“Cukup, Samsul! Jangan main tangan di rumah Ibu. ibu nggak suka,” teriak Nenek Rumana, mendengar suaranya seakan membelaku.“Santi, ajak anakmu masuk, nggak enak di lihat tetangga!” perintah Nenek Rumana.“Iya, Bu!” ucapan Ibu terdengar sangat sopan. Ibu benar-benar nurut sama nenek. Nurut dengan perintah nenek. “Tampar lagi saja, Pa! Bukannya Papa belum puas kalau baru sekali menampar Lika!” tandasku, sengaja biar nenek Rumana juga tahu, bagaimana kelakuan anaknya.“Lika! Yang sopan ngomong sama Papa!” teriak Mama juga terdengar geram. Aku hanya bisa memainkan bibirku. “Lika ayo masuk nggak enak sama tetangga!” Ucap Mama lagi seraya menarik pergelangan tanganku. Papa hanya terdiam, kemudian duduk di kursi plastik seraya memijit lembut kepalanya.Mama mengajakku duduk di ruang tamu. Aku ngikut saja, kemana Mama menarik. Akhirnya melabuhkan pantat di kursi sofa ruang tamu. Nenek juga ikutan duduk yang tak jauh dariku. Kalau Tante Nova kayaknya masih berada di dapur.“Lika! Kamu ini s
Tahu rasanya keinginan kita tak terpenuhi? Tahu rasanya semua rencana kita gagal? Rencana yang sudah di pikirkan matang-matang. Rencana yang penuh dengan resiko, tapi semua hancur berantakkan. Rasanya ingin hilang dari peradaban. Rasanya ingin memaki semua orang. Rasanya ingin membunuh mereka-mereka yang menggagalkan rencanaku.Hari ini aku harus bersiap. Mau di kenalkan dengan seseorang. Entah siapa yang akan di kenalkan. Tak penting sama sekali. Rencana konyol apalagi yang akan mereka lakukan? Aku akan terus membantah, sampai mereka menyerah.Pipi ini masih merasa panas karena tangan Papa yang mendarat dengan keras. Tapi ini tak akan membuatku menyerah. Semakin mereka mengekang, semakin mereka ingin memaksakan kehendak, semakin kuat pula aku menentang.“Lika, segera bersiap!” bentak Nenek, nggak ada enaknya kalau ngomong. Nggak ada pelannya juga. Membuatku semakin malas untuk beranjak mengikuti maunya.“Lika! Kamu punya kuping nggak?” bentak nenek lagi. Membuat telinga ini terasa be
“Yasudah, dia bentar sudah di jalan menuju ke sini, kita semua siap-siap, kalau Lika nggak mau berhijab terserah, yang lainnya yang merasa perempuan gunakan hijab kalian!” perintah Nenek.Semua beranjak dari duduknya. Sebenarnya siapa yang di undang nenek? Kenapa Nenek menyuruh berhijab? Apa mengundang ustadz? Buat apa juga mengundang ustadz? Untuk merukyahku? Ah, ada-ada saja.Di saat mereka semua bersiap-siap, entah apa yang mereka siapkan, aku asyik berselancar dengan gawai. Mengklik aku sosial media. Nggak tahu kenapa kabar Naila hamil masih membayang. Masih belum percaya. aku ketik nama Farzana Naila. Muncul dengan photo profil pamer buku nikah. Aish, semakin membuatku cemburu. Ku scroll lagi, mencari tahu kabar terbaru mereka. Mata ini cukup membelalak, saat Naila pamer hasil USG dengan caption [Sehat-sehat selalu sayang, kami semua menunggumu] seraya menandai akun Mas Toni dan Mbak Rasti. Aku klik akun Mbak Rasti. Dia kan juga hamil, apa juga sepamer kayak Naila? Secara dia s
“Assalamualaikum,” terdengar suara salam. Aku sembunyi ke dalam kamar sebelum dia masuk ke rumah Nenek. “Waailaikum salam,” terdengar suara Nenek membalas salam dari tamu undangannya itu. terdengar langkah kaki beranjak, mungkin pada keluar menyambut tamu undangan itu.“Akhirnya yang di tunggu-tunggu datang juga,” terdengar suara Papa, juga ikut menyambut.“Silahkan duduk, Nak!” sambut Mama. Mereka benar-benar ramah sekali menyambut tamu. Nggak kayak lagi ngomong denganku. Bentak-bentak terus dengan nada melengking.Aku mengintip mereka dari balik pintu. Menatap laki-laki muda itu. Tampan sekali, sangat tampan, makanya aku kabur masuk ke dalam kamar. Karena jantung ini benar-benar terasa mau keluar dari tempatnya. Kalau tahu yang di undang ganteng kayak gitu, aku nggak akan menolak tadi. Pasti gerak cepat. Nggak sampai di bentak-bentak.Nggak tahu siapa namanya, aku mengintipnya dari pintu kamar yang aku buka sedikit. Terlihat laki-laki muda itu memakai celana jeans dan kaos berwarna
“Iya, Bu,” jawabnya. Dia memanggil Nenek Ibu. Mungkin tak enak saja memanggil nenek. Karena wajah Nenek Rumana juga belum terlihat tua-tua amat.Kulihat Halim mengambil gelas yang di suguhkan. Meniupnya pelan-pelan lalu menyeruputnya. Kemudian meletakkan gelas itu pada tempatnya. “Jangan sungkan-sungkan, Nak, di incip juga camilannya!” Mama juga ikut menambahi. Kemudian di mulai Papa ikut mengambil camilan itu. Akhirnya Halim mengikuti. Nenek dan Tante Nova juga saling mengikuti.Mereka kok nggak ada basa-basi memanggilku, ya? atau setidaknya membahasku. Mereka asyik dengan obrolannya sendiri. Terus mengundang Halim ke sini untuk apa? bukankah mau mengenalkanku?Ah, mungkin mereka masih berbasa-basi dulu sebelum menginjak topik utama. Aku harus bersabar. Nggak mungkin aku tiba-tiba keluar. Tensin juga dong. Biarkan mereka memanggilku. Jadi terkesan aku jual mahal. Terkesan aku masih malas di kenal-kenalkan.Aku masuk ke dalam kamar. Duduk di meja rias. Bersolek sedikit. Menambah war
Aku nggak nyangka Tante Nova mempunyai pacar yang ganteng kayak gitu. Bahkan lebih ganteng dari Mas Toni. Tajir lagi. Beruntung sekali Tante Nova. Padahal Halim bisa mencari yang jauh lebih cantik dari Tante Nova. Bahkan bisa mencari juga yang masih perawan dan umurnya jauh lebih muda dari Tante Nova. Kenapa dia malah memilih Tante Nova?Aku mengganti pakaian muslimahku. Memakai baju semula. Nyesel juga, sudah berdandan, eh, ternyata dia memang datangin Tante Nova. Terus siapa yang akan Nenek kenalkan denganku? Dan kenapa juga harus berjilbab? “Lika! Keluar!” teriak Nenek dengan nada lantang. Malas sekali rasanya. Giliran Halim pulang aku di panggil. Pas Halim masih belum pulang tadi, aku di lupain. Gini amat nasibku. “Lika! Kamu ini punya telinga nggak sih? Di panggil kalau nggak dua kali nggak jawab,” teriak Nenek lagi, seraya masuk ke kamar.“Udah lah Nek nggak usah teriak-teriak. Udah tua nanti makin keriput itu kerutan,” jawabku asal saja karena geram.“Kamu ini makin hari kala
Sepengetahuanku, yang namanya mau lamaran, otomatis awalnya cowok atau ceweknya menyatakan cinta dulu. Kalau di terima, baru berlanjut ke lamaran. Lah, ini? pusing juga memikirkannya.Berarti kalau Halim dan Tante Nova nggak ada ikatan pacaran, masih sah-sah sajakan, jika hati ini berharap? Nggak di sebut pelakor juga kan? Nggak ngebayangin kalau Halim nikah dengan Tante Nova. Aku harus memanggilnya Om. OMG.Akhirnya selesai juga masak yang akan di hidangkan tamu ini. Entah siapa yang akan di undang nenek. Secara waktu Halim tadi yang datang tak seperti ini Nenek menyambutnya. Apakah ini lebih spesial di banding Halim? Owh, semoga saja.Setelah semua terhidang di meja makan, aku memandanginya. Banyak menu yang di olah. Iseng-iseng saja aku memotonya. Kemudian posting ke sosial media.[Untuk tamu spesial] seperti itulah caption yang aku cantumkan. Di tambahi emot love. Semoga saja Mas Toni dan Naila melihat. Kalau aku juga bisa bahagia. Benar saja, sekian menit di posting, like dan ko
“Cium tangan dulu, Lika!” perintah Nenek kepadaku terdengar sopan. Aku mengangguk kemudian mencium tangan emak-emak itu. Emak-emak yang di panggil nenek Bu Lexa.“Cantik sekali kamu sekarang, Lika,” pujinya kepadaku seraya mengelus rambutku. Mata ini masih belum berkedip melihat wajah emak-emak itu. Seakan nggak percaya kalau dia adalah tamu undangan nenek untukku. “Makasih, Tante,” jawabku. Selama ini aku memang nggak tahu namanya. Dari kecil aku memanggilnya Tante. Dia adalah ibu kandungnya Vito, sahabat waktu SMP. Cuma sekarang wajahnya sudah agak berubah. Sudah ada keriput di beberapa bagian.Tante Lexa menghambur memelukku. Memang sudah lama sekali kami tak ketemu. Entah sudah berapa tahun, semenjak aku lulus SMP sudah tak ketemu Vito lagi. Karena waktu SMA kami tak satu sekolahan. Tapi aku sering di ajak main ke rumahnya dulu. Makanya aku akrab dengan ibunya.Kurasakan badan Tante Lexa bergetar. Dia terisak memelukku. Ada apa? apa segitu kangennya padaku?“Tante kok nangis? Kan
Pagi ini Lika berkemas. Menyusun baju-bajunya di koper. Di bantu oleh anak-anak panti yang sudah besar. “Mbak Lika enak ya? punya orang tua, aku juga pengen punya orang tua,” celetuk anak perempuan yang kira-kira umur 12 tahun. Bernama Putri. Membuat Lika tersentuh mendengar omongannya.“Iya,” sahut temannya lagi, yang juga ikut membantu Lika berkemas. Menyadarkan Lika, betapa beruntungnya dia. tapi, dia selama ini tidak mensyukuri itu. Selalu iri dengan kehidupan orang lain. Selalu iri dengan kehidupan Mbak Rasti dulu itu. “Kalian juga beruntung bisa tinggal di panti ini. Jangan merasa nggak punya orang tua. Bu Lexa itukan orang tua kalian,” sahut Lika menanggapi omongan anak-anak panti itu.“Owh, iya, Bu Lexa kan ibu kita,” sahut anak yang lainnya. Putri tersenyum.“Iya, Maksudnya, enak gitu jadi Mbak Lika, orang tuanya masih komplit,” jelas Putri. Membuat Lika sesak saja mendengarnya.“Udah, kalian juga sangat beruntung mempunya orang tua kayak Bu Lexa. Ini semua sudah takdir, ma
“Dari mana,Le?” tanya ibunya saat melihat Malik masuk ke dalam kamarnya. Malik tersenyum memandang ibunya.“Main sama temen, Bu. Maaf, ya, seharian ini, Ibu Malik tinggal,” jawab Malik seraya meminta maaf, karena dia merasa nggak enak dengan ibunya.“Nggak apa-apa, Le, kamu juga butuh jalan-jalan. Nggak berkutat di rumah aja, nungguin Ibu,” sahut ibunya. Malik tersenyum lagi, karena hanya ibu dan Mahira yang dia punya. Saudara banyak, tapi jarang sekali komunikasi. Jadi terputus pelan-pelan. “Malik senang di rumah sama ibu,” sahut Malik, kemudian merebahkan badannya di sebelah ibunya. Kemudian tangan ibunya mengelus rambut Malik. Karena Malik sangat senang jika ibunya melakukan itu. Ke dua tangan ibu Malik masih berfungsi, itupun dengan gerakkan lambat. Kalau kakinya sudah tidak berfungsi lagi. “Kamu kok, sedih, Le?” tanya ibunya saat melihat wajah anak sulungnya itu murung. Tanpa bisa di tahan, beningan kristal meleleh dari sudut matanya.“Lah, kok, malah nangis? Cerita sama ibu a
“Lika,” sapa Tante Lexa saat membukakan pintu untuk Lika. Lika cepat-cepat menyeka air atanya yang masih terus mengalir. “Tante,” sahut Lika masih terus menyeka air matanya, yang nggak bisa berhenti. Malik sudah pulang. Saat pintu rumah Tante Lexa di buka, Malik langsung memutar mobilnya dan keluar meninggalkan halaman rumah Tante Lexa. “Masuk dulu!” perintah Tante Lexa, seraya menarik tangan Lika menuju ke kursi. Lika nggak enak hati dengan Tante Lexa, karena menangis. ‘Pliis Lika jangan nangis, nanti membuat Tante Lexa bingung dan cemas,’ lirih Lika dalam hati. Dia pikir Tante Lexa nggak tahu sebab dia menangis.“Kenapa menangis?” tanya Tante Lexa memancing reaksi Lika. Lika memaksakan senyum dan masih terus meyeka air matanya.“Nggak apa-apa, Tante,” sahut Lika asal, dengan suara serak dan sesak. Tante Lexa mendesah, kemudian ikut membantu mengusap air mata Lika. Karena Lika sudah di anggap anak olehnya.“Cerita sama Tante! Siapa tahu Tante bisa membantumu,” ucap Tante Lexa. Mata
“Hah? Juwariah hamil anak Tirta?” sahut Mas Riko saat aku memberi kabar tentang gosip ini. Ya, sepulang dari warung Mak Rida, aku langsung mencari-cari Mas Riko. Ternyata dia lagi membakar sampah di belakang rumah.“Jangan kenceng-kenceng, Mas, nanti di dengar tetangga,” jawabku sambil celingak celinguk. Dia juga ikutan celingak celinguk.“Paling juga semua orang sudah dengar, kita ini belakangan dengarnya,” sahut Mas Riko. Ah, mungkin seperti itu.“Mungkin, Mas. Tapi kenapa Mbak Juwariah ngenalin Tirta ke Lika? Sampai nginap-nginap di penginapan lagi,” tanyaku. Dia menghentikan pembakaran sampahnya. Beranjak dan mencari tempat teduh di bawah pohon sawit, yang sudah di siapkan kursi kayu, untuk tempat bersantai.“Iya, ya? Harusnya kan cemburu ya?” tanya Mas Riko balik. Sama-sama tak tahu jawaban pastinya. Yang tahu hanyalah Mbak Juwariah. Apa maksudnya?“Kalau menurutku, memang sengaja, mau menghancurkan rumah tangga Lika dan Toni. Dengan Tirta sebagai pancingan, agar Lika nurut denga
[Owh jadi mereka kakak beradik, donatur panti Bu Lexa, orang-orang baik, ya] sahut mamanya Lika.[Alhamdulillah, Lika di sini berteman dengan orang-orang baik dan tulus, Bu. Nggak usah khawatir. Saya juga kenal betuk siapa Malik dan Mahira. Sekarang aja ini Lika lagi keluar sama Malik. Katanya untuk pertemuan yang terakhir. Mumpung Lika masih di sini. Dan ternyata benar, kalian sudah di Jogja dan besok akan menjemput Lika,] jelas Bu Lexa panjang.[Lagi keluar sama Malik?] tanya mamanya Likas seraya mengerutkan kening.[Santai, Bu. Saya percama sama Malik seratus persen. Dia anaknya baik, nggak akan neko-neko sama Lika. Lagian Lika sama Malik itu temenan dari SMP] Jelas Bu Lexa lagi, untuk menenangkan hati orang tua Lika.[Owh, saya percaya dengan Bu Lexa. Kalau Bu Lexa yakin kalau Malik itu baik, berarti dia memang baik,] jawab mamanya Lika. Bu Lexa tersenyum.[Yasudah, Bu. sampai sini dulu obrolannya. Insyaallah kami besok ke rumah Bu Lexa,] ucap mamanya Lika lagi, ingin pamit memati
“Lika nomornya, kok, aktif, ya?” tanya Pak Samsul kepada istrinya. “Paling ngedrop hapenya,” jawab istrinya santai. Pak Samsul kemudian duduk di kursi. Tak berselang lama, istrinya menghampiri seraya membawakan secangkir Kopi manis. “Ini kopinya, Pa!” ucap istrinya seraya meletakkan di atas meja.“Makasih, Ma,” jawab Pak Samsul. Istrinya tersenyum.“Sama-sama,” jawabnya kemudian duduk. “Nova kemana, Bu?” tanya Pak Samsul kepada ibunya. Kemudian Nenek Rumana juga ikut mendekat dan bergabung bersama anak dan menantunya.“Ke loundrynya,” jawab Nenek Rumana seraya duduk di kursi. Pak Samsul kemudian mengambil kopi yang di buatkan istrinya. Meniupnya pelan dan menyeruputnya.“Alhamdulillah senang melihat Nova sudah bisa mandiri. Udah punya usaha juga,” sahut Pak Samsul setelah meletakkan kopinya di meja.“Iya, Ibu juga senang melihat kemajuan Nova. Cuma dari segi asmara dia kurang beruntung,” jawab Nenek Rumana.“Biarkan, Bu. Nova perempuan baik, insyaallah kalau menikah lagi, juga akan
“Bu, maafkan Ria!” ucap Ria seraya menunduk. Ya, hari ini Juwariah menemui mertua Rasti lagi. Masih di dampingi oleh Bulek Arum.Ibunya Riko terdiam. Hatinya masih sakit dengan perbuatannya di masa lalu. Masih belum mau memandang wajah Juwariah. Menurut dia, terlalu dalam Juwariah membuat luka. Hingga menyebabkan hancurnya rumah tangga anaknya, karena ide-ide konyolnya.“Bu, tolong maafkan keponakan saya!” ucap Bulek Arum juga angkat bicara. Dia kasihan dengan keponakannya. Mertua Rasti kemudian menatap pandang ke Bulek Arum.“Lidah saya mungkin bisa memaafkan! Tapi, hati saya masih sakit atas kejahatan Ria di masa lalu. Tak semudah itu memaafkan,” sahut mertua Rasti. Membuat bulek Arum mendesah. Ria yang bersangkutan masih menunduk, air matanya berjatuhan. Dia menyadari kalau dirinya memang salah.“Bu, Ria mengaku dan Ria akui kalau Ria memang salah. Ria mau memperbaiki ini semua. Ria mau memperbaiki diri, makanya Ria meminta maaf sama kalian semua,” ucap Ria. Hatinya sudah nggak ter
“Bulek, Lika emang pacar Malik, ya?” tanya Halim kepada Tante Lexa. Seketika yang di tanya langsung mengerutkan kening. Mengambil toples yang dekat dengannya.“Bulek juga nggak tahu mereka pacaran apa nggak, yang Bulek tahu mereka dekat,” jawab Tante Lexa seraya membukan dan mengambil camilan dalam toplek. Kemudian mengunyahnya.“Owh,” sahut Halim lirih. Pikirannya masih kemana-mana.“Kenapa?” tanya Tante Lexa serara memandang Halim.“Nggak, sih, Bulek. Cuma pengen kenal Lika lebih saja, itupun kelau mereka beneran nggak pacaran, ya! kalau mereka pacaran aku nggak mau merusak hubungan orang,” jawab Halim. Tante Lexa mendesah dia bisa menebak apa yang di pikirkan oleh Halim.“Mereka aja jalan pakae kaos couple gitu, ya, mungkin ada hubungan lebih,” sahut Tante Laxa. Halim terdiam, mengingat kembali mereka menggunakan baju apa. “Iya, juga, ya, Bulek,” ucap Malik. Tante Lexa tersenyum seraya menggelengkan kepala.“Bukannya kamu suka cewek berhijab?” tanya Tante Lexa. Halim tersenyum. Ya
“Alhamdulillah udah sampai Jogja lagi,” ucap Tante Nova kepada kakaknya. Orang Tua Lika. “Iya, alhamdulillah,” jawab Bu Santi. Adiknya tersenyum, kemudian membantu memasukkan tas yang mereka bawa.Pak Samsul dan Bu Santi menyalamani ibunya. Nenek Rumana. Kemudian Nenek Rumana mengusap kepala mereka dengan penuh kasih sayang.“Sehat, Bu?” tanya Pak Samsul kepada ibunya. “Alhamdulillah sehat,” jawab Nenek Rumana.“Alhamdulillah,” sahut Pak Samsul. Kemudian mereka duduk di kursi. Tante Nova menyiapkan teh untuk kakak kandung dan iparnya.“Kalian udah yakin mau menjemput Lika?” tanya Nenek Rumana. Pak Samsul mendesah.“Yakin, Bu. saya juga nggak mau lama-lama menghukum Lika. Kata Bu Lexa dia juga sudah banyak berubah,” jawab Pak Samsul. Terdengar suara dia yang lelah, karena perjalanan jauh.“Iya, Bu. Biar dia bisa segera kerja lagi. Terlalu lama dia menganggur, takutnya ilmunya pada ilang,” sahut mamanya Lika. Nenek Rumana mendesah. “Iya, kasihan ilmunya mubadzir terlalu lama di anggu