Di dalam mobil Hakam dan Sarah tertawa. Mereka sangat senang bisa mengerjai Jonathan.
“Wajahnya lucu sekali!” Ujar Sarah sambil terus tertawa. “Sesekali dia harus mendapatkan pelajaran. Mulutnya yang sombong itu harus dibungkam dengan erat.” Sarah tertawa, tapi kemudian tawanya berhenti mengingat sesuatu. “Dia pasti akan menuntut balas padamu, Hakam.” Katanya dengan khawatir. “Dia atau aku duluan yang membalas. Lihat saja nanti!” Sarah menghela napasnya. “Darimana kamu mendapatkan uang? Black card, bahkan mobil limited yang kita tumpangi ini?” “Ini punyaku.” Sarah kesal, lalu memutar bola matanya. “Pasti ada yang menolongmu. Aku yakin kau pria yang terus beruntung dimanapun kau berada, Hakam. Sama seperti saat kau terlunta-lunta di jalan 3 tahun lalu, kau ketemu denganku, dan aku memberikan tempat yang layak untuk kau tinggali.” Hakam hanya mengangguk. Ia tak memaksa Sarah percaya pada ucapannya. Karena yang Sarah tahu, dia adalah pria miskin yang hanya punya sedikit uang untuk sekedar mengisi perut setiap harinya. “Ucapkan terimakasih pada orang yang sudah menolongmu, dan jangan mengaku-ngaku kalau semua yang dipinjamkannya padamu adalah milikmu!” Mendengar itu Hakam tertawa lalu menganggukkan kepala. Sampailah mereka di depan rumah. Satpam rumah sudah membukakan pintu saat Sarah menjulurkan kepalanya keluar supaya satpam tahu yang ada di dalam mobil sport itu salah satu penghuni rumah. “Sampai sini saja, jangan masuk. Maaf!” Tak enak hati sebenarnya, tapi Sarah memilih untuk tidak memperkeruh masalah dengan kemunculan Hakam di depan keluarganya. “Aku mau turun. Ini juga rumahku, karena aku suamimu!” Deg Jantung Sarah terasa berdebar. Apa pria di hadapannya ini tidak paham bahwa keluarganya sangat membenci dirinya? “Seisi rumah akan mencaci mu. Pergilah aku mohon!” Hakam menggeleng. Ia tetap pada pendiriannya. “Kau ini.” Sarah pasrah. Ia tak bisa menghentikan Hakam. Kini keduanya keluar dari mobil, membuat satpam penjaga rumah Ramanda tercengang melihat Hakam ada di mobil yang sama dengan Sarah dan dengan penampilan yang luar biasa gagah dan tampan. “Hakam?” Sella yang lebih dulu melihat Hakam memasuki rumah. Ia berteriak memanggil semua keluarganya untuk turun melihat Hakam yang datang bersama Sarah. “Untuk apa kau kembali kemari. Sarah, bukankah dia sudah kamu usir?” Sarah yang bingung menjawab hanya diam pasrah. Tahu istrinya bingung, Hakam memegang tangan Sarah. Saat itu juga Sarah mengangkat wajah menatap Hakam. “Hei, Sarah. Beberapa hari tanpa dia rumah ini tentram damai. Sekarang kamu membawanya kembali kemari, apa maksudmu?” Sintya berkacak pinggang. “Dia suamiku. Sudah sepantasnya dia berada di sini bersamaku!” Ucap Sarah yang sudah kembali pada kepercayaan dirinya. “Dia pria darah miskin, Sarah. Tidak selevel dengan kita!” “Kacau, kacau. Pikiranmu sudah kacau, Sarah.” Sari mulai frustasi dengan tingkah putri bungsunya itu. Karena geram, Sari mendekati Sarah. Hendak memukulnya, tapi Hakam tak membiarkan sedikitpun tangan mertuanya menyentuh kulit istrinya. “Jangan menyentuh istriku!” Katanya tegas dan berwibawa. “Hah, kamu berani sama mama?” Sintya mendekat. Ia hendak mendorong Hakam, tapi dia yang lebih dulu didorong Hakam hingga tersungkur ke lantai. “Sintya?!” Sari berseru. Ia membantu Sintya berdiri, sementara yang lain masih tercengang dengan keberanian Hakam pada keluarga istrinya. “Setan apa yang merasukimu?!” Hakam jengah. Ia mengabaikan beberapa pasang mata yang menatap tajam dirinya. Ia menarik Sarah menuju ke lantai dua dan masuk ke dalam kamar pribadi mereka. “Mulai sekarang, jangan mengurusi mereka. Kita urusi kehidupan rumah tangga kita.” Kata Hakam. “Pernikahan kita hanya pura-pura, Hakam.” Saat itu juga Hakam mengeluarkan kotak cincin yang sudah ada di saku celananya sejak tadi. “Menikahlah denganku, karena aku sangat mencintaimu dan ingin menjadikan kamu sebagai ratumu!” Berbinar mata Sarah mendengarnya. Tanpa ragu ia mengangguk dan menerima cincin itu. “Aku akan urus pernikahan kita besok. Aku pastikan keluargamu akan menyetujuinya!” ** Paginya semua orang dalam rumah Ramanda berwajah tegang. Ekspresi marah dan kesal bercampur menjadi satu. Hakam meminta semua orang tidak sarapan dulu, melainkan menunggu dirinya dan Sarah selesai sarapan, barulah mereka bisa sarapan. Tentu mereka semua tidak bisa membantah, karena pagi itu Hakam mengirim banyak orang pria sebagai pengawalnya mengelilingi meja makan. Siapapun yang membantah Hakam, maka dia akan angkat kaki dari meja makan dan seharian penuh tidak mendapat jatah makanan. Termasuk Surya sebagai kepala rumah tangga, ia pun tak bisa berkutik sama sekali. “Sudah selesai?” Tanya Hakam pada Sarah yang sedang mengambil tisu untuk mengusap bibirnya. “Hemm.” Jawabnya sambil melirik keluarganya yang menatap tajam dirinya. Jujur sebenarnya Sarah takut. Tapi karena Hakam memaksa, dia pun tak bisa berkutik juga tak berani membantah. Hakam menatap satu persatu keluarga istrinya. “Hari ini, kalian semua akan ikut denganku ke KUA untuk menyaksikan akad nikahku dengan Sarah!” “Apa? Ini-” Hakam mengangkat tangan, tak ingin Sintya melanjutkan kalimatnya, atau pengawal akan menyeret dia keluar dari ruang makan. “Papa, kau merestui kami, kan?” Hakam menatap tajam pada papa mertuanya. Ia tersenyum, tapi entah kenapa senyuman itu seolah akan membawa bencana di kehidupan Surya selanjutnya. “Ya.” Jawab Surya, kemudian membuang muka ke arah lain. “Akan aku siapkan 2 saksi untuk ke sahnya pernikahan kalian berdua.” Sari nampak bingung. Mau bertanya, tapi suasana seakan tak mendukung. Kemudian Hakam meminta semua orang untuk sarapan. Dan dirinya pergi ke kamar bersama Sarah. ** “Pa. Apa-apaan ini? Kenapa papa merestui pernikahan mereka? Usir Hakam, Pa. Dia benalu dan berdarah miskin. Mana bisa bergabung dengan keluarga kita. Susah payah kemarin kita mendapatkan momen dirinya pergi dari sini, tapi ternyata hanya bertahan beberapa hari saja.” Sari jengkel dan mencerca suaminya saat mereka di dalam kamar. “Biarlah, papa malas. Daripada sulit makan seperti tadi, mending papa mengikuti kemauan Hakam. Ayo, bersiap-siaplah, kita akan segera pergi ke KUA!” Surya kemudian mengambil jas nya di dalam lemari. “Ada apa denganmu, Pa. Apa Hakam menyogokmu?” “Tidak. Aku hanya memikirkan kebahagiaan Sarah.” “Hah?” Sari masih tak percaya dengan perubahan sikap Surya yang drastis. Kemarin saja suaminya itu gencar meminta Hakam pergi. Tapi sekarang, ia mempertahankan Hakam dan menjadikannya menantu bungsu keluarga Ramanda. Pada pukul 10, semua keluarga Ramanda sudah berkumpul di KUA terdekat. Ada juga 2 orang saksi yang dibawa Surya. Mereka adalah adik-adiknya yang berada di kota lain, ia datangkan hanya untuk menjadi saksi pernikahan putrinya. Acara berlangsung sakral. Hakam mengucapkan ijab qabul, dan kemudian sah lah pernikahan mereka berdua. “Sejak kapan Hakam punya mobil sport?” Bisik Sintya pada Randu. “Hallah, paling mobil pinjaman.” “Kamu bisa pinjam mobil sport limited itu?” Randu menatap sebal pada istrinya. “Pinjam ke siapa? Temanku tak ada yang punya mobil seperti itu. Harganya mahal lo!” “Ada yang tidak beres pada Hakam. Tapi untuk sementara abaikan itu. Gimana kalau kita numpang di mobil Hakam. Aku sangat ingin menggunakan mobil mewah itu?” Sintya mulai merengek ingin satu mobil dengan Hakam. “Hust!” Sella menyenggol kakaknya. “Ini pasti tipu daya. Kita tidak boleh terperangkap!” “Yang dikatakan Sella benar.” Randu mengangguk setuju. Kecewa Sintya seketika karena dia akan melewatkan waktu untuk menaiki mobil mewah. Keluarga Ramanda hanya bisa menelan saliva mereka saat Sarah masuk ke dalam mobil mewah milik Hakam. “Mobil kita bagai sangat kecil dibanding mobil Hakam.” Ucap Sintya yang penuh dengan kekecewaan.“Tanyakan pada Sarah dimana mereka bulan madu?” Sari mendekati Sintya yang sedang duduk bersama Randu di dekat kolam renang. “Tidak mau, untuk apa aku tanya begitu, Ma. Kurang kerjaan!” “Lihat mobil Hakam? Lihat pengawal yang datang kemari? Lihat penampilan Hakam? Dia beda dari Hakam biasanya.” Sintya menghentikan aktifitas mengemilnya. “Sadar tidak?” Sari berbinar. Baru tadi pagi keluarga Ramanda melihat mobil sport merah nan mewah terparkir di halaman rumah mereka. Tepatnya sebelum mereka berangkat ke KUA. Sempat bertanya-tanya siapa gerangan pemilik mobil mewah tersebut. Rupanya Hakam dan Sarah memasuki mobil itu membuat semua terkejut. Karena itulah mereka diam saat Hakam melakukan ijab qabul di KUA. Banyak ide yang menari di kepala masing-masing. Termasuk Sari yang sejak dulu menyukai uang. “Pasti mereka juga bulan madu di tempat yang mewah!” ucap Sari lagi semakin membuat Sintya kelabakan karena iri. Dulu saja saat baru menikah dengan Randu 6 tahun lalu, mereka hany
Hakam dan Sarah pulang dari Bali. Mereka bergandeng tangan dengan senyum yang tak surut sejak tadi. Hal itu membuat Sintya kesal melihatnya. Matanya melirik pada dua koper besar yang mereka tarik. “Kita sudah sampai, Sayang. Kau lelah?” tanya Hakam pada istri tercintanya. Satu minggu berada di Bali untuk berbulan madu, memadu kasih dan senang-senang bersama, membuat mereka tampak bahagia. “Iya. Aku sangat lelah!” jawab Sarah memegang tengkuknya. Hakam memeluk, bahkan mencium Sarah tanpa peduli pasang mata yang melihatnya dengan memicing. Ia pamerkan kemesraannya dengan begitu totalitas. “Pergilah lebih dulu ke kamar. Istirahat yang nyenyak, ya. Aku akan mengeluarkan oleh-oleh kita di sini!”Sarah mengangguk lalu berlalu menuju ke kamarnya. Hakam yang saat ini duduk di ruang tengah, membuka kopernya dan mengeluarkan isi di dalamnya satu persatu. Ada jam tangan bermerk, ada sepatu, ada tas branded, ada pernak-pernik khas Bali. “Waah, gaun itu bagus sekali!” Sintya mau mendekat, t
Saat memasuki gedung perusahaan Hendra, Hakam dan Sarah mendengar bisik-bisik para karyawan terkait pimpinan baru mereka yang akan hadir hari ini. Bagi mereka semua, pergantian pimpinan terkesan mendadak. Karena sebelumnya tidak ada selentingan sama sekali terkait hal tersebut. Sejak dulu Hendra sudah memimpin setelah ayahnya turun dan memutuskan pensiun. Hendra tak memiliki kakak ataupun adik. Tak mungkin dia tiba-tiba menjual perusahaannya ke orang lain tanpa alasan. Jika dilihat dari sisi keuangan dan kredibilitas perusahaan, di mata para pegawai semua baik-baik saja. Apa yang terjadi, dan dimana Hendra sekarang ini? “Sar, pimpinan kita baru. Pak Hendra sudah memutuskan tidak memimpin lagi disini!” Riska memberitahu Sarah yang baru saja sampai di kubikelnya. “Lalu pak Hendra kemana?”Riska menggeleng. Tepat pukul 9, pimpinan baru itu hadir, menyita perhatian semua yang ada di dalam gedung. Bisik-bisik mulai terdengar, terutama dari kalangan pegawai wanita. “Wah, dia masih m
“Cuih!” Ludah Jonathan mendarat tepat di hidung Aksara Hakam. Hakam melonjak refleks mengusap air liur yang ada di hidungnya dengan tangan. “Aku sangat membencimu, Hakam. Kenapa kamu tidak hilang saja dari atas bumi ini?” Jonathan mencekik leher Hakam, sementara Hakam meronta meminta dilepaskan. “Lepaskan aku!” katanya dengan suara terbata. “Tidak akan. Aku akan membunuhmu, pria yang sudah berani mendekati wanitaku!” Jonathan seperti pria kesetanan. Matanya melotot, tangannya terus mencengkeram leher Hakam agar pria itu tak bisa bernapas lagi. Ia sangat marah dan geram lantaran tadi di pantry kantor, Hakam membantu Sarah yang hampir jatuh. Bahkan ia melihat Hakam menempelkan bibirnya ke bibir Sarah, membuat darah di tubuh Jonathan serasa mendidih. Mata Hakam semakin mendelik, ia kehabisan napas. Tangannya terus meronta memegang tangan Jonathan dan menariknya. “Matilah, matilah, hahaha!” seru Jonathan yang kesetanan. “Jonathan hentikan!” Adam berlari dan menarik tubuh
Semua tertawa senang saat Sarah memutuskan mengeluarkan Hakam dari keluarga Ramanda. Tawa riuh, hujatan, cercaan terdengar memanaskan telinga Hakam. Ia hanya bisa berdiri memandang keluarga istrinya dari depan pintu. Bug Sebuah tas ransel terlempar ke arahnya. “Kata Sarah itu baju kamu yang tertinggal. Bawa gih, jangan sampai menyisakan apapun di sini. Bahkan bau badan kamu jangan sampai tertinggal!” Seru Sintya. Semua tertawa mendengarnya. Mata Hakam terarah pada Sari, Surya, Sintya dan Sella yang terus mengejeknya. Mereka, empat orang yang akan selalu ia ingat bagaimana mereka memperlakukan dirinya selama tiga tahun ini. Suara deru mobil dari arah belakang. Hakam menoleh mendapati Randu dan Septian keluar dari mobil yang sama. “Hakam mau minggat?” Randu menoleh pada istrinya, Sintya, meminta jawaban. Sintya mengangguk sambil bertepuk tangan bahagia. Tawanya menggelegar seketika. “Baguslah baguslah!” Randu pergi ke istrinya, sementara Septian, mendekati Hakam. “
Senja terlihat cantik di langit sana. Tak hentinya Sarah memandang ke atas sambil menunggu taksi yang sudah ia pesan menjemput. Ia tertegun saat tiba-tiba ada sebuah mobil sport merah datang menghampiri. Mata Sarah sampai menyipit untuk tahu siapakah gerangan pengemudi mobil yang sudah tak sopan berhenti tepat di depannya. “Tolong minggirlah, nanti taksi pesananku tak melihat aku di sini!” Kata Sarah mencoba berkomunikasi dengan si pengemudi mobil sport merah yang tak terlihat wajahnya. Jonathan dan dua teman buntutnya datang. “Apa ada masalah, Sarah?” “Mobil ini menghalangi. Aku sedang menunggu taksi online.” Jawab Sarah. “Astaga, kamu pesan taksi online. Jika mau pulang, katakan padaku, aku siap mengantarmu pulang. Untuk apa menunggu taksi yang ber pengemudi asing. Bukankah lebih baik pulang bersamaku yang sudah kamu kenal sejak 5 tahunan.” Sarah membuang napas kesal. “Lebih baik aku naik taksi daripada pulang denganmu!” Ketus Sarah. “Kau ini. Sudah ditinggal Hakam, h