Beranda / Romansa / Menaklukkan Duda Dingin / 53. Aku Memang Mencintainya

Share

53. Aku Memang Mencintainya

Penulis: Pixie
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Kenapa kau mengajukan pertanyaan konyol semacam itu, Adam?” bisik wanita yang duduk tegak di atas sofa. Ia bingung harus beranjak atau tetap pada posisinya.

“Itu bukan pertanyaan konyol, Amber. Sejak awal, aku sudah curiga kalau laki-laki ini juga menyimpan perasaan terhadapmu,” terang Adam, membuat rahang Sebastian berdenyut-denyut geram.

Sementara itu, Amber berusaha mencairkan ketegangan lewat tawa datarnya. “Itu musta—”

“Kalau aku memang mencintainya, lalu kenapa?” sela Sebastian sembari menaikkan kedua alis. Ia tidak peduli lagi jika Amber menatapnya dengan penuh keheranan.

“Oh, sekarang kau mengaku kalau dirimu mencintai perempuan yang kau sebut sahabat itu?”

“Ya. Lalu apa? Kau takut aku menyaingimu? Merebut perhatiannya darimu?”

Tiba-tiba saja, Adam membunyikan tawa yang mencekam. Sembari mengembalikan pandangan kepada Amber, ia meruncingkan telunjuk ke arah Sebastian. “Kau dengar? Inilah alasan mengapa aku tidak tenang jika ada dirinya di sampingmu. Laki-laki ini mencin
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Golda Liken
kasian Sebastian. ada cerita utk Sebastian gak Thor?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Menaklukkan Duda Dingin   54. Keresahan Amber

    “Hei ...” desah Adam sembari ikut duduk di sofa. Setelah menyerahkan secangkir teh hangat kepada Amber, ia merangkul pundak wanita itu dengan sebelah lengan. “Apa yang sedang kau lamunkan?” tanyanya seraya melirik ke arah buku yang terbuka di atas meja. Sebuah bros cantik dan penjepit dasi keren tergambar di sana. Keduanya sama-sama memiliki hiasan yang berbentuk huruf A. “Aku tidak melamun,” timpal Amber seraya memalsukan senyuman. “Hanya memikirkan betapa beruntungnya aku bisa mendapatkanmu.” Lengkung bibir Adam seketika terkulum. Sambil memiringkan kepala, ia berbisik, “Kau yakin? Kukira kau sedang menerka-nerka harga cincin barumu itu.” Tawa Amber sontak menggetarkan udara. Kekakuan di wajahnya pun sedikit mengendur. “Aku sudah bukan perempuan semacam itu lagi, Tuan Dingin,” gerutunya seraya menyikut dada Adam. “Aku tahu. Kau adalah calon istriku yang bijak sekarang.” Usai membenamkan kecupan di pelipis, ia membiarkan wanita itu menyeruput teh pinusnya. “Apakah ada kabar te

  • Menaklukkan Duda Dingin   55. Tamu yang Tak Diundang

    Sambil menurunkan sweater yang bergulung di perutnya, Adam melangkah keluar kamar. Ia seperti mendengar suara ketukan pintu tadi. Begitu menemukan sang kekasih sedang berdiri di dekat jendela dengan kepala tertunduk dan tangan mencengkeram tirai, kerut alisnya bertambah dalam. “Ada apa, Amber? Siapa yang datang?” Dengan mata bulat yang memancarkan kebingungan, Amber berbalik. Telunjuknya terangkat ragu ke arah pintu. “Orang tuaku datang,” sahutnya setengah berbisik. “Orang tuamu?” Adam tidak yakin dengan pendengarannya. Selang satu kedipan lambat, wanita berekspresi datar itu meraih gagang pintu. Sambil menelan ludah, ia mengumpulkan nyali untuk berhadapan dengan kedua orang tuanya. “Papa? Mama?” sapanya datar. “Amber,” balas wanita bermantel cokelat yang menyunggingkan senyum elegan. “Bagaimana kabarmu?” Masih dengan tangan menggenggam tuas pintu, Amber mengangguk. “Baik. Ada kepentingan apa Papa dan Mama datang kemari?” “Bukankah wajar jika orang tua mengunjungi putri tungga

  • Menaklukkan Duda Dingin   56. Tinggalkan Dia!

    "Amber?" desah Nyonya Lim dengan nada tak percaya. "Ya, aku mencintai Adam dan kami akan menikah dalam waktu dekat. Kami bahkan sudah menyerahkan semua berkas yang dibutuhkan," tegas Amber tanpa melepas dekapan. Tuan Lim sontak mendengus kesal. Matanya mulai bergurat merah menahan kemarahan. "Ternyata ini kelakuanmu selama ini? Kau bukan belajar mendesain perhiasan, tapi bermesraan dengan suami wanita lain?" "Tunggu dulu, Tuan Lim," sela Adam sembari mengangkat sebelah tangan. "Ini perlu diluruskan. Media memang belum pernah memberitakannya, tapi saya sesungguhnya sudah bercerai." "Jadi kau lebih memilih seorang duda dibandingkan laki-laki pilihan orang tuamu?" tanya Tuan Lim kepada sang putri dengan nada bicara yang semakin tinggi. Melihat rahang si pria muda mulai berdenyut-denyut, Nyonya Lim bergegas memegangi lengan suaminya. Ia sadar, mulut yang terkatup rapat itu sedang berusaha mencegah keributan yang lebih besar. "Maaf, Tuan Smith. Suami saya tidak bermaksud merendahka

  • Menaklukkan Duda Dingin   57. Perusak Kebahagiaan

    Alih-alih membantah, Adam malah membalikkan halaman. Sedetik kemudian, ia mengangkat buku itu ke hadapan Tuan Lim. “Jika saya memberikan pengaruh buruk kepada Amber, apa mungkin dia bisa menggambar ini?” Langkah pria tua itu sontak terhenti. Dari bawah kernyitan dahi, ia memeriksa apa yang dimaksud oleh Adam. Ternyata, sebuah bros dan penjepit dasi berinisial A tergambar di sana. “Apa kau sedang memamerkan besarnya cinta Amber terhadapmu?” tanya Tuan Lim seraya menaikkan alis. Sebelum sang duda sempat menjawab, ia mendengus remeh. “Aku tidak peduli tentang hal itu, Tuan Smith. Sampai kapan pun, kau tidak akan pernah mendapat restu dari kami.” “Apakah Anda mengira bros dan penjepit dasi ini untuk kami?” sela Adam dengan nada mengejek. Sambil mengulum senyum, ia menggeleng. “Maaf mengecewakan Anda, Tuan Lim. Tapi saya tidak pernah mengenakan penjepit dasi dan Amber pun tidak pernah menceritakan tentang koleksi brosnya. Dia pasti menggambar ini karena teringat tentang kalian.” Selang

  • Menaklukkan Duda Dingin   58. Habisi Dia

    “Adam,” panggil Amber sebelum tersedak oleh ketakutan, “putar balik!” Bukannya menuruti perintah, Adam malah terpaku pada wajah bengis para pria yang mendekat. Dalam hati, ia bertanya-tanya. Mampukah ia mengalahkan dua tukang pukul itu? “Adam!” Amber mengguncang lengan sang kekasih hingga pria itu tersentak. “Cepat putar arah! Papa pasti memerintahkan mereka untuk menyeretku pulang.” Selang satu embusan cepat, Adam bergegas mengganti gigi. Namun, tepat ketika ia memeriksa spion, matanya terbelalak maksimal dan tubuhnya menegang. Dua mobil lain juga telah menghalangi arah sebaliknya. “Gawat,” batinnya sambil menahan gemuruh napas. Melihat sang kekasih mendadak bergeming, Amber pun menoleh ke belakang. Begitu mendapati empat orang telah bersiaga di balik mobilnya, keringat dingin mulai membutir. “Adam, bagaimana ini?” desah wanita itu panik. Napasnya mulai memendek. Secepat kilat, Adam meraih jemari Amber. Sembari menggenggamnya erat, ia menyejajarkan pandangan. “Tenang saja. Aku

  • Menaklukkan Duda Dingin   59. Keputusan Tetap Keputusan

    “Hei,” desah Adam sembari mengelus pipi sang kekasih dan memajukan wajahnya. “Lihat aku, Amber ... lihat aku!” Di bawah alis yang berkerut tipis, mata sang wanita kembali terbuka. Tatapannya lemah dan tampak sangat lelah. “Kau tidak perlu panik lagi. Aku sudah di sini, bersamamu,” bisik sang pria sembari memberikan senyum terbaik semampunya. Selang satu kedipan, tangan Amber terangkat mencengkeram mantel kekasihnya. “Adam ....” “Benar, ini aku. Sekarang kendalikan dirimu! Atur napasmu!” Adam menggenggam jemari dingin sang wanita untuk memberinya kekuatan. “Ayo, Precious. Kau pasti bisa.” Sambil mengangguk samar, Amber mencoba untuk menarik napas lebih panjang. Malangnya, desakan dalam dada terlalu besar untuk dikalahkan. “Tidak bisa,” desahnya sebelum menjatuhkan lebih banyak air mata. Sedetik kemudian, Adam memindahkan tangan sang kekasih ke perut. “Coba pikirkan bayi kita! Dia juga ingin bernapas. Kau tidak boleh menyerah.” Tiba-tiba, Amber balik mencengkeram tangan Adam. Sam

  • Menaklukkan Duda Dingin   60. Kehebohan dalam Kabin

    Dari kursi di samping tempat tidur, Amber terus menggenggam tangan Adam. Sesekali, ia mengangkat telapak besar itu dan menempelkannya di pipi. Namun, bukannya menjadi tenang, hatinya malah semakin gundah. Melihat kegelisahan wanita itu, Tuan Berg pun membuka pintu lebih lebar dan berjalan masuk. "Tak usah khawatir, Nona. Kakakku adalah dokter terhebat di daerah sini. Jadi, analisisnya tidak mungkin salah. Tuan Smith baik-baik saja." "Tapi kenapa dia belum bangun juga? Ini sudah lebih dari tiga jam," timpal Amber dengan suara serak dan kerut alis yang dalam. Merasa iba, Tuan Berg duduk di sampingnya. "Meskipun Tuan Smith adalah laki-laki yang kuat, dia tetap butuh waktu untuk pemulihan. Jadi, biarkan saja dia beristirahat. Yang penting, lukanya sudah diobati dan tanda vitalnya aman." "Dia pasti bangun, bukan?" tanya Amber lirih. "Tentu saja. Sekarang, bagaimana kalau kau ikut makan bersama kami? Putri dan keponakanku sudah datang. Mereka menunggumu di ruang makan." Dalam sekeja

  • Menaklukkan Duda Dingin   61. Belajar dari Kesalahan

    Tak tahan menyaksikan kehebohan keluarga besarnya, Tuan Berg pun mengangkat tangan. “Perhatian, perhatian! Bukankah kita baru saja mendapat pelajaran berharga dari Ella dan Freja? Kenapa kalian malah melakukan kesalahan mereka sekarang?” Dalam sekejap, orang-orang di meja makan itu terdiam. Tidak ada lagi yang berani membicarakan tentang kanibal. Mereka sadar bahwa hal itu belum tentu benar. Mereka telah terhasut oleh kabar yang beredar. “Sepertinya, Anda harus menjelaskan tentang julukan itu, Tuan Smith. Mengapa Anda dipanggil kanibal?” Mendengar usulan Ella tersebut, Amber spontan menggoyangkan tangan yang menggenggamnya. “Adam, apa kau mau aku yang menceritakannya?” bisik wanita itu cemas. Sambil tersenyum kecil, sang pria menggeleng. “Tetaplah di sampingku. Itu saja sudah lebih dari cukup.” Sedetik kemudian, ia menarik napas dalam-dalam dan melebarkan lengkung bibir. “Sejujurnya, aku mengalami depresi berat setelah bercerai. Demi menyembuhkan diri, aku menyendiri di sebuah po

Bab terbaru

  • Menaklukkan Duda Dingin   S2| 52. Jangan Makan Aku, Tuan Smith (TAMAT)

    Amber diam-diam membuka pintu ruang kerja. Melihat suaminya sedang melamun, ia pun menarik sebelah sudut bibir. "Apa yang sedang kau lakukan, Jewel?" Adam spontan menoleh ke arah datangnya suara. Melihat kehadiran sang istri, senyumnya pun mengembang. "Hei .... Apakah Ashley sudah tidur?" "Sudah dari tadi," sahut Amber seraya menghampiri. Kemudian, dengan santai, ia duduk di pangkuan sang suami. "Kenapa kau masih di sini? Apakah pekerjaanmu belum selesai?" Selagi sang suami menggosok tengkuk, ia mulai menyoroti meja. Ternyata, komputer sudah dimatikan. Berkas-berkas pun sudah tertata rapi dalam map. Yang tersisa di sana hanyalah ponsel yang memajang sebuah gambar. "Kau sangat menyukai foto itu, hmm?" simpul Amber seraya melirik dengan tatapan manis. Disoroti oleh mata sehangat itu, Adam pun mendesahkan senyum. Setelah mengecup pundak sang istri, ia mengangguk. "Terima kasih, Precious. Semua ini berkat dirimu. Aku tidak mungkin bisa memperbaiki hubunganku dengan Ibu kalau kau ti

  • Menaklukkan Duda Dingin   S2| 51. Bagian dari Sejarah

    "Aku tahu, kau pasti meragukan ucapanku," ringis Nyonya Smith memecah keheningan. "Apa ada sesuatu yang harus kulakukan untuk membuktikan ucapanku? Ibumu ini sungguh-sungguh ingin berubah, Adam." Masih dengan alis berkerut, sang pria mendengus. "Kenapa baru sekarang? Apakah karena Ed menelantarkan Ibu?" Nyonya Smith menggeleng sigap. "Tidak, kau jangan salah paham. Ketegangan di antara kita tidak ada sangkut pautnya dengan Ed. Akulah yang terlalu bodoh memanfaatkannya untuk merebut semua milikmu." "Omong kosong ...." "Apa kau tahu kalau Ed memarahiku? Dia sudah jenuh terseret oleh keegoisanku. Kakakmu itu bilang kalau dia tidak mau membantuku untuk menindasmu lagi." Sebelum Adam sempat membantah, Nyonya Smith lanjut bicara. "Sejak itu, aku mulai sadar. Tapi, aku masih meyakinkan diri kalau kau tidak layak bahagia. Ibumu ini sangat bodoh, hmm?" Adam mendadak bungkam. Dari bawah kernyit dahinya, ia menatap sang ibu dengan saksama. "Karena itu juga, aku belum menggunakan sepeser

  • Menaklukkan Duda Dingin   S2| 50. Ketulusan

    Usai sang ibu membanting pintu, Adam mengusap-usap lengan Amber. Sambil memperhatikan wajah kusut istrinya itu, ia berbisik, "Kau baik-baik saja?" Sang wanita mengangguk. "Kau?" Adam menarik napas panjang. Setelah menaikkan alis, ia melengkungkan bibir. "Ya. Aku lega tidak terjadi apa-apa. Aku sempat takut kalau ibuku melakukan sesuatu yang nekat. Maaf telah membiarkannya menggendong Ashley." "Tidak apa-apa, Jewel. Kurasa, Ashley justru senang telah bertemu dengan neneknya," tutur Amber seraya mengeus kepala sang putri. Bayi mungil itu sudah kembali merapatkan mata. "Lihatlah, dia tersenyum lagi." "Dia pasti ingin menghiburmu," bisik Adam sebelum mendaratkan kecupan lembut di kening Ashley. "Bukan hanya aku, tapi kau juga. Kita beruntung dikaruniai anak yang berbakti. Ini pasti karma baikmu. Kau tetap sabar menghadapi ibumu, meskipun sudah berkali-kali disakiti." Adam spontan menggeleng. "Karma baikmu juga, Precious. Kau jauh lebih ber

  • Menaklukkan Duda Dingin   S2| 49. Bayi Mungil

    Beberapa detik berlalu, orang-orang masih bertukar pandang. Tidak ada yang berani bicara sampai Ruby memecah keheningan. "Apakah aku boleh menggendongnya?" "Tentu saja," sahut Amber seraya menepuk-nepuk lengan Adam. Memahami kode yang diberikan, Adam pun mengeluarkan Ashley dari tempat tidur mungilnya. Begitu bayi itu tiba dalam dekapan Ruby, semua mata mulai berkaca-kaca. "Astaga .... Dia menggemaskan sekali," bisik Ruby dengan suara bergetar. Keharuan nyaris mendesak air mata keluar dari batasnya. "Lihatlah hidung mungil ini ... sangat mirip dengan milik Amber, sedangkan bibir tipis ini ... seratus persen salinan ayahnya." "Apakah kau mau berfoto dengan Ashley?" tanya Amber ringan. Dalam sekejap, mata sendu Ruby diwarnai keterkejutan. "Apakah boleh? Bukankah kalian sepakat untuk tidak mempublikasikan wajah putri kalian?" "Berfotolah untuk kenang-kenangan. Kau bisa mencetak lalu menyimpannya dalam dompet atau buku harian," ujar Amber sembari melirik ke arah Nick. Menyad

  • Menaklukkan Duda Dingin   S2| 48. Tak Tahan Lagi

    “Cepatlah! Aku sudah tidak tahan!” pekik Amber seraya meremas baju suaminya. Adam pun berputar-putar memeriksa pekarangan. Barangkali, ia menjatuhkan kuncinya di sekitar sana. Sementara itu, Nick malah sibuk meraba tubuhnya sendiri. Ketika tangannya menekan saku celana, matanya membulat sempurna. "Bagaimana kalau kita naik mobilku saja?" usul pria berbadan gempal itu seraya memperlihatkan kunci mobilnya. Masih dengan napas tersengal-sengal, Amber menoleh ke arah kendaraan yang terparkir di samping mobil Adam. "Kalian kira beratku mencapai satu ton? Orang-orang pasti tertawa melihat kalian membawaku dengan truk itu!" omelnya dengan suara melengking. Nick spontan meringis mendengarnya. "Maaf, Nyonya. Itu bukan truk, tapi mini box van untuk kargo kering. Aku biasa menggunakannya untuk mengantar perhiasan." "Kau tidak perlu malu, Precious," sambung Adam ditemani anggukan meyakinkan. "Mobil itu terbiasa membawa baran

  • Menaklukkan Duda Dingin   S2| 47. Waktunya Sudah Dekat

    "Halo, Nyonya Smith. Bagaimana kondisimu dan si Kecil?" sapa Nick ketika menyambut kedatangan Amber dan Adam. Diam-diam, ia merasa bangga melihat peluitnya tergantung di leher sang wanita. "Sangat baik. Maaf kalau harus merepotkan dirimu. Sebetulnya, ini satu minggu lebih awal dari prediksi dokter. Tapi, Adam terus mendesak agar kami menginap di rumahmu." Melihat raut bersalah Amber, Nick pun terkekeh. "Sama sekali bukan masalah, Nyonya. Apa yang dipikirkan oleh Bos memang benar. Ada baiknya jika kita berjaga-jaga. Rumah sakit terlalu jauh dari pondok kalian." "Kau memang bijak, Nick," ujar Adam seraya menenteng tiga tas besar yang diambilnya dari bagasi. "Tidak salah jika aku menaruh kepercayaan padamu." Sekali lagi, pria bertubuh gempal itu terkekeh. Setelah mengambil salah satu tas dari tangan Adam, ia melambai. "Ayo kutunjukkan kamar kalian! Aku sudah meminta Tina untuk membersihkannya tadi pagi." Selagi Nick memimpin jalan, Amber mencondo

  • Menaklukkan Duda Dingin   S2| 46. Tak Sesuai Harapan

    "Ikhlas," angguk Amber sigap. "Hanya saja, aku menyayangkan sikap mereka yang tidak pernah berubah. Entah sampai kapan mereka betah membuatmu menderita." Sembari tersenyum kecil, Adam mengelus pipi istrinya. "Tenang saja! Setelah ini, aku yakin mereka tidak akan meminta yang macam-macam lagi. Aku sudah tidak punya apa-apa untuk mereka rebut." "Bagaimana dengan rumah kita? Haruskah kita mengajukan pengalihan aset? Kurasa akan lebih aman kalau sertifikatnya tercatat atas namaku." Sembari menahan tawa, Adam mengangguk. Ia tahu, sebagian hati Amber sesungguhnya tidak rela melihatnya berkorban sedemikian besar. "Karena itulah, aku bersikeras untuk menyerahkan perusahaan kepadamu. Tapi kau menolak terus." "Aku tidak mau orang-orang menganggapmu budak cintaku, Jewel. Laki-laki mana yang menyerahkan seluruh hartanya kepada sang istri? Hanya laki-laki bodoh. Aku tidak mau kau dicap seperti itu." Gemas dengan sang istri, Adam pun mengecup

  • Menaklukkan Duda Dingin   S2| 45. Ikhlas

    "Sekarang giliran aku yang memberikan hadiah," tutur Ruby canggung. "Hadiah? Kapan kau menyiapkannya?" tanya Amber terbelalak. "Belanja online bukanlah sesuatu yang sulit," tutur Ruby sebelum tersenyum simpul. Tanpa basa-basi lagi, ia menyodorkan kotak. "Bukalah! Anggap ini sebagai permintaan maaf sekaligus terima kasihku." Setelah menyerahkan peluitnya kepada Adam, si wanita hamil mengangkat penutup kotak. Begitu menemukan kain rajut merah yang terlipat rapi, ia mendesah samar. "Apakah ini bentuk protes karena kami membuang sweater putih pemberianmu dulu?" "Justru aku ingin mengubur kenangan buruk tentang itu. Kuharap, ini bisa membantu kalian mengingat Ruby yang baru." "Kalau begitu, mulai detik ini, aku dan Adam akan membuat banyak kenangan manis bersama sweater ini," tutur Amber seraya mengeluarkan hadiah dari dalam kotak. Namun, sedetik kemudian, lengkung bibirnya membeku. Ternyata, masih ada sweater lain di dalam kotak. "Kau memberi kami sweater pasangan?" desahnya tak pe

  • Menaklukkan Duda Dingin   S2| 44. Babak Baru

    "Maaf," ucap Amber, enggan menyebut nama kakak iparnya, "Ruby ingin bicara denganmu." Dalam sekejap, mata Ed melebar. Tanpa basa-basi, ia masuk melalui celah antara pintu dan Amber. "Apakah Ruby berubah pikiran?" selidik Adam seraya bangkit dari kursi. Setelah menutup pintu, ia memandu sang istri untuk duduk dengan hati-hati. "Tidak." Alis sang pria pun melengkung sempurna. "Lalu?" "Ruby ingin mengakhiri hubungan mereka secepatnya. Dengan begitu, dia bisa tinggal di kediaman Tuan Berg tanpa kekhawatiran," terang Amber sebelum menyentak alis. "Lalu, bagaimana denganmu? Apakah terjadi sesuatu selama aku masih di dalam?" Sambil meninggikan sudut bibir, Adam mengecup tangan sang istri. "Percaya atau tidak, aku merasa biasa-biasa saja. Ya, aku kesal melihat wajah Ed. Tapi, mengetahui dia sudah mendapat balasan yang setimpal, aku tidak juga merasa lega. Hanya ... biasa-biasa saja, seperti tidak ada yang berubah."

DMCA.com Protection Status