Aku belum selesai mandinya," ujarnya mengusir.Aku sendiri mengangguk cepat. Malu juga karena sudah melihat tubuh Arzen. Aku bergerak cepat keluar. Begitu di luar, aku menghembus napas.Sudut bibirku berkedut. Inilah sisi lain dari Arzen. Kini aku berinisiatif memilihkan baju kerjanya.Ketika aku tengah memilah-milah kemeja, Arzen sudah selesai mandi. Badannya terbalut kaos dalam putih dan bokser."Aku pilihkan kemeja ini." Kutunjukan kemeja polos berwarna hitam.Arzen tidak menyahut. Dia hanya meraih kemeja itu dari tanganku. Memakainya tanpa suara. Begitu juga dengan celana jeans hitam yang kusodorkan."Aku sudah buatkan omelette buat sarapan kamu," ujarku saat Arzen sedang menyisir rambut.Arzen berhenti sejenak. "Bekelin aja. Ntar aku makan di kedai." Setelah menyambar ponselnya, dia beranjak.Aku mengikuti langkahnya. Arzen langsung menuju garasi. Aku sendiri tergesa mengambil sebuah kotak makan. Lalu mengisinya dengan telur dadar buatan.Kutarik kaki ini agar gegas menemui Arzen
Gemericik air. Arzen masih betah di kamar mandi. Padahal aku sendiri sudah amat risih. Ingin membersihkan diri juga. Lebih dari empat puluh menit lelaki itu di dalam. Bahkan seprai putih alas bercinta kami sudah selesai kuganti. Kupandang noda merah ini. Tiba-tiba mata ini merebak.Aku menyesal. Seharusnya aku tidak perlu secepat itu meminta hak. Harus sadar diri posisiku di hati Arzen. Sehingga tidak perlu merasa sakit hati ini.Derit pintu membuatku menoleh. Arzen keluar dengan rambut basahnya. Tanpa bicara dia mengambil hair dryer, lalu mulai mengeringkan rambut.Aku sendiri tertatih menuju kamar mandi. Sedikit mendesis menahan rasa sakit di inti tubuh ini. Usai membaca niat mandi besar, shower air menyiram tubuh. Air mataku membaur bersama air yang mengalir.Arzen sudah tertidur ketika aku selesai mandi. Seperti biasa posisinya miring membelakangi. Helaan napasnya terdengar pelan. Dadanya naik turun dengan teratur.Rambutku masih basah. Namun, tidak kukeringkan dengan hair dryer.
Keesokan harinya, sikap Arzen kembali seperti biasa. Sikapnya yang hangat semalam sirna. Dia menjelma menjadi pria yang kaku dan dingin lagi. Namun, aku dibuat terkejut saat tiba-tiba Arsy bertandang ke rumah."Kak Arzen nyuruh aku buat ajak jalan-jalan sama kamu, Mbak," tuturnya ceria. Gadis itu masih mengenakan seragam sekolah. "Katanya biar kamu gak bosen di rumah terus.""Benarkah?" Aku takjub mendengarnya. Tidak menyangka jika Arzen akan memberikan perhatian. "Hu'um. Makanya sekarang Mbak Nafia ingin pergi ke mana? Aku temenin.""Kebetulan isi kulkas mau kosong, bagaimana kalo kita belanja bulanan?""Boleh." Arsy mengangguk setuju, "yodah buruan telpon Bang Diaz buat anter kita.""Kok Diaz? Dia kan harus dampingi Mas Arzen. Kita naik taksi saja.""Gak suka ah!" Arsy menolak langsung, "aku maunya disopirin Bang Diaz," pintanya setengah mengancam.Tidak mau membuat Arsy kecewa, aku menurut. Kuhubungi nomor Diaz. Beruntung pemuda itu dengan senang hati menyanggupi.Arsy berseru se
Ketika bel rumah berbunyi, Arsy melonjak girang. Dia tergopoh-gopoh membukakan pintu."Lihatlah! Betapa cantiknya istrimu, Kak," ujar Arsy ketika masuk bersama Arzen. "Dialah ratumu di pesta nanti."Arzen menatapku lekat. Aku mengembangkan senyum untuknya. Namun, Arzen justru melengos."Kamu yang dandanin dia?" tanya Arzen pada adiknya."Cantik kan?" Arsy meringis senang.Arzen mendengkus marah. "Hapus make-upmu, lepas bajumu! Kamu gak akan ikut ke pesta!" putusnya tegas."Kak Arzen apa-apaan sih?!" Arsy berseru tidak terima."Kamu diem! Kalo mau ikut sana bersiap," tegas Arzen pada adiknya."Aku tentu ikut, bareng Mbak Nafia juga." Arsy bersikeras mengajakku."Sy, tolong jangan buat aku marah ya!" titah Arzen dingin dan tajam. Matanya intens menatap adiknya."Kenapa Kak Arzen enggan ngajak Mbak Nafia sih? Malu?" tebak Arsy dengan nada meninggi. Dua sama sekali tidak takut dengan tajamnya tatapan sang kakak.Arzen tercekat. "Arsyyy!" Arzen balas membentak.Aku sendiri terkaget mendeng
"Kurang ajar!" Paman Santosa menggeram, "saya tidak terima Nafia dipermalukan seperti ini." Diaz terdiam mendengarkan. Sepertinya dia yang telah menceritakan semuanya pada Paman. "Tidak apa kamu menjadi janda, Nafia. Asal kamu tidak dihina oleh keluarga Bapak Ari Wijaya." "Maksud Paman apa?" Dahiku mengerut. "Cerai saja dari Arzen!" Paman Santosa menyahut cepat. "Lalu kita tuntut pertangung jawaban mereka atas meninggalnya keluargamu, Ibnu, dan cacatnya kaki kamu," tuturnya dengan gigi gemelutuk menahan berang. Aku termangu. Sungguh bukan ini yang kuinginkan. "Kenapa kamu diam saja, Naf?" Paman Santosa menatapku lekat. "Kamu setuju kan dengan saran Paman?" Aku menarik napas. Mencoba melegakan himpitan hati. "Aku emang sakit hati atas perlakuan keluarganya, Paman. Tapi, aku tidak ada kepikiran untuk berpisah dari Arzen," jujurku pelan. "Berarti kamu sudah mencintai Arzen, Naf?" Nada bicara Diaz biasa saja. Namun, ada kegetiran yang kutangkap dari pernyatannya. "Eum ... aku gak
Batuk Ibu Sita kian menghebat. Terdengar bunyi mengi setiap kali bernapas. Wajahnya kini memucat dengan keringat mulai membasahi. Dari gejala yang terlihat sepertinya Ibu Sita terkena asma.Tidak tega dengan keadaannya, gegas kudekati Ibu Sita. Membimbingnya duduk dengan posisi tegak."Tenang dan tarik napas yang panjang, Ma," suruhku perhatian.Ibu Sita menurut. Dirinya duduk tegak dan menarik napas dalam-dalam. Aku sendiri melihat sekeliling. Mencari penyebab kambuh asmanya Ibu Sita.Rumah terlihat bersih tanpa debu. Tidak ada benda-benda dari bahan bulu. Apalagi asap rokok karena hanya ada kami berdua. Ibunya Diaz tidak datang hari ini.Mataku tertuju pada jendela yang terbuka. Sepertinya hujan yang menghembuskan udara dingin adalah penyebab kambuhnya asma Ibu Sita. Gegas kututup jendela besar ini.Sekarang kaki ini kuseret ke dapur. Akan kubuatkan kopi untuk Ibu Sita. Karena minuman hangat yang mengandung kafein seperti kopi atau teh dapat sedikit membantu saluran pernapasan.Kafe
"Ma." Arzen datang. Matanya memincing kala menatap kami. Mungkin heran kenapa mamanya yang selama ini sangat membenciku, tiba-tiba mau memeluk. "Aku udah dapat obatnya," ujarnya seraya menunjukkan kantung plastik putih pada kami. "Kita pulang, ya?"Ibu Sita mengangguk pelan. Kali ini dia menggandeng tanganku menuju pintu keluar. Hujan masih membungkus kota. Sialnya kami memang tidak membawa payung.Beruntung aku mengenakan sweater. Kugunakan pakaian tersebut untuk dijadikan payung darurat. Aku dan Ibu Sita melangkah cepat menuju mobil. Sementara Arzen sudah lebih dulu berlari meninggalkan kami.Arzen melajukan mobilnya ketika aku dan Ibu Sita sudah memasang sabuk pengaman. Kali ini Arzen mengendara dengan pelan. Karena hujan deras membuat jarak pandang menjadi kurang jelas.Sesampai di rumah hari sudah petang. Bapak Ari dan Arsy menyambut kami dengan senang. Mereka ingin mendengar apa yang terjadi. Namun, Ibu Sita menyuruhku serta Arzen untuk mandi air hangat dulu. Begitu juga dengan
"Naf, kita pulang saja, yuk!" "Eh!" Aku terheran ketika tiba-tiba Arzen menarik lenganku. Wajahnya mendadak menjadi merah. "Tapi, pesanan kita belum datang, Mas." Aku mencoba menolak. "Kita batalin saja," balas Arzen dengan pandangan lurus ke depan. "Tapi, aku mau makan steik." "Lain kali saja, Naf." Arzen terus menarik lenganku agar mau bangkit dari duduk. "Tiba-tiba kepalaku pusing banget nih," katanya sambil meringis seolah menahan sakit. Namun, matanya tetap tertuju ke meja di depan kami. Karena Arzen sudah melangkah duluan, mau tidak mau aku pun menurut. Namun, rasa penasaran membuatku mengalihkan pandangan ke arah meja depan. Tampak gadis seorang gadis tengah makan malam berdua dengan seorang pemuda. Dahiku melipat. Aku pernah lihat gadis itu. Gadis yang menangis di acara pernikahanku dengan Arzen. Gadis yang dipeluk oleh ibunya Diaz. Dia Aliya. "Naf!" Aku tertegun. Arzen sudah jauh beberapa langkah dariku. Matanya kembali terpaku pada mejanya Aliya. Tampak ia menghela na
Ditemani Arzen dan Diaz keesokan harinya, aku pulang ke rumah Bapak Ibu. Kami pamit pada mereka. Tangan Arzen yang masih sakit tidak memungkinkan dia untuk menyetir sendiri."Jaga Fia baik-baik ya," pesan Bapak sambil menepuk pundak Arzen, "dia sudah kuanggap seperti putri kandungku sendiri.""Insya Allah, Pak." Arzen membalas kalem, "dan saya sangat berterima kasih karena selama Nafia pergi dari rumah, Bapak dan Ibu telah merawatnya dengan baik.""Maaf, Ya Nak Arzen, kami sempat pernah berbohong dengan mengatakan tidak tahu keberadaan Fia," timpal Ibu."Gak papa, Bu. Itu kan memang kemauannya Nafia sendiri," jawab Arzen bijak.Setelah pamit dari rumah Bapak Aminuddin, aku mengajak Arzen berkunjung ke rumah Paman Santosa. Pada dirinya juga kami meminta doa restu."Pesan saya masih sama, Dek Arzen. Tolong jaga dan cintai Nafia dengan baik," ucap Paman kalem."Insya Allah, Paman." Arzen mengangguk ramah, "dan tolong jangan sungkan menegur jika saya lalai seperti kemarin," lanjutnya tulu
"Aku masih mencintai kamu, Zen. Masih." Tangan ini terus melingkari erat perutnya. Agar Arzen percaya jika aku memang benar-benar tidak menginginkan dia pergi.Arzen mengurai pelukan. Kami saling bertatapan. Maniknya menelisik mataku lekat. Seakan tengah mencari kejujurannya di dalamnya."Naf, aku tahu kamu tersiksa dengan pernikahan ini, makanya aku sadar diri dengan menjauh dari kamu," tutur Arzen lembut. Belum pernah kudengar dia selembut ini berbicara. "Jika perpisahan mampu memberimu kebahagiaan, aku rela pergi." Aku kembali menggeleng. "Tolong jangan katakan itu," mohonku seraya menempelkan telunjuk di bibir Arzen. "Karena kebahagiaanku adalah ketika kamu mencintai aku," tuturku serius.Arzen meraih jemariku. Dia mengecupnya lembut. "Aku mencintai kamu, Naf. Dan aku berjanji mulai detik ini akan selalu membuatmu bahagia."Aku tersenyum haru. Tanpa malu kupeluk pria ini lagi. "Kita rajut kembali mahligai rumah tangga yang sempat terkoyak kemarin.""Iya." Arzen balas mendekapku
"Aaa!" Aku menjerit histeris. Takut tertimpa benda puluhan kilogram itu."Nafiaaa ... Awaaas!" Terdengar teriakan banyak orang dengan lantang.Semua terjadi dengan begitu cepat. Seseorang menarik tubuhku menjauh.PRAAANK!Aku membuka mata. Dadaku masih berdetak kencang. Ketika tengadah ternyata aku berada dalam pelukan Arzen. Lelaki itu pun tengah terpejam dengan napas tersengal-sengal. Di seberang sana Deva melakukan hal yang sama pada Aliya.Mata ini terbelalak melihat lampu gantung kepunyaan Deva hancur berantakan. Lampu gantung dengan materi kristal dan besi emas yang berbentuk kubah yang begitu indah itu sudah tidak berbentuk lagi. Kini hanya meninggalkan serpihan beling yang berserakan di lantai.Tiba-tiba aku merasa merinding. Ngeri membayangkan lampu dengan berat lima puluh kilogram itu menghantam tubuhku.Aku menatap Arzen kembali. Tubuh kami yang saling menempel membuat detak jantungnya juga terdengar jelas."Kamu gak papa?" Arzen bertanya lirih. Dia balas memindaiku. Namun,
"Aaa!" Aku menjerit histeris. Takut tertimpa benda puluhan kilogram itu."Nafiaaa ... Awaaas!" Terdengar teriakan banyak orang dengan lantang.Semua terjadi dengan begitu cepat. Seseorang menarik tubuhku menjauh.PRAAANK!Aku membuka mata. Dadaku masih berdetak kencang. Ketika tengadah ternyata aku berada dalam pelukan Arzen. Lelaki itu pun tengah terpejam dengan napas tersengal-sengal. Di seberang sana Deva melakukan hal yang sama pada Aliya.Mata ini terbelalak melihat lampu gantung kepunyaan Deva hancur berantakan. Lampu gantung dengan materi kristal dan besi emas yang berbentuk kubah yang begitu indah itu sudah tidak berbentuk lagi. Kini hanya meninggalkan serpihan beling yang berserakan di lantai.Tiba-tiba aku merasa merinding. Ngeri membayangkan lampu dengan berat lima puluh kilogram itu menghantam tubuhku.Aku menatap Arzen kembali. Tubuh kami yang saling menempel membuat detak jantungnya juga terdengar jelas."Kamu gak papa?" Arzen bertanya lirih. Dia balas memindaiku. Namun,
Aku melepas pegangan Arzen. "Aku mau telpon Diaz buat jemput kamu."Ketika hendak berdiri, Arzen mencegah. "Jangan bohongi diri kamu, Naf.""Aku gak bohongi hati sendiri, Zen." Aku menjawab datar, "tapi, saat ini aku sudah mati rasa sama kamu. Entah besok atau lusa. Yang pasti saat ini, aku sedang tidak mau bersama kamu."Kutingalkan Arzen segera. Aku tidak mau terlarut akan bujuk rayuannya. Seperti niat sebelumnya Diaz pun kuhubungi. Dan sekitar setengah jam pemuda itu sudah menampakan diri."Kamu boleh saja marah sama Arzen, tapi jangan berlarut-larut. Karena itu sama saja kamu memelihara dendam. Percuma kamu beribadah jika masih saja mengikuti napsu setan itu," nasihat Diaz dengan tenang dan serius. "Arzen tidak pernah kasar sana kamu. Dia tidak pernah KDRT. Dia hanya masih terjebak kisah masa lalu, tapi kini dia sudah menyadari kekeliruannya. Jadi tolong jangan buat setan tertawa menang karena berhasil memisahkan kalian."Aku termangu. Wejangan Diaz terdengar begitu panjang. Aku
Arzen akan menginap di sini," kata Bapak Aminuddin tenang."Tapi, Pak." Aku menyela tidak rela."Kasihan jika suamimu harus tidur di luar."Tanpa menunggu jawabanku, Bapak Aminuddin berlalu."Zennnn, kamu ...."Hachiii!Aku mendesah. Ingin rasanya berteriak, tapi kutahan. Walaupun Bapak Ibu sudah menganggap layaknya anak kandung, tetap saja aku harus bersikap sopan.Dengan menahan gondok, kubuka pintu lebar-lebar."Makasih." Arzen mengulum senyum.Lelaki itu memasuki kamar. Matanya menatap sekeliling. Aku sendiri berjalan tenang menuju lemari. Kuraih sebuah selimut."Ini udah ada selimut lho, Naf. Ha-hachiii." Arzen memberi tahu disertai bersin.Aku tidak membalas. Kini bantal pada ranjang pun aku ambil. Arzen mengernyit bingung karenanya."Lho ... kamu mau tidur di mana?" tegur Arzen begitu melihatku keluar kamar. Beberapa kali dia menggosok hidungnya yang merah. Bersinnya pun masih kerap menyerang."Aku tidur di sofa ruang keluarga saja," balasku kalem. "Biar kamu yang tidur di kama
Aku kembali ke rumah Bapak Aminuddin. Kembali tidur di kamar yang dulu. Seperti yang sudah-sudah kedua orang tua ini begitu menyayangi aku. Segala kebutuhanku tercukupi di sini.Waktu berjalan begitu cepatnya. Tidak terasa sudah sepuluh hari aku tinggal di rumah Bapak Aminuddin ini. Setiap hari Arzen datang berkunjung. Kadang pagi sebelum berangkat kerja. Kadang malam hari setelah pulang kerja.Pernah juga dia datang ke sini seorang diri. Tujuannya tidak lain adalah membujuk aku untuk pulang. Ibu Sita dan sang suami juga tidak mau ketinggalan. Keduanya beberapa kali mampir dengan maksud membawaku kembali.Lama-lama bosan menghadapi rayuan Arzen yang terus saja meminta kembali. Akhirnya kedatangan dia aku abaikan. Namun, Arzen tidak kenal menyerah. Bahkan ketika hujan turun dengan derasnya, lelaki itu tetap berdiri di teras depan menungguku."Temui suamimu, Nafia. Kasihan dia kedinginan di luar," suruh Ibunya Mas Ibnu memohon."Biarin aja, Bu. Salah sendiri ngeyel," balasku malas. "Sud
Kejadian itu begitu cepat. Setelah tiga bulan dalam persembunyian, akhirnya Arzen dan Diaz mampu menemukan aku. Sayangnya aku yang panik justru melakukan kecerobohan.Keegoisan mengalahkan kewarasan. Sudah tahu tengah mengandung kenapa aku mesti melarikan diri. Jika tidak ingin menjumpai Arzen, harusnya aku bicara baik-baik saja. Kenapa membahayakan diri sendiri dan kandungan ini?Bodoh! Aku pun menyesali kecerobohan kemarin. Tapi, aku lebih menyesali saat terbangun dari pingsan perut ini sudah kembali rata. Gerakan di dalam sana tidak lagi kurasakan.Aku telah kehilangan permata hati. Penantian selama lima bulan ini sia-sia sudah. Hidupku serasa hancur saat ini. Ketika Arzen datang, rasa benciku padanya bangkit lagi. Walaupun hati kecil ini menyalakan kecerobohan sendiri. Namun, Arzen juga turut andil atas kematian calon bayi kami.Aku yang masih berduka tidak menginginkan kedatangan Arzen. Ketika pria itu menampakan diri, sontak aku mengusirnya. Tidak peduli dia berkali mengucap ka
Sudah empat hari Nafia dirawat. Keadaannya berangsur-angsur membaik. Namun, hingga sekarang wanita itu belum sudi dikunjungi olehku. Padahal ketika Aliya datang, Nafia menerima kedatangan gadis itu dengan baik. Walau pedih, tapi kuterima. Konsekuensi dari berbagai kesalahanku padanya.Namun, ada yang mengganjal hati. Sudah lebih dari sekali aku melihat Aliya datang menjenguk Nafia pasti bersama Deva. Aku tahu mereka berteman. Tetapi, cara pandang Aliya tampak berbeda pada Deva."Aku lihat-lihat, sekarang lengket banget sama bosnya Nafia," sindirku suatu sore. Aku sengaja main ke rumahnya. Masalahnya aku tidak bisa langsung menegurnya di rumah sakit. Itu karena Aliya tidak mau lepas dari Deva. Sementara aku, masalah berdebat lagi dengan pemuda beganjulan itu."Memangnya kenapa?" Aliya membalas tenang. "Kami sama-sama single," imbuhnya santai."Oh ... jadi sekarang kamu sudah ikhlas jika aku lepas?" Walau emosi, tetapi kuikuti permainannya. Tenang."Zen, sadar dong! Kamu baru saja ken