Zidane memutuskan untuk kembali kerja ke kantor akibat paksaan dari Annisa. Awalnya ia ingin bekerja dari rumah saja, ia tidak mungkin meninggalkan istrinya yang terkena morning sickness. Ia juga sudah menghubungi bawahannya dan memberitahukan mereka kalau akan bekerja dari rumah. Namun, ketika hari telah beranjak siang, Annisa lantas membujuknya untuk pergi ke kantor karena kondisinya sudah membaik. “Kamu yakin dengan keputusanmu? Aku tidak mungkin meninggalkan kamu dan anak kita dengan kondisi seperti ini,” tanya Zidane sambil mencium pucuk kepala Annisa yang begitu ia sayang. Annisa mengangguk. “Iya Mas … kamu kembali ke kantor saja, ya. Kondisiku sudah lebih baik dari tadi pagi. Perusahaan lebih membutuhkan kamu di kantor daripada aku. Lagipula habis ini aku akan berisirahat dengan total, kok. Ada Mbak juga yang jaga nanti. Kamu jangan terlalu khawatir.” Annisa berujar setenang mungkin, meyakinkan Zidane yang wajahnya masih menampilkan raut khawatir. Zidane menghela napas pende
Zidane mengembus napas lirih, tak dapat dipungkiri jika perkataan Annisa memang benar. Namun, kasusnya saat ini cukup rumit karena mamanya tak mau menerima sang istri menjadi menantu. Padahal Zidane menilai jika Annisa sudah sangat ideal menjadi seorang istri dan menantu karena attitude serta keterampilan yang cukup baik. "Iya, maafin aku," sahut Zidane. "Minta maaf ke mama kamu bukan ke aku, Mas," suruh Annisa. Kalau bukan Annisa yang menyuruhnya, jelas Zidane enggan melakukannya. "Maafin aku, Ma," lirih Zidane. "Kamu nggak usah minta maaf ke Mama. Lagi pula Mama yakin kalau Annisa nggak nyuruh kamu ke sini, nantinya kamu pasti bakalan ke sini juga," balas Vivi. Sesaat kemudian ia melirik sinis ke arah Annisa. Tentu ia bukannya senang melainkan malah marah pada menantu yang tak dianggapnya itu, "Heh kamu, Annisa! Kamu jangan marah-marah sama Kayson kayak gitu. Memangnya pantas ya seorang istri memarahi suaminya di depan orang tuanya sendiri? Makanya itu saya nggak pernah setuju
Wajah Vivi tampak ditekuk dan terlihat masam walaupun sekarang ia sudah berada di rumah. Sebenarnya pihak rumah sakit masih memintanya untuk dirawat, tapi Vivi bersikeras ingin pulang. "Nyonya, ayo dimakan dulu. Sudah dari kemarin Nyonya tidak mau makan, saya takut nanti kondisi tubuh Nyonya drop lagi," bujuk Bi Sarti salah satu asisten rumah tangga di kediaman Alfian dan Vivi. "Saya nggak nafsu makan. Bawa aja semua ini keluar," perintah Vivi. Bi Sarti pun merasa bingung karena majikannya tidak mau makan. Namun, ia tak punya kuasa untuk membantahnya dan akhirnya menurut saja. Begitu baru sampai di ambang pintu, ia tak sengaja berpapasan dengan Alfian. "Kamu kenapa nggak mau makan lagi?" tanya Alfian yang baru saja muncul dari luar. Pria paruh baya itu baru pulang dari kantor dan langsung merasa pusing akibat ulah istrinya yang selalu saja menolak makan dari kemarin. "Aku nggak mau makan sebelum Kayson pulang," jawab Vivi dengan memasang tampang merajuk. Alfian berjalan mendekat
Annisa memulai rencana untuk membujuk Zidane agar mau pulang ke rumah orangtuanya. Meskipun tubuhnya sedikit lelah, ia memutuskan masak makanan untuk makan malam Zidane yang tentunya masih dibantu oleh asisten rumah tangganya. Annisa cukup tahu diri. Ia tidak boleh kelelahan selama hamil muda ini. Ia tidak boleh egois sekarang karena di dalam tubuhnya kini hidup buah hati yang telah lama dinantikan oleh dirinya dan Zidane. Annisa juga berharap kelak anak yang akan dilahirkannya ini bisa menjadi jembatan untuk dirinya dan juga mertuanya. Annisa menunggu Zidane dengan raut gembira. Ia juga sudah membersihkan diri dan menggunakan baju terbaiknya. Bunyi klakson mobil dari luar berbunyi nyaring yang menandakan kalau Zidane telah pulang. Senyum mengembang di wajah Annisa. Ia pun berlari kecil menyambut suaminya. “Mas sudah pulang. Bagaimana kerjaan hari ini? Pasti banyak banget, ya? Kasian suamiku kelihatan sekali wajah lelahnya.” Annisa menyalimi punggung tangan Zidane. Tak lupa juga m
“Mama … jaga ucapanmu. Annisa memang sering seperti ini setiap pagi. Dia morning sickness.” Zidane memperingatkan Vivi. Vivi mencibir, “Alah! Mama yakin itu cuma alasannya dia untuk mengejek masakan Mama. Kemarin saat Mama ke rumah kalian, dia nggak seperti itu.” Vivi sudah kehilangan selera untuk makan. Annisa tidak dapat membela diri akibat lonjakan hebat di dalam perutnya. Tak tahan lagi akhirnya Annisa memutuskan untuk pergi mencari kamar mandi. Zidane yang khawatir lantas ikut berdiri dan menyusul istrinya. “Kalau sakit mending suruh dia pulang saja, Kay. Jangan menambah beban keluarga kita.” Vivi berteriak kencang hingga terdengar oleh Annisa di kamar mandi. “Kita pulang saja, ya,” ucap Zidane pada akhirnya. Tangan lebarnya mengusap punggung Annisa Sesekali ia memijat tengkuk Annisa agar perempuan itu merasa nyaman. Annisa muntah terus-terusan dan hanya mengeluarkan air liur sebab ia memang belum sarapan apapun dari tadi. Meskipun hati Annisa merasakan perih akibat mendeng
“Om nggak bilang, ya, sama Tante kalau kemarin Om Alfian mendatangi saya untuk memohon agar bisa membujuk Zidane kembali ke sini?” Annisa bertanya kepada Vivi dengan suara keras hampir setengah berteriak agar Alfian yang secara tidak sengaja baru keluar dari kamarnya. Vivi menaikkan sedikit dagunya ke atas. “Maksud kamu apa? Jelas-jelas yang berhasil membujuk Zidane kembali itu suami saya.” Annisa tertawa dalam hati. Rupanya Om Alfian tidak berkata jujur kepada istrinya. Rupanya pria itu ingin mencari nama di depan Vivi tanpa mengatakan kebenarannya hingga membuat Vivi masih membencinya. “Yang membujuk Zidane agar mau ke sini itu saya, Tante. Om Alfian memohon kepada saya agar membantunya merayu Zidane untuk kembali ke rumah ini. Karena Om Alfian sudah kehabisan cara,” sembur Annisa lagi. Annisa memang orang yang sabar. Ia ingin sekali tante Vivi cepat sembuh bahkan setiap malam ia berdoa untuk kesembuhan mertuanya itu. Namun, kali ini mertuanya juga perlu tahu sebuah kebenaran te
Pikiran Zidane bercabang. Raganya mungkin ada di kantor, mendengarkan laporan dari beberapa divisi saat rapat yang memang berlangsung hari ini. Namun, pikiran dan hatinya tetap berada di rumah. Belum ada beberapa jam ia berpisah dengan Annisa, Zidane sudah merindukan istrinya itu lagi dan lagi. Zidane membolak balikkan laporan yang sedang dipresentasikan oleh salah satu pegawai divisi di perusahannya itu, kemudian pandangannya beralih menuju jam di tangannya. Rupanya waktu makan siang masih lama. Zidane menghela napasnya lelah, harusnya ia izin tidak bekerja saja hari ini. Harusnya ia tidak memaksakan diri untuk masuk kerja kalau ternyata ia tidak bisa memusatkan pikirannya pada pekerjaan. Rapat berakhir sepuluh menit sebelum waktu makan siang berakhir. Rapat tadi memang sangat molor karena memang banyak yang harus dibahas. Zidane memutuskan untuk makan di ruang kerjanya saja, sebab ia tidak mungkin untuk makan di luar. Waktu sudah terlalu mepet. Ia meminta bantuan Rizky tadi untuk
Mendengar perkataan Annisa lantas membuat Zidane mengembus napas lirih. Ia paham betul jika saat hamil, sang istri akan menjadi lebih sensitif. Namun, ungkapan hati Annisa yang sedang kesal padanya itu membuat hatinya tersentak. "Kamu kok ngomong begitu? Mana mungkin aku nggak mencintai kamu lagi? Justru aku malah sangat mencintaimu, Sayang," tanggap Zidane yang mencoba membuka selimut yang membungkus tubuh Annisa. "Jangan sentuh aku! Aku ngantuk mau tidur," bentak Annisa yang langsung menarik kembali selimutnya. Tentu sikapnya itu membuat Zidane memejamkan mata singkat seraya memijat kedua pelipisnya. Pada akhirnya Zidane memilih untuk mengalah. Ia pikir esok hari Annisa pasti akan kembali normal karena memang saat hamil seorang wanita mudah sekali mengalami mood swing. Ia beranjak dari tempat tidur dan bersiap-siap untuk mandi karena tubuhnya terasa lengket. Meski sudah malam ia tak masalah untuk mandi karena kebersihan itu pokok penting bagi Zidane. Setelah mandi, Zidane langsu