“Mas akan kasih kamu uang belanja, kalau kamu mau minta maaf sama ibu.”
Ucap mas Riko membuatku mengerutkan kening. Memahami. Aku baru sampai di rumah setelah mengantar Yuda ke sekolah. Tersadar, semenjak kejadian ribut dengan mertua, aku memang belum di kasih uang belanja.
“Aku masih istrimu, masih kewajibanmu menafkahiku.”
Jawabku berlalu, menuju dapur. Membuat secangkir kopi menghilangkan pusing. Mas Riko mengikutiku.
“Apa susahnya sih minta maaf sama ibu!”
Sahutnya menarik tanganku. Mata kami beradu, terlihat kekecewaan disana.
“Terserah mau kasih duit belanja aku atau tidak, kalaupun aku mati kelaparan, kamu yang berdosa.”
Jawabku asal, tanpa memperdulikan ucapannya.
“Dosa? Kamu yang berdosa karena berucap kasar dengan mertuamu.”
Bentak mas Riko. Mencengkeram lenganku kasar.
“Aku tak akan berucap kasar kalau tidak ada yang memulai.”
Jawabku sambil berusaha melepas cengkeraman tangan mas Riko. Percuma, cengkeraman itu semakin kuat.
“Sudah jelas kamu yang memulai, tapi kamu angkuh untuk minta maaf.” Sahutnya.
“Disini kamu yang bersalah mas.”
Tandasku tajam. Kecewa dengan tindakan cerobohnya.
“Aku?” dia menyeringai.
“Jelas-jelas kamu yang bersalah malah nuduh aku, aku jadi semakin yakin kalau ucapanmu itu hanya memfitnah ibu.” Jawabnya geram. Tak mau disalahkan.
“Kamu itu suami mas, tugas suami melindungi istri,” sahutku mendorongnya. Cengkeraman tangannya terlepas.
“Nggak usah kamu ngajarin aku akan tugasku, sudah jelas kamu yang salah memfitnah ibu, malah mengkambing hitamkan aku, kamu ingin aku tengkar sama ibu?”
Bentaknya dengan nada marah. Mencengkeram lenganku lagi semakin kuat. Baru hari ini, aku melihat laki-laki yang sudah mendampingiku delapan tahun sekalap ini.
“Kalau kamu tidak mengadu pada ibu, semua ini tidak akan terjadi, coba kamu bisa menahannya, dan memberiku waktu untuk membuktikan ucapanku ...”
Plaaakkkkk
“Cukup!” nafasnya memburu. “Tak usah repot mencari bukti, karena aku lebih mempercayai ibuku.” Matanya membulat, mengerikan.
“Kamu menamparku mas?”
Ucapku memegang pipiku. Tak percaya. Pertama kalinya dia benar-benar mendaratkan tangannya di pipiku. Sakit. Dia tersentak, melihat tangannnya sendiri, tangan yang baru saja mendarat di pipiku.
“ Kamu bukan Riko suamiku,”
Ucapku lagi. Ku ambil secangkir kopi yang aku buat tadi, kulempar sesukaku Melampiaskan amarah. Kualihkan pandangan mata ke arah dimana gelas kopi pecah berserakan.
“Kamu lihat mas, gelas kopi itu sudah pecah, dan tidak akan bisa disatukan kembali, begitu juga dengan hatiku, hati ini sudah kamu buat pecah, jangan berharap akan kembali utuh seperti sebelumnya.”
Ucapku tajam dan berlari kekamar. Mas Riko mengikuti, setelah sampai dikamar, ku banting pintu kamar dan menguncinya.
“Dek, mas minta maaf, mas khilaf.”
“Dek buka pintunya, mas mohon dek, buka pintunya.”
Ucapnya berkali-berkali sambil menggedor pintu kamar. Aku tersandar dibalik pintu, menangis. Tak menyangka, laki-laki yang dulu sangat manis ketika menyatakan cintanya padaku, sekarang dia telah menyakitiku. Sakit bekas tamparan di pipi tak seberapa, di bandingkan dengan sakit hati yang aku rasakan.
Dia masih terus menggedor pintu kamar, berharap aku membukanya. Badanku terasa lemas. Setelah kejadian itu mas Riko memang tidur dirumah ibunya. Mungkin ada hasutan, sehingga mas Riko begitu kasar padaku.
“Sudah Ko, kamu laki-laki memang harus tegas sama istrimu, biar nggak nglunjak dia.”
Tiba-tiba aku mendengar suara ibu. Entah kapan datangnya. Atau mungkin ibu ada sejak tadi dan mendengar sumua keributan kami.
“Tapi bu, Riko khilaf telah menampar Rasti.” Jawab mas Riko seakan menyesal.
“Istrimu itu memang perlu ditampar, biar mulutnya nggak asal ngejeplak memfitnah mertuanya, untung ibu yang difitnah, kalau orang lain bisa-bisa dipenjara si Rasti, nama baik keluarga kita bisa hancur berantakan.”
Sahut ibu lagi. Bukannya membuat damai, malah semakin menyulutkan api.
“Dek, buka pintunya, mas mohon!”
ucap mas Riko yang seakan tak memperdulikan ucapan ibunya. Menggedor pintu dengan pelan.
“Bodoh kamu Riko, ngapain kamu minta maaf sama istrimu yang kayak drum ini?” bentak mertua.
“Riko salah bu, telah menampar Rasti, nggak seharusnya Riko menampar Rasti.” Sahut mas Riko, nada suaranya merasa sangat menyesal.
“Sudah-sudah ibu nggak mau berantem sama kamu, cuma gara-gara Rasti, ayok pulang kerumah ibu.”
Terdengar suara kaki melangkah, menjauh dan hilang tertelan pintu. Suara motor meraung dan suaranya semakin menjauh. Kubuka pintu kamar perlahan, memastikan, benar mereka sudah pergi.
Aku melangkah dengan malas menuju ruang tamu, kuseka air mataku. Meraba pipi yang masih terasa panas. Kurebahkan badan di sofa. Menarik nafas panjang dan melepaskannya dengan pelan. Mengatur sisa degupan jantung yang masih membara. Warna putih si gula memang sama sekali sudah tak terlihat.
Ting
Terdengar bunyi gawaiku, beranjak mengambilnya, di meja dekat TV. Pesan masuk. Terlihat SMS banking. Tertera Rp 3.000.000,-
Ting
Terdengar lagi ada pesan singkat masuk.
[Dek, sekali lagi maafin mas, ini uang panen sawit, untuk belanja]
Kuletakkan gawaiku, enggan membalasnya.
Cerai?
"Mbak Rasti, demi kebaikan semuanya, mending mbak turuti keinginan mas Riko."Ucap Lika duduk di sofa ruang tamu. Hari ini Lika main ke rumah, tampak rautnya memelas."Maksudmu?" Tanyaku mengerutkan kening."Turuti keinginan mas Riko, mbak minta maaf sama ibu, biar semuanya semakin tak berlarut-larut."Jawabnya serius, sambil meletakkan gawai disebelahnya. Menatapku tajam. Membuat hati semakin sesak."Lika, mbak pasti minta maaf sama ibu, tapi nggak sekarang, mbak ingin buktikan ke mas Riko."Sahutku, membuat Lika menyipitkan matanya. Terdiam sejenak. Seakan lagi berfikir sesuatu."Berarti mbak ingin membuat mas Riko bertengkar ma ibu?" Tanyanya serius."Ya eng...""Mbak, ingat-ingat kembali kebaikan ibu, jangan hanya sedikit kesalahan ibu, mbak melupakan semua kebaikan ibu."Potongnya. Aku tersentak mendengar ucapan Lika. Mencoba memahami, apakah aku yang terlalu sensitif, atau Lika memang tak merasakan ketidak adilan ini, karena dia mendapat tempat teratas di hati mertua."Maksudmu,
Hatiku terasa sedikit lega, setelah semua masalah aku ceritakan pada bu Retno. Walaupun belum ada jalan keluarnya, setidaknya tidak aku pendam sendiri. Kebetulan hari ini aku bertemu dengan bu Retno di warung dan menyuruhnya mampir ke rumahku. “Kasihan kamu Rasti, sudah jauh dari keluarga, disini keluarga dari suamimu, tidak membuatmu nyaman.” Ucap bu Retno mengusap punggungku. Usapan bu Retno mengingatkanku pada emak, aku sangat merindukan emak.“Terus Rasti harus gimana bu?” tanyaku pada wanita yang seumuran dengan emak. Dia terdiam, berusaha memikirkan jalan keluar yang harus aku ambil.“Pertahankan rumah tanggamu Rasti, Riko laki-laki baik, cuma cara dia berfikir jauh diatas Toni adiknya.” Jawab bu Retno. Toni? Aku tidak berfikir ke Toni, betul kata bu Retno, Toni memang terlihat lebih dewasa di banding abangnya. Tapi diakan suami Lika? “Rasti akan berusaha mempertahankan bu, tapi Rasti bingung, karena ibu kemarin menyuruhku meninggalkan mas Riko dan tak boleh membawa Yuda.” Uca
"Kenapa? Mau membolak balikkan fakta? Dasar kamu memang pinter ngomong.” Jawabnya sambil menyeringai licik.“Mas, aku hanya ingin tahu Lika cerita apa? Sama tidak dengan apa yang aku ceritakan sama dia.” Ucapku gerah. Membuatnya mendelik.“Benar kata Lika, kalau kamu pasti akan bertanya seperti ini, kalaupun sama ucapan kalian, kamu pasti akan membalikkan kata, seakan membuat drama, Lika mengadu domba.”Sakit sekali hatiku mendengar jawaban mas Riko. Rasanya tak percaya Lika selicik itu, dia sudah menyusun rencana rapi untuk menjatuhkanku. Bodohnya aku telah mempercayai Lika. Aku salah memilih teman cerita. Ternyata aku masuk kedalam lubang sarang ular berbisa.“Ok mas, kalau kamu sudah sangat mempercayai omongan Lika, dan tidak mempercayai omonganku lagi, setidaknya kamu mencari bukti sendiri, aku istrimu atau Lika istri adikmu yang benar,” Ucapku, terlihat mas Riko terdiam. Ku harap dia mengerti akan maksudku.“Izinkan aku pulang, karena ibumu telah menyuruhku meninggalkanmu, tanpa
"Maafkan aku mbak, aku baru mendengar keributan ini.”Ucap Toni adik iparku, setelah mendengar semua curhatanku. Hari ini Toni datang ke rumah, tanpa Lika, karena ingin mendengar semuanya dariku. Toni selama ini memang akrab denganku, dari aku masih pacaran dengan abangnya. “Gakpapa Ton, mbak tahu kamu sibuk, kamu percaya dengan mbak kan?” Tanyaku, berharap ada yang mempercayai omonganku. “Justru karena aku percaya dengan mbak, makanya aku memastikan kesini, ingin dengar semuanya dari mbak.” Lega sekali mendengar jawaban Toni. Setidaknya ada salah satu keluarga yang masih mempercayai ucapanku. “Makasih Ton, kamu masih percaya dengan mbak, sedangkan mas mu sendiri sudah tidak mempercayai mbak.” Jawabku, kulihat Toni mengusap wajahnya dan meletakkan tangan kanannya di dagu, terlihat sedang memikirkan sesuatu.“Mas Riko itu mungkin bingung mbak, buktinya mbak minta cerai dia nggak mau, tapi juga nggak mau buat kecewa ibu.” Ucapnya, kemudian menyeruput kopi yang aku suguhkan.“Mbak h
"Ya buat masalah karena kepolosan mbak itu tadi Ton.” Jawabku asal, disambut dengan gelak tawa Toni, membuatku dan mas Riko juga ikut tertawa. Ya beberapa hari ini wajahku suram. Seakan lupa cara tertawa. Toni datang membawa tawa itu lagi.“Mas, ingat nggak saat detik-detik mendekati hari pernikahan mas dan mbak Rasti?”Tanya Toni membuka kenangan masa lalu. Mas Riko terdiam, mencoba mengingat.“Saat itu banyak gosip miring tentang mbak Rasti, tapi mas Riko mati-matian menjaga hati calon istri, dan berakhir dengan indah, gosip miring itu tak ada buktinya sampai detik ini, karena apa? Ya karena mbak Rasti memang tak bersalah dan hanya gosip, masak iya sekarang sudah sah sebagai istri dan sudah memberikan momongan yang ganteng, mas tidak mati-matian membela istrinya seperti dulu?”Ucap Toni lagi seraya bertanya nyindir ke arah abangnya. Mas Riko termenung. Seakan matanya terlihat menghadirkan kembali kenangan masa lalu.“Maksudmu Ton?” tanya mas Riko, seakan mencari kepastian.“Pikir se
Semenjak kedatangan Toni kemarin, mas Riko sudah mau tidur di rumah lagi. Walau dia tidur dikamar Yuda, tak masalah, karena semua yang sudah terlanjur terjadi, butuh proses untuk mengembalikan keadaan seperti semula.Toni Maulana. Adik iparku yang lumayan ganteng, gokil dan amburadul. Iya dia hanya memakai baju rapi kalau kerja atau kondangan. Berbeda dengan abangnya, Riko Maulana, justru memakai baju amburadul ketika mau bekerja, memakai baju rapi jika tidak bekerja. Kok gitu? Iya karena mas Riko kerjanya cuma manen sawit pemberian ibunya. Kata-kata Toni tentang Lika yang lagi dekat dengan mbak Juwariah, membuatku kefikiran. Juwariah, yang mana akun efbe nya memakai nama RiaRi membuatku tahu akan kepanjangan dari nama itu dari Toni. Cukup kaget, masih kah mbak Juwariah mencintai suamiku? secara mbak Juwariah adalah mantan terlama menjalin kasih dengan mas Riko.Halika Sofya Ningrum, biasa di panggil Lika, istri dari Toni, berwajah cantik, body ramping bekerja sebagai bidan. Membuat
“Rasti!!!” terdengar suara Ibu berteriak dari ambang pintu. Aku masih memutar mesin cuci, ku lihat Mas Riko sudah keluar menemui ibunya.“Ada apa, sih, Bu? Ini masih pagi Ibu sudah teriak-teriak!” jawab Mas Riko, seraya bertanya. Aku ikut keluar menemui Ibu, ada apa lagi ini?“Ibu teriak-teriak pasti ada sebab!” bentak Ibu, seakan nggak terima dengan jawaban anaknya. Membuat Mas Riko mengusap wajahnya, seakan bingung mau bersikap.“Ada apa Bu?” tanyaku santai, terlihat wajah memerah yang siap marah.“Dasar kamu menantu kurang ajar!” teriak Ibu lagi sambil menuding wajahku. Membuatku memejamkan mata dan menautkan alisku. Bingung apa lagi kesalahanku? “Apalagi kesalahan Rasti Bu?” tanya Mas Riko, yang seakan ikut bingung dengan tingkah ibunya.“Tanya sendiri dengan istrimu yang sok polos ini!” seru Ibu, deg, jantungku terasa berhenti berdetak. Apa lagi kesalahanku? Perasaan beberapa hari ini, aku tak berjumpa dengan Ibu.“Ada apalagi, sih, Dek?” tanya Mas Riko, menatapku, dengan tatapa
“Lho, Rastikan nggak ikut acara arisan Ibu? Buat malu bagaimana?” Mas Riko menjawab seraya bertanya. Aku masih terdiam, berfikir. Memilih duduk di sofa karena kaki terasa kram. Biarkan saja mereka berdiri. Resiko orang gemuk, nggak kuat berdiri lama-lama. Mata Ibu terlihat membulat. Dadanya juga terlihat naik turun. Mungkin Ibu merasa Mas Riko seolah membelaku. “Ibu jadi bahan omongan di acara arisan,” jawab Ibu yang semakin meluap-luap emosinya. Kutautkan alisku ‘jadi bahan omongan kok aku yang jadi sasaran?’ gumamku dalam hati. Semakin bingung dengan sikap Ibu.“Ibu jadi bahan omongan, kenapa nyalahin Rasti?” tanya Mas Riko yang juga terlihat bingung dengan sikap ibunya. Mata Ibu mendelik mendengar jawaban Mas Riko. Mungkin tak sesuai harapannya. Mungkin Ibu berharap Mas Riko marah-marah denganku.“Gara-gara Rasti cerita ke Bu Retno, jadi Bu Retno ngember ke Arisan!” deg, untuk kesekian kalinya jantung terasa ingin keluar dari tempatnya. Bu Retno setega itu? Mas Riko mengalihkan pa
Pagi ini Lika berkemas. Menyusun baju-bajunya di koper. Di bantu oleh anak-anak panti yang sudah besar. “Mbak Lika enak ya? punya orang tua, aku juga pengen punya orang tua,” celetuk anak perempuan yang kira-kira umur 12 tahun. Bernama Putri. Membuat Lika tersentuh mendengar omongannya.“Iya,” sahut temannya lagi, yang juga ikut membantu Lika berkemas. Menyadarkan Lika, betapa beruntungnya dia. tapi, dia selama ini tidak mensyukuri itu. Selalu iri dengan kehidupan orang lain. Selalu iri dengan kehidupan Mbak Rasti dulu itu. “Kalian juga beruntung bisa tinggal di panti ini. Jangan merasa nggak punya orang tua. Bu Lexa itukan orang tua kalian,” sahut Lika menanggapi omongan anak-anak panti itu.“Owh, iya, Bu Lexa kan ibu kita,” sahut anak yang lainnya. Putri tersenyum.“Iya, Maksudnya, enak gitu jadi Mbak Lika, orang tuanya masih komplit,” jelas Putri. Membuat Lika sesak saja mendengarnya.“Udah, kalian juga sangat beruntung mempunya orang tua kayak Bu Lexa. Ini semua sudah takdir, ma
“Dari mana,Le?” tanya ibunya saat melihat Malik masuk ke dalam kamarnya. Malik tersenyum memandang ibunya.“Main sama temen, Bu. Maaf, ya, seharian ini, Ibu Malik tinggal,” jawab Malik seraya meminta maaf, karena dia merasa nggak enak dengan ibunya.“Nggak apa-apa, Le, kamu juga butuh jalan-jalan. Nggak berkutat di rumah aja, nungguin Ibu,” sahut ibunya. Malik tersenyum lagi, karena hanya ibu dan Mahira yang dia punya. Saudara banyak, tapi jarang sekali komunikasi. Jadi terputus pelan-pelan. “Malik senang di rumah sama ibu,” sahut Malik, kemudian merebahkan badannya di sebelah ibunya. Kemudian tangan ibunya mengelus rambut Malik. Karena Malik sangat senang jika ibunya melakukan itu. Ke dua tangan ibu Malik masih berfungsi, itupun dengan gerakkan lambat. Kalau kakinya sudah tidak berfungsi lagi. “Kamu kok, sedih, Le?” tanya ibunya saat melihat wajah anak sulungnya itu murung. Tanpa bisa di tahan, beningan kristal meleleh dari sudut matanya.“Lah, kok, malah nangis? Cerita sama ibu a
“Lika,” sapa Tante Lexa saat membukakan pintu untuk Lika. Lika cepat-cepat menyeka air atanya yang masih terus mengalir. “Tante,” sahut Lika masih terus menyeka air matanya, yang nggak bisa berhenti. Malik sudah pulang. Saat pintu rumah Tante Lexa di buka, Malik langsung memutar mobilnya dan keluar meninggalkan halaman rumah Tante Lexa. “Masuk dulu!” perintah Tante Lexa, seraya menarik tangan Lika menuju ke kursi. Lika nggak enak hati dengan Tante Lexa, karena menangis. ‘Pliis Lika jangan nangis, nanti membuat Tante Lexa bingung dan cemas,’ lirih Lika dalam hati. Dia pikir Tante Lexa nggak tahu sebab dia menangis.“Kenapa menangis?” tanya Tante Lexa memancing reaksi Lika. Lika memaksakan senyum dan masih terus meyeka air matanya.“Nggak apa-apa, Tante,” sahut Lika asal, dengan suara serak dan sesak. Tante Lexa mendesah, kemudian ikut membantu mengusap air mata Lika. Karena Lika sudah di anggap anak olehnya.“Cerita sama Tante! Siapa tahu Tante bisa membantumu,” ucap Tante Lexa. Mata
“Hah? Juwariah hamil anak Tirta?” sahut Mas Riko saat aku memberi kabar tentang gosip ini. Ya, sepulang dari warung Mak Rida, aku langsung mencari-cari Mas Riko. Ternyata dia lagi membakar sampah di belakang rumah.“Jangan kenceng-kenceng, Mas, nanti di dengar tetangga,” jawabku sambil celingak celinguk. Dia juga ikutan celingak celinguk.“Paling juga semua orang sudah dengar, kita ini belakangan dengarnya,” sahut Mas Riko. Ah, mungkin seperti itu.“Mungkin, Mas. Tapi kenapa Mbak Juwariah ngenalin Tirta ke Lika? Sampai nginap-nginap di penginapan lagi,” tanyaku. Dia menghentikan pembakaran sampahnya. Beranjak dan mencari tempat teduh di bawah pohon sawit, yang sudah di siapkan kursi kayu, untuk tempat bersantai.“Iya, ya? Harusnya kan cemburu ya?” tanya Mas Riko balik. Sama-sama tak tahu jawaban pastinya. Yang tahu hanyalah Mbak Juwariah. Apa maksudnya?“Kalau menurutku, memang sengaja, mau menghancurkan rumah tangga Lika dan Toni. Dengan Tirta sebagai pancingan, agar Lika nurut denga
[Owh jadi mereka kakak beradik, donatur panti Bu Lexa, orang-orang baik, ya] sahut mamanya Lika.[Alhamdulillah, Lika di sini berteman dengan orang-orang baik dan tulus, Bu. Nggak usah khawatir. Saya juga kenal betuk siapa Malik dan Mahira. Sekarang aja ini Lika lagi keluar sama Malik. Katanya untuk pertemuan yang terakhir. Mumpung Lika masih di sini. Dan ternyata benar, kalian sudah di Jogja dan besok akan menjemput Lika,] jelas Bu Lexa panjang.[Lagi keluar sama Malik?] tanya mamanya Likas seraya mengerutkan kening.[Santai, Bu. Saya percama sama Malik seratus persen. Dia anaknya baik, nggak akan neko-neko sama Lika. Lagian Lika sama Malik itu temenan dari SMP] Jelas Bu Lexa lagi, untuk menenangkan hati orang tua Lika.[Owh, saya percaya dengan Bu Lexa. Kalau Bu Lexa yakin kalau Malik itu baik, berarti dia memang baik,] jawab mamanya Lika. Bu Lexa tersenyum.[Yasudah, Bu. sampai sini dulu obrolannya. Insyaallah kami besok ke rumah Bu Lexa,] ucap mamanya Lika lagi, ingin pamit memati
“Lika nomornya, kok, aktif, ya?” tanya Pak Samsul kepada istrinya. “Paling ngedrop hapenya,” jawab istrinya santai. Pak Samsul kemudian duduk di kursi. Tak berselang lama, istrinya menghampiri seraya membawakan secangkir Kopi manis. “Ini kopinya, Pa!” ucap istrinya seraya meletakkan di atas meja.“Makasih, Ma,” jawab Pak Samsul. Istrinya tersenyum.“Sama-sama,” jawabnya kemudian duduk. “Nova kemana, Bu?” tanya Pak Samsul kepada ibunya. Kemudian Nenek Rumana juga ikut mendekat dan bergabung bersama anak dan menantunya.“Ke loundrynya,” jawab Nenek Rumana seraya duduk di kursi. Pak Samsul kemudian mengambil kopi yang di buatkan istrinya. Meniupnya pelan dan menyeruputnya.“Alhamdulillah senang melihat Nova sudah bisa mandiri. Udah punya usaha juga,” sahut Pak Samsul setelah meletakkan kopinya di meja.“Iya, Ibu juga senang melihat kemajuan Nova. Cuma dari segi asmara dia kurang beruntung,” jawab Nenek Rumana.“Biarkan, Bu. Nova perempuan baik, insyaallah kalau menikah lagi, juga akan
“Bu, maafkan Ria!” ucap Ria seraya menunduk. Ya, hari ini Juwariah menemui mertua Rasti lagi. Masih di dampingi oleh Bulek Arum.Ibunya Riko terdiam. Hatinya masih sakit dengan perbuatannya di masa lalu. Masih belum mau memandang wajah Juwariah. Menurut dia, terlalu dalam Juwariah membuat luka. Hingga menyebabkan hancurnya rumah tangga anaknya, karena ide-ide konyolnya.“Bu, tolong maafkan keponakan saya!” ucap Bulek Arum juga angkat bicara. Dia kasihan dengan keponakannya. Mertua Rasti kemudian menatap pandang ke Bulek Arum.“Lidah saya mungkin bisa memaafkan! Tapi, hati saya masih sakit atas kejahatan Ria di masa lalu. Tak semudah itu memaafkan,” sahut mertua Rasti. Membuat bulek Arum mendesah. Ria yang bersangkutan masih menunduk, air matanya berjatuhan. Dia menyadari kalau dirinya memang salah.“Bu, Ria mengaku dan Ria akui kalau Ria memang salah. Ria mau memperbaiki ini semua. Ria mau memperbaiki diri, makanya Ria meminta maaf sama kalian semua,” ucap Ria. Hatinya sudah nggak ter
“Bulek, Lika emang pacar Malik, ya?” tanya Halim kepada Tante Lexa. Seketika yang di tanya langsung mengerutkan kening. Mengambil toples yang dekat dengannya.“Bulek juga nggak tahu mereka pacaran apa nggak, yang Bulek tahu mereka dekat,” jawab Tante Lexa seraya membukan dan mengambil camilan dalam toplek. Kemudian mengunyahnya.“Owh,” sahut Halim lirih. Pikirannya masih kemana-mana.“Kenapa?” tanya Tante Lexa serara memandang Halim.“Nggak, sih, Bulek. Cuma pengen kenal Lika lebih saja, itupun kelau mereka beneran nggak pacaran, ya! kalau mereka pacaran aku nggak mau merusak hubungan orang,” jawab Halim. Tante Lexa mendesah dia bisa menebak apa yang di pikirkan oleh Halim.“Mereka aja jalan pakae kaos couple gitu, ya, mungkin ada hubungan lebih,” sahut Tante Laxa. Halim terdiam, mengingat kembali mereka menggunakan baju apa. “Iya, juga, ya, Bulek,” ucap Malik. Tante Lexa tersenyum seraya menggelengkan kepala.“Bukannya kamu suka cewek berhijab?” tanya Tante Lexa. Halim tersenyum. Ya
“Alhamdulillah udah sampai Jogja lagi,” ucap Tante Nova kepada kakaknya. Orang Tua Lika. “Iya, alhamdulillah,” jawab Bu Santi. Adiknya tersenyum, kemudian membantu memasukkan tas yang mereka bawa.Pak Samsul dan Bu Santi menyalamani ibunya. Nenek Rumana. Kemudian Nenek Rumana mengusap kepala mereka dengan penuh kasih sayang.“Sehat, Bu?” tanya Pak Samsul kepada ibunya. “Alhamdulillah sehat,” jawab Nenek Rumana.“Alhamdulillah,” sahut Pak Samsul. Kemudian mereka duduk di kursi. Tante Nova menyiapkan teh untuk kakak kandung dan iparnya.“Kalian udah yakin mau menjemput Lika?” tanya Nenek Rumana. Pak Samsul mendesah.“Yakin, Bu. saya juga nggak mau lama-lama menghukum Lika. Kata Bu Lexa dia juga sudah banyak berubah,” jawab Pak Samsul. Terdengar suara dia yang lelah, karena perjalanan jauh.“Iya, Bu. Biar dia bisa segera kerja lagi. Terlalu lama dia menganggur, takutnya ilmunya pada ilang,” sahut mamanya Lika. Nenek Rumana mendesah. “Iya, kasihan ilmunya mubadzir terlalu lama di anggu