"Sepertinya aku ambil lorong yang ini saja," gumamnya memutuskan. Ia kembali melanjutkan langkahnya, masih dengan dua kristal yang masih di dalam genggaman. Langkah demi langkah ia ambil dengan kewasapadaan tinggi. Hingga ia membolakan mata saat melihat satu hewan bertubuh besar, hewan berkaki banyak yang tak lain adalah laba-laba. "Besar sekali, apakah ini yang dimaksud naga tadi?" gumam Austin bersamaan dengan langkah yang terhenti. Ia berjalan mengendap-endap, tanpa diduga laba-laba yang sedang tertidur itu membuka matanya dengan sempurna. Mata berwarna biru, kontras dengan kristal yang ada di goa tersebut. Tatapannya seolah marah pada pria yang sudah memasuki kekuasaannya. Laba-laba itu mengangkat tubuhnya, terbangun dan melangkah dengan perlahan. "Apa yang harus kulakukan? Haruskah kubakar saja laba-laba ini?" gumamnya bingung. Austin mengangkat tangan bersamaan dengan langkahnya, ia mengeluarkan api dari tangan tersebut dan mengarahkannya pada laba-laba tersebut. Sialnya
'Panas sekali,' batin Austin merasakan energi yang memasuki tubuhnya. Tubuh seakan tebakar hingga menghancurkan tulang, meski begitu ia hanya mengeluarkan keringat dengan kulit memerah. Mata masih terus terpejam, tertutup rapat masih menahan kesakitannya. Hingga sakit itu mulai berangsung hilang, bulir merah kehitaman mulai keluar dari pori-porinya. Hingga mengeluarkan berbau yang sangat amis dan menyengat. Begitu Austin membuka mata, ia melihat banyak genangan darah terhampar luas di hadapannya. Ia seperti orang yang kehilangan arah, napasnya tersengal karena energi yang memaksa masuk ke dalam tubuhnya. "Apakah ini dimensi lain? Ke mana naga itu?" gumamnya. Austin masih memperhatikan sekitar. Meski berbeda dengan dimensi sebelumnya, tapi dimensi ini juga tak memiliki apa pun di dalamnya. "Ya, aku harus mencari pohon itu lagi, entah siapa atau hewan apa lagi yang akan mendatangiku," gumamnya, mulai berdiri dan melangkah tanpa arah. "Aku harus cepat, kenapa Tuan Aldrik dan Kakek
"Susui dulu anak kita," balas Austin sambil tersenyum. Austin terus memainkan tangan nakalnya di benda kenyal itu. Gairahnya pun terpancing karena tangan Kenny palsu yang saat ini sedang meraba pahanya. Austin memejamkan matanya, merasakan sensasi nikmat dari sentuhan tangan wanita itu. "Lusy! Tolong bawa Tuan muda ke kamarnya," pinta Kenny palsu memberikan bayi yang ada di tangannya. "Baik, Nyonya," balas Lusy palsu sambil meraih bayi tadi. Tanpa Austin sadari bayi yang dibawa Lusy tadi tidak meminum susu dari dada Kenny palsu, tapi ia meminum darah. Bahkan jejak darah itu tertinggal di sudut bibirnya. "Sayang, aku sangat merindukanmu," bisik Kenny palsu dengan nada sensual nan menggoda. Ia pun mendudukkan diri di pangkuan Austin. Saling berhadapan hingga kedua inti gairah mereka bersatu, meski terhalang pakaian yang dikenakannya. "Aku juga sangat merindukanmu," balas Austin yang sudah terbakar gairah. Austin mulai memajukan wajahnya, mencumbunya dengan rakus. Melupakan kenya
"Aku akan memberitahumu, asalkan kau memenuhi syarat yang kuberikan," balas Alana masih bergelayut manja pada Austin. "Katakan, jangan membuang waktuku." Austin menatap wajah Alana, wanita cantik itu tersenyum saat mendapatkan tatapan dari pria yang baru saja mencuri hatinya. "Bawa aku bersamamu dan nikahi aku," pinta Alana. "Kau membual, aku tidak mungkin menikahi iblis sepertimu," balas Austin marah dan langsung mengempaskan tangan wanita tersebut. Alana mengepalkan tangannya, ia menatap Austin dengan senyum paksa. 'Baiklah, sekarang mungkin kau tidak mau menikahiku, tapi setelah aku sudah berada di dunia manusia maka kau harus menikahiku,' batinnya berencana. "Kenapa kau tersenyum seperti itu? Sekarang katakan di mana kau menyimpan tongkat putih itu," tanya Austin lagi. "Baiklah, aku akan mengatakannya, asal kau berjanji akan membawaku bersamamu keluar dari dimensi ini," balas Alana. Austin tidak mengatakan persetujuannya, ia hanya menganggukkan kepala pada wanita yang ada
"Abaikan permintaannya, lebih baik cepat kau naik. Jangan menghabiskan waktumu untuk iblis itu," ucap naga merah memperingati. Austin mengangguk antusias, ia meloncat ke tubuh naga dan terbang meninggalkan kekesalan Alana. "Berengsek! Awas kau, lihat saja, aku akan berusaha keluar dari sini dan memasuki duaniamu. Aku akan menghancurkanmu dan juga manusia lainnya," maki Alana dengan dendam yang baru saja tersemat di hatinya. "Bagaimana dia bisa berada di lembah itu? Apa kesalahan yang telah dia perbuat?" tanya Austin. "Kau tak perlu tahu, itu bukan urusanmu. Lebih baik kau fokus saja pada tujuanmu," balas naga merah yang enggan menceritakan kisah Alana. "Baiklah, setelah ini apa yang harus aku lakukan?" tanya Austin. "Seperti sebelumnya. Kau harus merendam tubuhmu dan bawa tongkat itu menuju dimensi lain. Kau harus menyelesaikan tugas terakhirmu di sana," balas naga. "Benarkah itu adalah tugas terakhirku? Tidak ada yang dimensi lain lagi yang harus kukunjungi setelahnya?" tanya
"Apa yang anda katakan Tuan? Bahaya apa yang anda maksud?" tanya Kenny cemas. Seketika langit menjadi hitam, lalu mulai menjatuhkan hujan dan membasahi semua orang yang ada di lapangan. "Tetap di tempat, jangan bergerak," pinta Tuan Aldrik. Semua tetap di tempat, membiarkan tubuh mereka basah karena hujan yang terus mengguyur bumi. Tapi Kenny masih penasaran dengan ketakutan yang Tuan Aldrik gumankan. Tanpa diduga bayi yang ada di gendongannya tersenyum, tertawa dan terbang dari gendongan sang Ibu. "A-anakku!" teriak Kenny dengan tangan menggantung diudara. Bayi laki-laki itu seperti bermain dengan hujan di udara, bahkan petir yang menyambar seolah tak membuatnya takut. Lain halnya dengan Kenny, wanita itu sangat ketakutan melihat apa yang terjadi dengan anaknya. "Biarkan saja, alam sedang menyambutnya," ucap Tuan Aldrik. Nyonya Aldrik meraih tubuh Kenny, ia menenangkan Kenny dengan memeluknya. "Biarkan saja Nak, kau tidak lihat tawa bahagia anakmu. Nanti dia akan turun," ucap
"Baik, Tuan," balas rombongan pria lain. Mereka masih berjalan hingga matahari sudah berada tepat di atas kepala. Taun Aldrik senantiasa menemani pria bertubuh gempal untuk mengistirahatkan diri. Ia pun duduk di bawah pohon rindang, sambil menatap pintu masuk desa yang terlihat dari atas bukit. Hatinya merasa cemas, masih mengharapkan kedatang Tuan Arthur untuk menolong mereka. Penglihatan tentang kehancuran itu terlihat samar, meski begitu ia mengetahui waktu tragedi itu terjadi. Ia melihat langit keemasan, semakin terang akibat kebakaran yang Perneco lakukan. "Ayo kita jalan lagi," ajak Tuan Aldrik pada pria di sampingnya. Pria bertubuh gempal itu menganggukkan kepalanya, ia berjalan meski tertatih dengan sekarung persediaan makanan di punggungnya. "Tuan, anda duluan saja. Aku akan mengikutimu dari belakang," ucap pria itu karena tak enak hati saat Tuan Aldrik mengimbangi langkahnya. "Kita jalan bersama, aku pun sedang mengintai sekitar. Takut Perneco tiba-tiba mengetahui kebe
"Bunuh mereka semua! Cepat bawa wanita itu dan anaknya kepadaku!" perintah Nick yang sudah berada di kawasan air terjun. Para warga yang belum memasuki goa terkejut dan panik akan kedatangan pasukan Perneco di bawah sana. Pasukan Perneco menembaki mereka dengan membabi buta. Hingga banyak warga yang tertembak dan terjatuh ke bawah kolam. Kolam bening nan indah itu tercemar dengan darah para warga yang berjatuhan. Semua panik dan berlari menuju goa yang masih dibuka oleh bayi Kenny. "Tidak! Nyonya! Cepatlah anda masuk, biar kami yang menghalanginya," ucap salah satu warga. Kenny pun tak kalah panik, meski anaknya memiliki kekuatan tapi ia tak mengerti cara melawan mereka. "Cepatlah masuk, utamakan wanita dan anak-anak! Cepat!" perintah Kenny memburu. "Tidak ada waktu Nyonya," timpal warga lain saat pasukan Perneco sudah mulai menaiki batang besar. "Cloe! Bawa masuk Nyonya dan Tuan muda. Biar kami di sini menaham mereka," timpal pria lainnya yang diangguki oleh para wanita yang b
"Semoga dia sudah tiada, aku ingin hidup dengan damai bersamamu dan juga putra kita," ucap Kenny penuh harap. Kenny membiarkan suaminya untuk beristirahat, sedangkan ia menunggu dengan tenang di dalam ruangan itu. Edward mulai membantu para pengawal untuk merapikan kota. Begitu juga dengan Tuan Arthur dan Peter. Meski kerusakan terlalu parah di Madripoor city, tapi mereka bisa mengendalikannya. Belum lagi kekayaan Nick yang sudah terendus oleh Tuan Arthur dan juga Peter. Keduanya mengambil alih semua perusahaan juga aset, lalu menjualnya atas persetujuan pemerintah setempat. Selama ini Nick dan juga putranya bersembunyi di perbatasan kota dengan penyamaran. Bahkan perusahaan besar atas nama Palmer bisa berdiri dengan megah tanpa terendus oleh Tuan Arthur dan pengawalnya. Keduanya menjadikan kekayaan Nick untuk memperbaiki kota, memberikan santunan pada para keluarga yang terluka juga berduka. Membangun kembali tata kota yang telah dihancurkan oleh Nick Perneco. "Pantas saja dia bi
"Tenanglah sayang, suamimu pasti akan selamat. Tuhan pasti akan membantunya," ucap Julie. Julie meraih tubuh anaknya dan menuntunnya ke bangku panjang di depan ruang tindakan. Kenny masih saja menangis dan terisak di dalam dekapan sang Ibu. Membuat Tuan Edward pun merasakan kesedihannya. Hingga tak berselang waktu lama Nyonya Aldrik keluar dengan tersenyum. Ia menghampiri Kenny dan memeluknya. "Tenanglah sayang, suamimu baik-baik saja. Dia hanya pingsan karena energinya terkuras habis. Lebih baik kita bawa suamimu ke ruang rawat sekarang," ucap Nyonya Aldrik menenangkan Kenny. "Benarkah Nyonya?" tanya Kenny sambil menghapus air matanya. "Untuk apa aku berbohong, sekarang para perawat sedang bersiap untuk membawa suamimu ke ruang rawat. Mintalah para pengawalmu untuk mengambil pakaian ganti," balas Nyonya Aldrik yang membuat hati Kenny, Julie juga Tuan Edward merasa lega. "Syukurlah, tidak ada yang harus kita cemaskan. Aku sudah panik saat melihatnya mengeluarkan banyak darah. Ak
"Sudah saatnya kau menyusul putramu," ucap Austin. "Kau membunuh putraku?! Berengsek!" maki Nick dengan tatapan penuh amarah. "Mungkin sekarang dia sudah merengang nyawa karena kekejaman pasukanku," ucap Austin sambil menyeringai. "Berengsek! Kau yang harus mati lebih dulu!" Nick langsung berdiri, memusatkan perhatiannya pada Austin lalu mengeluarkan tembakan api yang sangat luar biasa. Austin yang sudah memokuskan kekuatan juga pikirannya melompat tinggi ke udara untuk menghindari serangan Nick. Tanpa menunggu lama Austin langsung menggerakkan tongkat naga di tangannya. Serangannya tepat sasaran, kekuatan yang ia keluarkan membuat Nick tak berkutik. Belenggu darah yang ia keluarkan sama deperti Palmer saat ia menangkapnya. "Berengsek! Kekuatan apa ini?" tanya Nick terkejut dan terus berusaha melepas belenggu benang darah yang melilit tubuhnya. "Bergeraklah terus dan kau akan menyusul kematian putramu," balas Austin terkekeh. "Tapi tenang saja, aku tak akan memberimu kematian y
"Bersiaga!" perintah Austin saat melihat rombongan Perneco mulai memasuki hutan. Tuan Edwar memberikan keamanan CCTV di dekat markasnya. Semua itu untuk berjaga jika ada penyusup datang, bahkan alarm pendeteksi pun telah ia pasang untuk memberikan peringatan pada pasaukannya untuk bersiap. "Terima kasih karena kau telah mengantar nyawamu sendiri ke sini," gumam Austin sambil melihat layar yang ada di hadapannya. Pria tampan nan gagah itu turun dan menunggu Nick di gerbang markas. Ia tak akan membiarkan Nick dan pasukannya memasuki markas, apalagi menghancurkannya. Niatnya hanya menggiring Nick ke padang gersang dan membunuhnya tanpa menumbulkan kekacauan lebih. "Dad, lebih baik siagakan pasukan di depan markas. Sisakan untuk berjaga di dalam. Aku akan memastikan untuk menggiring Nick ke padang gersang," pinta Austin. "Kau tenang saja, pasukanku akan menahan mereka di sini. Kau fokus saja dengan misimu, habisi pria berengsek itu agar tak menjadi racun di kehidupan Max nanti," bala
"Apa maksudmu?" tanya Palmer takut.Ia menatap ngeri pada Austin yang kini sudah ada di hadapannya. Austin menyeringai puas melihat ketakutan Palmer, ia menjulurkan tangannya hendak meraih wajah Palmer. Tapi pria itu lebih dulu meludahi wajah Austin, hingga tanpa sadar Austin mencekik dan membuat kekuatannya keluar begitu saja."Aaa!...." erangan kesakitan terdengar di pendengaran yang lain. Hingga Austin melepaskan tangannya, karena kekesalannya itu leher Palmer terbakar. Pria itu tak kuasa menahan rasa sakitnya, bahkan tangan tak sanggup bergerak untuk menyentuh area leher."Berengsek!" maki Palmer di tengah erangannya.Austin menatap Palmer dengan penuh kebencian, ia keluar dan membasuh wajahnya yang terkena air liur pria di dalam sana. "Siksa dia semau kalian! Bersenang-senanglah dengan tubuhnya," perintah Austin pada anak buah Tuan Edward. "Baik Tuan," balas mereka."Ingat, jangan berikan kematian yang mudah padanya. Buat dia memohon kehidupannya," ucap Austin lagi memperingati
"Cepat masuk! Jangan banyak bicara!" bentak penjaga penjara. Pria bertubuh kekar itu mendorong tubuh Plamer dengan senjata laras panjang di tangannya. Austin menyeringai saat tubuh Palmer dipenjarakan di penjara khusus. "Sejak kapan Daddy memiliki penjara khusus seperti itu?" tanya Austin melihat oenjara yang hampir sama seperti penjara buatan Robert dulu. "Sudah lama, biasanya penjara itu dipakai untuk penjahat kelas tinggi. Semua itu untuk menghalaunya mencapatkan signal dan meminta bantuan dari kerabatnya," balas Tuan Edward. "Apakah penjara itu juga tahan api?" tanya Austin lagi. "Sepertinya begitu, aku membuatnya khusus menggunakan besi tebal. Agar mereka tak bisa menghancurkannya. Bahkan lantainya pun terbuat dari besi yang sama agar mereka tak bisa mengelabui kami," balas Tuan Edward. "Kau sungguh luar biasa Dad," puji Austin."Ayo kita ke lantai atas. Lebih baik kita bersantai di sana sejenak sebelum kembali ke kota," ajak Tuan Edward. Austin dan Tuan Arthur menganggukk
"Dad, kau punya markas?" tanya Kenny terkejut. Tuan Edward menganggukkan kepalanya pada Kenny. Ia tak ingin menutupi apa pun dari sang putri. "Benar, Daddy punya pasukan sendiri di sini yang dikhususkan untuk menjaga kekuarga kita. Semua itu Daddy buat untuk melindungi kalian. Tak bisa dipungkiri jika perusahaan Thomson mengundang banyak orang untuk melakukan kejahatan. Bahkan dulu ada banyak orang yang mengincarmu," balas Tuan Edward. Julie yang berada di sana pun tercengang, ia tak menyangka jika suami yang selama ini ia hinakan juga memiliki kekuatan di belakangnya. Rasa bersalah itu menyelimuti hatinya, Julie tertunduk malu dengan sikap yang ia berikan dulu pada suaminya. "Aku masih tak menyangka, kalian para pria terlalu banyak rahasia," gumam Kenny sambil menggelengkan kepalanya. "Semua itu untuk melindungi keluarga yang dikasihi. Sekarang kalian masuklah ke dalam, kami ingin ke markas daddymu," perintah Tuan Arthur pada Kenny dan Julie. Keduanya mengangagguk, Kenny membaw
"Tunggulah kehancuranmu," gumam Austin saat mengendarai mobilnya. Ia memilih untuk mengendarai mobilnya sendiri, melesat dengan para mengawalnya di belakang. Bahkan tak ada satu kendaraan pun yang bisa menghalau perjalanannya menuju kediaman Dora. Perumahan mewah dengan pengaman ketat bahkan tak mampu menghentikan rombongan Austin. Mereka tunduk saat tahu siapa yang memasuki kawasannya. "Bodoh sekali, bersembunyi di tempat seperti ini," maki Austin begitu melihat banyak penjagaan di depan rumah Dora. "Lumpuhkan mereka semua dalam diam," perintah Austin karena tak ingin membuat kegaduhan di lingukungan itu. Tapi sayang, kedatangan rombongannya sudah terendus oleh pengawal Palmer. Mereka sudah bersiaga di depan rumah dengan senjata di tangannya. Berbeda dengan Palmer yang saat ini sedang bermain gila dengan Dora. Mereka masih memacu kenikmatan sampai suara tembakan mengalihkan kegiatan mereka. "Berengsek! Apa yang terjadi?" maki Plamer tanpa menghentikan kenikmatannya. Gerakanny
"Benarkah mereka mengikuti kita sampai ke sini?" tanya Kenny cemas ambil membekap Max yang masih menatap ke arah jendela. Austin mengangguk, tak menutupi apa yang baru saja ia lihat. Pria itu langsung keluar melompati jendela dan melihat penyusup yang baru saja meregang nyawa. Austin melihat pergelangan tangan mereka, dan benar saja, inisial P ada di sana. "Perneco tidak main-main dengan dendamnya," gumam Austin. "Pengawal!" teriak Austin memanggil pengawalnya yang berjaga. Paraengawal berlarian ke arahnya, lalu tercengang melihat dua musuh yang sudah tak memiliki nyawa. Mereka menunduk, meminta maaf pada sang Tuan karena kelalaian yang mereka lakukan. "Maafkan kami Tuan, kami sangat ceroboh," ucapnya memohon ampunan. Mereka masih menundukkan wajah sebelum Austin memberikan pengampunanya. "Berjagalah, Perneco pasti akan datang lagi, bereskan mayat ini. Beruntung anakku menyadari kedatangannya," balas Austin lalu pergi dari hadapan mereka. "Baik, Tuan," balas mereka bersamaan.