Marcel semakin tidak mengerti kenapa akhir-akhir ini ada orang tak dikenal yang suka muncul tiba-tiba dan mengaku mengenal dirinya.“Ini pasti karena produk kita sudah mulai dikenal orang!” kata Venya bersemangat. “Aku tidak akan heran kalau suatu saat akan ada yang memperlakukan kamu dengan istimewa!”Marcel tidak menanggapi, ketika itu dia sedang merapikan rumput liar yang tumbuh di depan rumah dan teringat dengan ucapan Venya beberapa waktu lalu.“Pak, bisa bicara empat mata sebentar soal produk Anda?” Sebuah mobil hitam berhenti dan pengemudinya turun untuk mendatangi Marcel.Sebelum Marcel menjawab, sang sopir langsung membawa Marcel masuk ke mobilnya dan meluncur ke tempat yang disebut markas.“Orang-orang bisa salah paham kalau aku mendadak pergi seperti ini,” keluh Marcel dalam hati.Namun, untuk melawan orang-orang ini pun rasanya Marcel tak berani ambil risiko.“Siapa tahu ini penculikan,” batin Marcel lagi, karena itulah dia terpaksa diam dan tenang membaca situas
Marcel refleks mendorong Ronnie menjauh darinya.“Ngapain sentuh-sentuh aku sih, Kak?” tukas Marcel antara merasa risi dan juga terhina.Ronnie mengumpat kasar.“Itu apa yang kamu sembunyikan?” hardik Ronnie dengan wajah curiga.“Aku tidak menyembunyikan apa-apa,” bantah Marcel.“Memang ada apa sih, Kak?” tanya Shirley ingin tahu.“Aku pegang sesuatu di tanganku tadi,” jawab Ronnie yakin. “Suami kamu yang tidak berguna itu pasti habis merampok ....”“Jaga ucapan kamu ya, Kak?” potong Marcel yang mulai habis kesabaran. Enak saja mereka sudah menginjak harga dirinya bagai keset setiap hari, dan sekarang menuduh bahwa dia telah mencuri.Benar-benar penghinaan besar untuk seorang Marcel.“Terus itu apa? Sini!” tunjuk Ronnie gelap mata. “Sini aku bilang!”Marcel tetap berdiri bergeming di tempatnya.“Cel, dengar tidak sih kalau Kak Ronnie bicara?” tegur Shirley sambil menarik tangan Marcel seperti seorang aparat yang menemukan seekor bandit kecil. “Jujur sama kami, apa yang kamu sembunyika
Ciko bergegas menghubungi ayahnya setelah mendapatkan informasi dari sekretarisnya di kantor.“Halo?”“Halo, Yah?” sahut Ciko begitu Herman menjawab panggilannya. “Apa Ayah sudah mendapatkan relasi baru untuk kerja sama proyek kita?”“Masih proses pencarian,” jawab Herman. “Kita harus bisa memilih dengan tepat, bukan asal pilih.”“Aku mengerti, Yah. Masalahnya aku dapat kabar kalau ada pengusaha terkenal yang ternyata diam-diam diincar Marcel,” kata Ciko memberi tahu. “Maksud aku—kok tega sekali Marcel berbuat begitu sama Ayah?”“Memangnya siapa pengusaha terkenal yang kamu maksud?” tanya Herman ingin tahu. “Setahu ayah Marcel itu tidak memiliki koneksi sama sekali dengan pengusaha manapun.”“Tapi ....”“Kamu tidak perlu terlalu khawatir, Marcel tidak akan sanggup menjalin relasi apa pun dengan pengusaha manapun.” Herman menegaskan. “Bagi ayah tidak ada kesempatan bagi Marcel untuk mengembangkan diri karena dia harus melunasi utang-utang orang tuanya.”“Baik, Yah.” Ciko tidak
Pagi pun datang, sinar matahari menembus melalui jari jemari Marcel yang tengah meringkuk di dalam kamar pembantu.Selembar selimut ala kadarnya menutupi sekujur tubuh Marcel hingga tak terlalu merasakan hawa dingin yang menusuk sampai ke tulang.“Pak Marcel, sarapan dulu selagi Tuan Ronnie dan yang lain belum bangun ...”Sayup-sayup terdengar suara Bik Nana yang mencapai telinga Marcel.“Hm ...?”“Sebaiknya Pak Marcel bangun, cuci muka, terus sarapan duluan.” Bik Nana mengetuk pintu lagi.“Nanti Shirley marah, Bik ....”“... habis sarapan, Pak Marcel bisa balik lagi ... pura-pura masih tidur dan belum makan apa-apa,” sambung Bik Nana. “Tapi jangan bilang Tuan Ronnie, nanti kita semua kena marah.”Marcel membuka mata lebar-lebar, setuju dengan ide yang diberikan Bik Nana barusan. Cepat-cepat dia bangun, mencuci mukanya dan melahap cepat sarapan berupa roti dan susu yang sudah disiapkan Bik Nana di dapur.“Tolong jangan bilang Tuan atau Nyonya Muda ya, Pak?” ucap Bik Nana lagi
Suara riuh gelak tawa terdengar ketika Marcel tiba di kediaman Delvino. Dia yang tadinya mau masuk lewat pintu depan, jadi mengurungkan niatnya dan memilih untuk memutar dan masuk lewat halaman belakang rumah.Shirley selalu mewanti-wanti Marcel untuk tidak memperlihatkan diri ketika teman-temannya sedang datang berkunjung.“Aku mau membangun citra diri yang sempurna di depan teman-teman, dan aku selalu bilang kalau suami aku adalah seorang pengusaha sibuk yang pulangnya tiga bulan sekali.” Begitu kata Shirley setiap kali Marcel melayangkan protes terkait sikapnya itu.Sialnya, ada Ronnie yang sedang duduk di meja sambil menikmati secangkir kopi. Kakak tertua Shirley itu menoleh ketika Marcel muncul di dapur.“Kamu tidak lewat pintu depan kan?” tanya Ronnie dengan nada menyelidik.“Aku lewat pintu belakang,” jawab Marcel datar.“Bagus kalau kamu tahu diri,” sahut Ronnie sambil tersenyum sinis. “Ngomong-ngomong, pekerjaan jadi pelayan cukup tidak hasilnya buat menafkahi adik aku?” tany
“Apa?” Marcel menyipitkan matanya. “Kenapa Anda bisa seyakin itu?”Aldi mengangguk kalem.“Susah payah saya mencari Anda,” katanya seraya mengembuskan napas berat. “Saya satu frekuensi dengan orang tua kamu soal penelitian ilmiah dalam rangka memajukan kehidupan umat manusia.”Marcel termenung cukup lama, memaksa otaknya untuk mampu menerima apa yang Aldi jelaskan.“Saya rasa Anda salah orang, Pak.” Dia menggeleng. “Dari kecil, saya bahkan tidak tahu apa saja yang dilakukan orang tua saya di dalam lab. Jadi saya sampai sekarang hanya melanjutkan saja apa yang sudah dimulai oleh orang tua saya.”Aldi tidak berkomentar.“Saya adalah Marcel, bukan orang yang ahli obat atau ahli bisnis seperti yang Anda kira.” Marcel mengambil dompetnya dan menunjukkan selembar kartu identitas kepada Aldi. “Saya lulusan bisnis yang bahkan hanya bekerja di toko kelontong saja karena keluarga istri saya tidak berkenan saya kerja di perusahaan ....”Selanjutnya Marcel meletakkan berkas yang diberikan Aldi di
“Shirley mana?” tanya Ciko ketika Marcel tiba di rumah.“Memangnya dia tidak bilang sama kamu?” sahut Marcel sambil membuka jaketnya.“Kalau Shirley bilang, ngapain aku tanya sama kamu?” tukas Ciko dengan selang air terulur ke wajah Marcel.“Dia liburan,” jawab Marcel apa adanya. “Tapi aku tidak tahu dia liburan ke mana dan sama siapa.”Ciko mengangguk.“Cuci mobil aku,” perintahnya. “Kemarin aku pakai ke pantai, terus kehujanan. Kamu cuci lagi yang bersih, setelah itu kamu baru boleh makan.”Marcel yang masih lelah karena habis bekerja, memandang kakak iparnya dan bersiap menolak.“Apa?” tantang Ciko yang menyadari tatapan penolakan dari Marcel.“Aku baru pulang kerja, setidaknya biar aku minum dulu.” Marcel mencoba menawar.“Siapa kamu, berani tawar menawar sekarang?” hardik Ciko sambil melecut lengan Marcel dengan selang.“Bukan begitu ...” Marcel pura-pura meringis kesakitan. “Pak Aldi terus menghubungi aku beberapa hari ini aku merasa ada yang mengikuti aku ... Makanya aku harus
7Sejak rumah orang tuanya mendapatkan teror, Ronnie terlihat sibuk sendiri hingga tak sempat lagi mengusik ketenangan Marcel.Hal itu Marcel manfaatkan untuk menggali lebih dalam tentang pengetahuan obat kepada Venya.“Jadi intinya aku harus memahami sifat dasar setiap elemen untuk bisa menghasilkan formula yang diinginkan?” tanya Marcel menyimpulkan. Siang itu dia memang sengaja meminta Venya mengajarinya membuat ramuan sederhana.“Ya, tapi tidak sesederhana itu juga.” Venya mengangguk. “Itu semua harus dilengkapi dengan kesabaran karena biasanya formula yang kita inginkan tidak serta-merta jadi dalam satu kali percobaan saja. Kadang kita harus berkali-kali membuat formula yang berbeda sampai kita tahu formula mana yang paling baik.”“Jadi apa yang harus aku pelajari lagi?” tanya Marcel lebih spesifik. “Aku mau mengubah hidup, dan juga merebut apa yang seharusnya menjadi hak keluarga aku.”Venya tersenyum mendengar penuturan Marcel.Marcel sendiri butuh beberapa hari untuk bersikap m