"Zidane," panggil Rizky.
Dia langsung berjalan menghampiri CEO-nya yang sedang ingin dia temui untuk menyampaikan informasi penting terkait jadwal meeting.
"Kebetulan sekali aku bertemu denganmu di sini," ucap Rizky. Dia membuka buku catatan kecil miliknya lalu kembali menatap wajah Zidane. "Sore ini kau ada meeting dadakan dengan pak Pramana," jelasnya.
"Bukankah meeting itu besok lusa?"
"Ya, tapi baru saja pak Pramana menghubungiku, memberitahu kalau jadwalnya dimajukan menjadi pukul lima sore hari ini karena lusa dia akan pergi ke luar negeri," jelas Rizky.
Zidane memainkan bibirnya kemudian mengangguk mengiakan. "Kalau begitu kau siapkan semua dokumen yang diperlukan untuk meeting sekarang!" titahnya sembari berjalan melanjutkan niatnya pergi ke ruang kerjanya.
"Aku sudah menyiapkan semuanya," jawab Rizky yakin.
"Baguslah," ucap Zidane datar. Sepersekian detik kemudian, dia berhenti dan berbalik melihat Rizky yang berjalan
Annisa bergeming, terkejut melihat wanita yang ada di hadapannya sekarang. Dia pernah melihat wajah itu sekali saat acara makan malam bersama Nayla beberapa waktu yang lalu. "Waalaikumsalam," jawab wanita paruh baya itu dengan nada yang terdengar tidak ramah. Dia menatap tajam wajah Annisa dari atas ke bawah lalu ke atas lagi dengan sorot yang menampakkan ketidaksukaannya. "Ta-tante," gumam Annisa gugup. Matanya mengejap seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Setelah kesadarannya terkumpul, dia langsung bergegas membuka pintu rumahnya dan mempersilakan tamu tak terduga itu masuk bersamanya. "Silakan masuk, Tante," ucap Annisa. Vivi bergeming sesaat masih menatap Annisa dengan sorot yang galak, lalu dia berjalan memasuki bangunan rumah tempat tinggal putranya yang baru dia ketahui sekarang. "Kenapa kau pulang sendiri? Di mana Kayson?" tanya Vivi bernada ketus. "Dia ada meeting penting bersama klien," jawab Annisa. Gad
Annisa merenggangkan tubuhnya dari pelukan Zidane. Dalam diam dia menatap teduh pendar bola mata suaminya yang nampak begitu tulus."Apa kau tidak mau mendengar apa yang kukatakan kepada mamamu saat dia meminta aku untuk meninggalkan kau?" tanya Annisa.Sebelah alis Zidane naik sambil menatap Annisa. "Apa yang kau katakan?" tanyanya penasaran.Zidane melihat istrinya menghela napas panjang sambil memainkan bibir dengan ekspresi seperti sedang berpikir sesuatu."Aku bilang kalau aku tidak akan pernah meninggalkan kau, kecuali kau yang menginginkannya," ucap Annisa sambil menatap Zidane."Mamamu terlihat sangat kesal begitu aku mengatakannya. Tapi aku tidak peduli itu," sambungnya lagi sambil mengangkat kedua bahunya tak acuh.Annisa terdiam beberapa detik untuk menghela napas panjang sebelum melanjutkan perkataannya."Aku memang bukan wanita baik jika dibandingkan dengan wanita lainnya, aku juga tidak bisa berjanji akan menjadi istri yang sempurna, ta
Annisa dan Zidane berjalan beriringan ke luar dari area kantor menuju ke restoran yang biasa mereka kunjungin untuk mencari makan siang. Langkah Annisa terhenti tepat saat setelah dia membuka pintu dan akan masuk ke mobil."Ada apa? Apa kau melupakan sesuatu?" tanya Zidane terheran. Dia pun ikut mengurungkan niatnya untuk masuk ke mobil."Sebenarnya siang ini Nayla mengajakku bertemu. Mungkin sekarang dia sudah menungguku di restoran," ucap Annisa."Untuk apa kalian bertemu?" tanya Zidane.Entahlah, sejak saat mengetahui bahwa Nayla adalah wanita yang akan dijodohkan dengannya membuat Zidane merasa tidak suka kepada gadis itu. Rasanya Zidane tidak ingin istrinya memiliki hubungan yang terlalu dekat dengan Nayla lagi."Memangnya kenapa kalau aku bertemu dengan Nayla? Apa kau sudah lupa kalau kami itu bersahabat sejak lama?" Annisa mencercah Zidane dengan sederet pertanyaan."Bukan begitu, tapi aku merasa sepertinya kau harus berjaga jarak den
Wajah Annisa langsung memucat mendengar perkataan Nayla baru saja. Refleks dia melirik ke arah Zidane, menatapnya dengan sorot yang sulit diartikan.Sementara itu Zidane mengernyitkan kedua alis, menatap Nayla dengan mata elangnya yang tajam."Kenapa kau menanggapinya dengan serius? Aku hanya bercanda saja," ucap Nayla sembari terkekeh pelan.Annisa mengejapkan mata merasa tak percaya, yang baru saja dia dengar seperti bukan sedang bercanda. Lamat iris cokelat itu memandang wajah sahabatnya, mencoba membaca ekspresi. Namun, tetap saja, Annisa tidak bisa asal menebak."Aku kira kau serius," ucap Annisa lirih sambil tersenyum kecut. "Syukurlah kalau hanya bercanda," sambungnya lagi.Gadis berhijab itu berdehem serta menundukkan pandangannya sesaat untuk menetralkan kecanggungan yang sempat mendera perasaannya."Sebenarnya, kalau pun kau serius dengan perkataanmu baru saja, aku sudah memiliki jawaban." Annisa berucap sembari menatap Nayla dengan sorot yang
"Kamu kenapa, Sayang? Aku perhatikan sejak dari tadi kamu melamun terus? Mikirin apa?" tanya Zidane.Annisa tidak menyadari Zidane sudah berada di kamar dan sedang menatap ke arahnya. Seingat dia, tadi Zidane sedang berbicara dengan seseorang melalui sambungan telepon."Eh, kapan kamu masuk?"Zidane menghela napas panjang. Dia berjalan mendekat dengan posisi kedua tangan yang dia masukkan ke dalam saku celana. Kemudian, dia duduk di tepi samping ranjang, menghadap ke arah istrinya.Refleks, satu tangan Zidane terangkat mengusap puncak kepala Annisa yang sedang tidak mengenakan kerudung sambil menampakkan senyum manis.Ya, entah sejak kapan tepatnya, sekarang Annisa sudah tidak mengenakan kerudungnya ketika sedang di dalam kamar berdua dengan Zidane."Apa yang sedang kamu pikirkan hingga tak menyadari aku ada di sini sejak tadi?""Tidak ada. Aku tidak sedang memikirkan apa pun," Jawab Annisa mengulas sebuah senyum menutupi kebohongannya.Sayang, g
"Bagaimana hasilnya, Dok?" tanya Zidane kepada dokter kandungan yang baru saja selesai memeriksa Annisa."Sebenarnya saya tidak terlalu peduli dengan hasilnya. Tapi istri saya ini ...."Zidane melirik sekilas ke arah istrinya yang nampak gugup dan cemas menunggu hasil pemeriksaan lalu kembali menatap dokter wanita yang ada di hadapannya."Itu hal yang wajar, Pak Zidane. Semua wanita yang sudah menikah pasti merasa cemas saat belum kunjung hamil," ucap dokter itu sambil tersenyum ramah kepada pasangan suami istri yang ada di hadapannya."Bu Annisa tidak perlu cemas, kondisi Ibu baik-baik saja begitu pun juga dengan rahim Ibu," jelas dokter itu lagi."Kau dengar itu, Sayang? Kau baik-baik saja dan kita bisa memiliki anak," ucap Zidane kepada Annisa dengan lembut.Annisa menghela napas panjang. Dia bersyukur karena tidak ada masalah apa pun pada rahimnya."Tapi, Dokter, kenapa sampai saat ini saya masih belum hamil juga?" tanya Annisa penasaran.Dok
Annisa bergeming melihat keakraban Nayla dengan Vivi yang terlihat natural. Lain hal dengan dirinya yang merasa canggung sendiri dan keberadaannya pun seperti tak dianggap. Dia melirik ke arah suaminya lalu menghela napas panjang. Seperti mengerti perasaan sang istri, Zidane mengelus punggung Annisa lembut lalu tersenyum tipis untuk meyakinkan istrinya itu bahwa dia akan selalu ada untuknya tak peduli walau seluruh dunia menolak hubungan mereka. "Mau pulang sekarang?" tanya Zidane dengan suara pelan. Annisa menggelengkan pelan kepalanya menanggapi pertanyaan suaminya. "Sebaiknya aku pulang sendiri saja. Kau di sini dulu temani mamamu." Annisa berbisik kepada Zidane. "Tidak, kita akan pulang bersama," putus Zidane yakin. "Biarkan saja dia pergi, kau tidak perlu menghiraukannya, Kay," sahut Vivi yang sedari tadi memerhatikan tingkah pasangan suami istri itu. "Kau harus tetap di sini temani mama," sambungnya lagi. "Ma, aku akan antar istriku pulang, s
Sepasang mata menyipit melihat seorang wanita yang nampak familiar baru saja ke luar dari gedung rumah sakit yang sama dengan rumah sakit yang baru saja dia kunjungi saat menjenguk seorang teman. Dia yang sudah memasuki mobilnya kembali turun untuk menghampiri wanita itu. "Nayla," panggil Yogi sambil berjalan menghampiri Nayla yang berada tidak jauh dengannya. Wanita itu menghentikan langkahnya, lantas menoleh ke belakang untuk melihat orang yang baru saja memangil namanya. Mata Nayla menyipit melihat Yogi sedang mendekat ke arahnya. "Hai," sapa Yogi sambil tersenyum dan mengangkat telapak tangannya menyapa Nayla. "Yogi? Sedang apa kau di sini?" tanya Nayla sambil mengernyitkan kedua alisnya lantas mengedarkan pandangan ke area gedung rumah sakit. "Seorang teman sedang di rawat di rumah sakit ini, dan aku baru saja menjenguknya. Kau sendiri sedang apa di sini? Siapa yang sedang sakit?" tanya Yogi. Nayla terdiam sejenak, lalu meng