Wajah Vivi tampak ditekuk dan terlihat masam walaupun sekarang ia sudah berada di rumah. Sebenarnya pihak rumah sakit masih memintanya untuk dirawat, tapi Vivi bersikeras ingin pulang. "Nyonya, ayo dimakan dulu. Sudah dari kemarin Nyonya tidak mau makan, saya takut nanti kondisi tubuh Nyonya drop lagi," bujuk Bi Sarti salah satu asisten rumah tangga di kediaman Alfian dan Vivi. "Saya nggak nafsu makan. Bawa aja semua ini keluar," perintah Vivi. Bi Sarti pun merasa bingung karena majikannya tidak mau makan. Namun, ia tak punya kuasa untuk membantahnya dan akhirnya menurut saja. Begitu baru sampai di ambang pintu, ia tak sengaja berpapasan dengan Alfian. "Kamu kenapa nggak mau makan lagi?" tanya Alfian yang baru saja muncul dari luar. Pria paruh baya itu baru pulang dari kantor dan langsung merasa pusing akibat ulah istrinya yang selalu saja menolak makan dari kemarin. "Aku nggak mau makan sebelum Kayson pulang," jawab Vivi dengan memasang tampang merajuk. Alfian berjalan mendekat
Annisa memulai rencana untuk membujuk Zidane agar mau pulang ke rumah orangtuanya. Meskipun tubuhnya sedikit lelah, ia memutuskan masak makanan untuk makan malam Zidane yang tentunya masih dibantu oleh asisten rumah tangganya. Annisa cukup tahu diri. Ia tidak boleh kelelahan selama hamil muda ini. Ia tidak boleh egois sekarang karena di dalam tubuhnya kini hidup buah hati yang telah lama dinantikan oleh dirinya dan Zidane. Annisa juga berharap kelak anak yang akan dilahirkannya ini bisa menjadi jembatan untuk dirinya dan juga mertuanya. Annisa menunggu Zidane dengan raut gembira. Ia juga sudah membersihkan diri dan menggunakan baju terbaiknya. Bunyi klakson mobil dari luar berbunyi nyaring yang menandakan kalau Zidane telah pulang. Senyum mengembang di wajah Annisa. Ia pun berlari kecil menyambut suaminya. “Mas sudah pulang. Bagaimana kerjaan hari ini? Pasti banyak banget, ya? Kasian suamiku kelihatan sekali wajah lelahnya.” Annisa menyalimi punggung tangan Zidane. Tak lupa juga m
“Mama … jaga ucapanmu. Annisa memang sering seperti ini setiap pagi. Dia morning sickness.” Zidane memperingatkan Vivi. Vivi mencibir, “Alah! Mama yakin itu cuma alasannya dia untuk mengejek masakan Mama. Kemarin saat Mama ke rumah kalian, dia nggak seperti itu.” Vivi sudah kehilangan selera untuk makan. Annisa tidak dapat membela diri akibat lonjakan hebat di dalam perutnya. Tak tahan lagi akhirnya Annisa memutuskan untuk pergi mencari kamar mandi. Zidane yang khawatir lantas ikut berdiri dan menyusul istrinya. “Kalau sakit mending suruh dia pulang saja, Kay. Jangan menambah beban keluarga kita.” Vivi berteriak kencang hingga terdengar oleh Annisa di kamar mandi. “Kita pulang saja, ya,” ucap Zidane pada akhirnya. Tangan lebarnya mengusap punggung Annisa Sesekali ia memijat tengkuk Annisa agar perempuan itu merasa nyaman. Annisa muntah terus-terusan dan hanya mengeluarkan air liur sebab ia memang belum sarapan apapun dari tadi. Meskipun hati Annisa merasakan perih akibat mendeng
“Om nggak bilang, ya, sama Tante kalau kemarin Om Alfian mendatangi saya untuk memohon agar bisa membujuk Zidane kembali ke sini?” Annisa bertanya kepada Vivi dengan suara keras hampir setengah berteriak agar Alfian yang secara tidak sengaja baru keluar dari kamarnya. Vivi menaikkan sedikit dagunya ke atas. “Maksud kamu apa? Jelas-jelas yang berhasil membujuk Zidane kembali itu suami saya.” Annisa tertawa dalam hati. Rupanya Om Alfian tidak berkata jujur kepada istrinya. Rupanya pria itu ingin mencari nama di depan Vivi tanpa mengatakan kebenarannya hingga membuat Vivi masih membencinya. “Yang membujuk Zidane agar mau ke sini itu saya, Tante. Om Alfian memohon kepada saya agar membantunya merayu Zidane untuk kembali ke rumah ini. Karena Om Alfian sudah kehabisan cara,” sembur Annisa lagi. Annisa memang orang yang sabar. Ia ingin sekali tante Vivi cepat sembuh bahkan setiap malam ia berdoa untuk kesembuhan mertuanya itu. Namun, kali ini mertuanya juga perlu tahu sebuah kebenaran te
Pikiran Zidane bercabang. Raganya mungkin ada di kantor, mendengarkan laporan dari beberapa divisi saat rapat yang memang berlangsung hari ini. Namun, pikiran dan hatinya tetap berada di rumah. Belum ada beberapa jam ia berpisah dengan Annisa, Zidane sudah merindukan istrinya itu lagi dan lagi. Zidane membolak balikkan laporan yang sedang dipresentasikan oleh salah satu pegawai divisi di perusahannya itu, kemudian pandangannya beralih menuju jam di tangannya. Rupanya waktu makan siang masih lama. Zidane menghela napasnya lelah, harusnya ia izin tidak bekerja saja hari ini. Harusnya ia tidak memaksakan diri untuk masuk kerja kalau ternyata ia tidak bisa memusatkan pikirannya pada pekerjaan. Rapat berakhir sepuluh menit sebelum waktu makan siang berakhir. Rapat tadi memang sangat molor karena memang banyak yang harus dibahas. Zidane memutuskan untuk makan di ruang kerjanya saja, sebab ia tidak mungkin untuk makan di luar. Waktu sudah terlalu mepet. Ia meminta bantuan Rizky tadi untuk
Mendengar perkataan Annisa lantas membuat Zidane mengembus napas lirih. Ia paham betul jika saat hamil, sang istri akan menjadi lebih sensitif. Namun, ungkapan hati Annisa yang sedang kesal padanya itu membuat hatinya tersentak. "Kamu kok ngomong begitu? Mana mungkin aku nggak mencintai kamu lagi? Justru aku malah sangat mencintaimu, Sayang," tanggap Zidane yang mencoba membuka selimut yang membungkus tubuh Annisa. "Jangan sentuh aku! Aku ngantuk mau tidur," bentak Annisa yang langsung menarik kembali selimutnya. Tentu sikapnya itu membuat Zidane memejamkan mata singkat seraya memijat kedua pelipisnya. Pada akhirnya Zidane memilih untuk mengalah. Ia pikir esok hari Annisa pasti akan kembali normal karena memang saat hamil seorang wanita mudah sekali mengalami mood swing. Ia beranjak dari tempat tidur dan bersiap-siap untuk mandi karena tubuhnya terasa lengket. Meski sudah malam ia tak masalah untuk mandi karena kebersihan itu pokok penting bagi Zidane. Setelah mandi, Zidane langsu
Setelah menghabiskan waktu pagi bersama Annisa dengan sarapan dan berjalan-jalan di taman, Zidane pun berangkat ke kantor. Hatinya baru bisa lega saat istrinya itu sudah tidak marah lagi padanya. Sebenarnya Zidane agak khawatir meninggalkan Annisa sendiri di rumah orang tuanya, tapi Annisa meyakinkannya jika tidak akan ada masalah. Istrinya itu mengatakan jika bisa mengatasi semuanya dengan baik. Ia pun percaya karena memang harus segera berangkat ke kantor sebab pekerjaan sudah menunggu. "Aku berangkat dulu ya," pamit Zidane. "Hati-hati ya, Mas," sahut Annisa sambil mencium punggung tangan kanan suaminya. Zidane pun menaiki mobilnya menuju kantor. Ia harus segera sampai karena memang sudah telat. Untung saja tidak ada panggilan mendadak sehingga ia tak perlu terlalu terburu-buru. Lagi pula sebelumnya ia juga sudah menghubungi Rizky perihal kedatangannya yang terlambat. Baru saja sampai di kantor, Zidane langsung bergegas menuju ruangannya. Kedatangannya disambut oleh beberapa pe
Setelah berbincang dengan Zidane di kafe tadi, Rizky sedikit mempertimbangkan saran dari atasannya itu. Namun, ia masih merasa jika saat ini belum waktunya untuk menjelaskan semuanya pada Tiara. Hatinya masih meragu karena takut kekasihnya itu akan pergi jika ia menceritakan soal rencana perjodohannya. Waktu sekarang menunjukkan tepat pukul lima sore dan Rizky bersiap-siap untuk pulang. Namun, baru saja ia membuka pintu ruangannya tiba-tiba saja Tiara muncul di hadapannya sambil tersenyum manis. Wajah Rizky terlihat kusut karena sedari tadi memikirkan masalah perjodohannya. Sebagai kekasih dari Rizky, jelas Tiara bisa sangat peka jika pasangannya itu sedang menyembunyikan masalah. "Biasanya kalau aku muncul kamu langsung peluk aku terus nyengir. Nah ini kok kamu diem aja dan mukanya ditekuk gitu. Kamu ada masalah ya?" tebak Tiara sambil mengerutkan dahi dan menatap Rizky tajam. "Nggak ada kok. Aku cuma lagi capek aja soalnya kerjaan lagi numpuk," dalih Rizky. Tiara tak serta mert
“Kamu pasti bohong, kan?” Zidane berusaha untuk tidak percaya dengan kebenaran itu. Namun, binar mata Rizky yang tidak berkedip sedikit pun itu menghancurkan pengharapannya. “Saya punya buktinya, Pak. Orang suruhan Pak Alfian telah mengaku kepada kita. Bahkan saya sudah memberikan sejumlah uang yang nominalnya lebih besar dari yang ia terima agar pria itu mau membuka mulutnya,” jelas Rizky sambil mengutak atik layar IPADnya kemudian memberikannya kepada Zidane untuk dilihat pria itu. Zidane menggebrak meja lagi. Darahnya berdesir. Dadanya terasa sakit seperti ada pisau yang menusuk di sana. “Apa motifnya?” tanya Zidane lagi. Tangan lebarnya meraup wajah kasarnya. Rambut tipis telah tumbuh di dagu dan kumisnya akibat ia belum punya waktu untuk mencukur. “Perusahaan Alfian ingin menekan perusahaan ini agar anjlok dan tunduk di bawah kekuasaan mereka. rencana mereka ingin membeli separuh saham milik kita. Maka dari itu mereka sengaja menciptakan rumor palsu tentang perusahaan ini.” Z
Setelah mengetahui kebenaran kalau selama ini Annisalah yang membantu perusahaan ayahnya ketika hampir bangkut membuat Zidane semakin bersemangat untuk bekerja dan tidak boleh berleha-leha lagi. Zidane sangat berterimakasih kepada istrinya itu yang masih mau membantu perusahaan milik mertuanya meski Annisa belum mendapatkan restu sama sekali dari mereka. Cara satu-satunya yang bisa Zidane lakukan untuk membalas semua kebaikan istrinya meskipun tidak bisa semua kebaikan istrinya yang bisa ia balas adalah dengan memastikan pekerjaan di kantor bisa beres semua tanpa ada kesalahan sedikit pun. Zidane tidak boleh membebani Annisa lagi, istrinya itu belum cukup pulih benar. Selama kehamilan ini, keadaan Annisa selalu dipantau oleh dokter spesialis kandungannya. Dokter juga menyarankan Zidane untuk bisa menjadi suami siaga. Maka dari itu, sebisa mungkin ia tidak akan membawa pekerjaan ke rumah karena selama di rumah fokusnya harus penuh ke istrinya itu. Tumpukan berkas di meja Zidane dari
Zidane masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya barusan. Ternyata isi amplop cokelat besar itu adalah dokumen penting yang tertera bahwa Annisa telah mengalirkan dana miliaran rupiah ke perusahaan Alfian. Zidane baru menyadari bahwa orang yang telah membeli saham perusahaan Alfian ketika perusahaan itu hampir bangkrut adalah Annisa."Bagaimana bisa aku nggak tahu Kia melakukan ini di belakangku?" gumam Zidane seraya mengembus napas lirih. Ia agak sedikit marah karena waktu itu ia sudah melarang Annisa melakukan itu sebab tak mau dianggap sebagai suami yang memanfaatkan kekayaan sang istri. Kedua mata Zidane masih fokus membaca isi dokumen secara runut. Dari mulai lembaran pertama hingga ke lembaran selanjutnya. Saking fokusnya ia tak menyadari jika sudah menghabiskan waktu hampir lima belas menit. "Astaga! Aku ke kamar 'kan niatnya mau cari obatnya Kia." Zidane menepuk keningnya pelan. Ia pun kembali memasukkan lembaran-lembaran itu ke amplop dan menaruhnya di tempat semula. Ama
Zidane sejenak tertegun sambil memandang ke arah jendela ruang kantornya. Waktu sudah hampir petang sebab eksistensi matahari sebentar lagi akan digantikan oleh bulan. Sesekali ia mengembus napas kasar sebab memikirkan masalah yang tengah melanda perusahaannya. Suasana di ruangan kantor itu juga terasa sangat gelap dan sunyi, hanya terdengar denting jam dinding. Zidane sengaja tak menghidupkan lampu karena ia lebih senang berpikir dalam keadaan minim cahaya. Menurutnya itu bisa lebih membuat pikirannya rileks. Seperti yang diperintahkan oleh Zidane tadi, Rizky sudah menyuruh admin publishing untuk mengunggah sertifikat uji kelayakan produk milik perusahaan. Setelah sertifikat itu di-upload banyak pihak yang berkomentar dan komen negatif mulai sedikit terkikis. Untung saja mereka bertindak cepat, kalau tidak perusahaan akan mengalami kerugian lebih besar. "Saya juga sudah menangani beberapa artikel buruk mengenai produk kita, Pak. Semuanya akan dihapus secara bertahap," terang Rizky
“Annisa!!!” Zidane berteriak seperti orang kesetanan begitu sampai di rumah. Pria itu mencari istrinya ke setiap sudut rumah dengan perasaan campur aduk. Begitu melihat Annisa di dapur, ia langsung berlari dan memeluknya. “Kamu kenapa tumben pulang cepat?” tanya Annisa bingung begitu ia memisahkan diri dari pelukan Zidane. “Tangan kamu kenapa ini?” Zidane manatap tangan Annisa dengan penuh kekhawatiran begitu melihat tangan kanan Annisa yang penuh dengan luka gores. “Oh ini, tadi nggak sengaja kena duri mawar.” Tatapan Zidane kini beralih ke arah Vivi. “Mama nyuruh Annisa untuk melakukan ini semua kan? Iya kan? Jawab pertanyaan aku.” Vivi langsung memasang tampang masam. Kedua tangannya ia lipat di depan dada. “Istrimu yang ngadu ya? Mama cuma mau membantu Annisa semua nggak malas-malasan saja di kamar. Ternyata istri kamu ini adalah wanita yang lemah. Baru segini saja sudah mengeluh,” sindir Vivi. “Mama!!! Sudah berapa kali Zidane bilang kalau Annisa ini tidak boleh terlalu cap
Annisa terpaksa bangun dari istirahat siangnya begitu mendengar suara pintu kamar yang diketuk. Sejak tadi pagi tubuhnya letih sekali sehingga memutuskan untuk tidur setelah mengantarkan Zidane berangkat bekerja. Sudah beberapa hari Annisa dan Zidane memutuskan untuk tinggal di rumah Vivi dan Alfian demi mengupayakan agar Vivi bisa sembuh lebih cepat. Meskipun kurang nyaman, tapi Annisa mencoba untuk bertahan sekuat mungkin di rumah besar dan megah ini. Andaikan hubungan Annisa dengan Mama mertuanya tidak seburuk ini, mungkin ia akan betah untuk tinggal. Selama berada di sini, Annisa merasa waktu berjalan sangat lambat dibandingkan dengan waktu yang ia habiskan di rumahnya sendiri. Pun dengan Zidane yang akhir-akhir ini sering pulang terlambat dari kantor menambah kurangnya semangat Annisa dalam menjalani harinya. Annisa bisa saja meminta Zidane untuk kembali saja ke rumah mereka, tapi itu akan menambah buruk hubungannya dengan Vivi. Ditambah lagi Annisa tidak ingin mertuannya jatu
Keesokan harinya Tiara bisa bermalas-malasan di rumah karena memang sedang weekend. Tadinya ia akan pergi berkencan dengan Rizky, tapi nyatanya kekasihnya itu harus bekerja lembur sehingga rencana mereka gagal. "Ra, kamu sudah bangun belum?" panggil Rubi sambil mengetuk pintu kamar putri sulungnya. Tiara yang sudah bangun sedari tadi dan hanya main smartphone di atas kasur pun menyahuti mamanya dengan malas. "Aku udah bangun kok, Ma. Cuma lagi males aja keluar kamar. Lagian sekarang juga libur."Rubi yang berada di depan pintu kamar Tiara hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum. Ia paham betul putrinya itu memang suka sekali bermalas-malasan saat libur kerja. Namun, mulai saat ini ia harus segera mengubah pola hidup anaknya itu. "Sekarang kamu keluar dulu, Ra. Masa perempuan yang sudah mau dilamar orang kerjanya malas-malasan. Coba belajar untuk tetap mandi pagi dan turun dari kasur setelah bangun walaupun sedang libur," suruh Rubi. Tak berapa lama, Tiara muncul membuka pintu
Setelah berbincang dengan Zidane di kafe tadi, Rizky sedikit mempertimbangkan saran dari atasannya itu. Namun, ia masih merasa jika saat ini belum waktunya untuk menjelaskan semuanya pada Tiara. Hatinya masih meragu karena takut kekasihnya itu akan pergi jika ia menceritakan soal rencana perjodohannya. Waktu sekarang menunjukkan tepat pukul lima sore dan Rizky bersiap-siap untuk pulang. Namun, baru saja ia membuka pintu ruangannya tiba-tiba saja Tiara muncul di hadapannya sambil tersenyum manis. Wajah Rizky terlihat kusut karena sedari tadi memikirkan masalah perjodohannya. Sebagai kekasih dari Rizky, jelas Tiara bisa sangat peka jika pasangannya itu sedang menyembunyikan masalah. "Biasanya kalau aku muncul kamu langsung peluk aku terus nyengir. Nah ini kok kamu diem aja dan mukanya ditekuk gitu. Kamu ada masalah ya?" tebak Tiara sambil mengerutkan dahi dan menatap Rizky tajam. "Nggak ada kok. Aku cuma lagi capek aja soalnya kerjaan lagi numpuk," dalih Rizky. Tiara tak serta mert
Setelah menghabiskan waktu pagi bersama Annisa dengan sarapan dan berjalan-jalan di taman, Zidane pun berangkat ke kantor. Hatinya baru bisa lega saat istrinya itu sudah tidak marah lagi padanya. Sebenarnya Zidane agak khawatir meninggalkan Annisa sendiri di rumah orang tuanya, tapi Annisa meyakinkannya jika tidak akan ada masalah. Istrinya itu mengatakan jika bisa mengatasi semuanya dengan baik. Ia pun percaya karena memang harus segera berangkat ke kantor sebab pekerjaan sudah menunggu. "Aku berangkat dulu ya," pamit Zidane. "Hati-hati ya, Mas," sahut Annisa sambil mencium punggung tangan kanan suaminya. Zidane pun menaiki mobilnya menuju kantor. Ia harus segera sampai karena memang sudah telat. Untung saja tidak ada panggilan mendadak sehingga ia tak perlu terlalu terburu-buru. Lagi pula sebelumnya ia juga sudah menghubungi Rizky perihal kedatangannya yang terlambat. Baru saja sampai di kantor, Zidane langsung bergegas menuju ruangannya. Kedatangannya disambut oleh beberapa pe