"Mau sarapan bersama?" ajak mas Fajri, namun aku hanya tersenyum."Kenapa?" Dia kembali bertanya."Saya sedang menunggu suami mas." Ucapku lagi dan dia hanya tersenyum."Baiklah, kalau begitu aku permisi mbak Mega." Aku tersenyum melihatnya berjalan menjauh, kembali mataku mencari di mana Mas Ridho berada namun tak juga ku temukan."Buk, lapal." Alika menarik gamisku."Alika dan Alina sudah lapar?" Tanyaku lagi.Mereka menganggukkan kepala hampir bersamaan, aku tersenyum dan menggandeng mereka naik kembali ke halaman hotel.Saat kami masuk ke area dalam hotel, kulihat mas Ridho duduk di lobi bersama seorang perempuan. Aku berjalan mendekatinya, ia tersenyum saat melihatku datang."Dek, sudah main di pantainya?" Tanyannya tanpa menjelaskan kenapa dia tiba-tiba menghilang."Sudah, mas dari tadi di sini?"Dia hanya menganggukkan kepala lalu menyeruput kopi di atas meja. "Mas pengen kopi dek, eh kenalkan ini Nadila, teman mas waktu masih kerja di perusahaan dulu."Mataku beralih ke arah
"Wah senang ya mas ketemu lagi." Ucap mas Fajri tanpa ku tau apa maksud kalimatnya."Apakah mas Ridho dan mas Fajri pernah bertemu sebelum ini?""Mas saling kenal?" Tanyaku heran, seingatku mas Ridho tak pernah cerita apapun soalas Fajri."Oh, cuma nggak sengaja ngobrol tadi dek.""Tadi?" Aku mengulang kalimat mas Ridho. "tadi kapan? Apa saat aku dan anak-anak di pantai, atau saat dimana?" Aku terus saja bertanya dalam hati."Iya mbak Mega, tadi ketemu di lobi, tapi masnya sama perempuan, saya kira istrinya yang tadi, maaf ya mas saya salah sangak." Ucap mas Fajri seperti tak enak hati sudah menduga yang tidak-tidak."Nggak kok mas, tadi teman saja, teman lama." Ucap mas Ridho menjelaskan dan aku langsung bisa menabak siap wanita yang mereka maksud.Kutatap wajah lelaki yang terlihat salah tingkah itu, aku tau dia juga tak menggira ternyata aku juga mengenal mas Fajri."Duduk mas, katanya lapar!" Jawabku sedikit sinisMas Ridho duduk di dekatku dengan senyum yang tak bisa ku terka, k
"Jadi bagaimana mbak Mega, apa mbak puas dengan hasil diskusi kita tadi?" Mas Fajri tiba-tiba saja bertanya padaku. Aku tersenyum menganggukkan kepala. "Sangat puas mas, semua seperti cerita asli dari novel saya." Kami akan masuk ke dalam lif saat ku lihat mas Ridho berjalan ke arah kami, ia nampak terkejut namun kemudian berjalan mendekat."Mana anak-anak mas?" Aku melihat hampir ke segala arah namun tak menemukan dua putriku bersama ayahnya."Oh, itu dek mereka di kamar.""Mas tinggalkan mereka sendiri?""Mereka tidur dek, mas hanya keluar sebentar em beli itu... Beli makan."Alisku bertaut, aku bahkan tak melihat bungkus apapun di tangan mas Ridho."Lifnya sudah terbuka, ayo masuk." Mas Ridho melangkah mendahuluiku dan mas Fajri. Sesaat aku tertegun, melihat kegelisahan dalam diri mas Ridho, tapi tak mungkin juga aku bertanya di depan mas Fajri.Kami masuk ke dalam lif, sama-sama terdiam hingga pintu lif terbuka di lantai empat, lantai dimana kamar kami berada."Saya permisi dulu
Siang setelah pertemuan lagi kami pulang, kami semua bertemu di loby hotel sebelum sama-sama meninggalkan tempat kami menginap."Mbak Mega, terimakasih ya sudah di sempatkam hadir." Ucap mas Fajri bersa team nya, satu persatu mereka menyalami aku dan mas Ridho.Sutradara film yang sejak pertama sudah banyak berdiskusi denganku juga secara khusus berpamitan padaku. "Sampai jumpa di lokasi syuting ya mbak Mega." Ucapnya tersenyum.Ia seorang lelaki berpetawakan tinggi dengan rambut ikal yang terikat ke belakang.kami bertolak meninggalkan hotel lebih dulu, akuasih harus mampir ke beberapa tempat untuk membeli oleh-oleh. Sementara mas Ridho hanya diam sepanjang perjalanan, aki juga tak ingin menyapanya, biarlah kami sama-sama diam kini.****Pulang kembali ke rumah, aku semakin tak mengenali suamiku, ia sibuk dengan hidupnya, dunianya, bahkan mimpinya sendiri. Kemarin sore kami baru saja sampai, aku sudah melihatnya sibuk dengan semua berkas di lemari dan hari ini, begitu pagi dia pergi
"Em, mas Ridho pamit keluar mbak." Jawabku canggung.Selama ini dia tak pernah pergi tanpa memberi tahuku, namun kali ini kenapa aku jadi merasa tak lagi penting dalam hidupnya."Keluar kemana?" Mbak Dewi masih sibuk melihat ponselnya, sementara aku juga sibuk mencari jawaban."Kenapa sih mbak, kok jadi kayak wawancara kerja." Kualihkan pembicaraan kami.Dia kini menatapku. "Bukan begitu, mbak penasaran saja, ini Ridho bukan sih?"Mbak Dewi memperlihatkan layar ponselnya padaku, sebuah foto wanita yang tak aku kenal berpose dengan minuman di tangannya, tapi bukan itu yang jadi pertanyaan mbak Dewi, melainkan lelaki yang tanpa sengaja terfoto dalam meja di belakang wanita itu."Mbak dari tadi lihat foto itu ga, kayak Ridho tapi sejak kapan Ridho nongkrong di cafe begitu."Aku masih diam, kuperbesar foto di layar ponsel mbak Dewi, dan benar ku yakini itu memang mas Ridho. Baju yang dia pakai aku kenal dan wajahnya yang memang sedikit kabur di gambar yang tertangkap dari sebelah depan,
Kami makan di sebuah restoran, sebenarnya aku ingin pulang namun melihat anak-anak yang begitu suka di ajak keluar, aku tak tega membuat senyum mereka pudar. Tak ada kata terlontar dari bibirku semenjak kami duduk memesan makanan, aku merasa segalanya tak lagi sama sekarang, entah apa yang membuat mas Ridho berubah, diriku yang tak bisa menjadi istrinya ataukah dia yang terlalu lupa bagaimana mengucap syukur."Ga, ada apa, kamu sakit?" Mbak Dewi kembali bertanya, aku tak menjawab, hanua senyum tipis menghias bibirku yang serasa kering."Apa kita pulang saja ga, kamu pucat sekali lho."Aku menggeleng cepat. "Jangan mbak, aku baik-baik saja mbak.""Yakin?"Aku kembali menganggukkan kepala. Kuusap rambut Alina yang duduk di dekatku, sementara Alika sudah duduk sendiri dan terlihat begitu bersemangat."Kami kelihatan pucat ga, sini mbak dandani." Mbak Dewi menarikku mendekatinya, ia mengeluarkam lipstik dari tas kecilnya dan memoles tipis pasa wajahku yang datar."Kamu jangan lupa dandan
"Lho, memangnya nggak bakal makan?" Tanyanya dingin"Enggak! Aku dan anak-anak sudah makan."Aku tersenyum lagi. "Bukanya mas habis makan di luar ya? Jalan-jalan juga di taman."Dia terdiam, menelan salivanya dan menatapku pias."Kenapa diam, jelaskan sesuatu!""Jelaskan apa?" Jawabnya mengelak lagi."Jelaskan apa katamu! Jelaskan bagaimana kamu makan dengan nyaman di tempat mewah, jalan dengan wanita yang kamu bilang teman lamamu itu, dan tawamu yang lebar saat mengobrol juga di taman kota."Aki mengambil ponselku dan menunjukkan gambar yang ku miliki pada maa Ridho. Dia menatap terkejut, ya terkejutlah, ini juga yang ingin aku lihat."Apa perlu aku jelaskan juga makanan apa yang kami pesan di cafe mewah itu?"Dia membuang wajah, mengusap kasar rambutnya yang baru saja berubah model lalu kembali menatapku sayu."Jangan gunakan cara itu lagi mas, aku bosan!" Ku alihkan pandanganku ke arah lain lalu mengumpulkan tenaga untuk kembali bertanya banyak hal."Sekarang coba jelaskan padaku ma
"Mulai sekarang aku akan sering pergi mas, jadi siapkan dirimu mengurus anak-anak" Ucapnya lagi membuat aku begitu kesal."Pergi kemana Mega? Kamu jangan macam-macam ya, jangan buat aku marah!" Suaranya diseberang terdengar bergetar Mas Ridho mengertakku rupanya. Biasanya aku akan langsung meminta maaf atau mencari tau apa alasanny mas Ridho berbuat begitu, tapi kali ini tidak!"Marah saja jika mau marah, aku tak perduli. Bukanya kamu yang mengajarkan aku untuk tak perduli juga dengan keluarga kita? Dengar baik-baik mas Ridho, setiap kesabaran itu ada batasnya dan mungkin inilah batas kesabaranku!""Ada apa denganmu Mega, kenapa kamu...."Kumatikan panggilan yang belum usai, buat apa juga bicara tak penting, sudah banyak hal kulakukan namun justeru membuatnya jadi besar kepala."Kenapa? Suamimu marah?"Liana sahabat kecilku bertanya, aku sengaja mengajaknya bertemu untuk membantuku hari ini. Liana seorang yang suka berdandan, dia punya selera yang bagus dan sesuai untukku yang tak la
POV RidhoAkhirnya sepulang kerja aku bersama Nadila menemui Niko, anak lelakiku sedang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit saat aku datang. Pembantu Nadila yang menjaga nya selama Nadila kerja, anak itu begitu bahagia melihatku datang."Papa!" Ucapnya dengan senyum tanpa cahaya, wajahnya terlihat pucat."Hay ganteng, kenapa kok sakit."Niko diam, dia melirik ke arah Nadila dengan wajah ragu."Bicara saja, momi tidak akan marah." Ucap Nadila seolah memberikan izin pada anaknya.Niko melihat ke arahku dan memelukku erat, kini aku merasakan tubuhnya berguncang, dia menangis dalam dekapanku."Hey jagoan, kenapa menangis?""Papa nggak mau nikah sama mama ya?"Kalimat tanya itu langsung membuat lidahku kelu, dari mana dia dapatkan kata itu, apakah Nadila menceritakan semua masalah kami kepada Niko juga?Aku menatap manik mata anak lelakiku itu, ada luka dan kecewa di sana, sorot yang justeru menggoyahkan keputusanku dan membuatku berpikir ulang untuk mempertimbangkan juga hati Niko
Mas Ridho kesal padaku, hari ini kepergianku ke Jogja sukses membuatnya tak bicara padaku saat aku berpamitan. Bebrepa kali dia meminta aku meminjamkan mobilku padanya, namun aku terus beralasan banyak dan sekarang mobil ini aku bawa pergi ke Jogja, tentu saja itu membuat wajahnya masam seperti limau.Aku menitipkan anak-anak pada seorang wanita yang mbak Dewi cari untuk merawat Alina dan Alika selama aku pergi, jika pekerjaan ya baik dan bagus, mungkin aku akan memperkerjakan dia untuk terus membantuku merawat mereka.Perjalananku ke Jogja tak memakan banyak waktu, aku tiba di hotel tempat kami menginap sebelum siang. Sampai di sana beberapa orang sudah mengurus segala keperluanku. Hari ini acara syukuran syuting pertama, tentu saja kami semua sudah sangat siap menjalankan semua jadwal yang sudah di tentukan."Bu Mega mau makan dulu atau ke kamar?""Ke kamar saja, saya belum solat duhur, nanti saya menyusul ke ruang makan ya." Ucapku pada gadis manis bernama Kori, dia bertugas memban
Hari yang di tunggu tiba, mobil yang aku impikan kini di antar hingga terparkir di depan rumah. Sebuah mobil sedan terbaru keluaran Henda dengan warna hitam klasik yang mewah. Mbak Siska berbisik bersama adik bapak yang lain, sementara emak terus menatap tak percaya ada mobil baru di depan rumah anak lelakinya."Wah Ridho, baru juga berapa hari kerja sudah bisa beli mobil." Sapaan lembut para tetangga sampai ke telingaku juga.Mas Ridho yang beli mobil ini? Dia saja makan ikut aku, bagaimana bisa beli mobil baru!Aku bicara saja dalam hati, masih baik tak aku umbar aibmu mas di depan semua warga dan keluarga besarmu. Bahkan mbak Siska yang sejak tadi hanya mengintip dari rumah Bapak, akhirnya keluar juga setelah mendengar komentar pujian untuk adiknya."Mas, tanda tangan dulu." Ucapku menarik tangan mas Ridho masuk ke dalam rumah."Berkas apa ini?""Serah terima mobil mas, kan tetap butuh tanda tangan suami untuk bisa di terima pengajuannya mas." Ucapku sambil memberikan dua map denga
Setelah pertemuan itu, Nadila mengajak paksa Niko pulang. Mas Ridho ingin melindungi anak lelakinya, tapi tak bisa berbuat banyak karena secara hukum Niko anak dari Nadila seorang."Bagaiaman ini bisa terjadi, bagaimana bisa kamu punya anak dari wanita lain Ridho!" Emak duduk bersandar pada dinding rumahnya, kami berkumpul di sini setelah Nadila pulang."Maafkan Ridho mak, Ridho tidak tau jika Nadila hamil dulu.""Terus apa yang kamu tau? Apa waktu kalian buat anak kamu juga nggak merasakan?"Mas Ridho terdiam, aku masih duduk di dekat pintu, mencari udara untuk membantuku bernapas sekarang."Bukan begitu mak, masalahnya saat itu kami sama-sama tidak bisa mengendalikan diri.""Otakmu itu yang tidak terkendali Ridho, bikin malu saja, mau di taruh mana wajah bapak ini!"Mas Ridho tak lagi menjawab, ia memilih diam dan menundukkan kepala, percuma juga ia menjelaskan pada bapak, hati lelaki paruh baya itu sedang terluka hebat."Sekarang bagaimana denganmu Mega, bapak sudah tidak bisa lagi
"Bagaimana bisa kamu jadi ibu yang baik Dila, sementara kamu tak bisa menjaga amarahmu sendiri!" Ucap mas Ridho dan membuat aku tersenyum lebar karena mendapat pembelaan."Bukan begitu mas, kamu salah paham!" Ucapnya mendekati mas Ridho yang berdiri di ambang pinti ruanh tengah."Berhenti kamu di situ, ingat batasanmu Dila di kantor memang aku bawahanmu, tapi di sini aku tuan rumah dan Mega adalah nyonya rumah ini."Wajah Nadila berubah dingin, ia menatapku tak suka lalu kembali melihat ke arah mas Ridho."Wanita ini yang kamu banggakan menajdi nyonya rumahmu mas?" Tanyanya menunjuk wajagku begitu dekat membuat Alika memelukku erat karena takut."Jangan membuat anakku takut!" Ucapku menurunkan tangannya dengan segera namun dengan cepat dia kembali menunjuk wajahku."Biar mbak bawa Alika dan Niko ke rumah mbak saja Ga, di sini nggak pantas di liha anak-anak." Ucap mbak Dewi mengajak Niko dan Alika keluar dari sisi pintu samping rumahku."Bawa saja gadis itu, tapi biarkan anakku di sini
Saat sedang di dapur bersama mbak Dewi, suara Emak terdengar dari luar. Aku dan mbak Dewi bergegas keluar dan melihat emak sedang marahi Niko."Kamu anak siapa kok di sini!" Emak menarik tangan Niko keluar."Mak, lepaskan mak!" Aku memintanya, namun Emak seolah tal perduli."Lain kali tutup pintunya Mega, anak asing ini masuk begitu!" Ucapnya terlihat tak suka pada Niko."Ini tamu Mega mak, anak teman." Jawabku mencari alasan dan emak melepaskan tangan Niko."Yasudah, emak kira anak jahat mau nyelakai cucuku. Mana Alina, emak mau bawa ke rumah!"Dengan segera emak membaww Alina dan tanpa permisi keluar dari rumahku. Niko yang ketakutan memegang pergelangan tangannya yang merah."Maaf ya, Niko nggak apa-apa?"Dia menganggukan kepala dan aku segera mengajaknya berdiri. "Bagaimana kalau kita ke belakang, ada kolam ikan di sana, Niko bisa gambar di saung yang ada di belakang."Dia nampak.senang mendengar ideku. "Ayo bu Mega." Ucapnya tak sabar.Aku segera memgajaknya ke belakang dan duduk
Kami tiba di rumah, setelah menjemput Alika di sekolahnya, sengaja aku bawa Niko ke rumahku untuk membut Nadila naik darah. Awalnya mas Ridho tak memberikan izin, tapi melihat Niko yang nyaman padaku akhirnya dia luluh juga."Ini rumah papa?" Tanyanya saat kami masuk ke dalam rumah. "Iya, rumah papa dan ibu Mega, Niko mau makan lagi? Kalau tidak kita bisa main bersama." Aku menanyai anak yang kini menatapku diam."Aku nggak lapar, ibu Mega punya kertas gambar?""Ada, Niko mau gambar sesuatu?"Dia menganggukan kepala. Aku ambilkan buku gambat besar milik mas Ridho di lemari, buku yang selalu di pakainya menggambar sesuatu namun lama tak pernah terpakai."Ini, gambar saja di sini ya, ibu Mega mau ganti baju dulu." Aku membawa Alina dan Alika masuk ke kamar dan mengganti pakaian mereka.Berkali-kali aku menghela napas, setiap kali aku melihat Niko hatiku terasa sakit, namun aku tak boleh menyerah, masih banyak hal yang harus aku lakukan untuk membuat suamiku dan mantannya itu menderita.
Aku berjalan masuk ke restoran cepat saji itu, mas Ridho sedang memesan makanan saat aku masuk dan duduk sedikit jauh. Setelah memastikam mereka makan berdua, aku mendekatkan diri di belakang mas Ridho."Makanlah Niko, bukankah kamu bilang ingin pizza?" Ucap mas Ridho memotongkan pizza ke dalam piring di depan anak lelaki itu."Kenapa aku tidak boleh memanggilmu papa saat di kantor?" Pertanyaan itu membuat mas Rihdo kulihat diam meletakkan rotinya di atas piring kecil."Apa kamu sakit hati?" Tanyanya kemudian."Iya, gadis kecil itu panggil ayah, tapi kenapa aku tak boleh?" Ucapnya lagi dan sekarang aku sedang menunggu jawaban mas Ridho."Maafkan papa, tapi bukankah kita sudah sepakat dulu?" Niko terdiam, ia kini tertunduk sedih. "Aku mau ikut papa saja" Ucapan Niko membuat aku semakin tak sabar menunggu jawaban mas Ridho."Papa nggak bisa bawa Niko pulang, papa nggak bisa meninggalkan keluarga papa." Niko terlihat kecewa menatap mas Ridho, sementara Alina justeru turun dari kursinya
"Kamu baik-baik saja?" Tanyaku menunduk melihat ke arah Niko."Lepaskan!" Ucapnya kesal dan berlari ke arah jalan."Jangan Niko! Tunggu!" Ucapku tak ingin hal buruk terjadi padanya, aku segera menyusul anak delapan tahun dan menariknya kembali ke tepian."Jangan pegang aku!" Ucapnya menepis tanganku dengan kasar."Baiklah, aku tak akan pegang, tapi di sini ramai sekali, kalau kamu ketengah jalan dan tertabrak sesuatu bagaimana?"Dia diam dan menunduk, aku menariknya duduk di trotoar jalan, duduk di sebuah bangku penjual es yang mangkal di depan bank." Kalau kamu marah dan tak bisa menahan diri, kamu yang akan rugi sendiri." Ucapku memberinya nasehat dan aku teringat pada Alina yang ku titipkan pada teman mas Ridho.Aku berdiri melihat ke dalam, ternyata mas Ridho sudah menggendong Alina bersamanya."Masuk yok?" Ajakku pada bocah lelaki kecil itu.Dia menggelengkan kepala perlahan. "Aku mau pulang." Ucapnya pelan."Dengan siapa, kan Mami Niko masih di dalam, kita biasa masuk dulu dan m