“Masuk saja, jangan malu-malu!” “Suami kamu ada di rumah?”“Tentu saja ada, dia kan memang tinggal di sini.”Marcel sedang mengepel lantai dapur ketika mendengar suara Shirley dengan teman prianya. Kalau bukan karena keterbatasan diri, ingin sekali dia menceraikan sang istri.“Cel, buatkan kami minum!” perintah Shirley ketika dia menyadari kehadiran Marcel.“Semua cangkir sudah aku cuci bersih,” sahut Marcel. “Kamu bisa bikin sendiri, mau teh? Kopi? Ada semua.”Teman pria Shirley tertawa tipis ketika mendengar ucapan Marcel.“Kamu ini ... jangan bikin aku malu di depan teman aku,” ucap Shirley tersinggung.“Kamu yang seharusnya malu,” tukas Marcel. “Sudah bersuami, tapi ke sana kemari sama teman-teman pria kamu seperti ini.”Shirley menatap Marcel semakin galak.“Mulai ngelunjak ya sekarang,” katanya sambil berkacak pinggang. “Status kamu di sini apa sih? Suami aku? Kata siapa?”Marcel balas menatap Shirley.“Jadi ternyata aku bukan suami kamu?” katanya dingin. “Oke, kala
“Tidak boleh yang seperti ini lagi!” ucap Ronnie seraya memandang Vando dan Shirley bergantian.Marcel berlalu melewati mereka begitu saja, dia tahu kalau Ronnie sedang bersandiwara untuk mendapatkan perhatiannya.“Kamu aneh sekali, Kak!” protes Shirley.“Diam, jangan sembarangan memasukkan teman pria-mu itu lagi sesuka hati.” Ronnie memperingatkan. “Kamu juga, Vando. Jangan membuat rumah tangga adikku bermasalah ....”“Kamu sehat, Ron?” tanya Vando dengan rasa heran yang sama.“Sudah, sudah, kalian harus sadar posisi dulu untuk saat ini.” Ronnie menegaskan.Marcel yang tiba di dapur, segera membuat teh untuk dirinya sendiri. Biasanya dia tidak berani karena siksanya bisa begitu pedih setiap kali Ciko mengetahuinya.Namun, sekarang Marcel tidak peduli. Dia punya banyak uang di rekening, dia bisa menggunakannya jika sewaktu-waktu diperlukan.“Cel, kita bisa mencoba mematenkan beberapa formula diam-diam untuk mendapatkan tambahan modal.” Venya memberi saran ketika dia melihat Ma
“Wah, tidak ada yang berharga di kamar ini.” Shirley menepukkan kedua tangannya dengan ekspresi jijik. “Namanya juga kamar pembantu dan aku punya suami yang tidur di kamar ini ....”Wanita itu menarik lengannya ke samping seraya memikirkan bagian mana lagi yang akan dia telusuri.“Ini bagus,” gumam Shirley seraya membuka laci meja satu per satu, dia bergidik ketika menemukan beberapa pasang kaos kaki bersih di dalam lemari.Hampir tiga puluh menit berlalu, dan Shirley tidak menemukan apa-apa di kamar pembantu. Meskipun demikian dia tetap menyingkap seprai tempat tidur, mengacak tumpukan baju-baju kotor, dan akhirnya dari jemari Shirley menemukan sebuah botol kecil bening di dasar keranjang.Apa ini?” tanya Shirley dalam hatinya seraya memandangi botol kecil mungil itu. “Apa ini punya Marcel?”Apa pun itu, Shirley segera keluar dari kamar pembantu dan pergi menemui kakaknya di ruang keluarga.“Kak, coba lihat apa yang aku temukan!” seru Shirley ketika dia berpapasan dengan Ciko.
Marcel menerima botol bening itu dan mengamatinya. “Jadi aku harus tetap konsumsi rutin ya,” komentar Marcel. “Tentu saja harus, karena kamu tetap manusia yang membutuhkan makan untuk bertahan hidup.” Marcel mengangguk paham dan bertanya, “Apakah kita sudah bisa mengedarkan produk ini ke masyarakat luas—tapi jangan sampai keluarga istriku tahu.” Venya mengangkat jempolnya. “Bisa saja, kenalanku yang akan mengurusnya. Untuk sementara kita akan memasarkan produk ini secara online, tapi ponselku butut—jadi kita harus mengandalkan dia sepenuhnya.” “Tapi dia bisa dipercaya kan?” tanya Marcel ingin tahu. “Bisa, aku jamin.” “Kalau begitu aku akan beli ponsel untuk kita gunakan khusus bisnis ini,” kata Marcel. “Aku titip lab ini kepadaku, tolong kamu urus sebaik mungkin. Aku percaya sama kamu.” Venya mengangguk kuat-kuat. “Aku tidak akan merusak kepercayaanmu.” Mendengar ucapan Venya, Marcel menarik napas lega. Selanjutnya, dia tinggal menunjukkan sikap kepada keluarga Shirley kalau
Marcel semakin tidak mengerti kenapa akhir-akhir ini ada orang tak dikenal yang suka muncul tiba-tiba dan mengaku mengenal dirinya.“Ini pasti karena produk kita sudah mulai dikenal orang!” kata Venya bersemangat. “Aku tidak akan heran kalau suatu saat akan ada yang memperlakukan kamu dengan istimewa!”Marcel tidak menanggapi, ketika itu dia sedang merapikan rumput liar yang tumbuh di depan rumah dan teringat dengan ucapan Venya beberapa waktu lalu.“Pak, bisa bicara empat mata sebentar soal produk Anda?” Sebuah mobil hitam berhenti dan pengemudinya turun untuk mendatangi Marcel.Sebelum Marcel menjawab, sang sopir langsung membawa Marcel masuk ke mobilnya dan meluncur ke tempat yang disebut markas.“Orang-orang bisa salah paham kalau aku mendadak pergi seperti ini,” keluh Marcel dalam hati.Namun, untuk melawan orang-orang ini pun rasanya Marcel tak berani ambil risiko.“Siapa tahu ini penculikan,” batin Marcel lagi, karena itulah dia terpaksa diam dan tenang membaca situas
Marcel refleks mendorong Ronnie menjauh darinya.“Ngapain sentuh-sentuh aku sih, Kak?” tukas Marcel antara merasa risi dan juga terhina.Ronnie mengumpat kasar.“Itu apa yang kamu sembunyikan?” hardik Ronnie dengan wajah curiga.“Aku tidak menyembunyikan apa-apa,” bantah Marcel.“Memang ada apa sih, Kak?” tanya Shirley ingin tahu.“Aku pegang sesuatu di tanganku tadi,” jawab Ronnie yakin. “Suami kamu yang tidak berguna itu pasti habis merampok ....”“Jaga ucapan kamu ya, Kak?” potong Marcel yang mulai habis kesabaran. Enak saja mereka sudah menginjak harga dirinya bagai keset setiap hari, dan sekarang menuduh bahwa dia telah mencuri.Benar-benar penghinaan besar untuk seorang Marcel.“Terus itu apa? Sini!” tunjuk Ronnie gelap mata. “Sini aku bilang!”Marcel tetap berdiri bergeming di tempatnya.“Cel, dengar tidak sih kalau Kak Ronnie bicara?” tegur Shirley sambil menarik tangan Marcel seperti seorang aparat yang menemukan seekor bandit kecil. “Jujur sama kami, apa yang kamu sembunyika
Ciko bergegas menghubungi ayahnya setelah mendapatkan informasi dari sekretarisnya di kantor.“Halo?”“Halo, Yah?” sahut Ciko begitu Herman menjawab panggilannya. “Apa Ayah sudah mendapatkan relasi baru untuk kerja sama proyek kita?”“Masih proses pencarian,” jawab Herman. “Kita harus bisa memilih dengan tepat, bukan asal pilih.”“Aku mengerti, Yah. Masalahnya aku dapat kabar kalau ada pengusaha terkenal yang ternyata diam-diam diincar Marcel,” kata Ciko memberi tahu. “Maksud aku—kok tega sekali Marcel berbuat begitu sama Ayah?”“Memangnya siapa pengusaha terkenal yang kamu maksud?” tanya Herman ingin tahu. “Setahu ayah Marcel itu tidak memiliki koneksi sama sekali dengan pengusaha manapun.”“Tapi ....”“Kamu tidak perlu terlalu khawatir, Marcel tidak akan sanggup menjalin relasi apa pun dengan pengusaha manapun.” Herman menegaskan. “Bagi ayah tidak ada kesempatan bagi Marcel untuk mengembangkan diri karena dia harus melunasi utang-utang orang tuanya.”“Baik, Yah.” Ciko tidak
Pagi pun datang, sinar matahari menembus melalui jari jemari Marcel yang tengah meringkuk di dalam kamar pembantu.Selembar selimut ala kadarnya menutupi sekujur tubuh Marcel hingga tak terlalu merasakan hawa dingin yang menusuk sampai ke tulang.“Pak Marcel, sarapan dulu selagi Tuan Ronnie dan yang lain belum bangun ...”Sayup-sayup terdengar suara Bik Nana yang mencapai telinga Marcel.“Hm ...?”“Sebaiknya Pak Marcel bangun, cuci muka, terus sarapan duluan.” Bik Nana mengetuk pintu lagi.“Nanti Shirley marah, Bik ....”“... habis sarapan, Pak Marcel bisa balik lagi ... pura-pura masih tidur dan belum makan apa-apa,” sambung Bik Nana. “Tapi jangan bilang Tuan Ronnie, nanti kita semua kena marah.”Marcel membuka mata lebar-lebar, setuju dengan ide yang diberikan Bik Nana barusan. Cepat-cepat dia bangun, mencuci mukanya dan melahap cepat sarapan berupa roti dan susu yang sudah disiapkan Bik Nana di dapur.“Tolong jangan bilang Tuan atau Nyonya Muda ya, Pak?” ucap Bik Nana lagi
Untuk meluapkan kemarahannya yang tertahan, Shirley memilih untuk mendatangi ruang kerja Herman detik itu juga.Sebenarnya Shirley tergoda sekali ingin menghakimi Marcel sendiri untuk pertama kali, tetapi dia mengurungkannya karena masih memikirkan nama baik sang ayah.Setibanya di ruang kerja, Shirley segera memberi tahu kedatangan Marcel.“Ayah dan Ibu sebaiknya cepat turun, Marcel menunggu.” “Ada Marcel? Ini benar-benar kejutan.” Herman segera berdiri dari duduknya.“Ayo kita semua turun, kita harus berbaik-baik kepada Marcel kalau tidak ingin tambang emas kita hilang untuk kesekian kalinya ....""Aku akan siapkan jamuan untuk Marcel," sahut Reina tidak sabar, dan wanita itupun segera berlalu pergi untuk memerintahkan pelayan menyiapkan teh.Selama menunggu, Marcel sibuk memainkan gawainya. Dia sempat berpikir untuk membahas perceraian dengan Shirley setelah menyelesaikan urusan orang tuanya. Setelah beberapa saat menunggu, Herman dan istrinya muncul bersama Shirley di hadapan Ma
Shirley bertopang dagu sambil memandang ke arah sahabatnya.“Aku malah mikirnya begini, bagaimana kalau ternyata Lino itu adalah Marcel yang menyamar?” ujar Shirley lambat-lambat. “Siapa yang tahu, kan? Dia sengaja pura-pura jadi orang lain karena mau balas dendam sama aku, dengan cara menggulingkan perusahaan ayah.”Elen terbengong-bengong saat mendengar ucapan Shirley yang mulai ke mana-mana.“Kamu ini Bu, kebanyakan nonton drama!” seloroh Elen sambil geleng-geleng kepala. “Saya jadi penasaran seperti apa wajah si Lino itu.”“Percaya deh sama aku, dia itu sebelas dua belas sama Marcel!” Shirley terus-menerus berusaha meyakinkan Elen.“Maaf ya Bu, tapi saya tidak percaya kalau belum bertemu sama orang yang kamu maksud itu.” Elen menghela napas. “Sudahlah, mungkin kamu terlalu sibuk kerja. Stres kan jadinya lama-lama.”“Enak aja, aku tidak stres!” sergah Shirley tidak terima. “Aku hanya gila kalau aku tidak segera tahu siapa Linocemar yang sebenarnya.”Elen melambaikan tangan kepada s
“Kamu tidak perlu bersandiwara di depanku, Cel. Jadi kamu sengaja bersembunyi?” kata Shirley tanpa mempersilakan pria itu duduk. “Terus tiba-tiba kamu datang lagi buat menghancurkan hidup aku?”“Kamu ini bicara apa, sih? Aku Lino, perwakilan dari Aldians untuk menemui Bu Shirley.” Pria itu menegaskan. “Baik, kalau memang tidak ada pembahasan yang penting, aku akan menghubungi sekretarisnya lain waktu.”Pria itu berbalik dan Shirley segera berdiri untuk mencegahnya pergi.“Tunggu dulu!” seru Shirley tertahan hingga pria itu menghentikan langkahnya dan berbalik.“Ada apa lagi?”“Maaf ... sepertinya aku ... kita lanjut,” kata Shirley terbata-bata. “Jadi kamu ini adalah ... Pak Lino yang rencananya bertemu sama aku?”Pria itu menatap Shirley lurus-lurus.“Ya,” sahutnya pendek.Shirley menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab.“Silakan duduk Pak,” pinta Shirley sopan meskipun dia masih setengah shock. “Saya Shirley, CEO dari Delvinos yang mengundang kamu.”Pria bernama Lino itu menatap S
Semakin tinggi pohon, semakin kencang pula anginnya. Begitu juga dengan perusahaan Herman yang selama beberapa waktu ini dinobatkan sebagai perusahaan raksasa yang berkibar. "Bu Shirley, Pak Erlan membatalkan kerja sama kita dan memilih kontrak kerja dengan perusahaan lain." Fira melaporkan hasil pembicaraannya kepada Shirley menjelang waktu makan siang. "Apa? Batal?" Shirley mendongak dari pekerjaannya. "Kamu tahu siapa perusahaan yang menyaingi kita?"Fira menganggukkan kepalanya. "Perusahaan milik seorang pengusaha single dan pintar .... ""Fira, saya tanya nama perusahaan yang menyaingi kita. Bukan status pemilik perusahaannya," tukas Shirley yang telinganya paling sensitif jika mendengar kata single. "Maaf Bu, tapi saya sering mendengar orang-orang membahasnya," sahut Fira salah tingkah. "Membahas soal status pemiliknya?" tanya Shirley lagi. "Bukan Bu, mereka hanya sering menyebutnya bos single kaya." Fira menjelaskan. "Dia memimpin dua perusahaan besar dan salah satunya be
“Jangan memandang ibu saya seperti itu,” kata Elen, kali ini dengan nada yang begitu dingin sementara tatapan matanya tajam memperingatkan Shirley agar lebih menjaga sikap.“Hai, Bu ...?” sapa Shirley dengan mimik terpaksa. “Apa ... Ibu tinggal di sini?”Elen hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, sudah tahu kalau ini adalah kediaman orang tuanya ... masih juga dia bertanya.“Iya, sejak Elen masih bayi merah.” Ibu Elen menyahut sambil tersenyum. “Masuk dulu, Bu?”Shirley sebenarnya ingin menolak, tapi Elen mengingatkannya soal Pak Herman dari sudut bibirnya nyaris tanpa suara.“Di sini saja, Bu.” Shirley terpaksa menganggukkan kepala sambil berjalan mendekati bangku kayu panjang yang ada di depan warung lalu meniup-niup bangku kayu sebelum dia duduki, seakan ada debu setebal satu senti di atasnya.“Bisa tidak sih kamu tidak perlu seperti itu?” tanya Elen tersinggung. “Keluarga saya memang sangat sederhana, tapi kami selalu jaga kebersihan soal rumah.”Shirley tidak menanggapi dan senga
Kali ini, Jena tidak tertawa seperti biasanya jika mendengar Shirley menghujat orang.“Shierly, dia kan relasi bisnis kamu.” Jena mengingatkan. “Paling tidak, hormatilah dia sedikit.”Shirley mengangkat sebelah alisnya ke arah pantulan Jena di cermin besar yang ada di depannya.“Kamu belain Elen?” tanyanya sambil menyipit curiga.“Bukannya belain, tapi memang dia itu relasi bisnis kamu kan?” tanya Jena balik. “Ya aku kasihan saja sih lihat dia, aku lihat dia baik dan tidak aneh-aneh ....”“Terus?” pancing Shirley sinis.“Kasihan saja sih, lihat kamu galak sama dia terus.” Jena mengangkat bahu. “Tidak ada maksud apa-apa.”Shirley mengembuskan napas keras dan tidak berkata apa-apa.Beberapa saat kemudian ....Saat rambut Shirley selesai dibilas dan sedang dalam proses pengeringan, Elen muncul dengan rambut yang sudah tidak selepek sebelumnya. “Hei, ngapain kamu masuk-masuk tanpa izin?” hardik Shirley, mengagetkan beberapa pengunjung salon yang sedang menikmati layanan para kapster.Leb
“Karena saya cuma pegawai,” jawab Elen. “Tapi Shirley bukanlah atasan kamu,” kata Marcel menegaskan. “Di perusahaan itu kalian berdua sama-sama CEO, kamu sama Shirley sederajat di mata Pak Herman.”Elen tidak segera menjawab.“Tapi ... tetap saja bagi Bu Shirley, saya hanyalah pegawai kelas rendah dan akan selamanya seperti itu.” Dia memandang Marcel. “Seandainya Bu Shirley bukan putri bos, mungkin saya akan melawannya.”Marcel tersenyum singkat mendengar pengakuan Elen.“Jadi sebenarnya kamu punya kemampuan untuk melawan Shirley,” komentar Marcel lugas. “Tapi kamu sendiri yang menolak menggunakan kesempatan itu, padahal kamu bisa.”“Tapi ...” Elen tidak menemukan kata-kata yang pas untuk menanggapi.“Dengarkan saya, Elen. Kamu dan Shirley sudah dikasih kesempatan untuk kerja sama, jadi saya minta tolong.” Marcel menyela sambil menatap Elen dengan serius. “Tolong bantu saya untuk mencari tahu keseluruhan bisnis yang dikembangkan keluarga istri saya.”“Apa, Pak?” Elen membelalakkan ma
“Wah, wah, senang sekali melihat kalian berdua akrab seperti ini.” Tanpa diduga, Herman muncul saat ceramah Shirley masih berlangsung.“Pak?” Elen cepat-cepat berdiri untuk menyambutnya. “Yah, lihat deh. Elen mau beli mobil,” tunjuk Shirley sambil memandang ayahnya. “Calon sekretaris pilihan ayah sudah mulai naik kelas rupanya ....”“Shirley, biasakan menyebut nama orang dengan baik.” Herman menegur putrinya. “Soal mobil, tidak ada yang salah dengan hal itu kan?”Shirley mengangkat bahunya dan berpikir bahwa ayahnya sama sekali tidak sependapat dengannya.“Kenapa kamu tidak pergi ke ruangan kamu sendiri?” tanya Herman sambil memandang putrinya. “Atau kamu memang berniat mendekatkan diri sama sekretaris kamu? Ayah akan izinkan kalau itu tujuan kamu.”“Tidak deh, Yah.” Shirley menggelengkan kepalanya sambil berdiri dari kursinya. “Mungkin Ayah yang sebenarnya mau mengenal si kampung lebih dekat ....”“Shirley, berapa kali papa harus tegur kamu supaya menyebut nama orang dengan benar?”
Sekeras apa pun usaha Shirley untuk menolak rencana itu, tetap saja ayahnya tidak akan membatalkan rencana yang sudah dia susun sejak lama.“Apa sih Ayah lihat dari Elen?” tanya Shirley tidak habis pikir. “Kalau Ayah memang mau aku berkarir, biar aku yang cari sekretaris sendiri.”“Memangnya kamu bisa menjamin kalau sekretaris yang kamu pilih itu adalah orang baik-baik?” tanya Herman sambil memandang putrinya lekat-lekat. “Paling juga dia hanya mau sama kekayaan Ayah saja ....”“Apa Ayah pikir Elen juga tidak begitu?” sahut Shirley dengan napas memburu. “Dia kan dari keluarga pas-pasan, jelas saja dia tidak menolak jabatan ini.”“Elen menolak kok,” kata Herman tenang. “Apa?” Shirley terpaku. “Dia menolak ...? Sombong amat, tapi baguslah. Itu berarti Ayah tidak perlu lagi memaksakan kerja sama ini.”Herman menarik napas.“Justru karena Elen menolak, makanya ayah akan tetap meneruskan rencana kerja sama kalian.” Dia menyahut. “Justru ini yang ayah harapkan, kamu mendapatkan sekretaris