Semua terjadi begitu cepat. Dokter Nafsin memasang jarum infus di punggung tangan kiriku. Bella memberiku susu kental manis. Mommy memberiku air kelapa muda setelah itu dan Brilliant mondar-mandir di depan pintu kamar. Sebagai lelaki yang belum menikah tetapi berempati tinggi, pasti dia cemas sekali. Situasi ini memang luar biasa. Lebih dari genting berlipat-lipat. "Saya mau pipis, Dokter." kataku dengan jujur dan apa adanya. "Oh, ya? Pipis di sini saja, Bu Mirah.""Malu, Dokter." Dokter Nafsin tertawa lirih. "Nggak perlu malu, Bu Mirah. Ini hal yang biasa terjadi. Pipis saja, jangan ditahan atau perlu saya sedot pakai selamg kateter?""Emh!"Mommy yang baru masuk kembali entah dari mana, langsung mendekat ke kepala tempat tidur. "Bagaimana, Dokter?""Nunggu kepala bayinya sandar, Bu. Masih agak tinggi ini. Nggak bagus kalau Bu Mirah ngeden dari sekarang. Nanti jalan lahirnya bisa bengkak. Kalau bengkak, mempersulit lolosnya kepala bayi nan---""Aaaaaaa …!" tak sanggup rasanya, kal
Time flies so fast!Enam bulan sudah berlalu dari sejak kelahiran Baby Twins, Tulip dan Olive. Aku sudah kembali ke rumah Mama karena semenjak kakinya patah, Mama jadi sering sakit-sakitan. Benar, ada Mbak Sri tetapi yang lebih berhak untuk merawat Mama kan, aku? Selain itu, Mommy sudah menikah lagi dengan cinta monyetnya dulu, Om Damar dan ikut pindah ke Belanda. Om Danar bekerja di Kedutaan Besar Indonesia yang ada di sana. Sejujurnya aku lebih dari syok, tahu Mama menyimpan rahasia itu. Bayangkanlah! Ternyata mereka berpacaran lagi seratus hari setelah Daddy meninggal dunia. Gila tidak, sih? Bagiku seratus hari itu waktu yang sangat singkat. Tanah kuburan Daddy pun masih basah. Ya, tetapi aku bisa apa? Waktu aku konfirmasi, Mommy mengatakan kalau dia dan Om Damar sudah berkomitmen, hanya akan menikah kalau aku sudah menikah. "Walaupun pernikahan Mirah berantakan seperti ini, Mommy?" secara tidak langsung aku mengajukan protes waktu itu. "Memangnya Mommy tega meninggalkan Mirah
OK, fine!Lupakanlah Naufal dengan segala usaha kerasnya untuk terus mendekati aku. Halo, dia harus tahu kalau aku bukan tipe wanita yang mudah berpaling. Tidak juga mudah silau terhadap melimpah ruahnya materi. Lagi pula, Mas Arfen dan aku masih berstatus suami isteri, kok. Bisa-bisanya dia berusaha sampai segencar itu? Memangnya lupa, siapakah Mirah Delima? Tidak mudah untuk mencintai!"Ya, Mbak, ya!" kataku sebelum akhirnya mengakhiri panggilan tanpa permisi.Mbak Sri memberi tahu kalau Harum dan Papa sudah berangkat dari rumah mereka. Artinya aku harus segera pulang. "Maaf ya, Mbak Hasya, saya harus segera pulang." Mbak Hasya masih di ruang kerjaku waktu Mbak Sri menelepon. Sisi keberuntungannya adalah kami sudah selesai membuat resolusi. Tinggal mengetik saja nanti malam atau besok pagi, kalau Tulip - Olive sudah tidur atau anteng disambi. "Baik, Bu Mirah, silahkan. Hati-hati di jalan.""Oke, Mbak Hasya. Oh ya, semua masuk kan, hari ini?"Mbak Hasya mengangguk dengan wajah sum
Mama memanggilku ke ruang keluarga. Beliau baru saja selesai mandi dan masih mengenakan bath jas. Berkalung handuk merah bata polos. Tersenyum super manis saat aku datang. "Ya, Mama, Mama memanggil Mirah?" Mama mengangguk, mendahului duduk di sofa. Bingung, sedikit takut aku duduk di depannya. Memandang dalam diam, berusaha untuk tetap berpikir positif. Berdoa juga, semoga kedatangan Harum dan Papa tadi tidak meninggalkan masalah apa pun. Aku tidak pernah mengira, kalau di antara Mama dan Papa masih ada masalah yang harus diselesaikan. "Kamu dengar pembicaraan Mama sama Papa tadi?"Seketika naluri kejujuran dalam diriku berseru, "Iya, dengar, Mama!" Tetapi di sisi yang lain aku takut. Bagaimana kalau Mama tersinggung atau salah paham? Ah, tetapi bukankah kejujuran adalah hal yang paling utama dalam hidup ini? Katakanlah yang yang sejujurnya, walaupun pahit. Bukan begitu?"Dengar, Mama tapi samar." Itu yang sesungguhnya. Tidak ada yang aku kurangi, tidak ada juga yang aku tambahi.
Aku pikir benar, Mama terlalu baik untuk disakiti. Tetapi ternyata pemikiran itu salah. Salah besar. Jadi, aku baru saja pulang menjenguk Mas Arfen. Tidak lama, karena Tulip - Olive aku tinggal di rumah. Mbak Sri dengan senang hati menjaga mereka. Nah, sesampainya di teras, aku langsung melepas sepatu dan meletakkan di rak besi samping pintu seperti biasa. Karena sepi aku langsung berjalan ke kamar Tulip - Olive melewati ruang tamu, ruang keluarga, ruang kerja Mama. Belum juga sampai di kamar Tulip - Olive, langkahku terhenti oleh karena mendengar sesuatu yang sangat menyakitkan dari ruang kerja Mama. "Tapi, kenapa Tante malah ngasih butik itu ke Mirah?" jelas, aku mendengar Mourin bertanya dengan sedingin itu pada Mama. Dia sudah bebas satu bulan yang lalu, karena mampu membayar denda, katanya. Aku tidak tahu bagaimana keadaan yang sesungguhnya. "Nggak salah tuh, Tante?" "Sssttt … Itu hanya trik, Mourin. Kamu tahu sendiri kan, gimana dia? Bodoh-bodoh cerdas. Ya, begitulah poko
"Mir!" Bella melepas sweater peach tersayang. Menggantungkan di gantungan baju. Duduk di salah satu Zabutton yang mengelilingi meja bundar di seberang tempat tidur. Menyentuh kelopak bunga mawar yang ada di dalam vas, memastikan apakah itu mawar hidup atau hiasan, katanya. "Berat banget ya, masalahnya?" Reflek, aku mengangguk. Tulip masih menyusu dengan lahapnya sementara itu Olive sudah lelap dalam tidurnya. Tulip memang lebih sering menyusu di malam hari dari pada Olive. "Mau cerita sama aku? Ya, siapa tahu kan, aku bisa bantu?" Aku diam karena didera konflik di rongga dada. Ini masalah keluarga, haruskah aku bercerita? Maksudku, di dalam masalah ini ada Mama juga. Bukan tentang aku dan Mas Arfen semata-mata. "Mir!" "Hemh?" "Serius, kamu mau pindah ke Jakarta?" Mengangguk. Hanya itu yang bisa aku lakukan. Bella menengadah, memandangku lurus, tajam dan dalam. "Itu rumah Daddy kamu, kan?" "Iya, rumah Daddy." Bella menggeleng-gelengkan kepala lemah. "Lha, terus kamu
Begitu terkejutnya aku, sehingga tak mampu berkata-kata. Sedikit pun tidak. Bahkan, aku yakin, sudah menjelma menjadi patung kayu. Setelah hampir tujuh bulan lamanya, siapa sangka akan bertemu dengan Dokter Nafsin lagi? Selama ini aku selalu berusaha untuk menghindar, lho, sungguh. Bukan apa-apa! Aku hanya malu, sangat malu setiap kali teringat bagaimana dulu dia berulang kali mengecup keningku. Bukan hanya itu, dia juga mencium pipi yang aku sama sekali tidak tahu dengan alasan apa. Benar, dia dokter kandungan yang menolong persalinanku, tetapi apakah harus seperti itu? Karena empati? Apa itu tidak kebablasan namanya? OK, fine. Waktu itu aku dalam kondisi tak berdaya, kesakitan luar biasa sehingga tidak terlalu memperdulikan hal itu tetapi setelahnya? Aku perempuan baik-baik. "Dok---Dokter Nafsin!" lega sekali rasanya, karena akhirnya bisa menjadi manusia kembali. Lebih tepatnya manusia normal dan sehat. "Apa kabar, Bu Mirah?" Dokter Nafsin terus memandangku lurus, tajam dan
Ya Tuhan! Untung kesadaran dalam diriku dalam kondisi utuh, sempurna. Jiwaku pun tidak dalam keadaan terguncang atau semacamnya. Jika tidak? Aku yakin, menampar wajahnya bukanlah sesuatu yang sulit dilakukan. "Bu Mirah … Maaf, kalau saya sudah menyinggung perasaan Bu Mirah. Saya hanya ingin tahu bagaimana keadaan Dokter Arfen, kok. Emg, sedih juga rasanya, mengingat Beliau adalah dokter spesialis kandungan yang sangat profesional. Sebenarnya Beliau juga senior saya." Dokter Nafsin menyambung percakapannya yang sama sekali tak kurespon tadi. "Ya, begitulah, Bu Mirah." Tetapi aku tidak peduli sama sekali dengan semua itu. Seprofesional apa pun Mas Arfen, tetap saja dia sudah melakukan sebuah kesalahan fatal yang membuatnya harus mengunduh hukuman. Terlepas dari apakah benar itu skandal Mourin atau bukan? Saksi, bukti, data dan fakta semuanya mengukuhkan bahwa itu murni maalpraktek. "Siapa nama anaknya?" gila, dengan nakalnya Dokter Nafsin menyerongkan badan menghadap kepadaku, meman
Tak ingin menimbulkan kecurigaan atau yang setara dengan itu dalam diri Mas Arfen, sebisa mungkin aku bersikap sebagaimana mestinya. Tidak terlalu manja, tetapi juga tidak terlalu mandiri. Begitu juga terhadap Mama---aku tetap menjenguk setiap weekend, menemani minum teh sore atau berbelanja di supermarket---terutama Mourin. Menahan emosi, mengendalikan diri dengan sebaik-baiknya adalah jalan yang harus aku tempuh. Ya, walaupun kadang-kadang ucapannya lebih tajam dari sembilu. Tak perlu diambil hati."Kok, kamu nggak ngasih tahu kalau mau ke undangan sih, Mir?" protes keras Mourin begitu sampai di rumah dan tahu kalau kami mau ke wedding party Bella. "Tahu gitu kan, aku nggak pakai tunik kayak gini?" "Sorry banget, Mourin, aku benar-benar lupa." Itu bohong, asli. Sesungguhnya aku memang tak ada niat untuk mengajak dia. Cukup Mas Arfen saja, maksudku. "Hemh!" Mourin memberengut, menghentak-hentakkan kaki seperti anak kecil. Membujuk Mas Arfen supaya mau mengantarkannya ke shopping m
First Love Sign Angkasa. Lama dan dalam, aku memandang foto bayi mungil itu sampai-sampai tanpa sadar menetes air mata. Bayi suci itu terlihat begitu tenang, damai dan bahagia. Sayang, orangtuanya tak punya perasaan. Aku benar-benar tidak mengerti. Di panti asuhan mana coba, dia membuangnya? "Mir, itu ada panti asuhan di seberang jalan!" seketika perhatianku teralih dari foto First ke ujung telunjuknya. Hari ini aku meminta bantuan 4 Little Stars minus Bella dan dirinya untuk mulai mencari First. "Gimana, kita turun tanya dulu, nggak?" "Biar aku dan Rafael dulu saja yang turun. Nanti kalau memang diperlukan, baru kalian kami panggil. Gimana?" Brilliant menghentikan mobil tepat di seberang pintu gerbang panti asuhan. "Yuk, El?""Oke. Siap berjuang, Bos!" Rafael terdengar antusias. "Kalian di sini saja dulu, ya?""Ya." Anyelir dan aku menjawab hampir bersamaan. "Fotonya, mana?" pertanyaan Brilliant menyentil kuat-kuat kesadaranku. "Semoga saja benar, ini panti asuhannya."."Ini, Bril
Oh, jadi, Mourin justru menyalahkan aku? Baik, baik!"Jaga bicara kamu ya, Mourin?" setenang mungkin aku bertekad menghadapinya. "Bukan aku lho, yang memaksa kamu untuk menikah dengan Mas Arfen. Bukan aku juga yang membuat kamu masuk dan terperangkap cinta terlarang bersamanya. Kamu, kamu sendiri yang memaksakan keada---""Stop, stop!" Mirah memotong kasar perkataanku tetapi aku tidak peduli. "Kamu yang memaksakan keadaan, menghalalkan segala cara. Satu yang perlu kamu ketahui, Mourin, seandainya Mas Arfen berani jujur dari awal, aku nggak akan pernah menikah dengannya. Nggak akan sudi bertemu dengannya lagi, apa pun alasan---""Dasar, anak ndeso. Norak, kampungan. Kere munggah bale!"Di sini, aku mulai tersulut emosi tetapi sebisa mungkin mengendalikan diri. "Emh, terus saja menghina aku, Mourin. Aku nggak apa-apa, kok. Serius. Terus saja mengolok-olok, merendahkan sampai kamu puas." "Ya, karena kamu pantas, sangat pantas untuk mendapatkan semua itu. Masa, nggak tahu diri juga, s
Lusa ini Mourin berulang tahun dan ternyata sudah menyusun rencana honeymoon ke Bali selama satu minggu. Sialnya---ini adalah kesialan terbesar dalam hidupku---dia juga mengajakku. Bayangkanlah! Mau tak mau, suka tak suka, aku harus ikut serta. Itu, kalau seperti itu, madu jenis apa namanya? Seharusnya dia silent saja akan hal itu dan langsung pergi, cukup bersama Mas Arfen. "Mourin, kamu tahu kan, aku ada Tulip - Olive?" dengan tegas aku mengatakan hal itu, dengan maksud membuka mata kesadarannya. "Nggak mungkin aku ikut kalian. Tulip - Olive adalah segala-galanya bagiku." Mourin mengernyitkan dahi, tertawa meremehkan. "Ya, kalau gitu percuma saja dong, kamu punya baby sitter?""Maksud kamu?" nada suaraku meninggi dengan sendirinya di sini. "Aku membayar baby sitter bukan untuk supaya aku bisa bersenang-senang di luar rumah atau bagaimana. Jangan lancang kamu, Mourin. Aku membayar baby sitter, supaya bisa membantu Mama di butik dan untuk hal-hal yang bersifat penting lainnya.""Sss
"Sudahlah, Mirah. Jangan disesali terus, jangan diingat-ingat lagi." ujar Mama usai seruputan pertama teh manisnya yang terdengar sangat nikmat. "Kamu nggak salah, kok. Kita semua dalam ancaman, di bawah tekanan dia waktu itu. Kalau Mama jadi kamu, Mama juga pasti melakukan hal yang sama."Getir, aku berusaha memberikan senyum semangat. "Terima kasih, Mama, sudah mengerti situasi dan kondisi Mirah. Ya, sebenarnya, Mirah berat hati membagi Mas Arfen dengan perempuan seperti dia. Tapi gimana lagi? Toh, Mas Arfen juga sudah lama bersama dia."Mama menyeruput teh manisnya lagi. Mengambil sepotong brownies dan mulai menikmati. Bukan hanya itu, Mama juga memuji brownies buatanku. Crunchy, katanya. Manis, gurih dan tidak membuat eneg. Wah, aku benar-benar tersanjung sampai ke langit biru."Mirah!""Ya, Mama?" aku mengurungkan diri untuk mengambil sepotong apel merah dalam salad buah. "Gimana, Mama?"Mama mengetuk-ngetukkan jari telunjuk di badan mug. "Kamu mau bantu Mama, kan? Pasti mau, kar
"Ya, aku juga nggak tahu, Mas." terus terang prihatin sekali dengan tingkah laku Mourin yang misterius dan penuh dengan sandiwara. Baru saja Mas Arfen meminta pendapatku. Ya, tentu saja, aku tidak kau terlibat lebih jauh lagi. Bahaya. "Kamu sudah tanya sama Mourin, apa motivasinya untuk tinggal di rumah Mama? Menurutku kamu juga harus mempertimbangkan perasaan Mama lho, Mas. Bukan berarti aku ingin menguasai Mama atau bagaimana lho, ya? Jangan salah paham!" Mas Arfen melepas jaket, menyerahkannya padaku. "Ya, aku tahu. Itulah kenapa aku juga nggak setuju, nggak mau, kalau sampai pindah ke rumah Mama."Aku diam. Membantunya membuka kencing kemeja. "Ya, katanya sih, biar lebih dekat kalau ke klinik.""Oh?""Sebenarnya kan, Sayang, aku nggak mau dia kerja. Aku, maunya, dia kerja di rumah saja kayak kamu."Secara alami, aku tertawa kecil. "Mungkin karena aku ada pekerjaan di butik ya, Mas? Jadi, Mourin juga tetap ingin kerja di luar rumah?""Ya, mungkin juga, Sayang. Aku nggak tahu gima
Ternyata itu smartphone, bukan seperti yang aku pikirkan sebelumnya. Lagi pula, mana mungkin Mourin memberiku bahan peledak? Bisa-bisa Mas Arfen menusnahkan dia dalam sekejap mata. "Sekali lagi, makasih ya, Mourin?"Mourin menganguk kecil. Merapikan poni dengan ujung jari telunjuk. "Sama-sama. Semoga kamu suka ya, Mir?"Gugup, geragapan aku menjawab. "Emh, aku suka kok, Mourin.""Mir, aku boleh minta pendapat kamu, nggak?"Senejak aku merenung atas pertanyaan itu, menimbang-nimbang. "Boleh, semampu aku, ya?""Gimana kalau pindah ke rumah ini?" Mourin meremas-remas jari tangannya. "Emh, soalnya rumahku mau aku jual, Mir."Ha, apa?"Mas Arfen butuh dana tambahan untuk mulai praktek lagi dan itu nggak sedikit, Mir." Ha, serius? Kenapa Mas Arfen tidak membicarakan masalah itu denganku? "Berapa?""Ya, nggak banyak banget juga sih, Mir. Sekitar dua ratus lima puluh juta."Woaaa, sebanyak itu? Memangnya untuk biaya apa saja, sih? Kliniknya kan, masih ada, tinggal jalan saja? Oh, mungkin
Lagi, Mas Arfen menggenggam jari-jemari tanganku. Mengecupnya berkali-kali sampai basah. "Sayang, aku minta maaf, ya?""Untuk?""Ya, aku ngasih surprisenya keterlaluan banget."Aku hanya diam, mengulas senyum tabah. Sejujur-jujurnya mengakui dalam hati, sulit untuk memaafkan. Ini sudah di luar batas kesanggupanku sebagai manusia, serius. Bagaimana bisa Mas Arfen menyusun surprise yang sekeji itu? Aku bukan robot, boneka, wayang atau sesuatu yang setara dengan itu. Tidakkah dia menyadarinya?""Thanks banget, Sayang. Emmmuaaah …!" "Tapi serius, kamu jahat banget lho, Mas!" aku memasang wajah super judes. Membunuhkan ekspresi kecewa, marah dan muak. "Masa sampai segitunya, sih?"Mas Arfen menanggapi dengan satu keciIpan super lembut---lebih lembut dari es krim tapi hangat---di keningku. "Maaf, Sayang, maaf …?""Jangan bilang, kalau ternyata selama ini kamu kerja sama dengan Dokter Nafsin ya, Mas?"Mas Arfen tersentak, dia sampai terlihat gugup. "Paham kan, maksudku? Kamu kerja sama de
"Happy Birth Day, Mirah …!" Berbondong-bondong Mama, Mbak Sri, Mas Arfen, si Dokter Mesum, Mbak Hasya menyanyikan lagi keramat itu dengan gembiranya. Mourin pun ikut bernyanyi dengan ekspresi super duper happy. Terakhir, seiring sejalan dengan aliran darah dalam tubuhku yang tersendat-sendat akibat syok yang luar biasa, muncullah 4 Little Stars versi lengkap plus Anyelir. Mereka bekerja sama membawa roti ulang tahun dengan lilin angka dua puluh tiga berwarna merah cerah di atasnya. Roti ulang tahunnya berbentuk setangkai bunga mawar merah jambu dengan hiasan kupu-kupu terbang. Itu belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan kedatangan Mommy dan Om Damar. Mereka langsung memelukku erat-erat secara bersamaan dengan air mata melinang-linang, seolah aku baru saja ditemukan setelah sekian juta tahun hilang. Oh, sungguh, aku semakin syok. Tidak mengerti dengan semua kejahatan ini! Mereka pikir, surprise semacam ini hebat, begitu? Wow! Jelas Mereka tidak tahu apa itu surprise dan hal ap