Setelah puas tersenyum sendirian sambil mengamati cincin di jari manisnya, sudah tiba waktunya Mia untuk pergi ke dapur. Dia kemudian memasak bahan sisa kemarin yang disimpannya dalam kulkas.Setelah semua beres, Mia kemudian pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.Kembali dia mematut dirinya di cermin, mengusap wajahnya sendiri sambil melamun. “Suamiku itu sangat tampan, diriku sama sekali tidak sepadan jika bersanding dengannya.” Mia merasa kurang percaya diri. Dia takut membuat Gara kecewa kalau penampilannya hanya biasa saja.Dia termenung memikirkan apa yang harus dia lakukan demi suaminya agar tidak membuat malu. Ada ide yang terlintas di pikirannya kemudian dengan semangat dia menghampiri lemari lalu membukanya. Tapi saat dia memilih baju dia kebingungan harus memakai baju model yang mana. Dia tidak kehabisan akal, segera mengambil ponselnya untuk mengintip video di internet. Mencari tahu bagaimana cara para istri orang kaya berpakaian.Dia tersenyum setelah menemukan b
Saat dia memberanikan diri untuk menatap satu orang diantara mereka, orang itu malah cepat-cepat menunduk sambil menyapanya dengan hormat,"Selamat datang, Nyonya Mahendra."Eh, eh. Kok mereka memanggilku Nyonya Mahendra lagi sih? Atau jangan-jangan,aku mirip dengan Nyonya Mahendra? Siapa sih dia?Mia sebenarnya kebingungan. Tetapi dia tidak mungkin bertanya, hanya membalas sapaan mereka dengan senyuman saja.“Wah, Nyonya Mahendra ternyata sangat ramah ya?” Dengar satu orang berkata seperti itu."Iya. Begitu anggun dan lembut!"Bisik-bisik mereka terdengar oleh Mia. Wah, mereka benar-benar sudah salah paham mengira aku Nyonya Mahendra.Mia berjalan sedikit terburu, dia ingin bertanya pada pria yang berjalan mendahuluinya itu, tetapi langkah mereka berhenti di depan sebuah pintu ruangan.Pria itu mengetuk sebentar kemudian membuka pintu."Silahkan Nyonya. Tuan sudah menunggu anda."Mia mengangguk pelan. Dengan sangat ragu dia melangkah.Dia bisa melihat suaminya sedang duduk di hadapan
"Gara," Mia hampir bertanya lagi."Ayo makan, sayang. Lapar." Rengel Gara, membuat dirinya mengurungkan pertanyaannya kembali.Mereka kemudian makan, Gara terlihat begitu menikmati makanan buatan istrinya.Nyonya Mahendra. Nyonya Mahendra. Pikiran Mia dipenuhi dengan nama itu. Siapa sebenarnya dia, atau jangan-jangan? Pikirannya tiba-tiba buruk.Apa wanita itu mantan istri Gara yang kebetulan mirip denganku?Tapi menurut Gara sendiri, dia belum pernah menikah, atau mantan pacarnya?Dia tersentak dari lamunannya saat jari Gara menyentuh bibirnya dengan tisu, membersihkan sisa makanan yang menempel disudut bibirnya."Makannya yang benar, kenapa seperti anak kecil?" Mia terpana ketika pandangannya bertemu dengan kedua mata Gara."Gara,""Hem. Kenapa? Aku tampan ya? Atau baru sadar kalau suamimu ini tampan?"Wajah Mia memerah dan menunduk karena malu. Tiap kali tatapannya beradu dengan suaminya, tiap itu juga jantungnya berdebar tak karuan. Padahal ini kan suaminya? Sudah setiap hari dia
Setelah selesai makan siang, Gara mengajak Mia untuk pulang ke apartemen saja. Mereka menghabiskan waktu hari ini dengan bercanda hangat penuh kebahagiaan.Malam harinya, Gara merebahkan kepalanya di paha Mia. Menikmati wajah cantik Istrinya.Ternyata gadis sederhana ini bisa cantik juga. Artinya benar kata orang , semua wanita akan terlihat semakin cantik jika berada di tangan suami yang tepat.Memikirkan itu Gara mempunyai ide untuk membelikan salon kecantikan Pribadi untuk istrinya. Dia ingin istrinya selalu cantik seperti ini. Selain untuk menebus masa lalu Mia yang penuh kekurangan, juga karena mau tidak mau Mia harus dituntut agar selalu cantik, karena sekarang dia adalah Nyonya Mahendra.Kedepannya, Mia akan sering bertemu dengan orang-orang penting bersamanya. Apalagi Gara juga ingin segera mempublikasikan pernikahannya yang memang belum diketahui oleh publik.Dia berencana untuk mengadakan resepsi pernikahan yang megah tetapi setelah pernikahan Dinda usai dahulu. "Gara, kamu
Mia juga merasakan hal yang sama. Seperti belum pernah saja. Begitu indah melebihi malam pertama mereka.Ah, mungkin karena jika dulu dulu,adegan ini terjadi karena sebuah tuntutan hak sebagai suami istri saja. Tapi malam ini , adegan ini mengalir begitu tulus dan penuh dengan cinta kasih.Sampai keduanya merasa lelah dengan keringat yang bercucuran. Gara memeluk istrinya sambil menciumi kepalanya."Temani aku sampai aku mati ya?""Hust… Bicara apa sih?" Mia menutup mulutnya."Maksudnya, bersamaku sampai ajal yang memisahkan kita.""He.. Kamu juga ya?""Tentu saja.""Jangan ada yang lain?"Gara mendongak. "Jelas ada, kalau hanya kamu itu pasti kurang menyenangkan.” Mia membulatkan matanya dengan kesal, "Jadi kamu sudah berpikir untuk menduakan aku? Mau menikah lagi begitu?"Gara tertawa kecil. "Bukan. Tapi aku pasti ingin membagi cintaku. Bukan untuk orang lain, tetapi untuk yang nanti keluar dari sini." Dia mengelus perut Mia."Ah.. aku sudah mau emosi saja." Mia tersipu malu.Gara
"Eh, Mbak. Nggak kok. Ini empuk." Mia langsung mencegah."Oh. Lalu bagaimana Nyonya. Apa yang membuat Nyonya tidak nyaman? Tolong katakan?" Pengurus salon berbicara dengan cara membungkukkan badannya.Mia tertawa dalam hati. Kenapa mereka lucu sekali sih? Seperti sedang bicara dengan presiden aja.“Aku hanya lapar. Tapi tidak apa-apa. Kalau tidak bisa istirahat, aku akan menahannya.""Astaga! Nyonya lapar?" Pengurus langsung memberi perintah kepada Anak buahnya untuk memesan makanan."Tunggu sebentar ya Nyonya. Anak buahku akan segera memesan makanan."Mia hanya bisa menghela nafas saja sambil mengangguk. Tidak lama kemudian, pesanan makanan datang. Satu pegawai dengan cepat membuka makanan dan mendekatkan pada Mia yang sedang mendapatkan perawatan kuku."Sini makanannya." Mia minta pegawai itu meletakan makanan di atas meja yang ada di depannya."Eh, Nyonya. Jangan bergerak!" Pengurus salon mencegah tangan Mia yang akan bergerak.Mia tercengang, dia mau makan kenapa tidak boleh?"Lho.
Mia sudah selesai menelpon suami. Dia hanya tinggal menunggu suaminya datang untuk menjemputnya saja. Lalu dia kembali menoleh ke arah seseorang yang seperti dikenalnya tadi. Setelah memperhatikan dengan cukup lama Mia terkejut, ternyata yang datang itu adalah Dinda adiknya. Kebetulan Pengurus sedang masuk untuk mengontrol pelanggan yang lain. Mia menghampiri Dinda yang sedang menunggu giliran."Dinda? Kamu disini?” Dinda dan Reni menoleh bersamaan. Mereka terkejut . Langsung menatap Mia dari ujung kaki hingga kepalanya.“Mbak Mia?” tatapan Dinda berhenti di wajah kakaknya itu. Dia tidak berkedip, sama halnya dengan Reni, mereka melotot sampai Mia bergerak menempuh pundaknya.“Wah, calon pengantin baru rupanya ke salon ini juga ya?” “Ini, mbak Mia kan?” Yang bertanya seperti ini bukan Dinda melainkan Reni. Dinda malah terbengong disisi Reni.“Iya, aku Mia. Kakaknya Dinda. Masa lupa. Kamu Reni, kan?”Reni langsung tercengang, menoleh pada Dinda yang membeku di kedua kakinya.“Dinda,
Bukan kenal lagi! Aku ini adik kandungnya Nyonya Mahendra itu!Dinda berteriak demikian tetapi hanya sebatas tenggorokan."Aduh! Tiba-tiba kepalaku pusing, Ren. " Dinda mengeluh pada Reni. Padahal dia sebenarnya ingin segera pergi dari sini, ingin lari dari kenyataan yang baru saja dilihatnya tadi dan membuatnya syok berat."Ayo pulang saja." Dinda mengajak Reni untuk pulang."Lho, kok pulang? Perawatannya bagaimana?" Tanya Pengurus Salon.“Tidak jadi, besok saja." Jawab Dinda sambil segera menarik tangan Reni untuk buru-buru keluar dari salon.Sepanjang perjalanan pulang Dinda termenung. Dia benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang dilihatnya tadi."Aku benar-benar masih kurang percaya, kalau tadi adalah Mia dan suaminya yang miskin itu. Masa iya sih Gara seorang pengusaha?” Dinda berkata pelan, sambil mengurut pelipisnya.“Iya, aku juga merasa seperti tidak percaya. Tapi mendengar penjelasan dari pengurus salon tadi dan melihat penampilan mereka, lalu mobil yang dibawa suaminy
Tidak ada tetangga yang datang karena mereka sengaja, lamaran malam ini dengan sederhana saja. Tidak ada yang dibawa oleh Dodi karena memang mereka sudah berunding untuk tidak memaksakan diri dan tidak membawa apapun. Ini adalah pesan Gita, jadi Dodi datang hanya membawa ucapan niat dan cincin seberat 2 gram saja sebagai tanda pengikat antara mereka. Acara lamaran berlangsung sederhana namun penuh keseriusan dari kedua belah pihak. Pakde Gita tak banyak bicara, sebab di sini ia hanya menjadi saksi, bukan untuk dimintai pendapat. Sebelumnya, Bu Mila sudah berpesan demikian. Sebelum lamaran ini, Pakde sempat menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pernikahan Gita dengan Dodi. Alasannya, masa depan Dodi kurang cerah dan hanya akan membebani Gita, terlebih Gita kini sudah sukses. Pakde khawatir banyak orang berbiat buruk, lalu menjadikan alasan ingin menikahi Gita. Bu Mila menegaskan untuk tidak perlu ikut campur urusan mereka . Dodi memandang Heru dengan mata terbelalak, seperti kura
Sebagai orang tua, mereka hanya perlu menyetujui, memberi restu, dan dukungan. Meski tak suka, Pakde tak bisa berbuat apa-apa selain mengiyakan.Mungkin ia sadar bahwa selama ini ia tak pernah membantu atau ikut memberi makan Gita dan Anisa sejak mereka lahir, lalu mereka ditinggal orang tua mereka, dan kini telah tumbuh dewasa.Acara lamaran selesai, disambung dengan obrolan ringan, basa-basi sebelum waktunya pulang.Tidak ada yang istimewa di acara malam ini, tetapi bagi Gita dan Dodi, acara ini sangat spesial dan membekas di hati. Karena malam ini, mereka resmi menjadi sepasang tunangan dan berencana menikah bulan depan. Awalnya, ketika ditanya oleh Pak De kapan mereka akan menikah, Dodi masih ragu untuk menjawab. Bukan karena ragu, tetapi dia ingin benar-benar siap. Namun, Gita yang langsung menjawab, "Rencana kami adalah bulan depan, Pak De. Setelah bulan ini habis, kami akan berunding lagi untuk menentukan hari yang tepat."Dodi tidak bisa berkomentar karena takut Gita tersinggu
Dodi menarik nafas resah. Tadinya, dia sudah cukup senang, khayalannya melambung tinggi, menikahi Gita dan hidup bahagia penuh cinta. Namun, setelah obrolan dengan ibunya, perasaannya berubah menjadi kacau.Jika nanti dia menikah, bagaimana mungkin dia bisa tinggal bersama Gita? Bagaimana dengan ibu dan dik-adiknya? Tapi jika dia mengajak Gita untuk tinggal bersamanya, tentu saja itu juga tidak mungkin. Dia tidak bisa membawa Gita untuk tinggal di pondok mereka dan mengurus keluarganya.Tiba-tiba, sebuah pesan singkat dari Gita masuk. "Dodi, sedang apa? Apa kamu sudah pulang kerja?""Iya, Gita. Aku sudah pulang dari tadi." Mulai hari ini dan seterusnya, Dodi memang sudah mau belajar untuk memanggil Gita dengan nama saja. Mereka sudah sepakat."Bisa gak nanti malam ke rumah? Ada hal yang ingin aku bicarakan."Karena Dodi juga ingin membicarakan suatu hal dengan Gita, dia pun setuju. "Iya, aku akan ke sana nanti malam."Gita tersenyum, selain memang ada sesuatu yang ingin dibicarakan se
Yang di sana menutup mulutnya dengan satu tangan menahan agar tidak tertawa keras karena saking senangnya.Ya ampun… Ternyata Dodi romantis juga ya?Akhirnya sepanjang malam ini mereka sama-sama begadang, melanjutkan chat mesra dan rencana untuk kedepannya nanti. Sampai terlupa, ketiduran tanpa sengaja. Ponsel masing-masing terjatuh dari tangan dan paginya ponsel mereka sama-sama ngedrop!Dodi merasa sangat kesal karena tidak bisa mengirimi pesan atau melihat pesan chat dari Gita. Akhirnya berangkat kerja tanpa membawa ponsel.Gita juga demikian, terpaksa pergi mengajar meninggalkan ponselnya di rumah untuk dicas.Di tempat kerja, mereka tidak konsen.Saling memikirkan satu sama lain. Andai saja tadi ponsel bisa dibawa, setidaknya bisa berkirim chat, menanyakan kabar. Lagi ngapain? Udah makan belum?Duh, kasmaran!Sayangnya semalam lupa , seharusnya sambil di cas saja. Kan tidak sampai ngedrop?Saat Dodi pulang dari kerja, di jalan melihat kecelakaan. Sebuah mobil sedan menabrak seora
Anisa mengusir mereka dengan bercanda, "Sudah, jalan sana, nanti keburu magrib."Gita dan Dodi akhirnya berangkat menggunakan motor Anisa. Mereka berboncengan, menarik perhatian orang-orang di jalan karena penampilan mereka yang berbeda dari biasanya. Beberapa mencibir, tapi banyak juga yang memuji kecocokan mereka.Sesampainya di acara, suara musik orgen tunggal menyambut. Mereka disambut oleh tim penyambut tamu, dan beberapa orang langsung mengenali mereka, "Mbak Gita sama Mas Dodi? Wah, cocok banget!”Gita dan Dodi hanya tersenyum malu mendengar godaan-godaan itu. Setelah mengambil makanan, mereka duduk bersama dan menikmati hidangan. Sesekali mereka melirik satu sama lain dan tersenyum, tapi tidak bisa fokus karena hati mereka sama-sama berdebar.Setelah makan, Dodi mengajak Gita untuk memberikan amplop kepada pasangan pengantin. "Cepat menyusul kami ya!" ucap mempelai wanita, membuat Gita semakin tersipu."Kenapa semua orang berpikir kita pacaran?" tanya Gita saat mereka kembali
Penjelasan Gita diterima, dan beberapa siswa bahkan membuka platform novel online untuk memeriksa kebenarannya. Mereka akhirnya paham bahwa kehidupan Gita dan Anisa telah berubah berkat kerja keras Gita.Sejak saat itu, tak ada lagi yang menuduh atau membicarakan Anisa dan keluarganya. Kabar tentang Gita yang menjadi penulis menyebar, dan kehidupan mereka menjadi lebih damai. Tidak ada lagi tuduhan atau hinaan dari Cindy dan teman-temannya.Hari itu, Gita merasa sangat lelah setelah seharian membersihkan rumah bersama Anisa. Malam harinya, ia mengalami sakit kepala yang parah. Anisa khawatir melihat suhu tubuh kakaknya yang sangat panas."Mbak Gita sakit, ya? Badannya panas sekali!" seru Anisa.Gita mengeluh, "Kepala Mbak sakit, tubuh juga rasanya ngilu-ngilu."Anisa segera memberi tahu Bu Mila, yang panik. "Tunggu sebentar, Anisa. Biar nenek menemui Mbak Nita.""Biar Anisa saja, Nek. Nenek tungguin Mbak Gita," ujar Anisa, langsung berlari ke rumah Nita. Mendengar kabar itu, Nita dan
"Udah, jangan dilihat terus. Besok langsung dicoba aja," goda Nita, sambil tersenyum melihat Anisa yang terus memandangi motor barunya.Anisa tertawa kecil, benar-benar tidak menyangka dirinya bisa mendapatkan motor sebagus itu. Dia menoleh pada Gita, "Mbak Gita, terima kasih ya. Pasti mahal banget."Gita tersenyum dan menepuk tangan Anisa lembut, "Yang penting kamu senang, Anisa. Harga motor ini nggak ada apa-apanya dibanding kebahagiaan kamu.""Ya ampun, Mbak Gita! I love you deh!" Anisa memeluk kakaknya dengan rasa terima kasih."Makanya, jangan bandel. Kamu nggak kerja tapi dibeliin motor sama HP baru. Semangat belajar dan bantu-bantu di rumah, ya," Bu Mila mengingatkan."Siap, Nek! Anisa makin semangat," jawab Anisa riang, disambut tawa seluruh keluarga.Heru lalu berdiri, "Maaf, aku harus pulang. Toko nggak ada yang jaga lama-lama.""Aku juga pulang, nih," kata Nita sambil mengeluarkan kado kecil dari sakunya.Heru melihat kado itu dan tertawa, "Ya ampun, kado kamu kecil banget,
Karena Anisa memang adik yang pengertian, meskipun hatinya sedikit terluka oleh ucapan kakaknya, dia tidak berani menjawab. Anisa mencoba mengerti, mungkin kakaknya sedang banyak pikiran atau lelah, jadi dia memilih untuk diam saja.Kemudian, Anisa beranjak dari kamar Gita untuk mencari neneknya, tetapi tidak menemukannya. Dia lalu pergi ke dapur dan membuka tudung saji. Ternyata tidak ada makanan apapun di meja. Bahkan di magic com pun tidak ada nasi. Anisa mendengus kesal, lalu kembali ke kamar Gita."Mbak, nenek nggak masak ya? Nenek pergi kemana?" tanya Anisa lagi.Kakaknya terlihat kesal, lalu melemparkan guling ke arah Anisa."Kamu itu manja banget sih! Kamu kan bisa masak sendiri, masak mie, ceplok telor, atau apa gitu. Nggak usah terus ngandelin nenek. Nenek lagi pergi ke rumah Bude dari tadi pagi, jadi nggak sempat masak. Kamu aja yang masak nasi, sana!” ujar kakaknya.Anisa merasa sedih melihat perubahan kakaknya yang tiba-tiba menjadi pemarah. Namun, dia tidak berani memban
“Ya Allah, ternyata ini pekerjaan Mbak Gita yang jarang diketahui orang. Pantas saja Mbak bisa membeli ini itu dan mengubah ekonomi keluarga. Aku benar-benar tidak menyangka kalau Mbak bisa sehebat ini.”Gita mengangguk kemudian tersenyum kecil sambil melanjutkan untuk memberitahu Dodi tentang aplikasi-aplikasi novel miliknya.“Mungkin beberapa orang di kampung banyak yang membicarakan aku, tapi aku tidak mau peduli. Karena mereka juga tidak tahu apa yang aku lakukan sebenarnya. Yang terpenting bagiku adalah aku mencari pekerjaan secara halal dan ini merupakan anugerah serta rezeki dari Allah yang diberikan padaku. Aku telah diberi jalan untuk bisa mengubah ekonomi keluargaku.”Dodi mendongak, "Mungkin sebagian orang membicarakan keluarga Mbak karena mereka tidak tahu yang sebenarnya. Tapi benar kata Mbak, tidak usah dipedulikan. Bukankah Mbak tidak merugikan siapa-siapa? Mbak menulis dengan ide sendiri tanpa mengganggu orang lain.""Itulah yang sering dikatakan oleh Mbak Nita. Makany