"Maafkan aku mbak, aku baru mendengar keributan ini.”Ucap Toni adik iparku, setelah mendengar semua curhatanku. Hari ini Toni datang ke rumah, tanpa Lika, karena ingin mendengar semuanya dariku. Toni selama ini memang akrab denganku, dari aku masih pacaran dengan abangnya. “Gakpapa Ton, mbak tahu kamu sibuk, kamu percaya dengan mbak kan?” Tanyaku, berharap ada yang mempercayai omonganku. “Justru karena aku percaya dengan mbak, makanya aku memastikan kesini, ingin dengar semuanya dari mbak.” Lega sekali mendengar jawaban Toni. Setidaknya ada salah satu keluarga yang masih mempercayai ucapanku. “Makasih Ton, kamu masih percaya dengan mbak, sedangkan mas mu sendiri sudah tidak mempercayai mbak.” Jawabku, kulihat Toni mengusap wajahnya dan meletakkan tangan kanannya di dagu, terlihat sedang memikirkan sesuatu.“Mas Riko itu mungkin bingung mbak, buktinya mbak minta cerai dia nggak mau, tapi juga nggak mau buat kecewa ibu.” Ucapnya, kemudian menyeruput kopi yang aku suguhkan.“Mbak h
"Ya buat masalah karena kepolosan mbak itu tadi Ton.” Jawabku asal, disambut dengan gelak tawa Toni, membuatku dan mas Riko juga ikut tertawa. Ya beberapa hari ini wajahku suram. Seakan lupa cara tertawa. Toni datang membawa tawa itu lagi.“Mas, ingat nggak saat detik-detik mendekati hari pernikahan mas dan mbak Rasti?”Tanya Toni membuka kenangan masa lalu. Mas Riko terdiam, mencoba mengingat.“Saat itu banyak gosip miring tentang mbak Rasti, tapi mas Riko mati-matian menjaga hati calon istri, dan berakhir dengan indah, gosip miring itu tak ada buktinya sampai detik ini, karena apa? Ya karena mbak Rasti memang tak bersalah dan hanya gosip, masak iya sekarang sudah sah sebagai istri dan sudah memberikan momongan yang ganteng, mas tidak mati-matian membela istrinya seperti dulu?”Ucap Toni lagi seraya bertanya nyindir ke arah abangnya. Mas Riko termenung. Seakan matanya terlihat menghadirkan kembali kenangan masa lalu.“Maksudmu Ton?” tanya mas Riko, seakan mencari kepastian.“Pikir se
Semenjak kedatangan Toni kemarin, mas Riko sudah mau tidur di rumah lagi. Walau dia tidur dikamar Yuda, tak masalah, karena semua yang sudah terlanjur terjadi, butuh proses untuk mengembalikan keadaan seperti semula.Toni Maulana. Adik iparku yang lumayan ganteng, gokil dan amburadul. Iya dia hanya memakai baju rapi kalau kerja atau kondangan. Berbeda dengan abangnya, Riko Maulana, justru memakai baju amburadul ketika mau bekerja, memakai baju rapi jika tidak bekerja. Kok gitu? Iya karena mas Riko kerjanya cuma manen sawit pemberian ibunya. Kata-kata Toni tentang Lika yang lagi dekat dengan mbak Juwariah, membuatku kefikiran. Juwariah, yang mana akun efbe nya memakai nama RiaRi membuatku tahu akan kepanjangan dari nama itu dari Toni. Cukup kaget, masih kah mbak Juwariah mencintai suamiku? secara mbak Juwariah adalah mantan terlama menjalin kasih dengan mas Riko.Halika Sofya Ningrum, biasa di panggil Lika, istri dari Toni, berwajah cantik, body ramping bekerja sebagai bidan. Membuat
“Rasti!!!” terdengar suara Ibu berteriak dari ambang pintu. Aku masih memutar mesin cuci, ku lihat Mas Riko sudah keluar menemui ibunya.“Ada apa, sih, Bu? Ini masih pagi Ibu sudah teriak-teriak!” jawab Mas Riko, seraya bertanya. Aku ikut keluar menemui Ibu, ada apa lagi ini?“Ibu teriak-teriak pasti ada sebab!” bentak Ibu, seakan nggak terima dengan jawaban anaknya. Membuat Mas Riko mengusap wajahnya, seakan bingung mau bersikap.“Ada apa Bu?” tanyaku santai, terlihat wajah memerah yang siap marah.“Dasar kamu menantu kurang ajar!” teriak Ibu lagi sambil menuding wajahku. Membuatku memejamkan mata dan menautkan alisku. Bingung apa lagi kesalahanku? “Apalagi kesalahan Rasti Bu?” tanya Mas Riko, yang seakan ikut bingung dengan tingkah ibunya.“Tanya sendiri dengan istrimu yang sok polos ini!” seru Ibu, deg, jantungku terasa berhenti berdetak. Apa lagi kesalahanku? Perasaan beberapa hari ini, aku tak berjumpa dengan Ibu.“Ada apalagi, sih, Dek?” tanya Mas Riko, menatapku, dengan tatapa
“Lho, Rastikan nggak ikut acara arisan Ibu? Buat malu bagaimana?” Mas Riko menjawab seraya bertanya. Aku masih terdiam, berfikir. Memilih duduk di sofa karena kaki terasa kram. Biarkan saja mereka berdiri. Resiko orang gemuk, nggak kuat berdiri lama-lama. Mata Ibu terlihat membulat. Dadanya juga terlihat naik turun. Mungkin Ibu merasa Mas Riko seolah membelaku. “Ibu jadi bahan omongan di acara arisan,” jawab Ibu yang semakin meluap-luap emosinya. Kutautkan alisku ‘jadi bahan omongan kok aku yang jadi sasaran?’ gumamku dalam hati. Semakin bingung dengan sikap Ibu.“Ibu jadi bahan omongan, kenapa nyalahin Rasti?” tanya Mas Riko yang juga terlihat bingung dengan sikap ibunya. Mata Ibu mendelik mendengar jawaban Mas Riko. Mungkin tak sesuai harapannya. Mungkin Ibu berharap Mas Riko marah-marah denganku.“Gara-gara Rasti cerita ke Bu Retno, jadi Bu Retno ngember ke Arisan!” deg, untuk kesekian kalinya jantung terasa ingin keluar dari tempatnya. Bu Retno setega itu? Mas Riko mengalihkan pa
“Astgfirulloh, Bu! Salah saya apa sama Ibu, kok sampe Ibu tega memfitnah saya seperti itu?” ucap Bu Retno dengan mata memerah dan tangan kanannya memegang dadanya. Ibu nampak gelagapan. Bingung hendak menjawab. Mas Riko melirik ibunya, yang tangannya masih meremas-remas ujung bajunya. Mungkin akan terbongkar sedikit demi sediki. Siapa yang sebenarnya bermuka dua? Dan Lika? Ada masanya juga, dia akan terbongkar. Hanya waktu yang bisa menjawab, cepat atau lambat.Ya, kami memang datang ke rumah Bu Retno. Untuk memastikan ucapan Ibu. Sebenarnya Ibu menolak mati-matian, tak mau diajak ke rumah, Bu Retno. Membuatku semakin yakin kalau ucapan Ibu hanya omong kosong. Untungnya Mas Riko maksa tetap ke rumah Bu Retno, untuk memastikan semua omongan Ibu. Semoga rencana Toni berjalan lancar satu persatu.“Kedua, jangan telan mentah-mentah semua omongan yang datang! Karena rambut sama hitam, tapi niat hati orang nggak ada yang tahu, baik Ibu bahkan Lika istriku sendiri, dicari dulu kebenaran.” Re
“Bu Retno, memang nggak gunjing Ibu waktu Ibu sudah datang, tapi, Bu Retno, gunjing Ibu sebelum Ibu dateng,” ucap Ibu dengan wajah melengos memandang pintu, seakan ingin cepat-cepat keluar. Masih berusaha membela diri, dengan asal menjawab. Bu Retno nampak terkejut mendengar ucapan Ibu. Wajahnya terlihat tak terima. Istigfar berkali-kali.“Kapan saya gunjing ibu? Apa perlu saya telfon semua teman-teman arisan ke rumah saya sekarang!” tantang Bu Retno. Ibu nampak terkejut, salah tingkah, duduknya sudah semakin tak nyaman. Aku mengangguk, menyetujui usul Bu Retno. Karena sangat geram dengan sikap mertua. “Nggak Usah, Bu! Nanti ibu saya akan semakin malu, dari sini saya cukup tahu dan bisa menilai, Maaf kan Ibu saya!” sahut Mas Riko cepat, dengan mengatur nafasnya. Matanya menunduk tak berani melihat wajah, Bu Retno. Mungkin Mas Riko Malu. Berkali-kali mata Mas Riko melirik ibunya. Seakan ingin mengetahui bagaimana reaksi wajah Ibu saat ini. Belum nampak wajah bersalah disana. Masih ter
Kejadian di rumah Bu Retno kemarin, membuat Mas Riko mau tidur sekamar lagi denganku. Walau hanya tidur satu kasur saling membokongi, tak ada kata romantis kayak biasanya, dan juga belum ada kata maaf, biarlah. Setidaknya keadaan berangsur membaik. Dia menuruti keinginanku waktu itu. Iya, dia menuruti keingananku untuk mencari bukti, kalau aku tidak memfitnah ibunya, yang tidak adil dengan menantu. Bukan menuruti keinginanku, kalau aku minta maaf dengan ibunya, berarti aku bukan istrinya lagi. Ternyata Mas Riko masih sangat mencintaiku. Tapi seperti itulah dia, seperti itulah cintanya.Bu Retno, memang sangat tidak terima dengan fitnahan Ibu. Berakhir akan mengundang semua teman arisan. Ibu juga nggak mau menjawab pertanyaan Bu Retno, yang merupakan syarat darinya. Mungkin ibu nggak mau anaknya mendengar langsung dari mulutnya, kenapa dia memfitnah Bu Retno? Aku nggak bisa bayangin bagaimana ributnya nanti, jika semua group mak mak arisan akan di undang. Pasti Ibu akan malu sekali. Se
Pagi ini Lika berkemas. Menyusun baju-bajunya di koper. Di bantu oleh anak-anak panti yang sudah besar. “Mbak Lika enak ya? punya orang tua, aku juga pengen punya orang tua,” celetuk anak perempuan yang kira-kira umur 12 tahun. Bernama Putri. Membuat Lika tersentuh mendengar omongannya.“Iya,” sahut temannya lagi, yang juga ikut membantu Lika berkemas. Menyadarkan Lika, betapa beruntungnya dia. tapi, dia selama ini tidak mensyukuri itu. Selalu iri dengan kehidupan orang lain. Selalu iri dengan kehidupan Mbak Rasti dulu itu. “Kalian juga beruntung bisa tinggal di panti ini. Jangan merasa nggak punya orang tua. Bu Lexa itukan orang tua kalian,” sahut Lika menanggapi omongan anak-anak panti itu.“Owh, iya, Bu Lexa kan ibu kita,” sahut anak yang lainnya. Putri tersenyum.“Iya, Maksudnya, enak gitu jadi Mbak Lika, orang tuanya masih komplit,” jelas Putri. Membuat Lika sesak saja mendengarnya.“Udah, kalian juga sangat beruntung mempunya orang tua kayak Bu Lexa. Ini semua sudah takdir, ma
“Dari mana,Le?” tanya ibunya saat melihat Malik masuk ke dalam kamarnya. Malik tersenyum memandang ibunya.“Main sama temen, Bu. Maaf, ya, seharian ini, Ibu Malik tinggal,” jawab Malik seraya meminta maaf, karena dia merasa nggak enak dengan ibunya.“Nggak apa-apa, Le, kamu juga butuh jalan-jalan. Nggak berkutat di rumah aja, nungguin Ibu,” sahut ibunya. Malik tersenyum lagi, karena hanya ibu dan Mahira yang dia punya. Saudara banyak, tapi jarang sekali komunikasi. Jadi terputus pelan-pelan. “Malik senang di rumah sama ibu,” sahut Malik, kemudian merebahkan badannya di sebelah ibunya. Kemudian tangan ibunya mengelus rambut Malik. Karena Malik sangat senang jika ibunya melakukan itu. Ke dua tangan ibu Malik masih berfungsi, itupun dengan gerakkan lambat. Kalau kakinya sudah tidak berfungsi lagi. “Kamu kok, sedih, Le?” tanya ibunya saat melihat wajah anak sulungnya itu murung. Tanpa bisa di tahan, beningan kristal meleleh dari sudut matanya.“Lah, kok, malah nangis? Cerita sama ibu a
“Lika,” sapa Tante Lexa saat membukakan pintu untuk Lika. Lika cepat-cepat menyeka air atanya yang masih terus mengalir. “Tante,” sahut Lika masih terus menyeka air matanya, yang nggak bisa berhenti. Malik sudah pulang. Saat pintu rumah Tante Lexa di buka, Malik langsung memutar mobilnya dan keluar meninggalkan halaman rumah Tante Lexa. “Masuk dulu!” perintah Tante Lexa, seraya menarik tangan Lika menuju ke kursi. Lika nggak enak hati dengan Tante Lexa, karena menangis. ‘Pliis Lika jangan nangis, nanti membuat Tante Lexa bingung dan cemas,’ lirih Lika dalam hati. Dia pikir Tante Lexa nggak tahu sebab dia menangis.“Kenapa menangis?” tanya Tante Lexa memancing reaksi Lika. Lika memaksakan senyum dan masih terus meyeka air matanya.“Nggak apa-apa, Tante,” sahut Lika asal, dengan suara serak dan sesak. Tante Lexa mendesah, kemudian ikut membantu mengusap air mata Lika. Karena Lika sudah di anggap anak olehnya.“Cerita sama Tante! Siapa tahu Tante bisa membantumu,” ucap Tante Lexa. Mata
“Hah? Juwariah hamil anak Tirta?” sahut Mas Riko saat aku memberi kabar tentang gosip ini. Ya, sepulang dari warung Mak Rida, aku langsung mencari-cari Mas Riko. Ternyata dia lagi membakar sampah di belakang rumah.“Jangan kenceng-kenceng, Mas, nanti di dengar tetangga,” jawabku sambil celingak celinguk. Dia juga ikutan celingak celinguk.“Paling juga semua orang sudah dengar, kita ini belakangan dengarnya,” sahut Mas Riko. Ah, mungkin seperti itu.“Mungkin, Mas. Tapi kenapa Mbak Juwariah ngenalin Tirta ke Lika? Sampai nginap-nginap di penginapan lagi,” tanyaku. Dia menghentikan pembakaran sampahnya. Beranjak dan mencari tempat teduh di bawah pohon sawit, yang sudah di siapkan kursi kayu, untuk tempat bersantai.“Iya, ya? Harusnya kan cemburu ya?” tanya Mas Riko balik. Sama-sama tak tahu jawaban pastinya. Yang tahu hanyalah Mbak Juwariah. Apa maksudnya?“Kalau menurutku, memang sengaja, mau menghancurkan rumah tangga Lika dan Toni. Dengan Tirta sebagai pancingan, agar Lika nurut denga
[Owh jadi mereka kakak beradik, donatur panti Bu Lexa, orang-orang baik, ya] sahut mamanya Lika.[Alhamdulillah, Lika di sini berteman dengan orang-orang baik dan tulus, Bu. Nggak usah khawatir. Saya juga kenal betuk siapa Malik dan Mahira. Sekarang aja ini Lika lagi keluar sama Malik. Katanya untuk pertemuan yang terakhir. Mumpung Lika masih di sini. Dan ternyata benar, kalian sudah di Jogja dan besok akan menjemput Lika,] jelas Bu Lexa panjang.[Lagi keluar sama Malik?] tanya mamanya Likas seraya mengerutkan kening.[Santai, Bu. Saya percama sama Malik seratus persen. Dia anaknya baik, nggak akan neko-neko sama Lika. Lagian Lika sama Malik itu temenan dari SMP] Jelas Bu Lexa lagi, untuk menenangkan hati orang tua Lika.[Owh, saya percaya dengan Bu Lexa. Kalau Bu Lexa yakin kalau Malik itu baik, berarti dia memang baik,] jawab mamanya Lika. Bu Lexa tersenyum.[Yasudah, Bu. sampai sini dulu obrolannya. Insyaallah kami besok ke rumah Bu Lexa,] ucap mamanya Lika lagi, ingin pamit memati
“Lika nomornya, kok, aktif, ya?” tanya Pak Samsul kepada istrinya. “Paling ngedrop hapenya,” jawab istrinya santai. Pak Samsul kemudian duduk di kursi. Tak berselang lama, istrinya menghampiri seraya membawakan secangkir Kopi manis. “Ini kopinya, Pa!” ucap istrinya seraya meletakkan di atas meja.“Makasih, Ma,” jawab Pak Samsul. Istrinya tersenyum.“Sama-sama,” jawabnya kemudian duduk. “Nova kemana, Bu?” tanya Pak Samsul kepada ibunya. Kemudian Nenek Rumana juga ikut mendekat dan bergabung bersama anak dan menantunya.“Ke loundrynya,” jawab Nenek Rumana seraya duduk di kursi. Pak Samsul kemudian mengambil kopi yang di buatkan istrinya. Meniupnya pelan dan menyeruputnya.“Alhamdulillah senang melihat Nova sudah bisa mandiri. Udah punya usaha juga,” sahut Pak Samsul setelah meletakkan kopinya di meja.“Iya, Ibu juga senang melihat kemajuan Nova. Cuma dari segi asmara dia kurang beruntung,” jawab Nenek Rumana.“Biarkan, Bu. Nova perempuan baik, insyaallah kalau menikah lagi, juga akan
“Bu, maafkan Ria!” ucap Ria seraya menunduk. Ya, hari ini Juwariah menemui mertua Rasti lagi. Masih di dampingi oleh Bulek Arum.Ibunya Riko terdiam. Hatinya masih sakit dengan perbuatannya di masa lalu. Masih belum mau memandang wajah Juwariah. Menurut dia, terlalu dalam Juwariah membuat luka. Hingga menyebabkan hancurnya rumah tangga anaknya, karena ide-ide konyolnya.“Bu, tolong maafkan keponakan saya!” ucap Bulek Arum juga angkat bicara. Dia kasihan dengan keponakannya. Mertua Rasti kemudian menatap pandang ke Bulek Arum.“Lidah saya mungkin bisa memaafkan! Tapi, hati saya masih sakit atas kejahatan Ria di masa lalu. Tak semudah itu memaafkan,” sahut mertua Rasti. Membuat bulek Arum mendesah. Ria yang bersangkutan masih menunduk, air matanya berjatuhan. Dia menyadari kalau dirinya memang salah.“Bu, Ria mengaku dan Ria akui kalau Ria memang salah. Ria mau memperbaiki ini semua. Ria mau memperbaiki diri, makanya Ria meminta maaf sama kalian semua,” ucap Ria. Hatinya sudah nggak ter
“Bulek, Lika emang pacar Malik, ya?” tanya Halim kepada Tante Lexa. Seketika yang di tanya langsung mengerutkan kening. Mengambil toples yang dekat dengannya.“Bulek juga nggak tahu mereka pacaran apa nggak, yang Bulek tahu mereka dekat,” jawab Tante Lexa seraya membukan dan mengambil camilan dalam toplek. Kemudian mengunyahnya.“Owh,” sahut Halim lirih. Pikirannya masih kemana-mana.“Kenapa?” tanya Tante Lexa serara memandang Halim.“Nggak, sih, Bulek. Cuma pengen kenal Lika lebih saja, itupun kelau mereka beneran nggak pacaran, ya! kalau mereka pacaran aku nggak mau merusak hubungan orang,” jawab Halim. Tante Lexa mendesah dia bisa menebak apa yang di pikirkan oleh Halim.“Mereka aja jalan pakae kaos couple gitu, ya, mungkin ada hubungan lebih,” sahut Tante Laxa. Halim terdiam, mengingat kembali mereka menggunakan baju apa. “Iya, juga, ya, Bulek,” ucap Malik. Tante Lexa tersenyum seraya menggelengkan kepala.“Bukannya kamu suka cewek berhijab?” tanya Tante Lexa. Halim tersenyum. Ya
“Alhamdulillah udah sampai Jogja lagi,” ucap Tante Nova kepada kakaknya. Orang Tua Lika. “Iya, alhamdulillah,” jawab Bu Santi. Adiknya tersenyum, kemudian membantu memasukkan tas yang mereka bawa.Pak Samsul dan Bu Santi menyalamani ibunya. Nenek Rumana. Kemudian Nenek Rumana mengusap kepala mereka dengan penuh kasih sayang.“Sehat, Bu?” tanya Pak Samsul kepada ibunya. “Alhamdulillah sehat,” jawab Nenek Rumana.“Alhamdulillah,” sahut Pak Samsul. Kemudian mereka duduk di kursi. Tante Nova menyiapkan teh untuk kakak kandung dan iparnya.“Kalian udah yakin mau menjemput Lika?” tanya Nenek Rumana. Pak Samsul mendesah.“Yakin, Bu. saya juga nggak mau lama-lama menghukum Lika. Kata Bu Lexa dia juga sudah banyak berubah,” jawab Pak Samsul. Terdengar suara dia yang lelah, karena perjalanan jauh.“Iya, Bu. Biar dia bisa segera kerja lagi. Terlalu lama dia menganggur, takutnya ilmunya pada ilang,” sahut mamanya Lika. Nenek Rumana mendesah. “Iya, kasihan ilmunya mubadzir terlalu lama di anggu