Siapa perempuan itu mas, katakan!" Siska berteriak tepat di wajah Agus sang suami, mereka sedang makan saat Siska menemukan kon*om bekas pakai di dalam tong sampah kamar mandi."Perempuan apa?" Agus berkilah, ia masih sibuk memainkan ponselnya sembari menyeruput kuah panas soto yang di beli Siska untuk sarapan."Ini!" Siska melempar begitu saja alat kontrasepsi itu ke atas meja, tepat di sisi mangkuk milik Agus yang masih mengepul."Kau gila ha! Aku sedang makan!" Teriak Agus, ia melihat istrinya seolah ingin menelannua bulat-bulat."Katakan siapa wanita itu!" Tanya Siska lagi.Agus hanya tersenyum sembari mengalihkan pandangan. "Ada apa denganmu, bukankah sangat menyenangkan tau aku punya wanita lain?"Prang!Siska membanting mangkuk makan suaminya, kuah bersama nasi panas itu bercecer di lantai ruang makan."Apa maksud ucapanmu!" Teriaknya sembari menatap Agus yang sudah berdiri menahan amarah."Aku yang harusnya tanya apa maksudnya! Jangan kamu kira aku tak tau juga kelakuanmu Sisk
Seluruh kampung membicarakan Mega, wanita yang mereka pikir udik dan kampungan kini berubah jadi berbeda. Kemarin dua kali mobil pikup masuk pelataran rumahnya, membawa mesin cuci, kulkas lalu lemari pakaian jati yang kokoh. Siti sang mertua hanya mengintip dari balik tirai sisi rumahnya, ia masih bisa melihat sedikit pelataran rumah anak lelakinya.Lalu sekarang sebuah mobil kembali membawa motor terbaru turun ke pekarangan rumah itu."Kerja apa sih si Mega itu, tiba-tiba saja kaya raya begitu!" Ucapnya sendiri, setengah berbisik."Ngapain di situ, masuk sana!" Harun keluar dari dalam rumahnya, sejak sidang beberapa waktu lalu, Siti memang tak di perbolehkan keluar rumah kecuali hanya untuk belanja."Iya ini mau masuk, jangan galak-galak kenapa sih pak." Ucap siti kesal, bibirnya terasa kebas lama tak bicara dan berbaur dengan tetangga sekitar."Aku sabar padamu, tapi kamu malah ngelunjak!" Ucapnya kesal masih menatap wajah istrinya dengan dingin.Siti berangsut masuk sementara Harun
"aku nggak rela mak!" Teriak Siska terdengar dari luar, dengan cepat Harun masuk ke dalam rumah dan terkejut melihat anaknya sudah menangis terduduk di lantai rumah." Ada apa?" Tanya Harun, ia menatap Siska dengan tajam."Itu pak, si Agus bener selingkuh! Ternyata selama ini si Widya itu selingkuhan si Agus!" Teriak Siti, ia mengusap punggung sang anak, berusaha menenangkan."Lalu kenapa nangis begitu?" Tanya Harun kembali menatap tajam ke arah istri dan anaknya.Siti mengerutkan alisnya. "Bapak ini bagaimana to, suaminya itu selingkuh sama pembantu sendiri, masak masih tanya kenapa nangis begini!" Jawab Siti kesal, ia merasa suaminya sudah keterlaluan menyepelekan masalah anaknya."Lho maksud Bapak itu kan sama-sama selingkuh, masak di selingkuhi nangis!" Jawab Harun singkat membuat ibu dan anak itu saling pandang.Sebenarnya, bila dapat di tanya sekarang, Siska juga tak menyangka sakitnya di khianati tak sebanding dengan bahagianya saat menghianati kepercayaan sang suami."Semua in
" Bapak terus saja bela menantu kesayangan Bapak itu!" Siska menjawab ketus."Bapak tidak bela Mega, Bapak sedang menyayangkan tindakanmu yang di luar nalar Siska.""Bapak itu bela Mega!" "Cukup mbak, dari pada kamu urusi Mega, urus dulu masalahmu dan mas Agus mbak!" Ridho yang sejak tadi diam tak tahan juga akhirnya."Jangan sok perduli kamu dho, ajari saja istrimu sopan santun! Dasar perempuan udik, baru juga punya uang sedikit, sudah sombong sekali."Mega tersenyum kecut mendengarnya. "Mas Ridho benar mbak, urus saja masalah mbak dengan mas Agus, jangan sampai semua yang mas Agus punya terlepas dari tangan mbak Siska, nanti apa yang bisa mbak sombongkan lagi?"Dengan wajah puas Mega berjalan meninggalkan rumah mertuanya, sengaja ia lewat di depan rumah agar bisa menatap wajah Siska lebih dekat."Hati-hati mbak, Widya itu cantik dan sopan jika bicara." Ucap Mega lagi membuat mata Siska membelalak kesal."Heh apa maksudmu bilang begitu!" Siska berdiri bersiap memarik baju Mega, namu
Mas, aku punya berita baik!" Mega berseru saat langkah kaki Ridho terdengar bersama salam yang sudah di jawabnya.Wajah Ridho tak menunjukkan ketertarikan pada kalimat sang istri, ia hanya terseny sebentar sambil mengusap ujung kepala Mega sebelum berlalu ke belakang."Mas..." Gumam Mega lirih, ia ingin mendengar pendapat suaminya namun urung karena sikap dingin Ridho.Mega terduduk diam, cukup lama hingga Ridho kembali dan duduk di sisianya."Nanti malam mas dan Bapak berencana ke rumah mas Agus, kamu nggak apa di rumah sama anak-anak?""Soal mbak Siska lagi?" Tanya Mega memastikan, rupanya ia masih kalah dengan segala urusan tentang kakaknya itu.Tanpa rasa bersalah Ridho menganggukkan kepala, ia sedang tak memahami apa yang di rasakan istrinya."Masalah mbak Siska bukan masalah sepele dek, bisa saja mereka harus berpisah karena masalah ini."Mega menghela napas pelan. "Memang kenapa kalau mereka berpisah?"Mega berucap lirih.Ridho menatapnya lekat. "Sebegitu bencinkah kamu dengan m
"Bagaimana bisa kamu menikah lagi gus, bagaimana bisa kamu melakukan ini semua tanpa persetujuan Siska?" Harun menggebrak meja, ia bahkan berdiri menunjuk-nunjuk menantunya."Bapak jangan menunjukku begitu!" Agus ikut terbawa emosi, ia berdiri tanpa rasa hormat seolah menantang mertuanya."Mas, jangan berani dengan orang tua!" Ridho mengingatkan, bagaimanapun setatus Harun masihlah mertua bagi Agus."Bapak yang mulai dulu!" Ucap Agus kesal, ia menghela napas seolah berusaha membuang amarah."Dengar ya, kalian yang bertamu kemari, jika bicara baik-baik, aku akan ladeni baik, jika membentakku begitu, aku juga tak segan berbuat lebih." Ucap Agus lagi, ia lalu duduk dan menyandarkan punggungnya pada sofa."Teganya kamu mempermainkan pernikahan!" Ucap Harun yang akhirnya ikut duduk meremas jemarinya sendiri.Seketika mata nyalang Agus menatap tajam, seolah meremehkan arti kata sakral yang di ucaokan mertuanya. "Lelucon macam apa ini!" Ucapnya dengan senyum remeh."Pernikahan siapa yang bap
"kita pulang Dho!" Harun berdiri dari tempatnya duduk, ia memutuskan mengakhiri pembicaraan malam itu, ia berjalan keluar rumah menantunya."jika kamu memang tak bisa mempertahankan Siska, aku minta segera urus surat cerai kalian!" "Besok saya akan ke rumah pak, saya harus bertemu Siska lebih dulu." Ucap Agus saat mengantar Harun ke teras rumahnya.Harun tak menjawab, ia pergi begitu saja ke arah sepeda motor anaknya, semenyara Ridho yang melihat Bapaknya menatap lagi ke arah Agus."aku pulang dulu mas.""Ya, sampaikan maafku untuk Bapak, ini memang berat Dho, tapi mungkin sudah jalan terbaik." Ucapan Agus terdengar bagai pembelaan di telinga Ridho, ia memilih tak menjawab."Asalamualaikum!" Ucap Ridho lagi lalu berjalan mengikuti Harun ke arah motornya, mereka menerjang lebatnya hujan bersama jawaban dan kebenaran yang akhirnya mematahkan harapan.****Ridho masuk rumah dengan tubuh basah, Mega segera mengambilkan handuk untuk suaminya, dan menutup tubuh lelaki itu."Mas mau mandi
"Aku mau bicara mas." Mega meletakkan sendok makanya dan menatap sang suami.Pagi ini Mega dan Ridho duduk di ruang makan, makan bersama dua putri kecilnya sebelum Ridho berangkat ke ladang."Bicara apa?"Mega menghela napas, seakan mengumpulkan keberanian untuk mengatakan sesuatu. "Ceritaku dapat kontrak untuk di filmkan." Ucapnya pelan lalu menatap kembali suaminya.Ridho yang terkejut mengambil gelas minum dan meneguk habis air putih di dalamnya. "Film?" Ulangnya lagi, di jawab anggukan kecil Mega."Ya, film. Apa mas setuju?"Ridho tersenyum. "Tentu saja dek, ini kesempatan besar kan, kamu bisa melebarkan mimpimu di sana."Jawaban Ridho membuat senyum di wajah Mega mengembang, ia takut bila keinginannya hanya akan jadi angan tanpa restu sang suami."Jadi mas setuju aku menerima tawaran itu?""Ya tentu saja sejutu, terima saja tawarannya.""Meski harus keluar kota?Kalimat tanya Mega membuat Ridho diam seketika. "Apa harus ke luat kota?""Iya, ke Jogja. Mereka bilang aku harus di sa
POV RidhoAkhirnya sepulang kerja aku bersama Nadila menemui Niko, anak lelakiku sedang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit saat aku datang. Pembantu Nadila yang menjaga nya selama Nadila kerja, anak itu begitu bahagia melihatku datang."Papa!" Ucapnya dengan senyum tanpa cahaya, wajahnya terlihat pucat."Hay ganteng, kenapa kok sakit."Niko diam, dia melirik ke arah Nadila dengan wajah ragu."Bicara saja, momi tidak akan marah." Ucap Nadila seolah memberikan izin pada anaknya.Niko melihat ke arahku dan memelukku erat, kini aku merasakan tubuhnya berguncang, dia menangis dalam dekapanku."Hey jagoan, kenapa menangis?""Papa nggak mau nikah sama mama ya?"Kalimat tanya itu langsung membuat lidahku kelu, dari mana dia dapatkan kata itu, apakah Nadila menceritakan semua masalah kami kepada Niko juga?Aku menatap manik mata anak lelakiku itu, ada luka dan kecewa di sana, sorot yang justeru menggoyahkan keputusanku dan membuatku berpikir ulang untuk mempertimbangkan juga hati Niko
Mas Ridho kesal padaku, hari ini kepergianku ke Jogja sukses membuatnya tak bicara padaku saat aku berpamitan. Bebrepa kali dia meminta aku meminjamkan mobilku padanya, namun aku terus beralasan banyak dan sekarang mobil ini aku bawa pergi ke Jogja, tentu saja itu membuat wajahnya masam seperti limau.Aku menitipkan anak-anak pada seorang wanita yang mbak Dewi cari untuk merawat Alina dan Alika selama aku pergi, jika pekerjaan ya baik dan bagus, mungkin aku akan memperkerjakan dia untuk terus membantuku merawat mereka.Perjalananku ke Jogja tak memakan banyak waktu, aku tiba di hotel tempat kami menginap sebelum siang. Sampai di sana beberapa orang sudah mengurus segala keperluanku. Hari ini acara syukuran syuting pertama, tentu saja kami semua sudah sangat siap menjalankan semua jadwal yang sudah di tentukan."Bu Mega mau makan dulu atau ke kamar?""Ke kamar saja, saya belum solat duhur, nanti saya menyusul ke ruang makan ya." Ucapku pada gadis manis bernama Kori, dia bertugas memban
Hari yang di tunggu tiba, mobil yang aku impikan kini di antar hingga terparkir di depan rumah. Sebuah mobil sedan terbaru keluaran Henda dengan warna hitam klasik yang mewah. Mbak Siska berbisik bersama adik bapak yang lain, sementara emak terus menatap tak percaya ada mobil baru di depan rumah anak lelakinya."Wah Ridho, baru juga berapa hari kerja sudah bisa beli mobil." Sapaan lembut para tetangga sampai ke telingaku juga.Mas Ridho yang beli mobil ini? Dia saja makan ikut aku, bagaimana bisa beli mobil baru!Aku bicara saja dalam hati, masih baik tak aku umbar aibmu mas di depan semua warga dan keluarga besarmu. Bahkan mbak Siska yang sejak tadi hanya mengintip dari rumah Bapak, akhirnya keluar juga setelah mendengar komentar pujian untuk adiknya."Mas, tanda tangan dulu." Ucapku menarik tangan mas Ridho masuk ke dalam rumah."Berkas apa ini?""Serah terima mobil mas, kan tetap butuh tanda tangan suami untuk bisa di terima pengajuannya mas." Ucapku sambil memberikan dua map denga
Setelah pertemuan itu, Nadila mengajak paksa Niko pulang. Mas Ridho ingin melindungi anak lelakinya, tapi tak bisa berbuat banyak karena secara hukum Niko anak dari Nadila seorang."Bagaiaman ini bisa terjadi, bagaimana bisa kamu punya anak dari wanita lain Ridho!" Emak duduk bersandar pada dinding rumahnya, kami berkumpul di sini setelah Nadila pulang."Maafkan Ridho mak, Ridho tidak tau jika Nadila hamil dulu.""Terus apa yang kamu tau? Apa waktu kalian buat anak kamu juga nggak merasakan?"Mas Ridho terdiam, aku masih duduk di dekat pintu, mencari udara untuk membantuku bernapas sekarang."Bukan begitu mak, masalahnya saat itu kami sama-sama tidak bisa mengendalikan diri.""Otakmu itu yang tidak terkendali Ridho, bikin malu saja, mau di taruh mana wajah bapak ini!"Mas Ridho tak lagi menjawab, ia memilih diam dan menundukkan kepala, percuma juga ia menjelaskan pada bapak, hati lelaki paruh baya itu sedang terluka hebat."Sekarang bagaimana denganmu Mega, bapak sudah tidak bisa lagi
"Bagaimana bisa kamu jadi ibu yang baik Dila, sementara kamu tak bisa menjaga amarahmu sendiri!" Ucap mas Ridho dan membuat aku tersenyum lebar karena mendapat pembelaan."Bukan begitu mas, kamu salah paham!" Ucapnya mendekati mas Ridho yang berdiri di ambang pinti ruanh tengah."Berhenti kamu di situ, ingat batasanmu Dila di kantor memang aku bawahanmu, tapi di sini aku tuan rumah dan Mega adalah nyonya rumah ini."Wajah Nadila berubah dingin, ia menatapku tak suka lalu kembali melihat ke arah mas Ridho."Wanita ini yang kamu banggakan menajdi nyonya rumahmu mas?" Tanyanya menunjuk wajagku begitu dekat membuat Alika memelukku erat karena takut."Jangan membuat anakku takut!" Ucapku menurunkan tangannya dengan segera namun dengan cepat dia kembali menunjuk wajahku."Biar mbak bawa Alika dan Niko ke rumah mbak saja Ga, di sini nggak pantas di liha anak-anak." Ucap mbak Dewi mengajak Niko dan Alika keluar dari sisi pintu samping rumahku."Bawa saja gadis itu, tapi biarkan anakku di sini
Saat sedang di dapur bersama mbak Dewi, suara Emak terdengar dari luar. Aku dan mbak Dewi bergegas keluar dan melihat emak sedang marahi Niko."Kamu anak siapa kok di sini!" Emak menarik tangan Niko keluar."Mak, lepaskan mak!" Aku memintanya, namun Emak seolah tal perduli."Lain kali tutup pintunya Mega, anak asing ini masuk begitu!" Ucapnya terlihat tak suka pada Niko."Ini tamu Mega mak, anak teman." Jawabku mencari alasan dan emak melepaskan tangan Niko."Yasudah, emak kira anak jahat mau nyelakai cucuku. Mana Alina, emak mau bawa ke rumah!"Dengan segera emak membaww Alina dan tanpa permisi keluar dari rumahku. Niko yang ketakutan memegang pergelangan tangannya yang merah."Maaf ya, Niko nggak apa-apa?"Dia menganggukan kepala dan aku segera mengajaknya berdiri. "Bagaimana kalau kita ke belakang, ada kolam ikan di sana, Niko bisa gambar di saung yang ada di belakang."Dia nampak.senang mendengar ideku. "Ayo bu Mega." Ucapnya tak sabar.Aku segera memgajaknya ke belakang dan duduk
Kami tiba di rumah, setelah menjemput Alika di sekolahnya, sengaja aku bawa Niko ke rumahku untuk membut Nadila naik darah. Awalnya mas Ridho tak memberikan izin, tapi melihat Niko yang nyaman padaku akhirnya dia luluh juga."Ini rumah papa?" Tanyanya saat kami masuk ke dalam rumah. "Iya, rumah papa dan ibu Mega, Niko mau makan lagi? Kalau tidak kita bisa main bersama." Aku menanyai anak yang kini menatapku diam."Aku nggak lapar, ibu Mega punya kertas gambar?""Ada, Niko mau gambar sesuatu?"Dia menganggukan kepala. Aku ambilkan buku gambat besar milik mas Ridho di lemari, buku yang selalu di pakainya menggambar sesuatu namun lama tak pernah terpakai."Ini, gambar saja di sini ya, ibu Mega mau ganti baju dulu." Aku membawa Alina dan Alika masuk ke kamar dan mengganti pakaian mereka.Berkali-kali aku menghela napas, setiap kali aku melihat Niko hatiku terasa sakit, namun aku tak boleh menyerah, masih banyak hal yang harus aku lakukan untuk membuat suamiku dan mantannya itu menderita.
Aku berjalan masuk ke restoran cepat saji itu, mas Ridho sedang memesan makanan saat aku masuk dan duduk sedikit jauh. Setelah memastikam mereka makan berdua, aku mendekatkan diri di belakang mas Ridho."Makanlah Niko, bukankah kamu bilang ingin pizza?" Ucap mas Ridho memotongkan pizza ke dalam piring di depan anak lelaki itu."Kenapa aku tidak boleh memanggilmu papa saat di kantor?" Pertanyaan itu membuat mas Rihdo kulihat diam meletakkan rotinya di atas piring kecil."Apa kamu sakit hati?" Tanyanya kemudian."Iya, gadis kecil itu panggil ayah, tapi kenapa aku tak boleh?" Ucapnya lagi dan sekarang aku sedang menunggu jawaban mas Ridho."Maafkan papa, tapi bukankah kita sudah sepakat dulu?" Niko terdiam, ia kini tertunduk sedih. "Aku mau ikut papa saja" Ucapan Niko membuat aku semakin tak sabar menunggu jawaban mas Ridho."Papa nggak bisa bawa Niko pulang, papa nggak bisa meninggalkan keluarga papa." Niko terlihat kecewa menatap mas Ridho, sementara Alina justeru turun dari kursinya
"Kamu baik-baik saja?" Tanyaku menunduk melihat ke arah Niko."Lepaskan!" Ucapnya kesal dan berlari ke arah jalan."Jangan Niko! Tunggu!" Ucapku tak ingin hal buruk terjadi padanya, aku segera menyusul anak delapan tahun dan menariknya kembali ke tepian."Jangan pegang aku!" Ucapnya menepis tanganku dengan kasar."Baiklah, aku tak akan pegang, tapi di sini ramai sekali, kalau kamu ketengah jalan dan tertabrak sesuatu bagaimana?"Dia diam dan menunduk, aku menariknya duduk di trotoar jalan, duduk di sebuah bangku penjual es yang mangkal di depan bank." Kalau kamu marah dan tak bisa menahan diri, kamu yang akan rugi sendiri." Ucapku memberinya nasehat dan aku teringat pada Alina yang ku titipkan pada teman mas Ridho.Aku berdiri melihat ke dalam, ternyata mas Ridho sudah menggendong Alina bersamanya."Masuk yok?" Ajakku pada bocah lelaki kecil itu.Dia menggelengkan kepala perlahan. "Aku mau pulang." Ucapnya pelan."Dengan siapa, kan Mami Niko masih di dalam, kita biasa masuk dulu dan m