Pov Elina
"Tidak, aku tidak mau, Mas. Aku ingin periksa ke Dokter Mawar saja. Dia sahabat kita, pasti memberi pelayanan terbaik," sanggah Aida panik"Halah, kamu takut 'kan? lihat tuh, gundikmu, Mas. Kebakaran jenggot takut ketahuan."
Dia pikir aku bodoh dan bisa masuk perangkapnya? oh tidak, semudah itu. Aku sudah bisa membaca kelakuan pelakor model Aida. Sekarang, dia panik karena permainannya sendiri.
"Diam! biar aku yang menentukan!" bentak Mas Wisnu.
Hatiku dongkol kepada Mas Wisnu. Hanya karena istri keduanya, dia membentakku. Tak ada penawar bagi lukaku ini. Tekad semakin bulat untuk menggugat ceria. Modal usaha sudah aku kantongi. Soal aset rumah, aku tak berminat menguasainya.
Harta bukan penentu sebuah kebahagian. Hal terpenting, aku punya modal untuk memulai hidup baru tanpa Mas Wisnu. Dibandingkan terus bertahan tapi tersakiti. Uang masih bisa aku cari sendiri. Namun, kebahagian dan kesehatan mental tidak bisa dibeli materi. Buat apa aku berhasil mengeruk harta Mas Wisnu tetapi sesudahnya mengalami depresi berat karena hidup satu atap bersama manusia setengah ibl*s seperti Aida.Aku harus keluar dari sangkar emas milik Mas Wisnu. Terbang bebas bak burung merpati. Merasakan kembali kedamaian dunia luar. Menghembus udara bebas tanpa bayang-bayang rasa yang membelenggu.
"Mas kenapa ke sini?" tanya Aida tegang.
"Benar kata Elina, rumah sakit Bunda Pelita lebih besar. Dokter di sini pasti lebih bagus. Ayok, keluar."
"Gak mau, Mas. Aku mau di tempat praktek Dokter Mawar. Aku gak mau turun."
"Tuh, keliatan bohongnya. Masa cuman karena beda dokter gak mau periksa. Kamu mau anakmu keguguran?"
"Jangan sembarangan bicara. Aku hanya tak percaya jika berobat di sini."
"Sudah, cepat turun. Jika kamu tak mau, berarti perkataan Elina benar adanya."
"Baik, cepat gendong aku, Mas. Perutku sakit sekali."
"Aktingmu, gak berbakat Aida," ledekku sambil tertawa.
Raut resah sangat kentara. Akan tetapi, Aida tidah bisa menolak. Mas Wisnu segera membawanya ke UGD agar segera ditangani.
Kita saksikan pertunjukan spektakuler. Mau ditaruh dimana muka si Aida kalau Mas Wisnu tahu dia berbohong. Tahu rasa kamu, Aida. Jangan macam-macam denganku.
"Maaf Pak, tolong tunggu di luar," perintah suster.Mas Wisnu sangat panik menunggu tim medis yang sedang mengobati Aida. Berbeda denganku yang sedang duduk santai sambil menontot status para artis idola di I*******m.
"Neng, kenapa kamu tidak cemas sama sekali? aku gak nyangka Neng berubah jadi kejam gini."
"Terserah."
"Elina, aku bicara serius!"
Mas Wisnu mencengkram rahangku. Mata kami saling bertatapan. Aku tak menyangka, dia berbuat sekejam ini. Bulir bening mengalir begitu saja.
"Neng, ma-maaf."
Tangannya terlepas, dengan rasa tak enak hati. Aku masih memandang matanya yang kecoklatan. Rasa syok mengguncang jiwa. Tak pernah menyangka, Mas Wisnu berbuat kasar. Rasa perih di bagian wajah, tak sebanding dengan nyeri di hati. Hancur lebur cintaku untuknya."Neng, maafin Mas. Mas kelepasan, dan gak bermaksud kasar."
"Cukup tahu, Mas. Ternyata Cintamu tak sebesar yang aku bayangkan. Bahkan, kamu menuduh begitu saja, padahal dirimu yang sudah membohongiku."
"Neng ma-"
"Suaminya Bu Aida."
Dokter tiba-tiba keluar dari ruang UGD. Perdebatan antara kami harus terhenti. Mas Wisnu menghadap dokter penuh kecemasan.
"Bagaimana kondisi Istri dan anak saya, Dok."
"Mari kita bicara di ruangan saya."
Aku mengekor di belakang mereka. Tak sabar melihat Mas Wisnu kena jantungan karena di tipu Aida. Aku akan bersorak riang saat detik-detik itu terjadi.
"Bagaimana Dok, apa anak dan istri saya baik-baik saja?" tanya Mas Wisnu tak sabar saat di ruang dokter.
"Syukurlah, benturan di perut Ibu Aida tidak parah. Dia hanya mengalami pendarahan ringan. Tolong, untuk Pak Wisnu agar lebih hati-hati. Jika, terjadi lagi kejadian serupa, bisa mengancam keberlangsungan janin dan ibunya," papar dokter di luar dugaan.
Kenapa dokter berkata seperti itu? Sudah jelas Aida hanya bersandiwara. Aku sangat ingat, tak pernah mendorong bahkan menyentuh kulitnya. Pasti telah terjadi konspirasi untuk menjatuhkanku.
"Elin, kamu dengan kata Dokter. Untung Tuhan masih menyelematkan mereka," maki Mas Wisnu menatap nyalang.
"Gak mungkin, Dokter pasti berbohong. Aida tidak pernah jatuh, Mas. itu hanya darah buatan saja."
"Cukup, Elina. Kamu mau mengelak bagaimana lagi, buktinya sudah jelas. Lihat, Aida benar-benar hampir keguguran. Apa yang kamu tuduhkan tentang dia tidak terbukti."
"Dokter ini pasti membuat konspirasi, untuk memfitnahku," ucapku lantang.
Wajah Dokter pria itu terlihat gugup. Dia berusaha tenang, tapi aku paham bahwa dia berbohong.
"Hahaha, Elina, setan apa yang membuat hatimu buta seperti ini. Setelah menuduh Aida, sekarang kamu menyalahkan Dokter yang baru dikenal," umpat Mas Wisnu geram.
Dia mencengkram tanganku erat. Menimbulkan rasa sakit di pergelangan tangan.
"Lepaskan!" pekikku.
"Sudahlah, ayok kita selesaikan semuanya di luar." Mas Wisnu memaksaku keluar.
"Diam kamu, Mas. Biar aku buktikan sendiri kebenarannya."
Aku berdiri sambil menatap tajam pada Mas Wisnu. Kemudian, melotot ke arah dokter. Ekspresi takut makin tergambar jelas diwajahnya.
"Pak Dokter, apa anda tahu pasal 3 undang-undang nomer 11 tahun 1980 yang menerangkan tentang sanksi pidana bagi pihak penerima suap?" tanyaku berusaha tenang.
"Ti-tidak," jawab Dokter makin gugup.
"Baik, akan saya terangkan.
Barangsiapa menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena menerima suap dengan pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun atau denda sebanyakbanyaknya Rp.15.000.000.- (lima belas juta rupiah)," paparku begitu meyakinkan. Mas Wisnu hanya mematung."Katakan yang sejujurnya, atau saya perkarakan ini ke jalur hukum. Jika anda berbohong, sama saja ikut menuduh saya berencana membunuh nyawa seseorang. Itu termasuk pencemaran nama baik. Saya bisa mengusutnya kepengadilan, dan dengan mudah membuktikan bahwa anda memberi diagnosis palsu."
"Sa-saya tidak berbohong. Anda jangan menuduh," jawab Dokter menunjukan wajah tak suka.
"Elina, sudah ja-"
"Diam." Mataku memandang tajam pada Mas Wisnu, lalu beralih pada Si Dokter.
"Aida membayar anda berapa? pasti tidak semahal harga yang harus dibayarkan jika mendekam di penjara, bukan? Cepat katakan, atau saya telpon pengacara saya detik ini juga."
Jujur, aku hanya mengancam saja. Bermodalkan hafal undang-undang tentang suap yang baru aku baca di goegle. Aku sudah mengantisipasi jika kejadian ini terjadi. Aida, kamu tak akan menyangka seorang Elina sangat cerdik
"Saya ti-tidak berbohong."
"Baik."
Aku angkat ponsel, pura-pura memanggil pengacara, padahal sama sekali tidak punya nomer pengacara.
"Jangan-jangan, baik, saya jujur. Ibu Aida telah memberi saya uang sebesar sepuluh juta untuk mengatakan diagnosis palsu. Bu Aida tidak pernah terbentur. Dia menggunakan darah palsu yang di simpan dibagian paha, lalu sengaja memecahkan wadahnya, sehingga mengucur sampai kaki."Wajah Mas Wisnu sangat terkejut, bercampur amarah. Napasnya tak beraturan menahan gejolak di dada."Makasih dokter. Untuk kali ini, saya maafkan."
Aku tatap Mas Wisnu dengan senyum kemenangan. Kemudian, berjalan dengan angkuh keluar ruangan. Rasakan kamu Mas. Sudah bertahun-tahun kita bersama, tapi kamu begitu mudah percaya pada sesuatu yang tak pernah aku lakukan. Membunuh semut saja tidak tega, apalagi mencelakai bayi tak berdosa.
"Elina, tunggu," ujar Mas Wisnu.Aku hiraukan panggilannya. Berjalan dengan pongah menuju ruang UGD. Melabrak perempuan gila yang berani memfitnahku.
"Selamat Aida, kamu gagal membodohiku dan Mas Wisnu."
"Ma-maksud kamu apa?"
"Jangan mengelak Aida. Aku tidak menyangka kamu sengaja bersandiwara untuk menjatuhkan Elina."
"Apa yang kalian maksud, aku sungguh tidak mengerti," jawab Aida pura-pura lugu.
"Hahaha, gak usah berkelit. Aku sudah membongkar kebusukan kamu. Dokter tadi, sudah bicara sejujurnya. Lihat Aida, aku lebih pintar darimu."
"Ma-Mas Elina bo-"
"Cukup! aku kecewa kepadamu Aida."
Gejolak Emosi nampak jelas di wajah Mas Wisnu. Jika, bukan di rumah sakit, perang dunia pasti terjadi. Mas Wisnu tipe orang yang paling tidak suka dibohongi. Kemarahannya akan seperti Guntur di malah hari. Menggelegar dan membuat takut siapapun yang mengecewakannya.
"Satu lagi, aku sudah muak melihat kalian. Aida, silakan ambil Mas Wisnu. Semua aku lakukan, bukan karena kalah. Tapi, aku menyadari, pria tukang bohong hanya pantas bersanding dengan perempuan yang sama busuknya."Netra nyalang memandang Mas Wisnu. Raut gamang nampak jelas. Rasa bersalah telah menguasainya. Namun, tak ada kata maaf untuknya. Kekecewaanku sudah menjulang tinggi seperti gunung tertinggi di Asia-- gunung Everest."Neng, maafkan Mas," seru Mas Wisnu."Mas jangan pergi!" teriak Aida.
Aku lari sekencang mungkin. Menerobos keramaian di rumah sakit ini. Berusaha tetap tegar, meski nyatanya hatiku juga rapuh. Air mata terus bercucuran bagai hujan deras. Dada sesak mengingat kejadian yang menusuk malam ini. Baru sedikit kebahagian itu datang, karena sikap manis Mas Wisnu, seketika dicampakkan ke jurang terdalam."Elina, tunggu!"
"Elina jangan pergi!"
Tak ada lagi tenaga. Tubuh ini tersungkur di tepi jalan. Mas Wisnu masih mengejarku. Persendian lemas, tak kuasa lagi lari darinya.
"Elina, jangan pergi."
Mas Wisnu memeluk tubuhku sangat erat. Derai air mata menghiasi pipinya. Kami menangis bersama di tengah bisingnya kendaraan yang berlalu lalang.
"Lepaskan, Mas, aku benci padamu. Lepaskan, hiks, hiks."
Tangan berusaha berontak, dan memukul dada Mas Wisnu sekuat mungkin. Namun, pelukannya makin kuat.
"Ayok, kita pulang. Bahaya meluapkan emosi di pinggir jalan seperti ini."
"Tidak!" jeritku.
Banyak mata memandang heran. Raungan tangis tak henti terlontar dari mulutku. Rasa benci, marah, dan kecewa bercampur aduk tak karuan.
"kita pulang, Elin. Mari selesaikan semuanya di rumah."
"Turunkan aku!"Mas Wisnu menggendongku dengan paksa. Dia tak perduli teriakan dan pukulan. Menurunkanku di dalam mobil, lalu segera melajukan mobilnya. Tak ada celah untukku kabur.
"Turunkan aku! tak Sudi bersamamu lagi Mas. Aku sudah tidak kuat menjalani rumah tangga ini!" raungku menggelegar di dalam mobil.
"Tenanglah Elina, percaya padaku, aku melakukan ini karena begitu mencintaimu. Maafkan aku yang sudah meragukanmu."
"Turunkan aku!"
Mobil melaju sangat cepat. Mas Wisnu hanya bergeming mendengar luapan emosiku.
"Hiks, hiks, turunkan aku, Mas. Kamu jahat," ucapku lirih.
Emosi telah menguras seluruh energi. Tak ada daya lagi untuk melawan. Aku pasrah ketika Mas Wisnu membawaku menuju rumah. Mungkin, aku harus mengontrol diri agar punya kekuatan.
"Elina, ayok turun, kita bicarakan baik-baik," perintah Mas Wisnu sambil mengulurkan tangan.
Aku keluar begitu saja, dan mengabaikannya.
"Mbak, kenapa?" tanya Aish saat aku masuk ke ruang tengah.
"Aish, bawa Mbak pergi dari sini. Mas Wisnu sudah keterlaluan."
Aku peluk tubuh Aish dan menyandarkan segala beban yang dirasa.
"Ada apa Mbak?"
"Hanya salah paham, Aish. Tolong, beri waktu kami untuk menyelesaikannya."
"Tidak!"
Aish menepis tangan Mas Wisnu yang ingin menggenggamku.
"Siapkan baju Mbak, kita pergi dari sini."
"Aish, jangan ikut campur," protes Mas Wisnu.
"Dia Kakakku. Tidak ada yang boleh menyakitinya. Cepat Mbak, pria ini biar aku yang urus."
Aish mencengkram tangan Mas Wisnu sangat kuat. Dia memang lebih hebat dariku dalam hal bela diri. Tak sia-sia ayah memaksa anaknya untuk berlatih pencak silat. Keahlian ini, memang ampuh melindungi kami dari para pria kurang ajar, seperti Mas Wisnu.
"Ayok, Aish," intruksiku setelah membawa satu koper berisi pakaian.
Prang!
Mas Wisnu memecahkan meja kaca menggunakan hiasan patung dari batu yang ada di lemari tempat televisi.
"Jangan pergi, atau aku bunuh diri," gertak Mas Wisnu sambil meletakan pecahan kaca pada lengan kirinya.
Prang!Mas Wisnu memecahkan meja kaca menggunakan hiasan patung dari batu yang ada di lemari tempat televisi."Jangan pergi, atau aku bunuh diri," gertak Mas Wisnu sambil meletakan pecahan kaca pada lengan kirinya."Mas istigfar, Mas," seruku panik."Jangan pergi, Elin aku mohon." "Biarin aja, Mbak. Dia cuman drama doang. Kalau gak mau kehilangan, harusnya jangan mendua," sungut Aish."Mas tidak bercanda, Elina. Tolong jangan pergi. Mas sangat mencintaimu.""Modus!" sergah Aish."Ayok, Aish, kita pergi," seruku."Tidak."Mas Wisnu menghadang kami. Dia berjaga di pintu, agar aku tak bisa keluar. Kenapa kamu nekat seperti ini, Mas?"Awas!" teriak Aish."Tolong biarkan kami pergi, Mas!" hardikku."Silakan, pergi. Jika kamu rela melihatku mati.""Arrgh!" jerit aku dan Aish saat melihat darah bercucuran.Serpihan kaca, berhasil membelah lapisan kulit Mas Wisnu. Jelas terlihat, kulit yang menganga dengan cairan merah yang perlahan melingkari tangannya."Mas wisnu, hiks, hiks."Tanpa pikir
"Berhenti!" Aku pasang badan agar Arka tidak lagi dipukul. Mas Wisnu menatap heran. Dia menggelengkan kepala seakan tak percaya, bahwa aku lebih membela Arka dibandingkan suami sendiri."Elina, jangan halangi aku. Pria itu sudah kurang ajar!" umpat Mas Wisnu."Elina, mari ikut bersamaku. Tinggalkan suami tak berguna seperti dia."Kenapa Arka berbicara seperti itu? pasti ada sesuatu yang tidak beres. "Diam! tidak boleh ada yang bertengkar. Mas Wisnu jangan main hakim sendiri.""Kenapa kamu bela dia, Elina? sudah jelas, dia merendahkanku. Dia bicara bohong kalau kamu mantannya. Dia juga berani mengancam akan merebutmu dariku.""Tenang, Mas Wisnu. Sepertinya pria itu memang jujur. Buktinya, kemarin-kemarin dia juga sengaja membantu Elina mengacaukan resepsi kita. Biarkan Elina pergi bersamanya. Mereka juga sama-sama penghianat ," ujar Aida memanas-manasi."Jangan ikut campur, Aida. Keberadaanmu malah menambah keruh suasana!" bentak Mas Wisnu sambil menghempaskan tangannya."Elina, ayok
POV AidaNamaku Aida Anandita, putri tunggal keluarga Reno Kusuma. Pemilik bisnis properti di Bandung. Ayah aslinya orang jawa, tetapi tinggal di Bandung karena menikah dengan Ibu. Sejak kecil, Ibu meninggalkan kami karena sakit. Namun, aku tak pernah merasa kekurangan kasih sayang, karena sering di asuh Bu Anna, Istri sahabat karib Bapak. Persahabatan mereka sangat erat. Itu pula yang terjadi denganku dan Anaknya--Wisnu.Keluarga Mas Wisnu sangat berhutang Budi pada Ayahku. Apalagi, saat Pak Wijaya meninggal. Semua kebutuhan kuliah Mas Wisnu, dan modal usaha Ibunya, ditanggung Ayahku."Aida, Mas seneng banget," seru Mas Wisnu. Saat libur kuliah tiba, kami selalu bermain bersama. Menyempatkan waktu bertemu atau bertukar pesan saat saling jauh. Mas Wisnu kuliah di Yogyakarta, sedangkan aku masih setia di Bandung. Tinggal bersama Ayah, dan sering berkunjung ke rumah Mas Wisnu."Kenapa, Mas? tumben pulang dari Jogja mukanya cerah gitu.""Mas udah jadian sama Elina, perempuan yang sering
POV ElinaTok! tok! tok!"Siapa yang bertamu pagi-pagi gini, Aish?" tanyaku heran."Gak tahu, sana Mbak aja yang buka. Biar Aish lanjut masak dan bawa ke depan.""Oke siap.""Assalamualaikum."Tok! tok! tok!Suara ketukan pintu bertalu-talu. Siapa gerangan orang yang bertamu sepagi ini? ketukannya berkali-kali dan sangat nyaring. Seperti orang mau ngajak tawuran."Buka!" "Iya sebentar."Ceklek!"Aduh, lama banget. Iqis kesel ama Bunda. Iqis 'kan mau makan macakan Bunda," rengek anak kecil bermata indah itu.Pagi ini, dia begitu cantik. Menggunakan baju muslim berwarna pink dengan kerudung warna senada. Tangannya memegang boneka beruang berwana coklat susu. Bibir tipisnya menyiratkan kebahagian."Ya ampun, maaf anak cantik. Tante lagi masak, jadi lama buka pintunya." Aku berjongkok sambil memegang tangannya."Ko, Bunda bilang Tante? Bunda gak akuin Iqis anak Bunda?"Bibir Iqis manyun dengan sempurna. Wajah cerah seketika sendu seperti awan mau hujan."Eh, ko, sedih.""Bilqis, ini T
"Duduklah Elina," perintah Arka saat kami tiba di kontrakanku.Ribuan luka bertebaran di hati. Jika tak ingat malu, aku ingin mengamuk seperti seekor sapi yang kena stres saat mau dipotong."Mas Arka lebih baik pulang saja. Aku tahu, Mas sibuk mengurus klien baru. Soal rekomendasi hidangan acara para pengantin, nanti bisa konfirmasi langsung ke koki restoranku.""Gak papa aku tinggal?"Aku hanya mengangguk lemas. Bilqis ikut murung di sampingku. Dia terus menggenggam tangan ini."Baiklah, sepertinya kamu butuh waktu sendiri. Soal Wisnu, jika kamu butuh pengacara hebat untuk di pengadilan nanti, hubungi aku. Kita buat mereka menyesal." Aku hanya tersenyum tipis meresponnya.Kenapa Arka ikut berambisi membalas keburukan mereka? membuatku semakin penasaran saja. Namun, mulut seakan terkunci rapat tak ingin banyak bicara."Aku pamit.""Hati-hati."Arka berlalu meninggalkan kami. Hanya tersisa aku dan Bilqis. "Bunda, jangan nangis, Iqis jadi sedih," ucap Bilqis berkaca-kaca. Aku peluk t
"Maaf Bu. Harusnya ibu yang bertanya pada diri sendiri. Kesalahan apa yang Ibu perbuat, sampai membuat rumah tangga kami hancur," jawabku penuh penekanan.Ibu hanya membisu. Matanya berkaca-kaca. Perkataanku bagai busur yang melesat tepat sasaran. Menancap kuat di hatinya."Elina jangan pergi," rengek Mas Wisnu seperti anak kecil.Irasnya sudah tak karuan. Rasa penyesalan, kesedihan, dan penderitaan begitu tergambar di wajahnya. Seketika, hatiku ikut pilu. Namun, logika memaksa untuk pergi."Elina, aku akan mengejarmu kemana pun. Kamu hanya untukku.""Wisnu ayok pulang!" Ibu menahan Mas Wisnu agar tak mendekat kepadaku. Sedangkan aku, berusaha tak acuh atas panggilannya."Sabar yah, Mbak Elina."Sebelum masuk mobil, Mas Alzam menghampiri untuk memberi semangat. Wajahnya yang teduh, menyalurkan energi ketenangan untukku."Allah selalu menghibur hati yang sedih melalui firmannya. Seperti yang sudah di jelaskan dalam Al Quran Surat Al-Baqarah Ayat 186: Dan apabila hamba-hamba-Ku bert
POV Wisnu"Wisnu, Ibu tak pernah mengajarkanmu untuk merendahkan diri seperti itu," bentak Ibuku setelah Elina pergi dari ruang sidang.Kenapa Ibu tak mengerti sedikit pun perasaanku? Berkali-kali aku katakan, bahwa cintaku hanya milik Elina. "Semua karena Ibu. Jika Ibu tak memaksaku menikah dengan Aida, pernikahanku tak akan hancur seperti ini.""Jangan salahkan Ibu. Kamu sendiri yang menghamili Aida.""Aku sudah bilang, anak dalam kandungan Aida bukan anakku."Plak!"Gila kamu, Wisnu."Tamparan dari Ibu mendarat tepat di pipi kananku. Bukan kulit yang sakit, tapi hati. Tak menyangka Ibu berbuat seperti itu. Dia lebih mendukung Aida dibandingkan aku. Bukan membantu mencari solusi, Ibu malah menambah lukaku semakin menganga."Ibu gak tahu rasanya jadi Wisnu." Aku berjalan menjauh darinya."Mas mau ke mana? jangan pergi.""Diam, jangan halangi aku. Dasar perempuan pembohong. Kalau tidak mendengarkan hasutan darimu, aku tak akan terbawa emosi untuk menalak Elina.""Mas, itu bukan salah
POV Elina "Mereka sudah pergi, Aish?" tanyaku setelah solat isya.Hati yang awalnya panas karena drama Mas Wisnu dan Aida, mulai tenang kembali. Air wudu dan solat, ampuh memberi ketenangan kepada jiwa yang dibendung masalah kehidupan."Sudah aman, Mbak. Untung mereka pergi. Kalau tidak, jurus mautku akan dikeluarkan.""Bar bar kamu, Aish," ujarku datar."Gak papa, dari pada jadi manusia lebay. Jangan hanya bisa menangis meratapi hidup. Sesekali harus nekat memperjuangkan kebahagiaan diri sendiri.""Betul kamu Aish. Jangan lemah.""Iya dong. Kalau bukan diri kita yang berusaha kuat, siapa lagi yang mau menguatkan? jangan selalu berharap di beri motivasi orang lain. Karena dorongan terbesar hanya berasal dari diri sendiri, dan keyakinan pada Allah.""Aish, tumben ot*kmu encer," ledekku."Sembarangan. Aish emang adik Mbak yang paling pintar. Mbak lupa, sejak kecil, Aish yang selalu membantu Mbak mengalahkan anak-anak cowok yang nakal. Sampai Mbak sudah dewasa seperti sekarang ini, Ai
POV AishApa kira-kira tugas terkahir Jex sebagai mafia? sepanjang perjalanan Jakarta - Bandung aku terus berpikir keras. "Sayang, apa sebenernya yang harus diselesaikan? kamu tidak berniat membunuh seseorang 'kan?""Tidak, istriku. Ada wasiat dari Ayah. Setelah itu, hidupku akan bebas.""Apa?""Nanti aku beritahu, lebih baik kamu tidur. Kamu pasti lelah.""Baiklah."Jex bukan orang yang bisa dipaksa untuk bicara. Maka aku ikuti saja keinginannya. Yang terpenting, dia sudah tidak terobsesi lagi oleh dendam. Aku hanya ingin kami bisa hidup bahagia tanpa di bayang-bayangi kecemasan. Ternyata hidup menjadi bagian dari seorang mafia sangat tidak nyaman. Meskipun uang berserakan di mana-mana. ****Satu bulan berlalu, Perlahan Jex menyelesaikan tugas terakhirnya. Dia menyerahkan semua saham perusahaan Sagar Buana pada Denis. Dengan rasa tak percaya, Denis mau menerimanya. Jex hanya akan mengambil sedikit harta untuk membeli tanah dan modal untuk memulai hidup baru di desa emak dan bapakku
POV JexMataku membeliak kaget. Kamar berantakan. Baju-baju Aish sudah berkurang dari lemari. Aku pikir dia hanya marah biasa. Ternyata, Aish nekat pergi dari rumah ini. Hampir 5 jam aku melupakannya setelah pertengkaran yang terjadi di antara kami. Aku terlalu sibuk dengan dunia kesedihanku. Sampai tidak sadar Aish meninggalkanku."Ke mana istriku pergi?" tanyaku penuh amarah kepada penjaga."Ta-tadi nyonya naik taksi online sambil membawa koper, Tuan. Saya pikir sudah izin sama Tuan.""Bodoh!"Bugh. Aku pukuli para penjaga satu persatu. Dasar manusia berotot yang tidak bisa diandalkan. Mana mungkin aku membiarkan Aish keluar sendirian tanpa penjagaan anak buahku. Kenapa mereka begitu bodoh, sampai tidak bisa melarang kepergian istriku? Amarah aku luapakan secara brutal. Semua anak buahku menjadi pelampiasan emosi. Mereka semua babak belur. Darah mengucur di bagian bibir. Aku berubah seperti Jex yang dulu. Menjadi brutal dan ganas. Bagaikan singa hitam. Aku segera menuju rumah Mb
POV Aish "Ayah!" teriak suamiku diiringi isak tangis.Persendian lemas. Aku tersungkur di lantai. Menunduk sambil mengeluarkan air mata. Tak sanggup memandang wajah ayah yang sudah penuh darah. Sedangkan suamiku terus meraung mengeluarkan kesedihan. Dia memeluk dan mencoba membangunkan ayahnya. Namun, semua itu percuma. Ayah sudah kembali ke alam keabadian. Dia meninggal karena memilih menyelamatkanku dan cucunya. Tak gentar menghadapi ajal. Pengorbanannya untukku dan Jex begitu luar biasa. Namamu akan tersimpan baik di hatiku ayah.Maafkan aku tak bisa menyelamatkanmu. Terima kasih telah mengorbankan nyawa demi aku. Kau bagai malaikat penolongku. Jujur, sesak di dada begitu menghimpit. Oksigen seakan tak mau masuk ke rongga paru-paruku. Rumah yang penuh canda tawa dan ketenangan ini, mendadak gelap. Seiring dengan kepergianmu. "Ayah ... maafkan aku. Ayah ... bangunlah, Arrgh!"Jex mencengkram pundak ayah. Menggoyangkan tubuhnya. Mengaggap ayah hanya sedang tertidur pulas. Suamiku
POV AraavSialan. Pria tua seperti Sagara bisa memporak porandakan bisnisku dalam hitungan hari. Di tambah lagi kecerobohan Arka dan anak buahnya. Mereka memang tidak bisa diandalkan. Lengah meninggalkan jejak ketika membakar ruko. Arka juga dituduh melakukan penculikan karena bertingkah gegabah. Aku sudah bilang, jangan bertindak sembarangan. Rusak sudah rencanaku. Jex dan Sagara bersekongkol menghancurkanku. Dia membuatku masuk penjara. Semua karena penghianatan manusia busuk seperti Arka. Dia dijebloskan terlebih dahulu ke penjara, dan sengaja menyeret namaku ikut dengannya. Dasar manusia sialan. "Aku sudah bilang, kau ini bodoh. Kau pintar bercuap-cuap, tapi selalu salah bertindak," hardik Gisel.Adik sialan yang merasa paling hebat. Beruntung aku berhutang pertolongan kepadanya. Kalau bukan karena dia aku masih mendekam di penjara. Ruangan yang mirip tempat pembuangan sampah. Mimpi buruk berada di sana. Hanya dalam hitungan hari saja, membuatku trauma. Aku bersumpah akan mengh
POV Tuan Sagara"Tu-tuan, jangan emosi dong. 'Kan bukan aku yang seperti iblis."Perempuan bodoh kesayangan Jex ketakutan. Dia tak setangguh yang aku pikir. Awalnya, aku mengira dia perempuan tangguh, karena berani melawanku pada waktu itu. Namun, tetap saja seorang perempuan sesuai kodratnya. Hatinya lembut. Lebih tepatnya dinamakan lemah."Jangan cengeng. Baru seperti itu saja ketakutan. Kamu sedang mendengar aku bercerita, bukan menonton arena gulat.""Hihihi, Tuan tetep serem walaupun sedang curhat."Anak ingusan ini malah mengejekku. Kalau bukan istri dari putra angkatku, sudah aku tampar dia. Tak sopan bersikap demikian di hadapanku. Berani meledek mafia paling hebat se-Asia. Sebenernya, dia orang kedua. Maria sudah terlebih dahulu bersikap konyol begitu ketika bersamaku. "Cepat bereskan dapur ini. Jangan sampai ada debu sedikit pun. Kau terlalu lancang menyuruhku banyak bicara.""Maaf, Tuan. Aku tidak menyuruh. Hanya saja, Tuan yang bercerita duluan. Tapi, tak apa. Sebagai me
"Buburnya sudah siap, Ayah.""Hahaha, aku suka panggilan itu, Lion.""Ternyata kau membawa pujaan hatimu, hahaha. Kita tidak sedarah, tapi tingkahmu mirip denganku," sambungnya ketika menyadari kehadiranku.Sungguh aneh. Tuan Sagara yang ada di hadapanku saat ini, sangat berbeda dengan sosok Tuan Sagara saat kami pertama berjumpa. Dia kelihatan seperti orang tua pada umumnya. Dengan rambut yang beruban, dan kesehatan yang mulai memburuk. Apa memang begini kehidupan seorang mafia? mereka bisa menyesuaikan diri dengan sesuka hati. Tergantung tempat dan kepentingan. "Aish sudah membuat bubur. Silakan di makan, Ayah. Setelah itu, minumlah obat.""Berikan buburnya, jika tidak enak, istri cantikmu ini tak akan selamat, hahaha.""Ih, serem, Jex," bisikku panik. Baru saja pria tua ini aku puji, karena bersikap normal. Sekarang dia malah berani mengancamku. Padahal aku tidak melakukan kesalahan ."Tak usah takut, hanya bercanda.""Bercanda dari Hongkong. Orang mukanya serem gitu," bisikku kes
"Om, Om, mukanya ko, serem," ledek Bilqis malu-malu.Anak itu memang begitu. Meskipun kelihatan ketakutan, tapi suka jahil. Salah satunya senang berceloteh. Terlalu jujur. Aku peluk dia sambil tertawa. Sedangkan Jex tampak tak terima dikatakan demikian. "Santai dong, Om Jex tampan. Bilqis bicara seperti itu karena dia ingin PDKT sama kamu. Peka dong.""Aku tak paham caranya mendekati anak kecil," jawab Jex tanpa dosa.Dia tenang saja duduk di sampingku. Tanpa niatan ingin mengajak Bilqis bermain. Aku punya ide supaya suasana di rumah ini tidak kaku. "Iqis, suka main kuda gak?""Suka dong, Tante. Tapi ayah sedang masak. Jadi, Iqis gak bisa main kuda-kudaan.""Nah, Tante punya teman baru untuk Aish main kuda-kudaan.""Serius Tante? mana temannya.""Nih, di samping Tante.""Aku maksudnya?" tanya Jex kaget. Dia tampak tak terima dengan usulanku."Ya iyalah, suamiku sayang. Siapa lagi? kamu tega istrimu jadi kuda? hi, dasar.""Aish, jangan begitu," tegur Mbak Elina.Kakakku membawa dua
POV AishHari ini semuanya berubah. Aku bisa merasakan pancaran kebahagian. Jex begitu menikmati sarapan bersama kami, dan Mbak Elina. Benar kata kakakku, suamiku butuh perhatian. Aku harus berdamai dengan takdir dan menerima semuanya. Rido terhadap ketentuan Gusti Allah. Awal mula perubahan sikapku, karena nasihat Mbak Elina dini hari tadi. Saat aku terbangun pukul 03.00 dini hari, aku melihat Jex tertidur sambil memelukku. Dengan kondisi kepalaku yang sudah tidak mengenakan hijab. Rasa kesal sempat menghampiri. Tak terima dengan sikap Jex yang lancang. Seenaknya dia melihat rambutku. Namun, perlahan emosiku reda. Ketika mendengarnya mengigau."Jangan ... jangan ambil Aish dariku. Aku mohon ...." Tampaknya Jex bermimpi buruk. Air mata menetes begitu saja. Padahal, matanya terpejam. Dari situ, hatiku sedikit tersentuh. Bertanya-tanya dalam diri ini. Apa sebesar itu cinta Jex padaku? sampai dalam tidurnya saja, dia tak mau kehilanganku.Aku berusaha mengingat-ingat lagi, apa yang su
POV JexMalam ini aku ceritakan semuanya pada Aish. Mulai dari kisah hidupku semasa kecil. Sampai konflik yang terjadi antara Tuan Nicolas dan adiknya, Tuan Sagara. Sepengetahuanku, Tuan Nicolas yang mempunyai sifat tamak. Ingin merebut semua yang menjadi milik adiknya. Sama halnya dengan Araav. Darah haus kekuasaan mengalir kental pada anak pertama Tuan Nicolas. Aish sangat antusias mendengarkan ceritaku. Meskipun, wajahnya seketika murung saat aku memberi tahu kebusukan Arka. Istriku harus tau. Walaupun, dia tak mungkin 100% percaya padaku. Namun, setidaknya Aish bisa berhati-hati. Jika sewaktu-waktu Arka mengganggunya. Baru saja mau merebahkan tubuh di kasur, tiba-tiba ada panggilan dari orang kepercayaan yang memegang bisnis ruko. Dia mengabarkan kalau Ruko habis terbakar. Sampai merembet ke perumahan milik Sagara Buana."Jex, mau ke mana?""Ada masalah, Aish. Kemungkinan besar, Araav dan Arka sedang membuat perhitungan padaku.""Maksudnya bagaimana?" "Aku sudah mengacaukan mar