuti mamanya dengan malas. "Aku udah bangun kok, Ma. Cuma lagi males aja keluar kamar. Lagian sekarang juga libur."Rubi yang berada di depan pintu kamar Tiara hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum. Ia paham betul putrinya itu memang suka sekali bermalas-malasan saat libur kerja. Namun, mulai saat ini ia harus segera mengubah pola hidup anaknya itu. "Sekarang kamu keluar dulu, Ra. Masa perempuan yang sudah mau dilamar orang kerjanya malas-malasan. Coba belajar untuk tetap mandi pagi dan turun dari kasur setelah bangun walaupun sedang libur," suruh Rubi. Tak berapa lama, Tiara muncul membuka pintu
Setelah berbincang dengan Zidane di kafe tadi, Rizky sedikit mempertimbangkan saran dari atasannya itu. Namun, ia masih merasa jika saat ini belum waktunya untuk menjelaskan semuanya pada Tiara. Hatinya masih meragu karena takut kekasihnya itu akan pergi jika ia menceritakan soal rencana perjodohannya. Waktu sekarang menunjukkan tepat pukul lima sore dan Rizky bersiap-siap untuk pulang. Namun, baru saja ia membuka pintu ruangannya tiba-tiba saja Tiara muncul di hadapannya sambil tersenyum manis. Wajah Rizky terlihat kusut karena sedari tadi memikirkan masalah perjodohannya. Sebagai kekasih dari Rizky, jelas Tiara bisa sangat peka jika pasangannya itu sedang menyembunyikan masalah. "Biasanya kalau aku muncul kamu langsung peluk aku terus nyengir. Nah ini kok kamu diem aja dan mukanya ditekuk gitu. Kamu ada masalah ya?" tebak Tiara sambil mengerutkan dahi dan menatap Rizky tajam. "Nggak ada kok. Aku cuma lagi capek aja soalnya kerjaan lagi numpuk," dalih Rizky. Tiara tak serta mert
Setelah menghabiskan waktu pagi bersama Annisa dengan sarapan dan berjalan-jalan di taman, Zidane pun berangkat ke kantor. Hatinya baru bisa lega saat istrinya itu sudah tidak marah lagi padanya. Sebenarnya Zidane agak khawatir meninggalkan Annisa sendiri di rumah orang tuanya, tapi Annisa meyakinkannya jika tidak akan ada masalah. Istrinya itu mengatakan jika bisa mengatasi semuanya dengan baik. Ia pun percaya karena memang harus segera berangkat ke kantor sebab pekerjaan sudah menunggu. "Aku berangkat dulu ya," pamit Zidane. "Hati-hati ya, Mas," sahut Annisa sambil mencium punggung tangan kanan suaminya. Zidane pun menaiki mobilnya menuju kantor. Ia harus segera sampai karena memang sudah telat. Untung saja tidak ada panggilan mendadak sehingga ia tak perlu terlalu terburu-buru. Lagi pula sebelumnya ia juga sudah menghubungi Rizky perihal kedatangannya yang terlambat. Baru saja sampai di kantor, Zidane langsung bergegas menuju ruangannya. Kedatangannya disambut oleh beberapa pe