Beberapa hari kemudian, Dinda melangkah dengan penuh harap menuju gedung pencakar langit tempat berdirinya Adamson Corporation. Dia menepati janjinya untuk bertemu dengan Kevin, berharap di balik tembok beton ini akan menemukan harapan baru dalam hidupnya. "Ya Tuhan, mudah-mudahan aku diterima di kantor ini," ucapnya dalam hati, mencoba untuk menguatkan diri. Namun, saat Dinda hendak melangkah masuk ke dalam gedung dan menuju meja resepsionis, dia justru tak menyangka bertemu dengan sosok yang kerap meliputi hari-harinya dengan nuansa kelabu—pria menyebalkan yang hampir tak pernah tersenyum saat berjumpa dengannya. "Se–selamat siang, Pak Dimas," ucap Dinda dengan ragu-ragu, menyapa asisten dari pemilik perusahaan ini. Tak seperti yang diharapkan, Dimas malah menyambut dengan sikap ketus. "Mau apa kau datang ke sini?" tanyanya dengan sinis, membuat Dinda semakin merasa gelisah. Dinda mencoba mengambil nafas dalam-dalam, lalu saat hendak menjawab pertanyaan tersebut, tiba-tiba ter
Dengan cepat, Kevin berbicara pada Dimas, "Ajak Dinda ke ruang kerjamu, dia akan mulai bekerja hari ini juga." Dimas menghembuskan nafas kasar, namun ia tak bisa mengelak dari perintah sang atasan. "Baik, Tuan," jawabnya patuh. "Ayo, ikut aku," ucap Dimas dengan nada ketus pada Dinda. Sikapnya itu membuat Kevin menegurnya. "Jangan bersikap kasar pada wanita. Kau harus bisa menghargai wanita dengan baik," nasihat Kevin tegas. Dimas sadar bahwa dirinya telah melakukan kesalahan dan meminta maaf. "Mohon maaf, saya salah. Kami permisi dulu," pamitnya sebelum membawa Dinda menuju ke depan ruang kerjanya. Setelah tiba di meja kerjanya, Dimas melampiaskan kekesalan hatinya pada Dinda. "Kau ini, bikin repot saja. Kenapa tidak mencari kerja di tempat lain?" tegurnya dengan keras. Dinda menunduk lesu, matanya berkaca-kaca. "Maafkan saya," jawabnya lemah. "Maaf, maaf. Dari tadi kau hanya bisa minta maaf terus," ucap Dimas, masih dengan nada ketus. Sementara itu, Kevin yang menyaksikan per
Saat jam pulang kantor tiba, akhirnya Kevin melangkah keluar dari ruang kerjanya. Dimas dan Dinda buru-buru berdiri, siap menyambutnya. Kevin tahu kalau keduanya sejak tadi terus saja beradu mulut. Ia seakan tak merasa nyaman dengan situasi tersebut, dan sebelumnya sengaja mencari celah untuk mengamati keadaan dari balik pintu ruangannya. "Apakah Anda akan pulang sekarang, Tuan?" tanya Dimas dengan nada ragu, mencoba menjalin percakapan. "Menurutmu aku mau ke mana?" sahut Kevin, ketus dan jelas tak dalam suasana hati yang baik. Dimas menelan ludah, mengatur nafasnya, kemudian menjawab, "Sopir sudah menunggu Anda di lobby, Tuan. Izinkan saya untuk mengantar Anda." Kevin menggeleng, lalu menatap tajam ke arah Dinda. "Kenapa aku harus diantarkan? Yang harus kau antar pulang adalah Dinda. Awas saja, nanti kalau tidak mengantarnya sampai apartemen lalu kau harus menjemputnya jam tujuh malam, dan ajak mereka ke rumahku." Dimas mengangguk pasrah, "Baik, Tuan," balasnya dengan lembut.
"Ayo, cepat ambil mobilmu, ini kuncinya!" teriak Dimas kepada Dinda, namun wanita itu seolah tak mendengarnya. "Aku tidak mau! Pergilah saja kau sendiri, dasar manusia sombong!" ucap Dinda, meluapkan amarah yang tak tertahankan di dadanya. "Ayo, Ma, kita pergi," ucapnya menarik tangan sang Mama, berusaha menjauhi sosok pria arogan bernama Dimas. Sementara itu, Dimas yang masih duduk di dalam mobilnya terpaksa turun. Bahkan saat itu, karyawan lain di kantor terjebak, tak bisa keluar karena gerbang terhalang oleh mobil Dimas. "Kau ini cari penyakit saja! Kau past suka kalau aku dimarahi sama tuan muda?!" teriak Dimas lagi, kemudian menarik tangan mamanya Dinda untuk membawanya masuk ke dalam mobilnya. Setelah wanita paruh baya itu masuk, Dimas menarik tangan Dinda dan menempatkannya persis di samping kemudian. Tak ada perlawanan dari Dinda, karena sadar bahwa mereka sudah menjadi tontonan. Bahkan koper-koper milik Dinda dan mamanya sudah dimasukkan oleh Dimas ke dalam mobilnya. Ia
Tepat pukul 18.30 waktu setempat, Dimas tiba di basement apartemen milik Dinda. Namun, tak ada tanda-tanda wanita itu dan mamanya berada di sana. "Sialan! Padahal aku sudah menyuruhnya untuk menunggu di sini," ucap Dimas dengan raut wajah memerah kesal. Hidupnya seakan-akan terus terkendali oleh kemalangan sejak bertemu dengan Dinda. "Ke mana dia bisa pergi? Aku jelas-jelas menyuruhnya menunggu di sini," geram pria itu. Dengan langkah berat, Dimas keluar dari dalam mobil. Baru saja ia hendak melangkah menuju lift, tiba-tiba Dinda muncul dari dalam lift yang ada di basement. "Baru datang ya?" tanya Dinda mencoba bersikap ramah. "Sudah satu jam," jawab Dimas dengan nada ketus, jelas ia masih kesal. "Selain suka bikin kesel, suka berbohong juga ya," sindir Dinda dengan tatapan tajam. "Jangan banyak omong! Ayo, cepat masuk," ucap Dimas memberi perintah pada Dinda, merasa semakin emosi berbicara dengan gadis tersebut. "Tunggu sebentar, aku nunggu mama dulu," ucap Dinda. Tak bersela
Setelah selesai makan malam, Kevin mengajak Dimas, Dinda, dan ibunya serta sang istri untuk duduk di ruang tamu, sementara ayah mertuanya diminta untuk beristirahat saja karena pria itu baru saja minum obat sebelum tidur. "Jadi, bagaimana Bu? Apakah nyaman tinggal di apartemen itu?" tanya Kevin mengawali perbincangan mereka dengan penuh kehangatan. "Sangat nyaman, Tuan. Terima kasih banyak, akhirnya kami memiliki tempat yang layak untuk berteduh. Terima kasih Nyonya, Tuhan pasti akan membalas kebaikan kalian," ucap ibu Dinda dengan penuh keterharuan. "Sama-sama, Bu," jawab Kevin dan istri serempak. "Setidaknya kami bisa membantu agar kalian betah di sana," sambung Kevin lagi, yang langsung dibalas anggukan oleh Dinda dan juga Mamanya. "Saya berharap Dinda dan Dimas bisa bekerjasama dengan baik. Saya tidak ingin melihat asisten saya terlalu kelelahan karena mengerjakan segalanya sendiri. Tolong kalian saling mendukung, jangan saling mempertahankan ego. Ingatlah bahwa kalian adalah
“Lancang sekali kau berbicara begitu, Margaret! Apa kau tak sadar dengan siapa kau sedang berhadapan?" geram Dimas sambil menatap tajam wanita yang hampir saja menyebabkan kehancuran bisnis Kevin. "Dasar perempuan tak tahu diri! Keluar dari ruangan ini!" bentaknya penuh emosi. "Kau bicara apa?!" wanita itu melawan, tidak rela dipecat secara sepihak oleh Kevin tanpa mendapatkan pesangon. "Kau tak tahu apa-apa tentang urusan kami! Kau hanya pesuruh di kantor ini. Biarlah aku bicara langsung dengan pemilik perusahaan. Akan kutunjukkan kalau aku bukan main-main! Aku siap melawan sampai ke jalur hukum, jika kau terus memperlakukanku seenak hati dan tak membayar pesangonku!" ujar Margaret dengan nada marah dan menggigit. "Dimas, sudahlah. Jangan berdebat terus, ajak saja duduk dulu," ucap Kevin dengan tenang, namun wajahnya tak menghiasi senyum sedikitpun, tanda bahwa amarah menyala di balik kedamaian yang ditampakkan. Dimas segera menyadari bahwa sang atasan tengah dibakar emosi, se
"Baiklah, Tuan. Nanti akan saya pikirkan lagi," ucap Dimas dengan hati berat. "Sekarang, izinkan saya pergi ke kantor polisi untuk mengurus semuanya." "Silakan," sahut Kevin, "urus semuanya dengan baik. Mudah-mudahan wanita itu bisa menyeret orang-orang yang selama ini memperdayanya. Berikan tekanan agar hukumannya cukup berat, sehingga bisa mengungkap dalang di belakangnya." "Baik, Tuan. Segera saya laksanakan," sahut Dimas lantas berpamitan dan bergegas pergi menuju ruang kerjanya. "Ayo, segera bersiap. Kita harus ke kantor polisi," ucap Dimas pada Dinda. Dinda mengangguk, tanpa menolak, kemudian ikut bersama Dimas menuju ke kantor polisi. Di dalam mobil, suasana hening dan mencekam terasa begitu jelas, seakan menambah beban di hati mereka. Dimas, pria yang berada di samping Dinda, seolah lebih memilih untuk menyelami lamunan dan keheningan daripada memulai percakapan. "Kalau kau mau bicara, bicaralah," ujar Dimas tiba-tiba, membuat Dinda yang tadinya menghela nafas berat, ter
Sore yang mendung, tak menyurutkan semangat Kevin dalam meresmikan pembukaan anak cabang Adamson Corporation sesuai rencana. Tak ada yang tahu, termasuk tamu undangan yang nanti akan hadir di sana, bahwa perusahaan ini sudah disiapkan oleh Kevin sebagai kejutan untuk sang asisten terbaiknya, Dimas. Dalam kesempatan istimewa ini, Dimas datang bersama istri tercinta, ibu mertuanya yang begitu penyayang, serta bibinya yang selalu dianggap seperti ibu kandung sendiri. Sementara itu, Kevin datang bersama sang istri, dua buah hatinya yang merupakan anak kembar berusia tiga tahun, serta ayah mertuanya yang nampak semakin sehat dan bugar. Anak-anak kembar tersebut menjadi pusat perhatian. Betapa adil Tuhan, wajah gadis kecil itu persis seperti Kevin, sedangkan bocah lelakinya menyerupai wajah sang istri. Sebuah keluarga yang harmonis, mencerminkan cinta yang tulus di antara mereka. Seperti biasa, Kevin diminta untuk memberikan sambutan sebagai pimpinan perusahaan. Dalam sorotan cahaya s
Tiga bulan berikutnya, Kevin sedang berbincang serius dengan istri tercintanya mengenai rencana masa depan Dimas dan Dinda. "Sayang, ada hal penting yang ingin aku bicarakan," ucap Kevin pada sang istri, membuatnya penasaran. "Apa itu, Sayang? Kok sepertinya sangat penting?" tanya sang istri dengan wajah penasaran, menambah kegugupan dalam ruangan. Kevin tersenyum, merasa bersyukur memiliki istri yang begitu mendukungnya. "Sebenarnya, ini bukan hanya penting, tapi juga menyangkut masa depan Dimas dan Dinda. Aku ingin meminta pendapat dari istriku tercinta karena apa yang aku miliki, juga menjadi milik istriku." Mendengar hal tersebut, istri Kevin tersenyum lembut dan mengecup pipi suaminya sebagai tanda cinta dan dukungan. "Apa yang ingin kamu bahas, Sayang?" Dengan nafas yang berat, Kevin mulai bercerita, "Aku berencana memberikan satu perusahaan kepada Dimas. Dia sudah bekerja sangat keras untuk kantor kita, dan aku ingin dia bersama Dinda maju serta memulai segalanya dari awal
Hari ini adalah hari terakhir Dinda dan Dimas untuk mengecap bulan madu, mereka sudah berkeliling ke berbagai tempat namun rasanya waktu itu masih kurang.Seperti pagi ini tidur mereka harus terenggut saat keduanya sudah merencanakan di hari sebelumnya untuk membeli oleh-oleh."Sayang, ayo bangun kita harus segera menuju ke tempat oleh-oleh jangan sampai nanti pulang malah tidak membawa apa-apa,“ ucap Dinda pada sang suami Dimas saat ini masih bersantai di atas ranjang setelah kelelahan selama beberapa hari ini menikmati indahnya sebagai pasangan suami istri.“Sebentar lagi Sayang aku ngantuk banget.” rasanya sangat sulit bagi Dimas untuk membuka mata dia lebih memilih untuk tetap terpejam dan berada di atas ranjang."Tapi kita harus segera pergi, Sayang. Jangan sampai kehabisan oleh-oleh," ucap Dinda dengan nada menggoda. Dinda mengeluarkan jurusnya agar sang suami mau segera bangun dari tidurnya, dirinya sudah menunggu cukup lama Namun pria ini tak juga membuka matanya hingga membua
Pesta pernikahan Dimas terus berlangsung hingga larut malam pemilihan tempat yang outdoor membuat suasana semakin Syahdu dan terkesan akrab. Semua karyawan Adamson corporation sengaja diundang oleh Dimas dan mereka tidak ada yang tidak datang Jujur semenjak ada Dinda, Dimas sudah tidak sekaku dulu lagi minimal orang kedua di kantor tempat mereka bekerja sudah lebih sering tersenyum ketimbang sebelumnya. Semakin malam pesta semakin larut hentakan musik di pinggir pantai memecah suasana malam itu mereka berpesta pora hingga akhirnya pesta pun berakhir. Setelah berbulan-bulan persiapan yang melelahkan, Dimas dan Dinda akhirnya menyelesaikan pesta pernikahan mereka dengan sukses. Dikelilingi oleh cahaya gemerlap lampu dan tumpukan karangan bunga, mereka berdua tampak kelelahan namun bahagia. Dalam pelukan satu sama lain, mereka menghela nafas lega, menikmati momen indah setelah perjalanan panjang menuju hari yang mereka nantikan. “Akhirnya semua ritual melelahkan kita berakhir,” uc
Pernikahan Dimas dan Dinda"Sayang, apa kau sudah siap?" tanya Kevin pada sang istri. Hari ini mereka akan menghadiri acara pernikahan Dimas dan Dinda, acara sakral yang dihadiri oleh keluarga besar kedua belah pihak. "Sebentar, Sayang. Dua menit lagi, tinggal memakai berlian saja kok," ucap sang istri, yang membuat Kevin tersenyum bahagia. Padahal, istrinya sudah diberikan waktu cukup lama untuk berdandan; bahkan Kevin sempat bermain bersama kedua anak kembarnya. Namun, begitu kembali, sang istri masih sibuk berkutik di depan meja rias. Sementara itu, istrinya ingin tampil sempurna agar tidak membuat sang suami malu. "Iya, sayang, berapapun waktu yang kau inginkan pasti akan kuberikan," ucap Kevin dengan lembut. Zara tertawa kecil, tak mengetahui apakah kalimat itu sarkasme atau benar-benar dari hati Kevin, sebab ia tahu suaminya telah menunggu cukup lama. "Sabar dong, Sayang. Sebentar lagi," ucap Zara dengan menggoda. Tak berselang lama, ia pun mendekati Kevin, ternyata sang
Kevin dan Dimas berdiri kokoh di tengah jalanan yang sepi dan mulai gelap, terasa begitu mencekam dan hening, matapun tertuju pada para preman bersenjata api. Jantung mereka berdegup semakin cepat; namun mereka tahu bahwa mereka harus bertindak gesit untuk melindungi diri sendiri serta orang-orang di sekitar. Keduanya lantas merancang strategi dengan mata fokus, tanpa sepatah kata pun terlontar, sekedar tatapan yang saling bercerita dan penuh tekad bersama. Siap menghadapi bahaya yang melayang di atas kepala mereka, mereka mempersiapkan segala yang dibutuhkan. Tak lama, preman-preman itu mulai mendekati dengan niat yang jelas. Kevin dan Dimas pun segera melancarkan aksi mereka. Keduanya mengandalkan keterampilan bertarung serta refleks yang telah mereka asah, bergerak dengan kecepatan yang mengejutkan para penjahat tersebut. Angin meniup lantang, suara bentrokan demi bentrokan memecah kesunyian, menjadikan malam itu satu episode yang tak akan pernah dilupakan oleh siapapun yang m
Malam itu, Kevin duduk di balkon kamarnya bersama istri tercinta, setelah berhasil menidurkan kedua anak kembarnya yang lucu. Rencana yang akan dibahas adalah mengenai persiapan pernikahan Dimas dan Dinda, keduanya yang telah lama diincar oleh hati Kevin untuk dipertemukan. Kebahagiaan Dimas adalah kebahagiaan bagi Kevin. Tidak hanya sebagai asisten pribadi yang sudah seperti keluarga, tetapi juga sahabat yang selalu setia menemani Kevin dalam suka duka. Diiringi malam yang tenang, ia menggenggam tangan istri dan berbicara dengan tulus dari lubuk hatinya. Kevin ingin meminta izin untuk memberikan biaya pernikahan untuk Dimas dan Dinda. Bagaimanapun, Dimas telah memberikan begitu banyak hal dalam hidup mereka dan tentunya Kevin sangat berharap sang istri tidak keberatan dengan keputusannya.Tentu saja tidak ada kebahagiaan yang lebih besar bagi Kevin selain melihat orang-orang di sekitarnya bahagia. Karena ia tahu betul bahwa Dinda telah mencuri hati Dimas sejak pertama kali bertemu
Satu Tahun kemudianHubungan Dimas dan Dinda semakin menemukan titik kebahagiaan mereka benar-benar tak menyangka akhirnya bisa sampai di titik ini. Malam ini Dimas mengajak Dinda untuk makan malam bersama. Jujur ada desir hangat mengalir dalam darah dinda."Dinda, ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu,” ucap Dimas gugup. Demi apapun Dimas tak pernah sebelumnya merasa segugup ini."Apa itu, Dimas? Jangan membuatku gugugp deh,” jawab Dinada penuh rasa penasaran Dinda berharap Dimas menyatakan cinta padanya, sudah sejak lama Dinda menunggu ungkapan cinta dari lelaki yang terkenal dingin ini namun tak kunjung terjadi juga.“Hmmmm,” Dimas berdehem gugup. "Aku tidak bisa membayangkan hidupku tanpamu. Kamu membuat setiap hari menjadi lebih cerah dan berarti bagiku. Aku mencintaimu, Dinda, dengan segenap hatiku."Dinta membelalak mendengar ungkapan cinta dari pria kutub utara ini. Benarkah ini? Atau aku hanya bermimpi? ... Aku juga mencintaimu. Kamu adalah sumber kebahagiaanku,” sayangny
Sementara itu di sebuah restoran mewah Kevin sengaja meminta istrinya untuk datang ke restoran hari ini.Dia mengajak sang istri untuk makan siang bersama, senyum mengembang di bibirnya ketika melihat wanita yang ia cintai sudah tiba di hadapannya.“Wah, kau cantik sekali, Sayang," ucap Kevin dengan nada rayuan, memandangi sang istri yang berdandan cantik. Wanita itu mencebik, merasa gusar dengan cara suaminya memujinya. "Memangnya selama ini aku tidak cantik, Sayang?" tanya sang istri, menegaskan kalimatnya. Kevin menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, tersenyum geli. "Tentu saja cantik. Tidak ada yang bisa mengalahkan kecantikan istriku," jawabnya dengan hati-hati. "Ayo sayang, kita makan siang dulu. Aku sudah pesan makanan kesukaanmu," ajaknya seraya menunjuk hidangan yang sudah tersaji di atas meja makan. Kevin menggenggam tangan sang istri, tatapannya lembut dan sayang. "Sesekali kita perlu menghabiskan waktu berdua saja, Sayang. Semoga di waktu yang akan datang, kita bisa leb