“Nggak apa-apa, Rasti! Suatu masalah itu memang harus di ucapkan, jangan di simpan sendiri. Bisa menjadi penyakit nanti. Yang penting kamu cerita dengan orang yang tepat,” tandas Bu Retno. Aku jadi teringat Emak.“Iya, Bu. Rasti dan Mas Riko percaya dengan Ibu, iyakan Mas?’ sahutku, seraya bertanya dengan Mas Riko. Mas Riko hanya tersenyum kikuk dan mengangguk.“Syukurlah kalau kalian percaya dengan, Ibu.” Ucap Bu Retno. Membuat hati ini nyaman dengan ucapan lembutnya.“Bu?” panggil Mas Riko.“Iya, Ko?” jawab, Bu Retno, memandangnya dengan sedikit membelalakkan matanya.“Ibu punya rencana tidak? Biar Ibu bisa mengetahui bagaimana sifat Lika? Jadi biar Rasti tidak selalu jelek di mata Ibu,” tanya Mas Riko ngambang. Seperti dilema. Bu Retno mengambil kopi dan menyeruputnya, memikirkan sesuatu sebelum menjawabnya.“Sebenernya dalang semua ini Juwariah mantan kamu, Ko!” jleebb! Hatiku kacau mendengar nama, Mbak Juwariah. Menurutku dia hanya mantan yang tak tau diri. “Juwariah?” sahut dan
Bingung mau masak apa, itulah yang terjadi olehku setiap harinya. Kalau tanya ke suami ujung-ujungnya ‘terserah’ jadi mending nggak usah nanya sekalian. Di pikir sendiri tapi bingung, itulah problema ibu rumah tangga. “Mak, beli sarden satu dan telor enam, ya!” ucapku pada Mak Rida pemilik warung.“Siap, Mbak Rasti!” sahut Mak Rida, sambil mengambilkan apa yang aku mau beli. Mak Rida menatapku aneh. Serasa ingin bertanya tapi ragu.“Ada apa, Mak? Kok lihatnya gitu amat? Ada yang aneh dengan bedakakan saya?” tanyaku basa basi dengan mengusap wajahku. Supaya tak kelihatan kepo maksimal.“Eh, nggak, Mbak Rasti, cuma pengen tanya sesuatu tapi takut nanti, Mbak Rasti salah faham,” jawab Mak Rida membuatku semakin penasaran. Akhirnya aku tertawa dengan gaya santaiku. Biar Mak Rida bertanya dengan gamblang dan santai juga. Siapa tau ada info penting, gosip Mbak Juwariah dan Lika misalnya? Secarakan warung Mak Rida selalu ramai dengan mak-mak yang hoby gosip.“Gini lo, Mbak Rasti, warung say
“Nyatanya beli telur cuma seuprit dan sardennya juga cuma sekaleng. Beda sama Lika, kalau Lika beli langsung banyak, dibagikan juga sama mertua,” tandasnya. Dengan memainkan bibirnya ke kanan dan ke kiri. Hatiku sudah mulai tersulut. Berani-beraninya dia, membanding-bandingkanku dengan Lika langsung di hadapanku.“Mbak Ria, Mbak sudah ngaca belum, sebelum ngomong seperti itu?” tanyaku sengaja juga memancing darah tingginya agar naik. Dia membelalakkan matanya, seakan tak terima.“Maksud Mbak Rasti apa omong kayak gitu?” tanyanya sedikit meninggikan suaranya. Aku menyeringai kecut.“Lha, Mbak Ria sendiri apa maksudnya ngomong kayak tadi itu?” tanyaku balik. Wajahnya nampak semakin memerah. Aku suka melihatnya. Dia suka memancing darah tinggi orang. Tapi giliran dibalas nggak terima. Dasar. “Gini, ya, Mbak Ria yang terhormat, sebelum menilai orang lain, harusnya mbak bercermin dulu, ingat-ingat masalalu dan keadaan Mbak Sekarang. Mbak jadi janda karena apa? Masih mending saya kemana-ke
Sebenarnya pengen cuek menanggapi ucapan Mak Rida kemarin, tapi tak bisa. Selalu terngiang-ngiang ucapan Mak Rida, kalau Lika selingkuh dengan saudara Mbak Juwariah. Jujur saja aku masih belum percaya, kalau Lika setega itu mengkhianati Toni. “Dek? Ngelamun aja!” ucap Mas Riko memegang pundakku. Membuyarkan lamunanku. Aku masih terdiam, bingung.“Ada masalah?” tanya Mas Riko seakan mengetahui kegelisahanku. Apa aku ceritakan saja kepada Mas Riko, biar aku tak salah ambil jalan?“Ehem,” mencoba membuka omongan yang terasa tercekat di tenggorokkan, “iya, Mas. Tapi ...” aku menggantung omongan.“Tapi apa?” tanya Mas Riko menyipitkan matanya. Memandangku lekat.“Tapi Adek takut salah ngomong, terus jadi fitnah,” ucapku melanjutkan kalimat.“Adek, percaya sama, Mas, kan?” tanya Mas Riko melipatkan keningnya. Aku mengangguk.“Kalau percaya ceritakanlah, kita harus saling terbuka,” ucap Mas Riko lagi.“Kemarin aku belanja di toko Mak Rida, ada gosip miring tentang Lika,” jawabku.“Gosip mir
“Harus gimana lagi? kita langsung ngelabrak Lika, nggak mungkin, kita nggak punya bukti. Mau bilang ke Ibu, pasti Ibu nggak percaya. Mau bilang ke Toni? Mas rasapun Toni juga tak akan percaya,” jawabnya panjang dengan sekali nafas.“Tapi kalau Mas deketin Mbak Ria, apa kata orang? Gosipnya pasti terdengar tak sedap,” jawabku dengan hati yang tak bisa aku jelaskan.“Semua jalan memang terasa buntu, Dek, tapi kita harus ambil tindakan. Mas nggak rela, Toni di khianati,” ucap Mas Riko dengan nada geram.“Nggak, Mas. Pokonya adek nggak setuju. Kita fikirkan lagi jalan keluarnya. Itu terlalu ekstrem. Selain itu, masih ada lagi yang sangat adek takutkan, jika Mas ambil jalan mendekati Mbak Ria,” tandasku. “Apa?” tanyanya.“Mas jatuh cinta lagi sama Mbak Ria. Walau bagaimana pun kalian dulu pernah menjalin asmara,’ jawabku mengerucutkan bibir. Mas Riko malah menyeringai mendengar ucapanku.“Ya Ampun, Dek. Nggak bakalan, ini hanya sekedar membuka tabir yang tertutup,” jawab Mas Riko. Aku men
“Aku ini udah kenal kalian lama, loo, ada apa? Ada yang kalian sembunyiin dari aku?” Toni mulai curiga dengan ucapanku dan Mas Riko. Aku dan Mas Riko saling beradu padang. Terdiam sejenak.“Mas? Mbak? Ada apa? Jujur saja! Kalian tak pandai untuk berbohong,” ucap Toni Lagi. membuat kami saling lirik.“Ehem, gini, Ton!” ucap Mas Riko memulai bicara, “Ada hal yang ingin Mas sampaikan, tapi belum tentu kebenarannya. Jadi, Mas takut malah menjadi fitnah nantinya,” ucap Mas Riko terdengar belepot ngomongnya. Aku faham maksudnya. Dia ingin menyampaikan dengan sangat hati-hati, agar adik semata wayangnya tak tersinggung.“Sampaikan saja, Mas! Kalau belum tentu kebenarannya, kita buktikan berasama kebenarannya,” jawab Toni dengan khas santainya. Apa dia masih akan terlihat santai, jika mendengar gosip miring tentang istrinya? Terasa tak sanggup menyampaikannya.“Mas takut kamu marah,” jawab Mas Riko pelan. Toni menyipitkan matanya. Memandang lekat abangnya.“Kamu mengenalku dari kecil, Mas. Ap
“Lika selama ini bilangnya lembur, kita ikuti saja dia,” jawab Toni. Aku mengangguk tanda menyetujui. Dari pada ide Mas Riko untuk mendekati Juwariah, mending mendukung ide Toni. Ah, modul lelaki.“Mbak setuju, Ton!!! Dari pada ide Mas mu,” jawabku semangat seraya melirik Mas Riko. Mas Riko juga terlihat mengangguk dan juga melirikku.“Emang ide Mas Riko apa, Mbak?” tanya Toni.“Deketin Mbak Ria untuk mengungkap istrimu,” jawabku mengerucutkan bibir.“Itu, Mah, modus,” jawab Toni dengan tawa lebar. Aku mengangguk seraya melirik Mas Riko. Mas Riko terlihat nyengir.“Kapan kita mulai?’ tanya Mas Riko mencoba mengalihkan pembicaraan, tapi juga terdengar semangat.“Mulai nanti malam juga bisa, Mas.” Jawan Toni santai. Aku merasa bingung. Dia sebenarnya marah nggak, sih? Masak iya nggak tersulut api cemburu mendengar gosip istrinya selingkuh? “Kamu beneran nggak apa-apa?” tanyaku memastikan.“Maksudnya apa-apa?” tanyanya balik. Aku menarik nafasku kuat dan melepasnya kasar.“Secara ini, d
Malam ini, Mas Riko dan Toni akan melancarkan rencana yang sudah di susun rapi. Semoga segera terbongkar kedok Lika. Biar bisa juga membuka mata Ibu, untuk tidak selalu membedakan menantu. Biar bisa juga membedakan mana yang beneran tulus dan mana yang pura-pura tulus.“Mas, semoga berhasil rencananya nanti, ya.” Ucapku memulai pembicaraan, seraya menaruh kopi di meja depannya. “Semoga.” Jawabnya berharap. Kami masih menunggu telpon dari Toni. Karena belum tahu juga, Lika lembur kerja atau tidak malam ini. Gawai dari memasuki magrib, tak terlepas dari genggaman. Takut tak mendengar telpon dari Toni.“Diminum dulu, Mas, kopinya! Biar nggak ngantuk nanti,” suruhku, Mas Riko mengangguk dan mengambil kopi itu. Meniup perlahan dan menyeruputnya.“Yuda menginap di rumah Ibu?” tanyaku, Mas Riko menaruhkan gelas kopi itu ke tempat semula.“Iya, katanya,” jawabnya. Aku mengangguk. Walau aku memang lagi nggak akur dengan ibu, tapi aku juga nggak boleh egois. Ibu tetap neneknya Yuda. Sewaktu-wa
Pagi ini Lika berkemas. Menyusun baju-bajunya di koper. Di bantu oleh anak-anak panti yang sudah besar. “Mbak Lika enak ya? punya orang tua, aku juga pengen punya orang tua,” celetuk anak perempuan yang kira-kira umur 12 tahun. Bernama Putri. Membuat Lika tersentuh mendengar omongannya.“Iya,” sahut temannya lagi, yang juga ikut membantu Lika berkemas. Menyadarkan Lika, betapa beruntungnya dia. tapi, dia selama ini tidak mensyukuri itu. Selalu iri dengan kehidupan orang lain. Selalu iri dengan kehidupan Mbak Rasti dulu itu. “Kalian juga beruntung bisa tinggal di panti ini. Jangan merasa nggak punya orang tua. Bu Lexa itukan orang tua kalian,” sahut Lika menanggapi omongan anak-anak panti itu.“Owh, iya, Bu Lexa kan ibu kita,” sahut anak yang lainnya. Putri tersenyum.“Iya, Maksudnya, enak gitu jadi Mbak Lika, orang tuanya masih komplit,” jelas Putri. Membuat Lika sesak saja mendengarnya.“Udah, kalian juga sangat beruntung mempunya orang tua kayak Bu Lexa. Ini semua sudah takdir, ma
“Dari mana,Le?” tanya ibunya saat melihat Malik masuk ke dalam kamarnya. Malik tersenyum memandang ibunya.“Main sama temen, Bu. Maaf, ya, seharian ini, Ibu Malik tinggal,” jawab Malik seraya meminta maaf, karena dia merasa nggak enak dengan ibunya.“Nggak apa-apa, Le, kamu juga butuh jalan-jalan. Nggak berkutat di rumah aja, nungguin Ibu,” sahut ibunya. Malik tersenyum lagi, karena hanya ibu dan Mahira yang dia punya. Saudara banyak, tapi jarang sekali komunikasi. Jadi terputus pelan-pelan. “Malik senang di rumah sama ibu,” sahut Malik, kemudian merebahkan badannya di sebelah ibunya. Kemudian tangan ibunya mengelus rambut Malik. Karena Malik sangat senang jika ibunya melakukan itu. Ke dua tangan ibu Malik masih berfungsi, itupun dengan gerakkan lambat. Kalau kakinya sudah tidak berfungsi lagi. “Kamu kok, sedih, Le?” tanya ibunya saat melihat wajah anak sulungnya itu murung. Tanpa bisa di tahan, beningan kristal meleleh dari sudut matanya.“Lah, kok, malah nangis? Cerita sama ibu a
“Lika,” sapa Tante Lexa saat membukakan pintu untuk Lika. Lika cepat-cepat menyeka air atanya yang masih terus mengalir. “Tante,” sahut Lika masih terus menyeka air matanya, yang nggak bisa berhenti. Malik sudah pulang. Saat pintu rumah Tante Lexa di buka, Malik langsung memutar mobilnya dan keluar meninggalkan halaman rumah Tante Lexa. “Masuk dulu!” perintah Tante Lexa, seraya menarik tangan Lika menuju ke kursi. Lika nggak enak hati dengan Tante Lexa, karena menangis. ‘Pliis Lika jangan nangis, nanti membuat Tante Lexa bingung dan cemas,’ lirih Lika dalam hati. Dia pikir Tante Lexa nggak tahu sebab dia menangis.“Kenapa menangis?” tanya Tante Lexa memancing reaksi Lika. Lika memaksakan senyum dan masih terus meyeka air matanya.“Nggak apa-apa, Tante,” sahut Lika asal, dengan suara serak dan sesak. Tante Lexa mendesah, kemudian ikut membantu mengusap air mata Lika. Karena Lika sudah di anggap anak olehnya.“Cerita sama Tante! Siapa tahu Tante bisa membantumu,” ucap Tante Lexa. Mata
“Hah? Juwariah hamil anak Tirta?” sahut Mas Riko saat aku memberi kabar tentang gosip ini. Ya, sepulang dari warung Mak Rida, aku langsung mencari-cari Mas Riko. Ternyata dia lagi membakar sampah di belakang rumah.“Jangan kenceng-kenceng, Mas, nanti di dengar tetangga,” jawabku sambil celingak celinguk. Dia juga ikutan celingak celinguk.“Paling juga semua orang sudah dengar, kita ini belakangan dengarnya,” sahut Mas Riko. Ah, mungkin seperti itu.“Mungkin, Mas. Tapi kenapa Mbak Juwariah ngenalin Tirta ke Lika? Sampai nginap-nginap di penginapan lagi,” tanyaku. Dia menghentikan pembakaran sampahnya. Beranjak dan mencari tempat teduh di bawah pohon sawit, yang sudah di siapkan kursi kayu, untuk tempat bersantai.“Iya, ya? Harusnya kan cemburu ya?” tanya Mas Riko balik. Sama-sama tak tahu jawaban pastinya. Yang tahu hanyalah Mbak Juwariah. Apa maksudnya?“Kalau menurutku, memang sengaja, mau menghancurkan rumah tangga Lika dan Toni. Dengan Tirta sebagai pancingan, agar Lika nurut denga
[Owh jadi mereka kakak beradik, donatur panti Bu Lexa, orang-orang baik, ya] sahut mamanya Lika.[Alhamdulillah, Lika di sini berteman dengan orang-orang baik dan tulus, Bu. Nggak usah khawatir. Saya juga kenal betuk siapa Malik dan Mahira. Sekarang aja ini Lika lagi keluar sama Malik. Katanya untuk pertemuan yang terakhir. Mumpung Lika masih di sini. Dan ternyata benar, kalian sudah di Jogja dan besok akan menjemput Lika,] jelas Bu Lexa panjang.[Lagi keluar sama Malik?] tanya mamanya Likas seraya mengerutkan kening.[Santai, Bu. Saya percama sama Malik seratus persen. Dia anaknya baik, nggak akan neko-neko sama Lika. Lagian Lika sama Malik itu temenan dari SMP] Jelas Bu Lexa lagi, untuk menenangkan hati orang tua Lika.[Owh, saya percaya dengan Bu Lexa. Kalau Bu Lexa yakin kalau Malik itu baik, berarti dia memang baik,] jawab mamanya Lika. Bu Lexa tersenyum.[Yasudah, Bu. sampai sini dulu obrolannya. Insyaallah kami besok ke rumah Bu Lexa,] ucap mamanya Lika lagi, ingin pamit memati
“Lika nomornya, kok, aktif, ya?” tanya Pak Samsul kepada istrinya. “Paling ngedrop hapenya,” jawab istrinya santai. Pak Samsul kemudian duduk di kursi. Tak berselang lama, istrinya menghampiri seraya membawakan secangkir Kopi manis. “Ini kopinya, Pa!” ucap istrinya seraya meletakkan di atas meja.“Makasih, Ma,” jawab Pak Samsul. Istrinya tersenyum.“Sama-sama,” jawabnya kemudian duduk. “Nova kemana, Bu?” tanya Pak Samsul kepada ibunya. Kemudian Nenek Rumana juga ikut mendekat dan bergabung bersama anak dan menantunya.“Ke loundrynya,” jawab Nenek Rumana seraya duduk di kursi. Pak Samsul kemudian mengambil kopi yang di buatkan istrinya. Meniupnya pelan dan menyeruputnya.“Alhamdulillah senang melihat Nova sudah bisa mandiri. Udah punya usaha juga,” sahut Pak Samsul setelah meletakkan kopinya di meja.“Iya, Ibu juga senang melihat kemajuan Nova. Cuma dari segi asmara dia kurang beruntung,” jawab Nenek Rumana.“Biarkan, Bu. Nova perempuan baik, insyaallah kalau menikah lagi, juga akan
“Bu, maafkan Ria!” ucap Ria seraya menunduk. Ya, hari ini Juwariah menemui mertua Rasti lagi. Masih di dampingi oleh Bulek Arum.Ibunya Riko terdiam. Hatinya masih sakit dengan perbuatannya di masa lalu. Masih belum mau memandang wajah Juwariah. Menurut dia, terlalu dalam Juwariah membuat luka. Hingga menyebabkan hancurnya rumah tangga anaknya, karena ide-ide konyolnya.“Bu, tolong maafkan keponakan saya!” ucap Bulek Arum juga angkat bicara. Dia kasihan dengan keponakannya. Mertua Rasti kemudian menatap pandang ke Bulek Arum.“Lidah saya mungkin bisa memaafkan! Tapi, hati saya masih sakit atas kejahatan Ria di masa lalu. Tak semudah itu memaafkan,” sahut mertua Rasti. Membuat bulek Arum mendesah. Ria yang bersangkutan masih menunduk, air matanya berjatuhan. Dia menyadari kalau dirinya memang salah.“Bu, Ria mengaku dan Ria akui kalau Ria memang salah. Ria mau memperbaiki ini semua. Ria mau memperbaiki diri, makanya Ria meminta maaf sama kalian semua,” ucap Ria. Hatinya sudah nggak ter
“Bulek, Lika emang pacar Malik, ya?” tanya Halim kepada Tante Lexa. Seketika yang di tanya langsung mengerutkan kening. Mengambil toples yang dekat dengannya.“Bulek juga nggak tahu mereka pacaran apa nggak, yang Bulek tahu mereka dekat,” jawab Tante Lexa seraya membukan dan mengambil camilan dalam toplek. Kemudian mengunyahnya.“Owh,” sahut Halim lirih. Pikirannya masih kemana-mana.“Kenapa?” tanya Tante Lexa serara memandang Halim.“Nggak, sih, Bulek. Cuma pengen kenal Lika lebih saja, itupun kelau mereka beneran nggak pacaran, ya! kalau mereka pacaran aku nggak mau merusak hubungan orang,” jawab Halim. Tante Lexa mendesah dia bisa menebak apa yang di pikirkan oleh Halim.“Mereka aja jalan pakae kaos couple gitu, ya, mungkin ada hubungan lebih,” sahut Tante Laxa. Halim terdiam, mengingat kembali mereka menggunakan baju apa. “Iya, juga, ya, Bulek,” ucap Malik. Tante Lexa tersenyum seraya menggelengkan kepala.“Bukannya kamu suka cewek berhijab?” tanya Tante Lexa. Halim tersenyum. Ya
“Alhamdulillah udah sampai Jogja lagi,” ucap Tante Nova kepada kakaknya. Orang Tua Lika. “Iya, alhamdulillah,” jawab Bu Santi. Adiknya tersenyum, kemudian membantu memasukkan tas yang mereka bawa.Pak Samsul dan Bu Santi menyalamani ibunya. Nenek Rumana. Kemudian Nenek Rumana mengusap kepala mereka dengan penuh kasih sayang.“Sehat, Bu?” tanya Pak Samsul kepada ibunya. “Alhamdulillah sehat,” jawab Nenek Rumana.“Alhamdulillah,” sahut Pak Samsul. Kemudian mereka duduk di kursi. Tante Nova menyiapkan teh untuk kakak kandung dan iparnya.“Kalian udah yakin mau menjemput Lika?” tanya Nenek Rumana. Pak Samsul mendesah.“Yakin, Bu. saya juga nggak mau lama-lama menghukum Lika. Kata Bu Lexa dia juga sudah banyak berubah,” jawab Pak Samsul. Terdengar suara dia yang lelah, karena perjalanan jauh.“Iya, Bu. Biar dia bisa segera kerja lagi. Terlalu lama dia menganggur, takutnya ilmunya pada ilang,” sahut mamanya Lika. Nenek Rumana mendesah. “Iya, kasihan ilmunya mubadzir terlalu lama di anggu