“Lho, Rastikan nggak ikut acara arisan Ibu? Buat malu bagaimana?” Mas Riko menjawab seraya bertanya. Aku masih terdiam, berfikir. Memilih duduk di sofa karena kaki terasa kram. Biarkan saja mereka berdiri. Resiko orang gemuk, nggak kuat berdiri lama-lama. Mata Ibu terlihat membulat. Dadanya juga terlihat naik turun. Mungkin Ibu merasa Mas Riko seolah membelaku. “Ibu jadi bahan omongan di acara arisan,” jawab Ibu yang semakin meluap-luap emosinya. Kutautkan alisku ‘jadi bahan omongan kok aku yang jadi sasaran?’ gumamku dalam hati. Semakin bingung dengan sikap Ibu.“Ibu jadi bahan omongan, kenapa nyalahin Rasti?” tanya Mas Riko yang juga terlihat bingung dengan sikap ibunya. Mata Ibu mendelik mendengar jawaban Mas Riko. Mungkin tak sesuai harapannya. Mungkin Ibu berharap Mas Riko marah-marah denganku.“Gara-gara Rasti cerita ke Bu Retno, jadi Bu Retno ngember ke Arisan!” deg, untuk kesekian kalinya jantung terasa ingin keluar dari tempatnya. Bu Retno setega itu? Mas Riko mengalihkan pa
“Astgfirulloh, Bu! Salah saya apa sama Ibu, kok sampe Ibu tega memfitnah saya seperti itu?” ucap Bu Retno dengan mata memerah dan tangan kanannya memegang dadanya. Ibu nampak gelagapan. Bingung hendak menjawab. Mas Riko melirik ibunya, yang tangannya masih meremas-remas ujung bajunya. Mungkin akan terbongkar sedikit demi sediki. Siapa yang sebenarnya bermuka dua? Dan Lika? Ada masanya juga, dia akan terbongkar. Hanya waktu yang bisa menjawab, cepat atau lambat.Ya, kami memang datang ke rumah Bu Retno. Untuk memastikan ucapan Ibu. Sebenarnya Ibu menolak mati-matian, tak mau diajak ke rumah, Bu Retno. Membuatku semakin yakin kalau ucapan Ibu hanya omong kosong. Untungnya Mas Riko maksa tetap ke rumah Bu Retno, untuk memastikan semua omongan Ibu. Semoga rencana Toni berjalan lancar satu persatu.“Kedua, jangan telan mentah-mentah semua omongan yang datang! Karena rambut sama hitam, tapi niat hati orang nggak ada yang tahu, baik Ibu bahkan Lika istriku sendiri, dicari dulu kebenaran.” Re
“Bu Retno, memang nggak gunjing Ibu waktu Ibu sudah datang, tapi, Bu Retno, gunjing Ibu sebelum Ibu dateng,” ucap Ibu dengan wajah melengos memandang pintu, seakan ingin cepat-cepat keluar. Masih berusaha membela diri, dengan asal menjawab. Bu Retno nampak terkejut mendengar ucapan Ibu. Wajahnya terlihat tak terima. Istigfar berkali-kali.“Kapan saya gunjing ibu? Apa perlu saya telfon semua teman-teman arisan ke rumah saya sekarang!” tantang Bu Retno. Ibu nampak terkejut, salah tingkah, duduknya sudah semakin tak nyaman. Aku mengangguk, menyetujui usul Bu Retno. Karena sangat geram dengan sikap mertua. “Nggak Usah, Bu! Nanti ibu saya akan semakin malu, dari sini saya cukup tahu dan bisa menilai, Maaf kan Ibu saya!” sahut Mas Riko cepat, dengan mengatur nafasnya. Matanya menunduk tak berani melihat wajah, Bu Retno. Mungkin Mas Riko Malu. Berkali-kali mata Mas Riko melirik ibunya. Seakan ingin mengetahui bagaimana reaksi wajah Ibu saat ini. Belum nampak wajah bersalah disana. Masih ter
Kejadian di rumah Bu Retno kemarin, membuat Mas Riko mau tidur sekamar lagi denganku. Walau hanya tidur satu kasur saling membokongi, tak ada kata romantis kayak biasanya, dan juga belum ada kata maaf, biarlah. Setidaknya keadaan berangsur membaik. Dia menuruti keinginanku waktu itu. Iya, dia menuruti keingananku untuk mencari bukti, kalau aku tidak memfitnah ibunya, yang tidak adil dengan menantu. Bukan menuruti keinginanku, kalau aku minta maaf dengan ibunya, berarti aku bukan istrinya lagi. Ternyata Mas Riko masih sangat mencintaiku. Tapi seperti itulah dia, seperti itulah cintanya.Bu Retno, memang sangat tidak terima dengan fitnahan Ibu. Berakhir akan mengundang semua teman arisan. Ibu juga nggak mau menjawab pertanyaan Bu Retno, yang merupakan syarat darinya. Mungkin ibu nggak mau anaknya mendengar langsung dari mulutnya, kenapa dia memfitnah Bu Retno? Aku nggak bisa bayangin bagaimana ributnya nanti, jika semua group mak mak arisan akan di undang. Pasti Ibu akan malu sekali. Se
Semakin hari, kurasakan perubahan Mas Riko. Dia semakin dewasa dalam menghadapi masalah. Memang pendewasaan akan berubah dengan sendirinya dengan adanya masalah. Setidaknya, dia sudah mempercayai ucapanku. Tinggal aku membuktikan, biar dia lebih mempercayaiku seratus persen. Tidak hanya mulutnya saja yang berucap percaya, tapi juga hatinya. “Rasti, mertuamu memang keterlaluan ya?” lamunanku buyar dengan ucapan, Mak Uki tetanggaku, seraya mendekat dan ikut duduk denganku. Aku memang lagi duduk di depan teras rumah.“Eh, Mak Uki. Ada apa, Mak?” tanyaku bingung. Karena memang aku tak pernah cerita apapun, masalah rumah tanggaku dengannya. Apalagi masalah Ibu.“Mertuamu viral loo, di pesbok, ada yang ngunggah.” Jawabnya dengan gaya rempong.“Viral?” tanyaku mengerutkan kening. “Ini loo.” Mak Uki menyodorkan Hp androidnya. Segera aku terima Hp Mak Uki, penasaran. Ibu viral kenapa?Mataku membelalak lebar melihat isi video itu. Video dimana Bu Retno mengumpulkan teman-teman arisannya. “I
“Silahkan, Bu Riko! Kemarin Ibu nggak mau menjelaskan, karena mungkin tak enak dengan Riko dan Rasti. Dan berakhir Ibu memilih saya mengundang teman-teman arisan, tolong di jelaskan sejelas-jelasnya, karena saya sangat tidak terima dengan fitnahan ini, saya tak enak dengan Rasti tentunya,” suruh Bu Retno lagi. Video itu masih mengarah ke ibu yang semakin pucat tak karuan.“Loo, kok ke Rasti? Emang kenapa dengan Rasti? Setahuku dia menantu yang baik,” entah siapa yang berkata seperti itu. Hanya terdengar suaranya saja. Karena yang merekam masih fokus ke arah ibu.“Iya? Bingung saya, Bu.”“Iya, sama.”“Ayo dong, Bu Riko jangan diam aja, kita udah bela-belain nyempetin waktu ke sini, dari tadi diem mulu.” Suara video amatir itu semakin riuh berisik. Sungguh aku sebenarnya kasihan dengan mertuaku. Tapi salah sendiri, kenapa sampai bawa-bawa nama orang lain, untuk menjalankan misinya.“Maafkan saya, Bu Retno!” tiba-tiba semua terdiam, memasang telinga untuk mendengarkan penjelasan Ibu.“S
“Ibumu tidak bersalah, Ko, memang Bu Retno memfitnah Ibumu!” ucap Mak Rita, teman arisan Ibu. Membuatku tercengang.“Benerkan, Ko? Ibu tidak bersalah, kemarin Bu Retno sudah ngundang ibu-ibu arisan, malah dia sendiri yang malu,” sahut Ibu mempertegas. Trik apalagi yang akan Ibu mainkan. Tak ada puasnya ingin memperkeruh suasana. Kayaknya Mak Rita ini sudah kerjasama dengan Ibu. Atau mungkin sudah Ibu bayar untuk membelanya, di depan anaknya. Mas Riko hanya terdiam.“Rasti! Nggak ada puasnya ya kamu jelek-jelekin mertua! Harusnya kamu kemarin ada di acara undangan Bu Retno, biar kamu dengar sendiri,” sahut Mak Rita membela Ibu. Aku masih terdiam. Tunggu saja bom waktu akan segera meletus.“Kenapa kalian pada diam aja?” tanya Ibu, seakan bingung karena dari tadi aku dan Mas Riko hanya diam.“Jelas diam lah, Bu, nggak bisa berkata apa-apa, ketahuan belangnya, sih? Kamu juga, Ko, harusnya lebih percaya pada ibumu, jadi laki kok lembek, sudah kenak dekeb rok istri,” sahut Mak Rita semakin
“Ada apa, sih, ini Dek?” tanya Mas Riko. Dia juga nampak bingung. Setidaknya aku senang dengan perubahannya. Jauh lebih dewasa. Padahal dari tadi Ibu dan Mak Rita selalu memojokkanku. Ingin mencari selah kesalahanku, tujuannya pasti biar Mas Riko marah denganku. Tapi tak sesuai angan harapan, Mas Riko bisa mengontrol emosinya. Aku salut dengannya.“Nggak apa-apa, Mas. Biar semuanya ngumpul,” jawabku santai dengan senyum termanis.“Kamu ini semakin hari semakin aneh saja! Kamu ingin semua orang tau keburukkanmu?” tanya Ibu. Aku membelalakkan mata.“Keburukanku? Nggak kebalik?” aku balik bertanya. Dengan senyum tipis menjengkelkan.“Apa, sih, maksudmu?” tanya Mak Rita. Nampak aura tak nyaman. Seakan dia sadar kalau aku mempunyai bukti kuat untuk menjatuhkan mereka.“Santai Mak Rita, entar darah tingginya kumat,” jawabku selow. Membuat mereka geram. Kalau di balas ngotot pasti mereka suka. Kan memang itu tujuannya.“Assalamualaikum,” terdengar salam dari ambang pintu, suara Toni.“Waalai
Pagi ini Lika berkemas. Menyusun baju-bajunya di koper. Di bantu oleh anak-anak panti yang sudah besar. “Mbak Lika enak ya? punya orang tua, aku juga pengen punya orang tua,” celetuk anak perempuan yang kira-kira umur 12 tahun. Bernama Putri. Membuat Lika tersentuh mendengar omongannya.“Iya,” sahut temannya lagi, yang juga ikut membantu Lika berkemas. Menyadarkan Lika, betapa beruntungnya dia. tapi, dia selama ini tidak mensyukuri itu. Selalu iri dengan kehidupan orang lain. Selalu iri dengan kehidupan Mbak Rasti dulu itu. “Kalian juga beruntung bisa tinggal di panti ini. Jangan merasa nggak punya orang tua. Bu Lexa itukan orang tua kalian,” sahut Lika menanggapi omongan anak-anak panti itu.“Owh, iya, Bu Lexa kan ibu kita,” sahut anak yang lainnya. Putri tersenyum.“Iya, Maksudnya, enak gitu jadi Mbak Lika, orang tuanya masih komplit,” jelas Putri. Membuat Lika sesak saja mendengarnya.“Udah, kalian juga sangat beruntung mempunya orang tua kayak Bu Lexa. Ini semua sudah takdir, ma
“Dari mana,Le?” tanya ibunya saat melihat Malik masuk ke dalam kamarnya. Malik tersenyum memandang ibunya.“Main sama temen, Bu. Maaf, ya, seharian ini, Ibu Malik tinggal,” jawab Malik seraya meminta maaf, karena dia merasa nggak enak dengan ibunya.“Nggak apa-apa, Le, kamu juga butuh jalan-jalan. Nggak berkutat di rumah aja, nungguin Ibu,” sahut ibunya. Malik tersenyum lagi, karena hanya ibu dan Mahira yang dia punya. Saudara banyak, tapi jarang sekali komunikasi. Jadi terputus pelan-pelan. “Malik senang di rumah sama ibu,” sahut Malik, kemudian merebahkan badannya di sebelah ibunya. Kemudian tangan ibunya mengelus rambut Malik. Karena Malik sangat senang jika ibunya melakukan itu. Ke dua tangan ibu Malik masih berfungsi, itupun dengan gerakkan lambat. Kalau kakinya sudah tidak berfungsi lagi. “Kamu kok, sedih, Le?” tanya ibunya saat melihat wajah anak sulungnya itu murung. Tanpa bisa di tahan, beningan kristal meleleh dari sudut matanya.“Lah, kok, malah nangis? Cerita sama ibu a
“Lika,” sapa Tante Lexa saat membukakan pintu untuk Lika. Lika cepat-cepat menyeka air atanya yang masih terus mengalir. “Tante,” sahut Lika masih terus menyeka air matanya, yang nggak bisa berhenti. Malik sudah pulang. Saat pintu rumah Tante Lexa di buka, Malik langsung memutar mobilnya dan keluar meninggalkan halaman rumah Tante Lexa. “Masuk dulu!” perintah Tante Lexa, seraya menarik tangan Lika menuju ke kursi. Lika nggak enak hati dengan Tante Lexa, karena menangis. ‘Pliis Lika jangan nangis, nanti membuat Tante Lexa bingung dan cemas,’ lirih Lika dalam hati. Dia pikir Tante Lexa nggak tahu sebab dia menangis.“Kenapa menangis?” tanya Tante Lexa memancing reaksi Lika. Lika memaksakan senyum dan masih terus meyeka air matanya.“Nggak apa-apa, Tante,” sahut Lika asal, dengan suara serak dan sesak. Tante Lexa mendesah, kemudian ikut membantu mengusap air mata Lika. Karena Lika sudah di anggap anak olehnya.“Cerita sama Tante! Siapa tahu Tante bisa membantumu,” ucap Tante Lexa. Mata
“Hah? Juwariah hamil anak Tirta?” sahut Mas Riko saat aku memberi kabar tentang gosip ini. Ya, sepulang dari warung Mak Rida, aku langsung mencari-cari Mas Riko. Ternyata dia lagi membakar sampah di belakang rumah.“Jangan kenceng-kenceng, Mas, nanti di dengar tetangga,” jawabku sambil celingak celinguk. Dia juga ikutan celingak celinguk.“Paling juga semua orang sudah dengar, kita ini belakangan dengarnya,” sahut Mas Riko. Ah, mungkin seperti itu.“Mungkin, Mas. Tapi kenapa Mbak Juwariah ngenalin Tirta ke Lika? Sampai nginap-nginap di penginapan lagi,” tanyaku. Dia menghentikan pembakaran sampahnya. Beranjak dan mencari tempat teduh di bawah pohon sawit, yang sudah di siapkan kursi kayu, untuk tempat bersantai.“Iya, ya? Harusnya kan cemburu ya?” tanya Mas Riko balik. Sama-sama tak tahu jawaban pastinya. Yang tahu hanyalah Mbak Juwariah. Apa maksudnya?“Kalau menurutku, memang sengaja, mau menghancurkan rumah tangga Lika dan Toni. Dengan Tirta sebagai pancingan, agar Lika nurut denga
[Owh jadi mereka kakak beradik, donatur panti Bu Lexa, orang-orang baik, ya] sahut mamanya Lika.[Alhamdulillah, Lika di sini berteman dengan orang-orang baik dan tulus, Bu. Nggak usah khawatir. Saya juga kenal betuk siapa Malik dan Mahira. Sekarang aja ini Lika lagi keluar sama Malik. Katanya untuk pertemuan yang terakhir. Mumpung Lika masih di sini. Dan ternyata benar, kalian sudah di Jogja dan besok akan menjemput Lika,] jelas Bu Lexa panjang.[Lagi keluar sama Malik?] tanya mamanya Likas seraya mengerutkan kening.[Santai, Bu. Saya percama sama Malik seratus persen. Dia anaknya baik, nggak akan neko-neko sama Lika. Lagian Lika sama Malik itu temenan dari SMP] Jelas Bu Lexa lagi, untuk menenangkan hati orang tua Lika.[Owh, saya percaya dengan Bu Lexa. Kalau Bu Lexa yakin kalau Malik itu baik, berarti dia memang baik,] jawab mamanya Lika. Bu Lexa tersenyum.[Yasudah, Bu. sampai sini dulu obrolannya. Insyaallah kami besok ke rumah Bu Lexa,] ucap mamanya Lika lagi, ingin pamit memati
“Lika nomornya, kok, aktif, ya?” tanya Pak Samsul kepada istrinya. “Paling ngedrop hapenya,” jawab istrinya santai. Pak Samsul kemudian duduk di kursi. Tak berselang lama, istrinya menghampiri seraya membawakan secangkir Kopi manis. “Ini kopinya, Pa!” ucap istrinya seraya meletakkan di atas meja.“Makasih, Ma,” jawab Pak Samsul. Istrinya tersenyum.“Sama-sama,” jawabnya kemudian duduk. “Nova kemana, Bu?” tanya Pak Samsul kepada ibunya. Kemudian Nenek Rumana juga ikut mendekat dan bergabung bersama anak dan menantunya.“Ke loundrynya,” jawab Nenek Rumana seraya duduk di kursi. Pak Samsul kemudian mengambil kopi yang di buatkan istrinya. Meniupnya pelan dan menyeruputnya.“Alhamdulillah senang melihat Nova sudah bisa mandiri. Udah punya usaha juga,” sahut Pak Samsul setelah meletakkan kopinya di meja.“Iya, Ibu juga senang melihat kemajuan Nova. Cuma dari segi asmara dia kurang beruntung,” jawab Nenek Rumana.“Biarkan, Bu. Nova perempuan baik, insyaallah kalau menikah lagi, juga akan
“Bu, maafkan Ria!” ucap Ria seraya menunduk. Ya, hari ini Juwariah menemui mertua Rasti lagi. Masih di dampingi oleh Bulek Arum.Ibunya Riko terdiam. Hatinya masih sakit dengan perbuatannya di masa lalu. Masih belum mau memandang wajah Juwariah. Menurut dia, terlalu dalam Juwariah membuat luka. Hingga menyebabkan hancurnya rumah tangga anaknya, karena ide-ide konyolnya.“Bu, tolong maafkan keponakan saya!” ucap Bulek Arum juga angkat bicara. Dia kasihan dengan keponakannya. Mertua Rasti kemudian menatap pandang ke Bulek Arum.“Lidah saya mungkin bisa memaafkan! Tapi, hati saya masih sakit atas kejahatan Ria di masa lalu. Tak semudah itu memaafkan,” sahut mertua Rasti. Membuat bulek Arum mendesah. Ria yang bersangkutan masih menunduk, air matanya berjatuhan. Dia menyadari kalau dirinya memang salah.“Bu, Ria mengaku dan Ria akui kalau Ria memang salah. Ria mau memperbaiki ini semua. Ria mau memperbaiki diri, makanya Ria meminta maaf sama kalian semua,” ucap Ria. Hatinya sudah nggak ter
“Bulek, Lika emang pacar Malik, ya?” tanya Halim kepada Tante Lexa. Seketika yang di tanya langsung mengerutkan kening. Mengambil toples yang dekat dengannya.“Bulek juga nggak tahu mereka pacaran apa nggak, yang Bulek tahu mereka dekat,” jawab Tante Lexa seraya membukan dan mengambil camilan dalam toplek. Kemudian mengunyahnya.“Owh,” sahut Halim lirih. Pikirannya masih kemana-mana.“Kenapa?” tanya Tante Lexa serara memandang Halim.“Nggak, sih, Bulek. Cuma pengen kenal Lika lebih saja, itupun kelau mereka beneran nggak pacaran, ya! kalau mereka pacaran aku nggak mau merusak hubungan orang,” jawab Halim. Tante Lexa mendesah dia bisa menebak apa yang di pikirkan oleh Halim.“Mereka aja jalan pakae kaos couple gitu, ya, mungkin ada hubungan lebih,” sahut Tante Laxa. Halim terdiam, mengingat kembali mereka menggunakan baju apa. “Iya, juga, ya, Bulek,” ucap Malik. Tante Lexa tersenyum seraya menggelengkan kepala.“Bukannya kamu suka cewek berhijab?” tanya Tante Lexa. Halim tersenyum. Ya
“Alhamdulillah udah sampai Jogja lagi,” ucap Tante Nova kepada kakaknya. Orang Tua Lika. “Iya, alhamdulillah,” jawab Bu Santi. Adiknya tersenyum, kemudian membantu memasukkan tas yang mereka bawa.Pak Samsul dan Bu Santi menyalamani ibunya. Nenek Rumana. Kemudian Nenek Rumana mengusap kepala mereka dengan penuh kasih sayang.“Sehat, Bu?” tanya Pak Samsul kepada ibunya. “Alhamdulillah sehat,” jawab Nenek Rumana.“Alhamdulillah,” sahut Pak Samsul. Kemudian mereka duduk di kursi. Tante Nova menyiapkan teh untuk kakak kandung dan iparnya.“Kalian udah yakin mau menjemput Lika?” tanya Nenek Rumana. Pak Samsul mendesah.“Yakin, Bu. saya juga nggak mau lama-lama menghukum Lika. Kata Bu Lexa dia juga sudah banyak berubah,” jawab Pak Samsul. Terdengar suara dia yang lelah, karena perjalanan jauh.“Iya, Bu. Biar dia bisa segera kerja lagi. Terlalu lama dia menganggur, takutnya ilmunya pada ilang,” sahut mamanya Lika. Nenek Rumana mendesah. “Iya, kasihan ilmunya mubadzir terlalu lama di anggu