Saat jam pulang kantor tiba, akhirnya Kevin melangkah keluar dari ruang kerjanya. Dimas dan Dinda buru-buru berdiri, siap menyambutnya. Kevin tahu kalau keduanya sejak tadi terus saja beradu mulut. Ia seakan tak merasa nyaman dengan situasi tersebut, dan sebelumnya sengaja mencari celah untuk mengamati keadaan dari balik pintu ruangannya. "Apakah Anda akan pulang sekarang, Tuan?" tanya Dimas dengan nada ragu, mencoba menjalin percakapan. "Menurutmu aku mau ke mana?" sahut Kevin, ketus dan jelas tak dalam suasana hati yang baik. Dimas menelan ludah, mengatur nafasnya, kemudian menjawab, "Sopir sudah menunggu Anda di lobby, Tuan. Izinkan saya untuk mengantar Anda." Kevin menggeleng, lalu menatap tajam ke arah Dinda. "Kenapa aku harus diantarkan? Yang harus kau antar pulang adalah Dinda. Awas saja, nanti kalau tidak mengantarnya sampai apartemen lalu kau harus menjemputnya jam tujuh malam, dan ajak mereka ke rumahku." Dimas mengangguk pasrah, "Baik, Tuan," balasnya dengan lembut.
"Ayo, cepat ambil mobilmu, ini kuncinya!" teriak Dimas kepada Dinda, namun wanita itu seolah tak mendengarnya. "Aku tidak mau! Pergilah saja kau sendiri, dasar manusia sombong!" ucap Dinda, meluapkan amarah yang tak tertahankan di dadanya. "Ayo, Ma, kita pergi," ucapnya menarik tangan sang Mama, berusaha menjauhi sosok pria arogan bernama Dimas. Sementara itu, Dimas yang masih duduk di dalam mobilnya terpaksa turun. Bahkan saat itu, karyawan lain di kantor terjebak, tak bisa keluar karena gerbang terhalang oleh mobil Dimas. "Kau ini cari penyakit saja! Kau past suka kalau aku dimarahi sama tuan muda?!" teriak Dimas lagi, kemudian menarik tangan mamanya Dinda untuk membawanya masuk ke dalam mobilnya. Setelah wanita paruh baya itu masuk, Dimas menarik tangan Dinda dan menempatkannya persis di samping kemudian. Tak ada perlawanan dari Dinda, karena sadar bahwa mereka sudah menjadi tontonan. Bahkan koper-koper milik Dinda dan mamanya sudah dimasukkan oleh Dimas ke dalam mobilnya. Ia
Tepat pukul 18.30 waktu setempat, Dimas tiba di basement apartemen milik Dinda. Namun, tak ada tanda-tanda wanita itu dan mamanya berada di sana. "Sialan! Padahal aku sudah menyuruhnya untuk menunggu di sini," ucap Dimas dengan raut wajah memerah kesal. Hidupnya seakan-akan terus terkendali oleh kemalangan sejak bertemu dengan Dinda. "Ke mana dia bisa pergi? Aku jelas-jelas menyuruhnya menunggu di sini," geram pria itu. Dengan langkah berat, Dimas keluar dari dalam mobil. Baru saja ia hendak melangkah menuju lift, tiba-tiba Dinda muncul dari dalam lift yang ada di basement. "Baru datang ya?" tanya Dinda mencoba bersikap ramah. "Sudah satu jam," jawab Dimas dengan nada ketus, jelas ia masih kesal. "Selain suka bikin kesel, suka berbohong juga ya," sindir Dinda dengan tatapan tajam. "Jangan banyak omong! Ayo, cepat masuk," ucap Dimas memberi perintah pada Dinda, merasa semakin emosi berbicara dengan gadis tersebut. "Tunggu sebentar, aku nunggu mama dulu," ucap Dinda. Tak bersela
Setelah selesai makan malam, Kevin mengajak Dimas, Dinda, dan ibunya serta sang istri untuk duduk di ruang tamu, sementara ayah mertuanya diminta untuk beristirahat saja karena pria itu baru saja minum obat sebelum tidur. "Jadi, bagaimana Bu? Apakah nyaman tinggal di apartemen itu?" tanya Kevin mengawali perbincangan mereka dengan penuh kehangatan. "Sangat nyaman, Tuan. Terima kasih banyak, akhirnya kami memiliki tempat yang layak untuk berteduh. Terima kasih Nyonya, Tuhan pasti akan membalas kebaikan kalian," ucap ibu Dinda dengan penuh keterharuan. "Sama-sama, Bu," jawab Kevin dan istri serempak. "Setidaknya kami bisa membantu agar kalian betah di sana," sambung Kevin lagi, yang langsung dibalas anggukan oleh Dinda dan juga Mamanya. "Saya berharap Dinda dan Dimas bisa bekerjasama dengan baik. Saya tidak ingin melihat asisten saya terlalu kelelahan karena mengerjakan segalanya sendiri. Tolong kalian saling mendukung, jangan saling mempertahankan ego. Ingatlah bahwa kalian adalah
“Lancang sekali kau berbicara begitu, Margaret! Apa kau tak sadar dengan siapa kau sedang berhadapan?" geram Dimas sambil menatap tajam wanita yang hampir saja menyebabkan kehancuran bisnis Kevin. "Dasar perempuan tak tahu diri! Keluar dari ruangan ini!" bentaknya penuh emosi. "Kau bicara apa?!" wanita itu melawan, tidak rela dipecat secara sepihak oleh Kevin tanpa mendapatkan pesangon. "Kau tak tahu apa-apa tentang urusan kami! Kau hanya pesuruh di kantor ini. Biarlah aku bicara langsung dengan pemilik perusahaan. Akan kutunjukkan kalau aku bukan main-main! Aku siap melawan sampai ke jalur hukum, jika kau terus memperlakukanku seenak hati dan tak membayar pesangonku!" ujar Margaret dengan nada marah dan menggigit. "Dimas, sudahlah. Jangan berdebat terus, ajak saja duduk dulu," ucap Kevin dengan tenang, namun wajahnya tak menghiasi senyum sedikitpun, tanda bahwa amarah menyala di balik kedamaian yang ditampakkan. Dimas segera menyadari bahwa sang atasan tengah dibakar emosi, se
"Baiklah, Tuan. Nanti akan saya pikirkan lagi," ucap Dimas dengan hati berat. "Sekarang, izinkan saya pergi ke kantor polisi untuk mengurus semuanya." "Silakan," sahut Kevin, "urus semuanya dengan baik. Mudah-mudahan wanita itu bisa menyeret orang-orang yang selama ini memperdayanya. Berikan tekanan agar hukumannya cukup berat, sehingga bisa mengungkap dalang di belakangnya." "Baik, Tuan. Segera saya laksanakan," sahut Dimas lantas berpamitan dan bergegas pergi menuju ruang kerjanya. "Ayo, segera bersiap. Kita harus ke kantor polisi," ucap Dimas pada Dinda. Dinda mengangguk, tanpa menolak, kemudian ikut bersama Dimas menuju ke kantor polisi. Di dalam mobil, suasana hening dan mencekam terasa begitu jelas, seakan menambah beban di hati mereka. Dimas, pria yang berada di samping Dinda, seolah lebih memilih untuk menyelami lamunan dan keheningan daripada memulai percakapan. "Kalau kau mau bicara, bicaralah," ujar Dimas tiba-tiba, membuat Dinda yang tadinya menghela nafas berat, ter
Sementara itu di sebuah restoran mewah Kevin sengaja meminta istrinya untuk datang ke restoran hari ini.Dia mengajak sang istri untuk makan siang bersama, senyum mengembang di bibirnya ketika melihat wanita yang ia cintai sudah tiba di hadapannya.“Wah, kau cantik sekali, Sayang," ucap Kevin dengan nada rayuan, memandangi sang istri yang berdandan cantik. Wanita itu mencebik, merasa gusar dengan cara suaminya memujinya. "Memangnya selama ini aku tidak cantik, Sayang?" tanya sang istri, menegaskan kalimatnya. Kevin menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, tersenyum geli. "Tentu saja cantik. Tidak ada yang bisa mengalahkan kecantikan istriku," jawabnya dengan hati-hati. "Ayo sayang, kita makan siang dulu. Aku sudah pesan makanan kesukaanmu," ajaknya seraya menunjuk hidangan yang sudah tersaji di atas meja makan. Kevin menggenggam tangan sang istri, tatapannya lembut dan sayang. "Sesekali kita perlu menghabiskan waktu berdua saja, Sayang. Semoga di waktu yang akan datang, kita bisa leb
Satu Tahun kemudianHubungan Dimas dan Dinda semakin menemukan titik kebahagiaan mereka benar-benar tak menyangka akhirnya bisa sampai di titik ini. Malam ini Dimas mengajak Dinda untuk makan malam bersama. Jujur ada desir hangat mengalir dalam darah dinda."Dinda, ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu,” ucap Dimas gugup. Demi apapun Dimas tak pernah sebelumnya merasa segugup ini."Apa itu, Dimas? Jangan membuatku gugugp deh,” jawab Dinada penuh rasa penasaran Dinda berharap Dimas menyatakan cinta padanya, sudah sejak lama Dinda menunggu ungkapan cinta dari lelaki yang terkenal dingin ini namun tak kunjung terjadi juga.“Hmmmm,” Dimas berdehem gugup. "Aku tidak bisa membayangkan hidupku tanpamu. Kamu membuat setiap hari menjadi lebih cerah dan berarti bagiku. Aku mencintaimu, Dinda, dengan segenap hatiku."Dinta membelalak mendengar ungkapan cinta dari pria kutub utara ini. Benarkah ini? Atau aku hanya bermimpi? ... Aku juga mencintaimu. Kamu adalah sumber kebahagiaanku,” sayangny