"Iya tapi emak senang kan? Dari jualan sayur saja emak punya apa? Empang juga cuma semeter, mana cukup beli kebutuhan sehari-hari!""Mbak! Jangan lancang jadi anak!" Ucap Ridho membuat suasana jadi memanas lagi.Mega menarik tubuh Ridho menjauh, ia tak mau suaminya terbawa amarah karena sikap kakaknya."Halah, jangan menasehati aku!" Ucap Siska kesal, ia menunjuk wajah adiknya dengan mata nyalang."Bagaimanapun emak ini wanita yang melahirkanmu mbak, jangan kurang ajar!" Ridho masih bicara lantang, meski jarak antara dirinya dan Siska sedikit jauh."Aku tau, jangan sok menasehatiku! Sebagai lelaki urus saja keluargamu.""Aku hanya mengingatkan dirimu mbak, aku tak akan menasehatimu. Lagi pula buat apa aku menasehatimu, toh kamu adalah wanita keras hati dan tak akan mau di nasehati."Siska tersenyum sinis, ia melipat tangannya di depan dada dan berjalan mendekati adiknya. "Bagus, itu kamu tau, jadi urus saja dirimu sendiri. Jika aku jadi kamu Dho, aku sudah menyembunyikan wajahku ini d
Alika begitu bahagia, sepanjang jalan hingga mereka sampai di hotel, gadis kecil itu selalu banyak bertanya, bahkan ketika mereka tiba di tempat menginap, Alika yang tak bisa diam berlari lebih dulu masuk ke dalam kamarnya."Ibuk, kita bobok sini?" Tanyannya terdengar antusias."Iya dong, Alika senang tidak?" Tanya Mega, ia menatap wajah polos anaknya yang mengangguk dengan cepat."Senang sekali, kita kan mau tamasya." Ucapnya polos membuat Mega dan Ridho tersenyum. Kata tamasya yang di ajarkan gurunya di sekolah, ia ingat dengan baik sekarang.Tak lama tiba-tiba saja ponsel Mega berdering, ia segera mengangkatnya saat tau panggilan itu dari salah satu kru yang mengundangnya kemari."Halo, ya ini Mega." Mega mengangkat ponsel dan menutup pintu dengan satu tangan lalu berjalan masuk.Ridho yang melihat istrinya menerima panggilan penting, meletakkan Alina di atas ranjang dan jarinya dengan cepat ada diujung bibir dan meminta Alika diam."Ya saya sudah sampai ini, sekarang?" Ucap Mega t
"ibuk lama sekali!" Alika bertanya saat aku baru saja masuk ke kamar. Mas Ridho sudah duduk di tepi ranjang memeluk Alina saat aku datang, gadis itu merosot turun saat melihatku, sungguh aku merasa tak enak hati."Maaf ya sayang, Alika dan Alina lama nunggu ibuk?" Aku berlutut memeluk erat tubuh mereka."Mereka menangis minta turun ke pantai." Mas Ridho menjelaskan."Oh, bagaimana kalau besok pagi saja?" Tawarku, mengingat ini sudah terlalu malam bila mereka harus keluar."Tapi Alika mau jalan-jalan ibuk!" Ucapnya setengah berteriak."Iya jalan buk!" Alina ikut mnjawab."Angin malam di pantai bisa buat Alika dan Alina sakit, kita ke luar besok pagi saja ya?" Tawarku lagi, aku berusaha memberinya pengertian.Alika menangis, ia berlari dan memeluk mas Ridho dengan erat, sungguh aku jadi merasa bersalah."Aku sudah bilang akan membawanya jalanp sebentar saat kamu datang dek, tapi sepertinya kamu punya rencana lain." Ucap mas Ridho pelan sambil mengusap kepala Alika.Kugendong Alina dan
Kupandang wajah polos dalam remang cahaya lampu malam, putriku yang terluka karena ketidak tahuanku tentang rasanya, sungguh bila ku paham segalanya, mungkin tak akan seperti ini rasaku sekarang, kecewa pada diriku sendiri."Besok akan ibuk bawa kamu jalan-jalan ke pantai sayang, maafkan ibuk." Ucapku memeluk jemarinya yang dingin."Besok mas bawa saja anak-anak pulang Mega." Aku diam lalu menatap dua mata dingin suamiku. "Jangan membuatku semakin merasa bersalah mas!" Ucapku tak sanggup membayangkan jika dua putriku benar-benar pulang."Bukan begitu, mas merasa ini bukan tempat mas dan anak-anak. Ini dunia yang kamu kenal namun tak kami pahami.""Bukankah kita sudah bicarakan ini mas, datang ke sini juga keputusan kita bersama, lantas kenapa mas sebut ini hanya duniaku?""Karena memang ini hanya duniamu Mega. Kami tak tau untuk apa kami di sini sekarang.""Memberiku semangat apa bukan bagiam darimu dan anak-anak mas? Begitu banyak mimpi ingim kita raih, tapi kenapa sekarang mas mera
"Mau sarapan bersama?" ajak mas Fajri, namun aku hanya tersenyum."Kenapa?" Dia kembali bertanya."Saya sedang menunggu suami mas." Ucapku lagi dan dia hanya tersenyum."Baiklah, kalau begitu aku permisi mbak Mega." Aku tersenyum melihatnya berjalan menjauh, kembali mataku mencari di mana Mas Ridho berada namun tak juga ku temukan."Buk, lapal." Alika menarik gamisku."Alika dan Alina sudah lapar?" Tanyaku lagi.Mereka menganggukkan kepala hampir bersamaan, aku tersenyum dan menggandeng mereka naik kembali ke halaman hotel.Saat kami masuk ke area dalam hotel, kulihat mas Ridho duduk di lobi bersama seorang perempuan. Aku berjalan mendekatinya, ia tersenyum saat melihatku datang."Dek, sudah main di pantainya?" Tanyannya tanpa menjelaskan kenapa dia tiba-tiba menghilang."Sudah, mas dari tadi di sini?"Dia hanya menganggukkan kepala lalu menyeruput kopi di atas meja. "Mas pengen kopi dek, eh kenalkan ini Nadila, teman mas waktu masih kerja di perusahaan dulu."Mataku beralih ke arah
"Wah senang ya mas ketemu lagi." Ucap mas Fajri tanpa ku tau apa maksud kalimatnya."Apakah mas Ridho dan mas Fajri pernah bertemu sebelum ini?""Mas saling kenal?" Tanyaku heran, seingatku mas Ridho tak pernah cerita apapun soalas Fajri."Oh, cuma nggak sengaja ngobrol tadi dek.""Tadi?" Aku mengulang kalimat mas Ridho. "tadi kapan? Apa saat aku dan anak-anak di pantai, atau saat dimana?" Aku terus saja bertanya dalam hati."Iya mbak Mega, tadi ketemu di lobi, tapi masnya sama perempuan, saya kira istrinya yang tadi, maaf ya mas saya salah sangak." Ucap mas Fajri seperti tak enak hati sudah menduga yang tidak-tidak."Nggak kok mas, tadi teman saja, teman lama." Ucap mas Ridho menjelaskan dan aku langsung bisa menabak siap wanita yang mereka maksud.Kutatap wajah lelaki yang terlihat salah tingkah itu, aku tau dia juga tak menggira ternyata aku juga mengenal mas Fajri."Duduk mas, katanya lapar!" Jawabku sedikit sinisMas Ridho duduk di dekatku dengan senyum yang tak bisa ku terka, k
"Jadi bagaimana mbak Mega, apa mbak puas dengan hasil diskusi kita tadi?" Mas Fajri tiba-tiba saja bertanya padaku. Aku tersenyum menganggukkan kepala. "Sangat puas mas, semua seperti cerita asli dari novel saya." Kami akan masuk ke dalam lif saat ku lihat mas Ridho berjalan ke arah kami, ia nampak terkejut namun kemudian berjalan mendekat."Mana anak-anak mas?" Aku melihat hampir ke segala arah namun tak menemukan dua putriku bersama ayahnya."Oh, itu dek mereka di kamar.""Mas tinggalkan mereka sendiri?""Mereka tidur dek, mas hanya keluar sebentar em beli itu... Beli makan."Alisku bertaut, aku bahkan tak melihat bungkus apapun di tangan mas Ridho."Lifnya sudah terbuka, ayo masuk." Mas Ridho melangkah mendahuluiku dan mas Fajri. Sesaat aku tertegun, melihat kegelisahan dalam diri mas Ridho, tapi tak mungkin juga aku bertanya di depan mas Fajri.Kami masuk ke dalam lif, sama-sama terdiam hingga pintu lif terbuka di lantai empat, lantai dimana kamar kami berada."Saya permisi dulu
Siang setelah pertemuan lagi kami pulang, kami semua bertemu di loby hotel sebelum sama-sama meninggalkan tempat kami menginap."Mbak Mega, terimakasih ya sudah di sempatkam hadir." Ucap mas Fajri bersa team nya, satu persatu mereka menyalami aku dan mas Ridho.Sutradara film yang sejak pertama sudah banyak berdiskusi denganku juga secara khusus berpamitan padaku. "Sampai jumpa di lokasi syuting ya mbak Mega." Ucapnya tersenyum.Ia seorang lelaki berpetawakan tinggi dengan rambut ikal yang terikat ke belakang.kami bertolak meninggalkan hotel lebih dulu, akuasih harus mampir ke beberapa tempat untuk membeli oleh-oleh. Sementara mas Ridho hanya diam sepanjang perjalanan, aki juga tak ingin menyapanya, biarlah kami sama-sama diam kini.****Pulang kembali ke rumah, aku semakin tak mengenali suamiku, ia sibuk dengan hidupnya, dunianya, bahkan mimpinya sendiri. Kemarin sore kami baru saja sampai, aku sudah melihatnya sibuk dengan semua berkas di lemari dan hari ini, begitu pagi dia pergi
POV RidhoAkhirnya sepulang kerja aku bersama Nadila menemui Niko, anak lelakiku sedang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit saat aku datang. Pembantu Nadila yang menjaga nya selama Nadila kerja, anak itu begitu bahagia melihatku datang."Papa!" Ucapnya dengan senyum tanpa cahaya, wajahnya terlihat pucat."Hay ganteng, kenapa kok sakit."Niko diam, dia melirik ke arah Nadila dengan wajah ragu."Bicara saja, momi tidak akan marah." Ucap Nadila seolah memberikan izin pada anaknya.Niko melihat ke arahku dan memelukku erat, kini aku merasakan tubuhnya berguncang, dia menangis dalam dekapanku."Hey jagoan, kenapa menangis?""Papa nggak mau nikah sama mama ya?"Kalimat tanya itu langsung membuat lidahku kelu, dari mana dia dapatkan kata itu, apakah Nadila menceritakan semua masalah kami kepada Niko juga?Aku menatap manik mata anak lelakiku itu, ada luka dan kecewa di sana, sorot yang justeru menggoyahkan keputusanku dan membuatku berpikir ulang untuk mempertimbangkan juga hati Niko
Mas Ridho kesal padaku, hari ini kepergianku ke Jogja sukses membuatnya tak bicara padaku saat aku berpamitan. Bebrepa kali dia meminta aku meminjamkan mobilku padanya, namun aku terus beralasan banyak dan sekarang mobil ini aku bawa pergi ke Jogja, tentu saja itu membuat wajahnya masam seperti limau.Aku menitipkan anak-anak pada seorang wanita yang mbak Dewi cari untuk merawat Alina dan Alika selama aku pergi, jika pekerjaan ya baik dan bagus, mungkin aku akan memperkerjakan dia untuk terus membantuku merawat mereka.Perjalananku ke Jogja tak memakan banyak waktu, aku tiba di hotel tempat kami menginap sebelum siang. Sampai di sana beberapa orang sudah mengurus segala keperluanku. Hari ini acara syukuran syuting pertama, tentu saja kami semua sudah sangat siap menjalankan semua jadwal yang sudah di tentukan."Bu Mega mau makan dulu atau ke kamar?""Ke kamar saja, saya belum solat duhur, nanti saya menyusul ke ruang makan ya." Ucapku pada gadis manis bernama Kori, dia bertugas memban
Hari yang di tunggu tiba, mobil yang aku impikan kini di antar hingga terparkir di depan rumah. Sebuah mobil sedan terbaru keluaran Henda dengan warna hitam klasik yang mewah. Mbak Siska berbisik bersama adik bapak yang lain, sementara emak terus menatap tak percaya ada mobil baru di depan rumah anak lelakinya."Wah Ridho, baru juga berapa hari kerja sudah bisa beli mobil." Sapaan lembut para tetangga sampai ke telingaku juga.Mas Ridho yang beli mobil ini? Dia saja makan ikut aku, bagaimana bisa beli mobil baru!Aku bicara saja dalam hati, masih baik tak aku umbar aibmu mas di depan semua warga dan keluarga besarmu. Bahkan mbak Siska yang sejak tadi hanya mengintip dari rumah Bapak, akhirnya keluar juga setelah mendengar komentar pujian untuk adiknya."Mas, tanda tangan dulu." Ucapku menarik tangan mas Ridho masuk ke dalam rumah."Berkas apa ini?""Serah terima mobil mas, kan tetap butuh tanda tangan suami untuk bisa di terima pengajuannya mas." Ucapku sambil memberikan dua map denga
Setelah pertemuan itu, Nadila mengajak paksa Niko pulang. Mas Ridho ingin melindungi anak lelakinya, tapi tak bisa berbuat banyak karena secara hukum Niko anak dari Nadila seorang."Bagaiaman ini bisa terjadi, bagaimana bisa kamu punya anak dari wanita lain Ridho!" Emak duduk bersandar pada dinding rumahnya, kami berkumpul di sini setelah Nadila pulang."Maafkan Ridho mak, Ridho tidak tau jika Nadila hamil dulu.""Terus apa yang kamu tau? Apa waktu kalian buat anak kamu juga nggak merasakan?"Mas Ridho terdiam, aku masih duduk di dekat pintu, mencari udara untuk membantuku bernapas sekarang."Bukan begitu mak, masalahnya saat itu kami sama-sama tidak bisa mengendalikan diri.""Otakmu itu yang tidak terkendali Ridho, bikin malu saja, mau di taruh mana wajah bapak ini!"Mas Ridho tak lagi menjawab, ia memilih diam dan menundukkan kepala, percuma juga ia menjelaskan pada bapak, hati lelaki paruh baya itu sedang terluka hebat."Sekarang bagaimana denganmu Mega, bapak sudah tidak bisa lagi
"Bagaimana bisa kamu jadi ibu yang baik Dila, sementara kamu tak bisa menjaga amarahmu sendiri!" Ucap mas Ridho dan membuat aku tersenyum lebar karena mendapat pembelaan."Bukan begitu mas, kamu salah paham!" Ucapnya mendekati mas Ridho yang berdiri di ambang pinti ruanh tengah."Berhenti kamu di situ, ingat batasanmu Dila di kantor memang aku bawahanmu, tapi di sini aku tuan rumah dan Mega adalah nyonya rumah ini."Wajah Nadila berubah dingin, ia menatapku tak suka lalu kembali melihat ke arah mas Ridho."Wanita ini yang kamu banggakan menajdi nyonya rumahmu mas?" Tanyanya menunjuk wajagku begitu dekat membuat Alika memelukku erat karena takut."Jangan membuat anakku takut!" Ucapku menurunkan tangannya dengan segera namun dengan cepat dia kembali menunjuk wajahku."Biar mbak bawa Alika dan Niko ke rumah mbak saja Ga, di sini nggak pantas di liha anak-anak." Ucap mbak Dewi mengajak Niko dan Alika keluar dari sisi pintu samping rumahku."Bawa saja gadis itu, tapi biarkan anakku di sini
Saat sedang di dapur bersama mbak Dewi, suara Emak terdengar dari luar. Aku dan mbak Dewi bergegas keluar dan melihat emak sedang marahi Niko."Kamu anak siapa kok di sini!" Emak menarik tangan Niko keluar."Mak, lepaskan mak!" Aku memintanya, namun Emak seolah tal perduli."Lain kali tutup pintunya Mega, anak asing ini masuk begitu!" Ucapnya terlihat tak suka pada Niko."Ini tamu Mega mak, anak teman." Jawabku mencari alasan dan emak melepaskan tangan Niko."Yasudah, emak kira anak jahat mau nyelakai cucuku. Mana Alina, emak mau bawa ke rumah!"Dengan segera emak membaww Alina dan tanpa permisi keluar dari rumahku. Niko yang ketakutan memegang pergelangan tangannya yang merah."Maaf ya, Niko nggak apa-apa?"Dia menganggukan kepala dan aku segera mengajaknya berdiri. "Bagaimana kalau kita ke belakang, ada kolam ikan di sana, Niko bisa gambar di saung yang ada di belakang."Dia nampak.senang mendengar ideku. "Ayo bu Mega." Ucapnya tak sabar.Aku segera memgajaknya ke belakang dan duduk
Kami tiba di rumah, setelah menjemput Alika di sekolahnya, sengaja aku bawa Niko ke rumahku untuk membut Nadila naik darah. Awalnya mas Ridho tak memberikan izin, tapi melihat Niko yang nyaman padaku akhirnya dia luluh juga."Ini rumah papa?" Tanyanya saat kami masuk ke dalam rumah. "Iya, rumah papa dan ibu Mega, Niko mau makan lagi? Kalau tidak kita bisa main bersama." Aku menanyai anak yang kini menatapku diam."Aku nggak lapar, ibu Mega punya kertas gambar?""Ada, Niko mau gambar sesuatu?"Dia menganggukan kepala. Aku ambilkan buku gambat besar milik mas Ridho di lemari, buku yang selalu di pakainya menggambar sesuatu namun lama tak pernah terpakai."Ini, gambar saja di sini ya, ibu Mega mau ganti baju dulu." Aku membawa Alina dan Alika masuk ke kamar dan mengganti pakaian mereka.Berkali-kali aku menghela napas, setiap kali aku melihat Niko hatiku terasa sakit, namun aku tak boleh menyerah, masih banyak hal yang harus aku lakukan untuk membuat suamiku dan mantannya itu menderita.
Aku berjalan masuk ke restoran cepat saji itu, mas Ridho sedang memesan makanan saat aku masuk dan duduk sedikit jauh. Setelah memastikam mereka makan berdua, aku mendekatkan diri di belakang mas Ridho."Makanlah Niko, bukankah kamu bilang ingin pizza?" Ucap mas Ridho memotongkan pizza ke dalam piring di depan anak lelaki itu."Kenapa aku tidak boleh memanggilmu papa saat di kantor?" Pertanyaan itu membuat mas Rihdo kulihat diam meletakkan rotinya di atas piring kecil."Apa kamu sakit hati?" Tanyanya kemudian."Iya, gadis kecil itu panggil ayah, tapi kenapa aku tak boleh?" Ucapnya lagi dan sekarang aku sedang menunggu jawaban mas Ridho."Maafkan papa, tapi bukankah kita sudah sepakat dulu?" Niko terdiam, ia kini tertunduk sedih. "Aku mau ikut papa saja" Ucapan Niko membuat aku semakin tak sabar menunggu jawaban mas Ridho."Papa nggak bisa bawa Niko pulang, papa nggak bisa meninggalkan keluarga papa." Niko terlihat kecewa menatap mas Ridho, sementara Alina justeru turun dari kursinya
"Kamu baik-baik saja?" Tanyaku menunduk melihat ke arah Niko."Lepaskan!" Ucapnya kesal dan berlari ke arah jalan."Jangan Niko! Tunggu!" Ucapku tak ingin hal buruk terjadi padanya, aku segera menyusul anak delapan tahun dan menariknya kembali ke tepian."Jangan pegang aku!" Ucapnya menepis tanganku dengan kasar."Baiklah, aku tak akan pegang, tapi di sini ramai sekali, kalau kamu ketengah jalan dan tertabrak sesuatu bagaimana?"Dia diam dan menunduk, aku menariknya duduk di trotoar jalan, duduk di sebuah bangku penjual es yang mangkal di depan bank." Kalau kamu marah dan tak bisa menahan diri, kamu yang akan rugi sendiri." Ucapku memberinya nasehat dan aku teringat pada Alina yang ku titipkan pada teman mas Ridho.Aku berdiri melihat ke dalam, ternyata mas Ridho sudah menggendong Alina bersamanya."Masuk yok?" Ajakku pada bocah lelaki kecil itu.Dia menggelengkan kepala perlahan. "Aku mau pulang." Ucapnya pelan."Dengan siapa, kan Mami Niko masih di dalam, kita biasa masuk dulu dan m