"Dimas, tolong belikan makanan untuk istriku," ucap Kevin sambil menyerahkan catatan kecil berisi permintaan sang anak. Kevin berjanji di dalam hati akan melakukan apapun asalkan sang istri mau makan, meski permintaan sang istri itu keseringan aneh-aneh.Kevin dan Dimas baru saja pulang dari kantor dan sengaja datang ke rumah sakit bersama-sama, ingin memastikan kondisi Zara baik-baik saja."Baik, Tuan. Saya permisi dulu," pamit Dimas, meninggalkan ruang rawat inap Zara sambil diiringi oleh pengawal Kevin. Dimas berjalan menuju lobi rumah sakit, dengan langkah pasti, ia tahu bahwa sopir pribadi Kevin telah menunggu di depan untuk membawanya ke restoran siap saji yang dituju. Meski hanya melihat sekilas catatan itu, pikiran Dimas sudah tahu ke mana ia harus pergi. Namun ketika dia hendak melangkahkan kakinya masuk ke dalam mobil, langkahnya terhenti secara tiba-tiba. Bahkan, pria itu terpaksa mundur beberapa langkah karena seseorang tiba-tiba muncul dengan mengenakan baju yang sama
“Semua tuduhan itu bohong! Anak saya tidak akan menikah dengan siapapun karena kecelakaan itu. Saya tidak pernah memaksa anak saya untuk menikahi siapapun!" ucap wanita paruh baya itu kepada Kevin dengan emosi yang meninggi. Kevin tersenyum dengan tatapan tajam, "Dimas adalah asisten terbaik saya dan dia tak pernah berbohong tentang apapun. Itulah mengapa dia berhasil meraih sukses dalam karirnya dan menjadi tangan kanan yang sangat kuat. Jadi, jika Anda memaksa saya mengungkap niat jahat Anda untuk menjatuhkan Dimas, dengan sangat terpaksa, saya juga akan membongkar semua aib Anda di masa lalu," ucap Kevin dengan nada ancaman yang membuat wanita paruh baya itu mulai pucat. "Jangan memfitnah saya! Saya tidak pernah melakukan apa yang Anda sangkakan!" bantah wanita itu dengan suara penuh kemarahan. "Memangnya saya bilang apa?" balas Kevin dengan nada mencibir, membuat wanita paruh baya di depannya itu salah tingkah, seakan aib masa lalunya hampir terbongkar dan semua rahasia kotor y
Beberapa hari kemudian, Kevin mengunjungi rumah sakit untuk menjemput mertuanya dia ajak pulang ke rumahnya. Meskipun begitu, ia tetap berniat mencari perawat yang bisa merawat Papa mertua di rumah."Papa tak keberatan kan, kalau saya mengajak salah satu suster untuk merawat Papa di rumah? Saya khawatir jika Papa tak bisa tidur lagi dan ingin memastikan Papa selalu baik-baik saja," ujar Kevin dengan nada penuh kekhawatiran."Terima kasih, nak. Papa sangat berterima kasih karena akhirnya diberi tempat berteduh," sahut pria paruh baya itu, yang kini wajahnya tampak semakin mirip dengan istri Kevin.Kevin tersenyum, penuh tekad. "K3vin janji akan menjaga Papa dengan sepenuh hati. Papa adalah orang terbaik untuk kami semua."Mertuanya tersenyum lemah, namun penuh harapan. "Papa akan berjuang untuk benar-benar sehat, agar bisa terus selamanya bersama kalian. Papa ingin menjadi kakek yang baik untuk Mika dan Miko." Dia masih mengingat nama kedua cucunya, anak kembar Kevin dan sang putri.
"Sayang, sebaiknya kamu istirahat dulu, masa bekerja terus seperti ini?" ucap sang istri lembut pada suaminya. Kevin larut dalam pekerjaannya, berlama-lama di meja yang terletak di sudut kamar mereka. Sementara itu, dua bayi mungil telah terlelap dengan nyenyak di tempat tidur mereka masing-masing, setelah mama mencurahkan kasih sayang dan memberi ASI sebelum tidur."Sebentar lagi, Sayang," jawab Kevin, tersenyum tipis."Aku menemanimu ya," ucap sang istri, yang dengan tulus ingin bersama suaminya hingga ia selesai bekerja. Senyum manis Kevin makin terpancar, ia menyambut sang istri dengan hangat."Dengan senang hati, Sayang. Ayo tidur di sini," ucap Kevin, mengajak istrinya berbaring di pahanya. Kevin sangat mengerti betapa lelahnya sang istri yang mengurus dua anak bayi sepanjang hari.Istri Kevin menurut, dengan senyum mengembang di bibirnya. Kepalanya merebah di atas paha suami, dan kakinya melentur panjang ke sisi sofa yang lain. Sementara Kevin mengusap lembut rambut sang ist
"Menggunakan mulut juga boleh, Sayang," ucap Kevin dengan nada merayu. Namun sang istri mencoba menolak, meskipun ia sadar bahwa upayanya mungkin tak akan berhasil. Dalam sekejap, hanya dengan satu kali tarikan tangan, piyama tidur yang dikenakan istri pun terlepas, kancing-kancingnya jatuh di bawah. Begitu kuat pegangan Kevin hingga tubuh istri tersingkap hanya dalam satu gerakan. "Sayaaaaaaaang, jangan," sang istri mencoba menolak lagi. Namun Kevin mengabaikan keberatan istri, tubuhnya merebahkan sang istri di atas ranjang. Dengan perlahan, ia membuka habis semua pakaiannya. Setelah puas, Kevin mulai menguasai bagian dada istri, menandai kekuasaan dan kepemilikannya di sana. Air Asi sang istri terasa mengalir, namun bukan hal itu yang Kevin perhatikan, seolah pria tersebut malah menikmatinya. Setelah puas menorehkan tanda kepemilikan pada tubuh istri, kini Kevin melumat bibir istrinya dengan nafsu, merasakan lidah di dalam mulutnya yang menarikan sebuah simfoni desahan kenikma
"Kau tahu sedang berhadapan dengan siapa?" tanya Dimas dengan nada tegas, emosi terpancar dari wajahnya saat menatap wanita di hadapannya.Wanita itu memilih untuk menunduk, tampak ketakutan dengan situasi yang dihadapinya. Aura menakutkan terpancar dari kedua pria yang berdiri di depannya. Dinda merasa ketakutan luar biasa saat berhadapan dengan tatapan tajam kedua pria tersebut. "Kau harus belajar lagi tata krama agar hidupmu tidak penuh sial," ujar Dimas dingin, melampiaskan kekesalannya pada wanita malang itu. Sementara itu, Kevin memperhatikan dengan nada menertawakan. Rasa ingin tertawa berkecamuk di benak Kevin. Dimas, pria yang biasanya selalu sabar, kini justru mudah tersulut emosi. Bahkan wanita cantik di depannya pun dihadapinya dengan sikap dingin dan tegas. Kevin mulai bertanya-tanya dalam hati, apakah asistennya tersebut memiliki gangguan lain? Seperti memiliki ketertarikan pada sesama jenis? Kevin menggeleng cepat, menepis pikiran yang absurd itu. Padahal kenyataa
Beberapa hari kemudian, Dinda melangkah dengan penuh harap menuju gedung pencakar langit tempat berdirinya Adamson Corporation. Dia menepati janjinya untuk bertemu dengan Kevin, berharap di balik tembok beton ini akan menemukan harapan baru dalam hidupnya. "Ya Tuhan, mudah-mudahan aku diterima di kantor ini," ucapnya dalam hati, mencoba untuk menguatkan diri. Namun, saat Dinda hendak melangkah masuk ke dalam gedung dan menuju meja resepsionis, dia justru tak menyangka bertemu dengan sosok yang kerap meliputi hari-harinya dengan nuansa kelabu—pria menyebalkan yang hampir tak pernah tersenyum saat berjumpa dengannya. "Se–selamat siang, Pak Dimas," ucap Dinda dengan ragu-ragu, menyapa asisten dari pemilik perusahaan ini. Tak seperti yang diharapkan, Dimas malah menyambut dengan sikap ketus. "Mau apa kau datang ke sini?" tanyanya dengan sinis, membuat Dinda semakin merasa gelisah. Dinda mencoba mengambil nafas dalam-dalam, lalu saat hendak menjawab pertanyaan tersebut, tiba-tiba ter
Dengan cepat, Kevin berbicara pada Dimas, "Ajak Dinda ke ruang kerjamu, dia akan mulai bekerja hari ini juga." Dimas menghembuskan nafas kasar, namun ia tak bisa mengelak dari perintah sang atasan. "Baik, Tuan," jawabnya patuh. "Ayo, ikut aku," ucap Dimas dengan nada ketus pada Dinda. Sikapnya itu membuat Kevin menegurnya. "Jangan bersikap kasar pada wanita. Kau harus bisa menghargai wanita dengan baik," nasihat Kevin tegas. Dimas sadar bahwa dirinya telah melakukan kesalahan dan meminta maaf. "Mohon maaf, saya salah. Kami permisi dulu," pamitnya sebelum membawa Dinda menuju ke depan ruang kerjanya. Setelah tiba di meja kerjanya, Dimas melampiaskan kekesalan hatinya pada Dinda. "Kau ini, bikin repot saja. Kenapa tidak mencari kerja di tempat lain?" tegurnya dengan keras. Dinda menunduk lesu, matanya berkaca-kaca. "Maafkan saya," jawabnya lemah. "Maaf, maaf. Dari tadi kau hanya bisa minta maaf terus," ucap Dimas, masih dengan nada ketus. Sementara itu, Kevin yang menyaksikan per