Asisten yang mendengarkan sepakat, "Saya juga berpikir begitu, Tuan. Rasanya mustahil Kevin selalu menang dalam semua bidang dan seolah tak pernah gagal. Kali ini bahkan kedutaan besar dari negara tetangga sudi datang ke kota ini untuk bertemu dengannya, lalu difasilitasi oleh pemerintahan. Sungguh ironis jika ternyata ia menggunakan cara kotor untuk mencapai semua ini." Asisten tersebut menambahkan, menggigit bibirnya, berusaha menyembunyikan rasa takut dan kekhawatirannya akan masa depan perusahaan mereka yang terancam oleh dominasi Kevin di pasar.“Kita harus membalas semua perbuatannya! Jangan biarkan dia terus menguasai kota ini. Dia harus ditumbangkan dan digantikan oleh pemimpin perusahaan yang lebih kompeten dan visioner. Banyak orang kaya di kota ini, tapi dia terus menyogok pemerintah. Kota ini akan stagnan jika dia terus berkuasa," ujar seorang pria dengan penuh kebencian. "Dia harus menerima akibat perbuatannya." "Anda tenang saja, Tuan," sahut sang asisten, matanya berk
Keesokan harinya, Kevin melihat Dimas tampaknya sedang terlarut dalam pemikiran. Beberapa hari terakhir ini, ada perubahan gerak-gerik yang terlihat dari sang asisten. Ia pun mengambil inisiatif untuk memanggil Dimas ke ruang kerjanya. "Permisi, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Dimas saat berada di depan meja kerja sang atasan."Beberapa hari ini, aku perhatikan kau seolah menghadapi masalah berat. Apa ada yang bisa aku bantu?" Kevin menanyakan dengan tulus kekhawatiran pada sang asisten. Terdengar helaan nafas berat dari Dimas, lalu pria itu memilih untuk duduk di depan meja kerja sang atasan dan mengisahkan semua keresahan yang menimpanya."Beberapa hari yang lalu, saya tidak sengaja menabrak seseorang dan sekarang dia mengalami patah tulang. Saya sudah menanggung semua biayanya, tapi alih-alih mereka berterima kasih, justru ibunya meminta saya untuk segera menikahi wanita yang saya tabrak itu." ujar Dimas dengan wajah nanar, merasa tak bisa menahan kepedihan hatinya pada s
"Di mana istri saya?" tanya Kevin begitu baru saja menginjakkan kaki di rumah setelah pulang kerja. "Ada di kamar, Tuan. Nyonya sejak pagi tidak enak badan. Barusan saya sudah bawakan bubur untuk beliau," ucap sang kepala pelayan dengan khawatir. Tanpa menunggu lama, Kevin berlarian menuju ke lantai atas. Hatinya terasa berat, ia harus segera mengetahui kondisi sang istri."Sayang..." panggil Kevin lembut saat sudah berada di dalam kamar. Tampak istri tercinta sedang tertidur di atas ranjang. Wajahnya pucat dan tidak seperti biasanya. "Sudah pulang, Sayang?" tanya wanita cantik itu lemah pada sang suami. Kevin berjalan mendekat, lalu duduk di sisi ranjang. Dengan perasaan cemas, ia menyentuh dahi istri untuk memastikan apakah demam atau tidak. "Badanmu panas, sayang," ucapnya dengan wajah khawatir, tanpa menjawab pertanyaan sang istri. "Kita ke rumah sakit, ya?" ajak Kevin, berharap agar istri mau menerima usulannya. Namun, sang istri menggeleng lemah. "Tidak apa-apa kok, Sayang
Setelah tiba di kantor dan memimpin rapat pagi, Kevin langsung mengadakan pertemuan penting bersama para dewan direksi yang akan terlibat dalam proyek terbaru mereka, yaitu pembangunan jalan tol megah. Pertemuan singkat ini dilakukan di ruang kerja Kevin. "Baiklah, untuk mempersingkat waktu, sebaiknya kita segera melakukan survei ke lapangan terkait dengan jalan tol megah yang akan kita bangun. Saya tidak ingin ada kendala yang berakibat fatal dalam proses pembangunannya," ujar Kevin dengan tegas pada dewan direksi yang sudah berkumpul di ruangannya. "Benar, Tuan. Kita juga bisa memanfaatkan teknologi pemetaan terkini, agar pihak perusahaan dapat langsung mengamati topografi dan rute potensial secara menyeluruh. Sepertinya metode ini akan sangat efektif, Tuan," timpal salah satu anggota dewan direksi yang ikut dalam pertemuan bersama Kevin, mengenai proyek besar yang akan mereka jalani."Oke, saya setuju. Kita juga harus segera mengevaluasi wilayah yang akan kita gunakan sebagai jal
Kevin tersenyum penuh makna, “itu sih hanya akal-akalan mereka saja, menundalah, tidak punya pekerjaan lah dan yang lain sebagainya.” “Tapi kita jangan mau kalah, kalau memang mereka tidak mau dibayar dengan nominal sama seperti yang lainnya, ya sudah biarkan saja dulu. Kita juga harus bertahan tapi adakan komunikasi yang baik, jangan asal-asalan agar tidak menyinggung perasaan warga. Kalian paham kan bagaimana cara marketing membujuk calon customernya agar mau membeli produk yang ditawarkan? Nah keluarkanlah kemampuan kalian itu,” ucap Kevin pada bawahannya.“Lagian kita sudah membayar dengan nominal yang cukup besar. Saya rasa tidak terlalu berat untuk kalian membujuknya, apalagi hanya 5 anggota keluarga sementara yang lainnya sudah setuju, ini sih memang bagian dari usaha mereka mau dinaikkan harganya.” sambung Kevin lagi yang dibalas anggukan oleh anak buahnya."Ini proyeksi pendapatan dengan tarif tol yang kompetitif dan perkiraan pengguna jalan tol. Faktor risiko kayak perubaha
Satu Minggu, setelah penandatanganan proyek selesai dan pembayaran 50% sudah diterima, Kevin dengan sigap menuju ke lokasi pembangunan proyek tersebut. Kendala yang dihadapi saat ini adalah penolakan yang semakin banyak dari warga sekitar untuk memberikan tanah mereka sebagai jalan tol, padahal nilai tanah sudah dibeli dengan nominal yang sangat menggiurkan. Mereka seharusnya bisa menggunakan uang tersebut untuk membeli rumah atau bangunan lain di tempat yang berbeda. "Jadi, rumah pemilik tanah yang mana?" tanya Kevin pada asistennya, dengan ekspresi penuh harap. Pria sejuta pesona itu terpaksa turun langsung ke lapangan untuk berkomunikasi secara langsung dengan para pemilik tanah, setelah karyawannya mengalami penolakan keras. "Ini, Tuan. Kita tinggal berjalan sedikit lagi, dan kita akan tiba di sana," jawab sang asisten. Kevin menarik napas dalam-dalam, berjalan tegak di samping asistennya menuju ke tempat yang sudah ditentukan. Begitu tiba di lokasi, mereka disambut oleh se
"Tuan, ada warga yang ingin menemui Anda," ujar sang asisten setelah dua minggu berlalu sejak Kevin datang menemui warga namun tak kunjung mendapatkan solusi. "Bilang saja saya tidak ada," jawab Kevin dengan nada dingin pada sang asisten. "Baik Tuan, tapi mereka pasti akan menunggu di depan," timpal sang asisten, "sebab saat ini keduanya akan pergi meninjau proyek jalan tol tersebut." "Kita lewat jalan belakang saja. Biarkan mereka menunggu di depan sampai mereka bosan. Siapa suruh mempermainkan seorang Kevin?" ucapnya sambil masih menahan kesal atas caci maki yang diterimanya ketika berkunjung ke rumah warga. "Mereka memang sok jual mahal," timpali sang asisten. Kevin mengerutkan kening, "Sepertinya ada yang sengaja melakukan ini, tapi seperti yang saya bilang, kalau kita memang bangun ya, bangun saja. Buatkan jembatan sepanjang tanah mereka. Selesai!" "Anda benar, Tuan. Terbukti sekarang mereka datang lagi karena yang Anda tawarkan itu jauh di atas rata-rata orang yang membeli
Pembangunan proyek jalan tol itu sudah mulai berjalan, namun hingga kini Kevin belum juga mau menemui warga yang enggan menjual tanahnya. Ketika Kevin bersiap memimpin rapat, tiba-tiba sang asisten mengabarkan bahwa warga tersebut kembali datang dan ingin bertemu dengannya. Senyuman licik terpancar dari wajah tampan Presiden Direktur itu. Ia segera tahu apa yang harus dilakukannya. "Tunda rapat, biarkan mereka masuk ke ruang rapat. Aku ingin berbicara dengan mereka di sana," perintah Kevin pada asistennya. "Baik, Tuan. Segera saya laksanakan," jawab asisten tersebut lalu bergegas menemui warga yang menunggu. Setelah melalui pemeriksaan keamanan yang ketat, akhirnya mereka diizinkan masuk. "Jadi, apa kepentingan kalian datang ke sini? Ingin menemui pemilik perusahaan?" tanya koordinator tim yang ikut penasaran dengan kedatangan mereka. Seorang perwakilan warga akhirnya menjawab dengan tegas, "Kami sudah memutuskan, kami ingin menjual tanah kami pada Tuan Kevin." Sambil mengepalk