“Assalamualaikum,” salam Bulek Arum saat sudah tiba di rumah Rasti. Pintu rumah itu tutup. Masih celingukkan di rumah itu.“Kayakntya nggak ada orang, Bulek,” ucap Juwariah kepada Buleknya. Karena dia mengintip dari kaca jendela rumah itu.“Iya, kayaknya, udah tiga kali salam, nggak ada jawaban,” sahut Bulek Arum. Dia ikut mengintip juga lewat kaca cendela. Sepi.“Gorden jendelanya saja di tutup, Bulek, berarti orangnya pergi,” ucap Ria lagi. Bulek Arum mendesah. Mengiyakan omongan ponakannya itu.“Kemana mereka? Kamu punya nomor Rasti atau Riko nggak?” tanya Bulek Arum, seraya menatap wajah keponakannya itu.“Nggak, Bulek. Kalau dulu punya nomor Mas Riko. Tapi udah nggak aktif lagi, semenjak dia menikah dengan Mbak Rasti,” jawab Juwariah, seraya memainkan gawainya. Mencari-cari nomor di kontakknya. Walau dia tahu, dia nggak punya nomor mereka.“Nomor nggak aktif masih kamu simpan?” tanya Bulek Arum lagi, seraya mengerutkan keningnya.“He he he he,” Juwariah hanya menerenges saja. Bul
“Iya, Bulek Janji,” ucap Ria seraya menunjukkan kelingkingnya. Seraya senyum memandang ke arah Buleknya/“Ish, apaan kayak gitu,” ucap Bulek Arum seraya mencebikkan mulutnya.Terdengar suara motor berhenti di halaman Rumah Rasti. Bulek Arum dan Juwariah langsung memandang ke arah suara motor yang baru saja mati itu. Ternyata yang punya rumah sudah datang. Rasti, Riko dan anaknya. Yuda. Mereka turun dari motor. Hati Juwariah semakin berdebar. Dia semakin memainkan ke dua tangannya. Meremas-remas ujung bajunya.Bulek Arum tersenyum, melihat yang punya rumah sudah datang. Kemudian melirik keponakannya. Terlihat wajah tegang di sana. Bulek Arum kemudian mengelus pelan lengan ponakannya itu.“Nggak usah gerogi. Niat kita baik ke sini, untuk meminta maaf. Bukan untuk mencari gara-gara,” ucap Bulek Arum. Juwariah memandang Buleknya, kemudian mengangguk.“Iya Bulek,” jawab Juwariah. Bulek Arum mengangguk untuk menguatkan keponakannya itu. Agar tak berubah niatnya.Rasti dan Riko sendiri menge
“Mbak Rasti, maafkan semua kesalahan saya,” ucap Juwariah akhirnya setelah bisa melawan rasa gengsinya. Iya, selama Ria susah untuk mengakui kesalahannya. Susah untuk meminta maaf. Tapi, hari ini dia berhasil melawan rasa gengsinya.Rasti melongo. Masih belum percaya jika kata maaf itu keluar dari mulut Juwariah. Seorang perempuan yang pernah ada hubungan dengan suaminya. Sekarang meminta maaf dengan suara yang bergetar. Rasti dan Riko saling beradu pandang. Sama saja Riko sendiri juga merasa belum percaya dengan kata maaf yang terlontar dari bibir sang mantan. Karena Riko juga tahu, bagaimana karakter Juwariah ini. Susah mengakui kesalahan dan susah juga untuk meminta maaf. Terlalu tinggi gengsi di hatinya.“Mbak Ria serius meminta maaf?” tanya Rasti masih belum percaya. Bulek Arum mendesah melihat ini semua. Dia maklum dengan pertanyaan Rasti. Karena dia juga tahu bagaimana karakter keponakannya ini. “Iya, aku serius Mbak! Aku serius meminta maaf pada kalian. Aku ini lagi hamil, b
Karena merasa ada yang nggak pas, dan perlu di pertanyakan.“Maksudnya Mbak Ria ini, nggak di sukai keluarganya?” tanya Rasti merasa bingung dengan ucapan Bulek Arum.“Iya, Mbak. Saya di jauhi keluarga saya karena kehamilan ini. Kehamilan tanpa suami. Hanya Bulek Arum yang mau menerima saya. Hanya Bulek Arum yang bisa mengeri kondisi saya,” jawab Juwariah sendiri. Sebenarnya dia malu banget ngomong kayak gini. Apalagi di depan mantan. Tapi, rasa malu itu di tepisnya jauh-jauh. Karena dia ingin hatinya tenang. Ingin hidupnya tenang tanpa ada rasa bersalah.“Ya Allah, semoga setelah ini, keluargan Mbak Ria mau memaafkan semua kesalahan Mbak ya!” ucap Rasti prihatin dengan keadaan Ria. Nggak nyangka dia di hukum segitunya sama pihak keluarga. Tapi, pasti mereka malu dengan kelakuan Ria dan kehamilannya itu.Riko sendiri sebenarnya juga kasihan sama Ria. Tapi, jika mengingat semua masalah yang terjadi di masa lalu, karena dia dalangnya, membuat rasa kasihan Riko ke Ria menghilang. Pember
“Jadi kapan mau ke rumah ibunya Riko?” tanya Bulek Arum kepada keponakannya. Juwariah terdiam, seraya meminum teh hangat. Cuaca pagi ini dingin banget, hingga menggunakan jaket.“Lebih cepat lebih baik Ria, jangan di tunda-tunda. Biar lebih tenang hatinya,” ucap Bulek Arum lagi. “Iya, Buek,” jawab Ria. Membuat Bukek Arum mendesah mendengar jawabannya.“Iya, itu kapan? Bulek tanyanya kapan, kok, jawabnya iya,” tanya balik Bulek Arum seraya memainkan bibirnya. Melirik keponakannya itu seraya menikmati ubu rebus di tambah parutan kelapa. Di sajikan bersama dengan teh hangat. Untuk memanaskan badan, karena cuaca pagi yang sangat dingin.Juwariah mendesah. Kemudian menyeruput Teh hangatnya. Meletakkan di meja kemudian mengambil ubi rebus itu. “Nanti sianglah, Bulek,” akhirnya Ria mengambil keputusan. Walau hatinya masih ragu.“Beneran, ya, nanti siang,” ucap Bulek Arum. Masih terus menikmati ubi rebus yang masih hangat itu.“Iya, Bulek,” jawab Ria dengan nada malas. Memang belum siap jik
“Assalamualaikum,” Bulek Arum mengucap salam lagi.“Waalaikum salam,” barulah terdengar jawaban salam dari dalam. “Alhamdulillah di jawab juga akhirnya,” ucap Bulek Arum. Tak selang lama mertua Rasti keluar dan mendekat ke arah mereka. Juwariah tertunduk nggak berani melihat wajahnya. Jantungnya semakin kuat saja berdegub. Mertua Rasti terkejut juga saat tahu siapa tamunya. Mantan pacar anak sulungnya. Wajahnya langsung berubah menjadi suram. “Bu,” sapa Bulek Arum mengulurkan tangannya. Bersalaman. Ibu Riko mau menerima salam dari Bulek Arum. Karena memang nggak ada masalah sama Bulek Arum. Matanya melirik ke Juwariah dengan sadis.“Silahkan masuk, Bu!” Ibu Riko mempersilahkan tamunya. Hatinya panas juga saat melihat Ria berani datang ke rumahnya. Karena selama ini, dia dan Lika yang mempengaruhi otaknya, meracuni terus hatinya, agar membenci Rasti dengan berbagai alasannya. Menjelek-jelekkan Rasti dengan ucapan yang di tambah-tambahin. Ternyata tujuannya ingin mengambil hati Riko
“Saya tahu saya salah, Bu. Tapi tolong maafkan saya,” ucap Juwariah memberanikan diri, untuk ngomong lagi meminta maaf. Tapi masih belum berani memandang wajah perempuan yang masih menatapnya penuh kebencian itu.“Mulut mungkin bisa bilang memaafkan. Tapi, hati masih sakit jika mengingat semuanya Ria. Sampai saya harus membenci menantu saya yang paling baik hatinya. Sampai saya harus memaki menantu saya. Sampai pernah saya mau mengusirnya, menghasut Riko untuk menceraikannya. Semua karena hasutanmu. Semua karena racun yang kamu berikan untuk membenci Rasti,” sungut ibunya Riko seraya menatapnya dengan mendelik.Air mata Ria semakin tak bisa di kendalikan. Masih menunduk dan semakin menunduk. Dia hanya bisa memainkan ke dua tangannya. Meremas-remas ujung bajunya. Hingga terlihat kusut.Bulek Arum sendiri hatinya juga berdegub. Tapi dia juga bisa menduga kalau ini akan terjadi. Walau tak kenal akrab, tapi dia sedikit tahu bagaimana karakter mertua Rasti ini.“Tapi, Sang Maha Pengasih me
“Udah, Bu, tadi masak sambal udang,” sahut Rasti, seraya ikut duduk di meja makan.“Ini ibu masak gulai ayam,” sahut Ibu. Rasti tersenyum. Kemudian mengambil gelas dan menuangkan air putih dari teko ke gelas yang dia ambil.Rasti nggak mau mengganggu ibunya makan. Karena dia melihat mertuanya lagi asyik dan lahap banget makannya. Benar-benar seperti orang kelaparan. Terkuras tenaga dia habisa marah-marah dengan Juwariah.Ibu beranjak, menuju ke wastafel. Telah selesai makannya. Kemudian cuci tangan dan minum. “Alhamdulillah, nikmat sekali,” celetuk Ibu, seraya mengusap bibirnya dengan tisue. Rasti tersenyum. Ibu memang seperti itu, kalau lagi enak nafsu makannya, sampai tambuh berkali-kali. Tapi, kalau lagi nggak enak makan, mungkin sehari cuma makan sekali.“Tadi Ria barusan ke sini, berani banget dia ke sini,” ucap Ibu. Rasti mendesah. Semenjak dia menyadari kalau Rasti ini memang benar-benar baik, dia selalu menceritakan apapun kejadian yang dia alami kepada Rasti. Sudah tak terli
Pagi ini Lika berkemas. Menyusun baju-bajunya di koper. Di bantu oleh anak-anak panti yang sudah besar. “Mbak Lika enak ya? punya orang tua, aku juga pengen punya orang tua,” celetuk anak perempuan yang kira-kira umur 12 tahun. Bernama Putri. Membuat Lika tersentuh mendengar omongannya.“Iya,” sahut temannya lagi, yang juga ikut membantu Lika berkemas. Menyadarkan Lika, betapa beruntungnya dia. tapi, dia selama ini tidak mensyukuri itu. Selalu iri dengan kehidupan orang lain. Selalu iri dengan kehidupan Mbak Rasti dulu itu. “Kalian juga beruntung bisa tinggal di panti ini. Jangan merasa nggak punya orang tua. Bu Lexa itukan orang tua kalian,” sahut Lika menanggapi omongan anak-anak panti itu.“Owh, iya, Bu Lexa kan ibu kita,” sahut anak yang lainnya. Putri tersenyum.“Iya, Maksudnya, enak gitu jadi Mbak Lika, orang tuanya masih komplit,” jelas Putri. Membuat Lika sesak saja mendengarnya.“Udah, kalian juga sangat beruntung mempunya orang tua kayak Bu Lexa. Ini semua sudah takdir, ma
“Dari mana,Le?” tanya ibunya saat melihat Malik masuk ke dalam kamarnya. Malik tersenyum memandang ibunya.“Main sama temen, Bu. Maaf, ya, seharian ini, Ibu Malik tinggal,” jawab Malik seraya meminta maaf, karena dia merasa nggak enak dengan ibunya.“Nggak apa-apa, Le, kamu juga butuh jalan-jalan. Nggak berkutat di rumah aja, nungguin Ibu,” sahut ibunya. Malik tersenyum lagi, karena hanya ibu dan Mahira yang dia punya. Saudara banyak, tapi jarang sekali komunikasi. Jadi terputus pelan-pelan. “Malik senang di rumah sama ibu,” sahut Malik, kemudian merebahkan badannya di sebelah ibunya. Kemudian tangan ibunya mengelus rambut Malik. Karena Malik sangat senang jika ibunya melakukan itu. Ke dua tangan ibu Malik masih berfungsi, itupun dengan gerakkan lambat. Kalau kakinya sudah tidak berfungsi lagi. “Kamu kok, sedih, Le?” tanya ibunya saat melihat wajah anak sulungnya itu murung. Tanpa bisa di tahan, beningan kristal meleleh dari sudut matanya.“Lah, kok, malah nangis? Cerita sama ibu a
“Lika,” sapa Tante Lexa saat membukakan pintu untuk Lika. Lika cepat-cepat menyeka air atanya yang masih terus mengalir. “Tante,” sahut Lika masih terus menyeka air matanya, yang nggak bisa berhenti. Malik sudah pulang. Saat pintu rumah Tante Lexa di buka, Malik langsung memutar mobilnya dan keluar meninggalkan halaman rumah Tante Lexa. “Masuk dulu!” perintah Tante Lexa, seraya menarik tangan Lika menuju ke kursi. Lika nggak enak hati dengan Tante Lexa, karena menangis. ‘Pliis Lika jangan nangis, nanti membuat Tante Lexa bingung dan cemas,’ lirih Lika dalam hati. Dia pikir Tante Lexa nggak tahu sebab dia menangis.“Kenapa menangis?” tanya Tante Lexa memancing reaksi Lika. Lika memaksakan senyum dan masih terus meyeka air matanya.“Nggak apa-apa, Tante,” sahut Lika asal, dengan suara serak dan sesak. Tante Lexa mendesah, kemudian ikut membantu mengusap air mata Lika. Karena Lika sudah di anggap anak olehnya.“Cerita sama Tante! Siapa tahu Tante bisa membantumu,” ucap Tante Lexa. Mata
“Hah? Juwariah hamil anak Tirta?” sahut Mas Riko saat aku memberi kabar tentang gosip ini. Ya, sepulang dari warung Mak Rida, aku langsung mencari-cari Mas Riko. Ternyata dia lagi membakar sampah di belakang rumah.“Jangan kenceng-kenceng, Mas, nanti di dengar tetangga,” jawabku sambil celingak celinguk. Dia juga ikutan celingak celinguk.“Paling juga semua orang sudah dengar, kita ini belakangan dengarnya,” sahut Mas Riko. Ah, mungkin seperti itu.“Mungkin, Mas. Tapi kenapa Mbak Juwariah ngenalin Tirta ke Lika? Sampai nginap-nginap di penginapan lagi,” tanyaku. Dia menghentikan pembakaran sampahnya. Beranjak dan mencari tempat teduh di bawah pohon sawit, yang sudah di siapkan kursi kayu, untuk tempat bersantai.“Iya, ya? Harusnya kan cemburu ya?” tanya Mas Riko balik. Sama-sama tak tahu jawaban pastinya. Yang tahu hanyalah Mbak Juwariah. Apa maksudnya?“Kalau menurutku, memang sengaja, mau menghancurkan rumah tangga Lika dan Toni. Dengan Tirta sebagai pancingan, agar Lika nurut denga
[Owh jadi mereka kakak beradik, donatur panti Bu Lexa, orang-orang baik, ya] sahut mamanya Lika.[Alhamdulillah, Lika di sini berteman dengan orang-orang baik dan tulus, Bu. Nggak usah khawatir. Saya juga kenal betuk siapa Malik dan Mahira. Sekarang aja ini Lika lagi keluar sama Malik. Katanya untuk pertemuan yang terakhir. Mumpung Lika masih di sini. Dan ternyata benar, kalian sudah di Jogja dan besok akan menjemput Lika,] jelas Bu Lexa panjang.[Lagi keluar sama Malik?] tanya mamanya Likas seraya mengerutkan kening.[Santai, Bu. Saya percama sama Malik seratus persen. Dia anaknya baik, nggak akan neko-neko sama Lika. Lagian Lika sama Malik itu temenan dari SMP] Jelas Bu Lexa lagi, untuk menenangkan hati orang tua Lika.[Owh, saya percaya dengan Bu Lexa. Kalau Bu Lexa yakin kalau Malik itu baik, berarti dia memang baik,] jawab mamanya Lika. Bu Lexa tersenyum.[Yasudah, Bu. sampai sini dulu obrolannya. Insyaallah kami besok ke rumah Bu Lexa,] ucap mamanya Lika lagi, ingin pamit memati
“Lika nomornya, kok, aktif, ya?” tanya Pak Samsul kepada istrinya. “Paling ngedrop hapenya,” jawab istrinya santai. Pak Samsul kemudian duduk di kursi. Tak berselang lama, istrinya menghampiri seraya membawakan secangkir Kopi manis. “Ini kopinya, Pa!” ucap istrinya seraya meletakkan di atas meja.“Makasih, Ma,” jawab Pak Samsul. Istrinya tersenyum.“Sama-sama,” jawabnya kemudian duduk. “Nova kemana, Bu?” tanya Pak Samsul kepada ibunya. Kemudian Nenek Rumana juga ikut mendekat dan bergabung bersama anak dan menantunya.“Ke loundrynya,” jawab Nenek Rumana seraya duduk di kursi. Pak Samsul kemudian mengambil kopi yang di buatkan istrinya. Meniupnya pelan dan menyeruputnya.“Alhamdulillah senang melihat Nova sudah bisa mandiri. Udah punya usaha juga,” sahut Pak Samsul setelah meletakkan kopinya di meja.“Iya, Ibu juga senang melihat kemajuan Nova. Cuma dari segi asmara dia kurang beruntung,” jawab Nenek Rumana.“Biarkan, Bu. Nova perempuan baik, insyaallah kalau menikah lagi, juga akan
“Bu, maafkan Ria!” ucap Ria seraya menunduk. Ya, hari ini Juwariah menemui mertua Rasti lagi. Masih di dampingi oleh Bulek Arum.Ibunya Riko terdiam. Hatinya masih sakit dengan perbuatannya di masa lalu. Masih belum mau memandang wajah Juwariah. Menurut dia, terlalu dalam Juwariah membuat luka. Hingga menyebabkan hancurnya rumah tangga anaknya, karena ide-ide konyolnya.“Bu, tolong maafkan keponakan saya!” ucap Bulek Arum juga angkat bicara. Dia kasihan dengan keponakannya. Mertua Rasti kemudian menatap pandang ke Bulek Arum.“Lidah saya mungkin bisa memaafkan! Tapi, hati saya masih sakit atas kejahatan Ria di masa lalu. Tak semudah itu memaafkan,” sahut mertua Rasti. Membuat bulek Arum mendesah. Ria yang bersangkutan masih menunduk, air matanya berjatuhan. Dia menyadari kalau dirinya memang salah.“Bu, Ria mengaku dan Ria akui kalau Ria memang salah. Ria mau memperbaiki ini semua. Ria mau memperbaiki diri, makanya Ria meminta maaf sama kalian semua,” ucap Ria. Hatinya sudah nggak ter
“Bulek, Lika emang pacar Malik, ya?” tanya Halim kepada Tante Lexa. Seketika yang di tanya langsung mengerutkan kening. Mengambil toples yang dekat dengannya.“Bulek juga nggak tahu mereka pacaran apa nggak, yang Bulek tahu mereka dekat,” jawab Tante Lexa seraya membukan dan mengambil camilan dalam toplek. Kemudian mengunyahnya.“Owh,” sahut Halim lirih. Pikirannya masih kemana-mana.“Kenapa?” tanya Tante Lexa serara memandang Halim.“Nggak, sih, Bulek. Cuma pengen kenal Lika lebih saja, itupun kelau mereka beneran nggak pacaran, ya! kalau mereka pacaran aku nggak mau merusak hubungan orang,” jawab Halim. Tante Lexa mendesah dia bisa menebak apa yang di pikirkan oleh Halim.“Mereka aja jalan pakae kaos couple gitu, ya, mungkin ada hubungan lebih,” sahut Tante Laxa. Halim terdiam, mengingat kembali mereka menggunakan baju apa. “Iya, juga, ya, Bulek,” ucap Malik. Tante Lexa tersenyum seraya menggelengkan kepala.“Bukannya kamu suka cewek berhijab?” tanya Tante Lexa. Halim tersenyum. Ya
“Alhamdulillah udah sampai Jogja lagi,” ucap Tante Nova kepada kakaknya. Orang Tua Lika. “Iya, alhamdulillah,” jawab Bu Santi. Adiknya tersenyum, kemudian membantu memasukkan tas yang mereka bawa.Pak Samsul dan Bu Santi menyalamani ibunya. Nenek Rumana. Kemudian Nenek Rumana mengusap kepala mereka dengan penuh kasih sayang.“Sehat, Bu?” tanya Pak Samsul kepada ibunya. “Alhamdulillah sehat,” jawab Nenek Rumana.“Alhamdulillah,” sahut Pak Samsul. Kemudian mereka duduk di kursi. Tante Nova menyiapkan teh untuk kakak kandung dan iparnya.“Kalian udah yakin mau menjemput Lika?” tanya Nenek Rumana. Pak Samsul mendesah.“Yakin, Bu. saya juga nggak mau lama-lama menghukum Lika. Kata Bu Lexa dia juga sudah banyak berubah,” jawab Pak Samsul. Terdengar suara dia yang lelah, karena perjalanan jauh.“Iya, Bu. Biar dia bisa segera kerja lagi. Terlalu lama dia menganggur, takutnya ilmunya pada ilang,” sahut mamanya Lika. Nenek Rumana mendesah. “Iya, kasihan ilmunya mubadzir terlalu lama di anggu