"Baik, Nyonya." Julie membolakan mata saat mendengar Austin memanggilnya dengan sebutan Nyonya. Pandangannya teralihkan ke wajah sang Ibu, terlihat Nyonya Thomson merasa heran dengan panggilan Austin pada Ibu mertuanya. Julie menarik lengan menantunya. "Pria bodoh! Jangan memanggilku seperti itu di sini," ucap Julie berbisik. "Kau memanggilnya apa tadi, Nak?" tanya Tuan Thomson. "Mommy, Kek," balas Austin berbohong. Julie menundukkan kepala, jantungnya sudah berdetak tak menentu, takut dengan kemarahan sang Ayah. Sedangkan di sisi lain, Edward dan Kenny melihat Austin dan Julie dengan tatapan tanpa ekspresi. 'Punya suami bodoh dan Mommy terlalu tamak,' ucap Kenny dalam hati sambil bersedekap dada. "Aku belum tuli Austin! Kau panggil dia apa tadi?!" tanya Tuan Thomson membentak. Austin menagngkat wajah, menatap Tuan Thomson dengan takut. "N-nyonya, Kek," balas Austin takut. Terlihat kemarahan dalam diri Tuan Thomson, ia meremas tongkat lalu melayangkan tongkat itu padA tubuh pu
"Ke mana sofa yang biasanya di sana?" gumam Kenny. Ia sangat yakin sekali pada saat terakhir ia bermalam masih ada sofa panjang di kamarnya. Kenny menatap Austin lalu memindai kamarnya. Ia merasa bingung dengan pertanyaan Austin, ia pun tak mungkin mengizinkan Austin untuk tidur di kasurnya. "Kau tidur saja di lantai," balas Kenny. Ia berjalan melalui Austin, mengambil selimut dan bantal di ruang penyimpanan. "Kau gunakanlah ini," ucap Kenny memberikan selimut dan bantal. Austin menerima meski terpaksa, ia tak masalah mau tidur di mana pun. Suhu dingin malam tak berpengaruh pada tubuhnya, hanya saja, ia tak terbiasa tidur di lantai. Austin menatap lantai yang ditunjung Kenny, ia berjalan lalu membentangkan selimut untuk menjadi alas tidurnya. Dengan acuh Kenny kembali membaringkan tubuh di kasur dengan memunggungi suaminya. Tak ada rasa kasihan di hati saat melihat Austin merebahkan tubuh di lantai. kenny menjemput alam mimpi, tapi Austin masih terjaga. "Kenapa tak bisa tidur s
"Cukup Julie! Perkataanmu selalu saja tak mengenakkan," balas Nyonya Thomson. Julie datang ke rumah utama, ia tak betah berlama-lama di gedung kedua. Begitu masuk mulutnya melontarkan penghinaan pada Austin. "Aku tak salah Mom, memangnya gembel seperti dia mampu membaca buku-buku Daddy? Pasti otaknya tak akan sanggup membaca buku-buku bisnis itu," ucap Julie lagi. Austin tersenyum mendengar penghinaan Julie. Ia merasa lebih dari mampu untuk mencerna isi buku-buku yang dimaksud. Julie tak mengetahui kepintaran yang dimiliki Austin, hingga ia terus menghinanya. Nyonya Thomson menggelengkan kepala melihat sikap anaknya, ia mengelus dada menatap jengkel pada Julie. "Sudahlah, mau dia bisa atau tidak bukan urusanmu. Mesti tak bisa pun tak masalah." "Terserah saja." Julie masuk ke ruang makan, ia berniat sarapan bersama kedua orangtuanya. "Panggil istrimu, kita makan bersama," pinta Nyonya Thomson pada Austin. Austin naik ke atas memanggil Kenny, begitu sampai di dalam kamar, ia bing
"Tak masalah, Mom. Ayo sayang kita keluar, aku sudah tak sabar ingin bekunjung ke prusahaanmu," ucap Julie bersemangat. "Tidak, kau tak perlu ke perusahaan. Kau tetaplah di rumah, tak perlu repot mengurusi perusahaan," balas Edward cepat. Julie menatap aneh pada suaminya, ia tak menyangka akan mendapatkan penolakan seperti itu. Bukan hanya Julie yang merasa aneh dengan penolakkan itu, Austin pun menatap Ayah mertuanya dengan pandangan heran. 'Mengapa Daddy tak membolehkan Mommy ke perusahaan? Bukankah hanya kunjungan biasa? Atau ada yang sengaja ia tutupi dari Mommy?' batin Austin menilai ekspresi Edward. "Kenapa kau melarangku? Apakah aku tak boleh berkunjung ke perusahaan suamiku sendiri?" tanya Julie. "Bukan seperti itu, aku sedang ada banyak pekerjaan, bahkan aku ada meeting dengan klien di luar. Kau pasti jenuh jika di sana sendiri," balas Edward. "Baiklah, jika begitu berikan aku uang belanja. Sudah lama aku tak melihat koleksi tas terbaru," ucap Julie sambil menengadahkan t
"Yasudah jika kau tak mau menjawabnya. Kau bisa menggunakan mobil di garasi, pilih saja mana yang kau inginkan." Nyonya Thomson sadar jika putrinya yang merampas mobil Austin, Austin pria baik yang tak mau membuatnya membenci sang putri. "Terima kasih, Nek." Austin pergi menuju garasi, ia melihat begitu banyak mobil terparkir di sana. Mulai dari mobil klasik jaman dulu, hingga mobil-mobil edisi terbatas. Ada satu mobil yang mendapatkan perhatiannya, mobil itu adalah mobil sport seperti miliknya dulu. Mobil dengan lambang kuda berwarna merah, membuatnya mengingat momen saat sang Ibu memberikannya sebagai hadiah. "Mobil ini sama persis dengan mobil pemberian Mommy dulu," gumam Austin sambil menyentuh mobil yang ia maksud. Austin meminta kunci pada penjaga garasi, ia mengemudikan mobil dengan senyum yanng mengembang. Momen indah itu masih terukir di dalam kepalanya. 'Semoga Mommy selalu menemani langkahku,' ucapnya dalam hati. Ia mencoba mengingat jalan menuju kantor Lea, meski ba
"Kau salah paham, mungkin Aurel rindu dengan daddynya dan menganggap Austin sebagai daddynya," balas Lea cepat. Kenny ternyata datang ke perusahaan Lea bersama asistennya. Ia berniat untuk mengajukan kerjasama demi membantu perusahaan temannya yang hampir menyentuh ambang batas kehancuran. Tapi Kenny dikejutkan dengan pemandangan yang ada di hadapannya, ia memiliki pemikiran jika Lea dan Austin memiliki hubungan sebelum Austin menikahinya. "Aku tak perduli hubungan kalian apa, tapi jika aku menemukan suatu kebohongan di antara kalian, aku tak akan segan untuk mengajukan perceraian dan mengahancurkan perusahaanmu," balas Kenny. Kenny sangat membenci sebuah pengkhianatan, ia memang tak mencintai Austin. Tapi pernikahan ini ia lakukan dengan kesadaran penuh karena baginya pernikahan untuk sekali seumur hidup. Terlebih pernikahan sangat sakral di mata Tuham. "Aku menjamin itu, tak ada suatu kebohongan pada hubungan kami. Maafkan Aurel yang tak sengaja memanggil Austin dengan sebutan it
"Aku tak memberikan harapan tinggi. Aku hanya menilai dengan apa yang aku lihat," balas Austin. "Apakah kau sangat yakin?" tanya Lea antusias. Austin menganggukkan kepala menjawab pertanyaan Lea. Lea merasa yakin karena Austin sendiri yang meyakinkannya. Entah kepercayaan dari mana hingga Lea mempercayai Austin sepunuhnya. Sedangkan Kenny, ia menatap heran pada suami yang ia anggap tak bisa melakukan apapun. 'Mengapa ia sangat yakin sekali? Tapi apa yang ia katakan adalah sebuah kebenaran. Kualitas RL sangat bagus pasti bisa menembus pasar di Madripoor City, Dia nampak berbeda dari biasanya, terlihat lebih pintar dari yang aku duga,' ucap Kenny dalam hati. "Baiklah, aku ingin mengambil resiko besar untuk itu. Tapi aku mohon bantuan Thomson Company untuk itu, aku tak memiliki banyak modal yang bisa dikeluarkan untuk membangun cabang baru," ucap Lea. "Tak masalah. Jangan pikirkan masalah modal. Aku siap membantumu meski harus menggunakan uang pribadiku," balas Kenny. "Terima kasih.
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Austin saat melihat Lea memegangi dadanya. "Y-ya ... aku baik-baik saja," balas Lea tergugup. Entah apa yang Lea rasakan saat berada di atas tubuh Austin. Ia merasa ada yang salah pada dirinya, terlihat salah tingkah saat melihat pria di hadapannya. "Baiklah ... kalau begitu aku pulang dulu, kau bisa kirimkan berkas melalu emailku." Austin keluar meninggalkan Lea yang masih mematung di tempatnya. 'Kenapa dia terlihat sangat aneh?' batin Austin. Austin keluar dengan beberapa paper bag di tangannya, ia tersenyum saat melihat isi paper bag yang dibawa. Sudah lama ia tak berkutat dengan berkas seperti dulu saat masih berada di kediaman Jacob. Ia membelah jalan raya dengan mobilnya, kali ini ia tak pulang ke rumah, melainkan bersantai di tepi danau. Musim salju sudah tiada, hanya ada kesejukan yang ia rasakan. Banyak juga pengunjung yang sedang berada di tepi danau untuk menikmati pemandangan yang indah. Tak hanya itu, Austin pun melihat begitu banyak pa
"Semoga dia sudah tiada, aku ingin hidup dengan damai bersamamu dan juga putra kita," ucap Kenny penuh harap. Kenny membiarkan suaminya untuk beristirahat, sedangkan ia menunggu dengan tenang di dalam ruangan itu. Edward mulai membantu para pengawal untuk merapikan kota. Begitu juga dengan Tuan Arthur dan Peter. Meski kerusakan terlalu parah di Madripoor city, tapi mereka bisa mengendalikannya. Belum lagi kekayaan Nick yang sudah terendus oleh Tuan Arthur dan juga Peter. Keduanya mengambil alih semua perusahaan juga aset, lalu menjualnya atas persetujuan pemerintah setempat. Selama ini Nick dan juga putranya bersembunyi di perbatasan kota dengan penyamaran. Bahkan perusahaan besar atas nama Palmer bisa berdiri dengan megah tanpa terendus oleh Tuan Arthur dan pengawalnya. Keduanya menjadikan kekayaan Nick untuk memperbaiki kota, memberikan santunan pada para keluarga yang terluka juga berduka. Membangun kembali tata kota yang telah dihancurkan oleh Nick Perneco. "Pantas saja dia bi
"Tenanglah sayang, suamimu pasti akan selamat. Tuhan pasti akan membantunya," ucap Julie. Julie meraih tubuh anaknya dan menuntunnya ke bangku panjang di depan ruang tindakan. Kenny masih saja menangis dan terisak di dalam dekapan sang Ibu. Membuat Tuan Edward pun merasakan kesedihannya. Hingga tak berselang waktu lama Nyonya Aldrik keluar dengan tersenyum. Ia menghampiri Kenny dan memeluknya. "Tenanglah sayang, suamimu baik-baik saja. Dia hanya pingsan karena energinya terkuras habis. Lebih baik kita bawa suamimu ke ruang rawat sekarang," ucap Nyonya Aldrik menenangkan Kenny. "Benarkah Nyonya?" tanya Kenny sambil menghapus air matanya. "Untuk apa aku berbohong, sekarang para perawat sedang bersiap untuk membawa suamimu ke ruang rawat. Mintalah para pengawalmu untuk mengambil pakaian ganti," balas Nyonya Aldrik yang membuat hati Kenny, Julie juga Tuan Edward merasa lega. "Syukurlah, tidak ada yang harus kita cemaskan. Aku sudah panik saat melihatnya mengeluarkan banyak darah. Ak
"Sudah saatnya kau menyusul putramu," ucap Austin. "Kau membunuh putraku?! Berengsek!" maki Nick dengan tatapan penuh amarah. "Mungkin sekarang dia sudah merengang nyawa karena kekejaman pasukanku," ucap Austin sambil menyeringai. "Berengsek! Kau yang harus mati lebih dulu!" Nick langsung berdiri, memusatkan perhatiannya pada Austin lalu mengeluarkan tembakan api yang sangat luar biasa. Austin yang sudah memokuskan kekuatan juga pikirannya melompat tinggi ke udara untuk menghindari serangan Nick. Tanpa menunggu lama Austin langsung menggerakkan tongkat naga di tangannya. Serangannya tepat sasaran, kekuatan yang ia keluarkan membuat Nick tak berkutik. Belenggu darah yang ia keluarkan sama deperti Palmer saat ia menangkapnya. "Berengsek! Kekuatan apa ini?" tanya Nick terkejut dan terus berusaha melepas belenggu benang darah yang melilit tubuhnya. "Bergeraklah terus dan kau akan menyusul kematian putramu," balas Austin terkekeh. "Tapi tenang saja, aku tak akan memberimu kematian y
"Bersiaga!" perintah Austin saat melihat rombongan Perneco mulai memasuki hutan. Tuan Edwar memberikan keamanan CCTV di dekat markasnya. Semua itu untuk berjaga jika ada penyusup datang, bahkan alarm pendeteksi pun telah ia pasang untuk memberikan peringatan pada pasaukannya untuk bersiap. "Terima kasih karena kau telah mengantar nyawamu sendiri ke sini," gumam Austin sambil melihat layar yang ada di hadapannya. Pria tampan nan gagah itu turun dan menunggu Nick di gerbang markas. Ia tak akan membiarkan Nick dan pasukannya memasuki markas, apalagi menghancurkannya. Niatnya hanya menggiring Nick ke padang gersang dan membunuhnya tanpa menumbulkan kekacauan lebih. "Dad, lebih baik siagakan pasukan di depan markas. Sisakan untuk berjaga di dalam. Aku akan memastikan untuk menggiring Nick ke padang gersang," pinta Austin. "Kau tenang saja, pasukanku akan menahan mereka di sini. Kau fokus saja dengan misimu, habisi pria berengsek itu agar tak menjadi racun di kehidupan Max nanti," bala
"Apa maksudmu?" tanya Palmer takut.Ia menatap ngeri pada Austin yang kini sudah ada di hadapannya. Austin menyeringai puas melihat ketakutan Palmer, ia menjulurkan tangannya hendak meraih wajah Palmer. Tapi pria itu lebih dulu meludahi wajah Austin, hingga tanpa sadar Austin mencekik dan membuat kekuatannya keluar begitu saja."Aaa!...." erangan kesakitan terdengar di pendengaran yang lain. Hingga Austin melepaskan tangannya, karena kekesalannya itu leher Palmer terbakar. Pria itu tak kuasa menahan rasa sakitnya, bahkan tangan tak sanggup bergerak untuk menyentuh area leher."Berengsek!" maki Palmer di tengah erangannya.Austin menatap Palmer dengan penuh kebencian, ia keluar dan membasuh wajahnya yang terkena air liur pria di dalam sana. "Siksa dia semau kalian! Bersenang-senanglah dengan tubuhnya," perintah Austin pada anak buah Tuan Edward. "Baik Tuan," balas mereka."Ingat, jangan berikan kematian yang mudah padanya. Buat dia memohon kehidupannya," ucap Austin lagi memperingati
"Cepat masuk! Jangan banyak bicara!" bentak penjaga penjara. Pria bertubuh kekar itu mendorong tubuh Plamer dengan senjata laras panjang di tangannya. Austin menyeringai saat tubuh Palmer dipenjarakan di penjara khusus. "Sejak kapan Daddy memiliki penjara khusus seperti itu?" tanya Austin melihat oenjara yang hampir sama seperti penjara buatan Robert dulu. "Sudah lama, biasanya penjara itu dipakai untuk penjahat kelas tinggi. Semua itu untuk menghalaunya mencapatkan signal dan meminta bantuan dari kerabatnya," balas Tuan Edward. "Apakah penjara itu juga tahan api?" tanya Austin lagi. "Sepertinya begitu, aku membuatnya khusus menggunakan besi tebal. Agar mereka tak bisa menghancurkannya. Bahkan lantainya pun terbuat dari besi yang sama agar mereka tak bisa mengelabui kami," balas Tuan Edward. "Kau sungguh luar biasa Dad," puji Austin."Ayo kita ke lantai atas. Lebih baik kita bersantai di sana sejenak sebelum kembali ke kota," ajak Tuan Edward. Austin dan Tuan Arthur menganggukk
"Dad, kau punya markas?" tanya Kenny terkejut. Tuan Edward menganggukkan kepalanya pada Kenny. Ia tak ingin menutupi apa pun dari sang putri. "Benar, Daddy punya pasukan sendiri di sini yang dikhususkan untuk menjaga kekuarga kita. Semua itu Daddy buat untuk melindungi kalian. Tak bisa dipungkiri jika perusahaan Thomson mengundang banyak orang untuk melakukan kejahatan. Bahkan dulu ada banyak orang yang mengincarmu," balas Tuan Edward. Julie yang berada di sana pun tercengang, ia tak menyangka jika suami yang selama ini ia hinakan juga memiliki kekuatan di belakangnya. Rasa bersalah itu menyelimuti hatinya, Julie tertunduk malu dengan sikap yang ia berikan dulu pada suaminya. "Aku masih tak menyangka, kalian para pria terlalu banyak rahasia," gumam Kenny sambil menggelengkan kepalanya. "Semua itu untuk melindungi keluarga yang dikasihi. Sekarang kalian masuklah ke dalam, kami ingin ke markas daddymu," perintah Tuan Arthur pada Kenny dan Julie. Keduanya mengangagguk, Kenny membaw
"Tunggulah kehancuranmu," gumam Austin saat mengendarai mobilnya. Ia memilih untuk mengendarai mobilnya sendiri, melesat dengan para mengawalnya di belakang. Bahkan tak ada satu kendaraan pun yang bisa menghalau perjalanannya menuju kediaman Dora. Perumahan mewah dengan pengaman ketat bahkan tak mampu menghentikan rombongan Austin. Mereka tunduk saat tahu siapa yang memasuki kawasannya. "Bodoh sekali, bersembunyi di tempat seperti ini," maki Austin begitu melihat banyak penjagaan di depan rumah Dora. "Lumpuhkan mereka semua dalam diam," perintah Austin karena tak ingin membuat kegaduhan di lingukungan itu. Tapi sayang, kedatangan rombongannya sudah terendus oleh pengawal Palmer. Mereka sudah bersiaga di depan rumah dengan senjata di tangannya. Berbeda dengan Palmer yang saat ini sedang bermain gila dengan Dora. Mereka masih memacu kenikmatan sampai suara tembakan mengalihkan kegiatan mereka. "Berengsek! Apa yang terjadi?" maki Plamer tanpa menghentikan kenikmatannya. Gerakanny
"Benarkah mereka mengikuti kita sampai ke sini?" tanya Kenny cemas ambil membekap Max yang masih menatap ke arah jendela. Austin mengangguk, tak menutupi apa yang baru saja ia lihat. Pria itu langsung keluar melompati jendela dan melihat penyusup yang baru saja meregang nyawa. Austin melihat pergelangan tangan mereka, dan benar saja, inisial P ada di sana. "Perneco tidak main-main dengan dendamnya," gumam Austin. "Pengawal!" teriak Austin memanggil pengawalnya yang berjaga. Paraengawal berlarian ke arahnya, lalu tercengang melihat dua musuh yang sudah tak memiliki nyawa. Mereka menunduk, meminta maaf pada sang Tuan karena kelalaian yang mereka lakukan. "Maafkan kami Tuan, kami sangat ceroboh," ucapnya memohon ampunan. Mereka masih menundukkan wajah sebelum Austin memberikan pengampunanya. "Berjagalah, Perneco pasti akan datang lagi, bereskan mayat ini. Beruntung anakku menyadari kedatangannya," balas Austin lalu pergi dari hadapan mereka. "Baik, Tuan," balas mereka bersamaan.