Beberapa hari kemudian...Dinda dan Kanya nampak setengah berlari menyusuri lorong-lorong sekolah. Dua sahabat yang kebetulan duduk di kelas yang sama ini mencari Natasha. Mereka membawa kabar gembira untuk gurunya itu."Din, kamu ngeliat enggak sih, Bu Natasha?" Kanya bertanya pada sahabatnya itu.Dinda hanya mengangkat bahunya. "Aku nggak lihat. Dari tadi pagi juga enggak kelihatan Bu Natasha itu ada di mana," jawab Dinda."Ya udah kita cari lagi, Bu Natasha," ucap Kanya. Dinda pun mengangguk dengan ucapannya.Kedua gadis kecil itu pun melanjutkan pencarian dengan menyusuri lorong-lorong kelas, melihat setiap tempat yang di singgahi, dan bertanya kepada siapa saja yang mereka temui di jalan.Kedua netra Dinda dan Kanya langsung berbinar. Mereka melihat Natasha tengah keluar dari perpustakaan. Menenteng banyak koran di kedua tangannya."Itu, Bu Natasha, Nya," ucap Dinda sambil memandangi Natasha yang tengah keluar dari perpustakaan."Ayo kita samperin Bu Natasha, Din," ucap Kanya sem
Perlahan Natasha mengetuk pintu ruang kepala sekolah. Ia lalu menanti jawaban dari dalam."Iya, masuk," kata Bu Wirda dari dalam. Natasha pun mengangguk.Ia lalu membuka pintu ruang kepala sekolah. Sudut matanya dapat melihat Bu Wirda sedang duduk di kursinya. Matanya sibuk menatap layar ponselnya.Natasha masuk perlahan. Dia lalu duduk di kursi yang disediakan oleh kepala sekolah. Kanya dan Dinda pun duduk di sebelah sang guru. Ada rasa deg-degan juga di diri keduanya.Sebab baru pertama kalinya keduanya menginjakkan kaki di ruangan yang tidak terlalu luas, tapi bersih ini. Ada banyak furnitur di ruangan ini saat keduanya memandangi sekeliling. Di dalam benak mereka ruangan kepala sekolah sudah seperti rumah sendiri.Berkas-berkas juga hampir tidak terlihat di meja Bu Wirda. Mereka berpikir bahwa berkas-berkas itu disimpan di dalam lemari atau tempat penyimpanan lainnya. Sehingga menimbulkan kesan rapi pada ruangan kepala sekolah. Dan tentu saja nyaman untuk di tempati.Bu Wirda lang
Sebelum sampai di perpustakaan, Kanya lalu menghentikan langkah Dinda. Mereka masih berada di lapangan bola dekat perpustakaan."Kamu yakin kalau kita bisa menang?" Kanya bertanya sambil menatap Dinda. Ia berusaha mencari jawabannya lewat sorot mata Dinda. Kanya sudah dapat menyimpulkan jawaban dari temannya itu."Apa kita tidak usah latihan saja? Palingan nanti hasilnya kita tidak akan berhasil mengalahkan SMP itu. Sekolah itu terlalu perfect untuk dikalahkan, Din," Kanya menambahi ucapanya. Membuat Dinda juga memikirkan hal yang sama dengan sang sahabat."Tapi kasihan, Bu Nata. Nanti kalau beliau dimarahi bu kepala sekolah bagaimana karena kita tidak juara satu?" Dinda bertanya kepada sahabatnya itu.Kanya nampak berpikir. Dinda juga tidak dapat berpikir lagi. Keduanya juga merasa kasihan apabila Natasha dimarahi oleh Bu Wirda karena tidak berhasil membawa piala juara itu.Lama mereka berhenti di lapangan bola. Matahari mulai menyengat. Sebab hari sudah mulai siang. Kedua sahabat i
Aji melihat ponselnya. Jam terakhir mengajar membuatnya mulai bosan. Aji melihat satu pesan dari istrinya masuk ke ponselnya. Ia pun membacanya sekilas. Lalu memasukkannya kembali ke dalam saku celananya.Ia menatap muridnya yang mulai membuka buku pelajaran sesuai instruksinya. Sebelum ulangan pada minggu depan, ia berniat untuk menyelesaikan pelajaran di bab itu. Kemudian membuat murid-murid bekerja dalam kelompoknya. Untuk melihat pemahaman setiap muridnya.Murid-murid di SMP Bakti Cahaya memang sudah terbiasa dengan pembelajaran bermodel proyek. Sejak kelas satu memang para guru selalu menekankan pembelajaran proyek. Sehingga sekolah itu menjadi salah satu sekolah negeri yang cukup diperhitungkan.Banyak orang tua yang menginginkan sang anak untuk bersekolah di sekolah itu. Selain fasilitasnya memadai, para guru juga aktif membimbing dalam pembelajaran.Saat sedang menuliskan sebuah tugas proyek di papan tulis, Aji mensengar suara berisik. Nampak di barisan paling belakang mulai b
Aji membenahi buku-buku pegangannya. Semua muridnya di kelas sudah pulang semua. Hanya menyisakan dirinya seorang diri.Aji agak kesulitan menata buku-buku itu, sebab kaca matanya sudah copot oleh ulah muridnya. Matanya sedikit mengabur saat melihat tanpa bantuan kaca mata.Sehingga hal itu hanya membuat Aji memghembuskan napasnya kecewa. Aji menata buku-bukunya dengan perlahan. Setelahnya ia berjalan menuju keluar kelas. Namun, saat sampai si tengah ruangan, Aji terjatuh."Pantesan suaranya berisik banget. Ternyata kamu ya, Ji?" Ariani langsung masuk dan membantu kekasihnya memunguti buku-bukunya yang berserakan di lantai."Duh, iya nih. Soalnya tadi kaca mataku nggak sengaja kena tonjok, terus malah jadi copot," jawab Aji sambil mengambil bukunya dari tangan Ariani."Ya udah beli aja yang baru, Yang," ujar Ariani to the poin."Iya, abis ini aku juga mau beli lagi. Nggak enak juga kalau tanpa kaca mata. Pandangannya jadi enggak kelihatan jelas. Buram dikit gitu," ucap Aji sambil berd
Ariani menggandeng tangan Aji dengan mesra. Aji sudah membayar komik yang dibeli keduanya. Kini mereka berjalan menuju parkiran mobil. Ariani sejak turun sampai ke dalam mobil terus menempel ditubuh Aji. Ia senang dapat pergi bersama sang kekasih. Meskipun hanya pergi sebentar.Aji pun membuka pintu mobil untuk Ariani. Ariani pun masuk bak permaisuri yang habis diajak kencan sang raja. Ia masuk dengan perlahan ke dalam mobil Aji. Aji pun menutup kembali pintu mobilnya, begitu melihat Ariani sudah nyaman di tempat duduknya.Aji kini sudah dapat melihat dengan jelas. Kaca matanya sudah diganti dengan yang baru. Meskipun ia agak tidak percaya diri dengan kaca mata yang dipilihkan oleh Ariani. Aji tetap memakainya. Tak ada salahnya ia mencoba model kaca mata baru.Aji pun menyetir mobilnya perlahan dari mall itu. Keduanya sudah pergi cukup lama sejak pulang dari sekolah. Malam pun semakin pekat. Aji yang akan mengantar Ariani ke apartemennya. Gadis itu tak dibiarkan olehnya pergi sendir
Natasha memarkirkan motornya di parkiran balaikota. Hari ini muridnya akan melakukan presentasi atas karya yang sudah keduanya buat tempo hari.Natasha kini sudah berangkat lagi dengan motornya. Sebab Aji sudah menjemput Ariani pergi dan pulang lagi. Aji sudah meminta ijin kepadanya. Dan ia mengiyakannya. Natasha mengingat bagaimana suaminya meminta ijin kepadanya. Setelah Aji bercerita bahwa Ariani masih sering mengajaknya pergi keluar. Dan Aji merasa tak enak hati jika Natasha harus sering pulang pergi sendiri karena hal itu."Mas, tadi malam pergi kemana sama Ariani?" Natasha bertanya saat sarapan beberapa waktu lalu.Aji tengah mengunyah roti bakar rasa coklat kejunya. Ia lalu menghentikan kegiatannya. Kemudian menatap sang istri dengan membisu."Udah, Mas cerita aja nggak papa. Aku juga enggak akan ngapa-ngapain kok. Atau cemburu mungkin. Aku cuma penasaran aja," ujar Natasha mencoba meyakinkan suaminya. Aji yang ditanyai hal itu nampak berpikir. Ia mencoba merangkai kata-kata
Natasha menjadi tidak dapat mengontrol perasaannya saat tiba giliran sekolah Aji. Dua peserta didik dari sekolah sang suami maju ke depan. Tak ada suara apapun dari bangku penonton.Semua yang datang tak sabar melihat penampilan murid itu. Penampilan dari sekolah yang menyabet piala itu secara beruntun. Sungguh pemandangan yang tak dapat digambarkan dengan kata-kata.Dewan juri lalu mengetuk mikrofon dengan perlahan. Membuat jantung siapa saja berhenti berdetak. Meskipun hanya lomba seremonial tiap tahun, namun terasa berbeda di setiap tahunnya. Awalnya hanya lomba menulis cerita pendek, tapi tahun ini diganti menjadi lomba membuat berita. Sama-sama masuk dalam lomba kepenulisan.Pras mendekatkan mikrofon di depan mulutnya. Dinaikkannya sedikit letak kaca matanya. Ia bersiap untuk memberikan pertanyaan kepada peserta lomba."Saya senang dengan tema lomba ini. Meskipun masih jarang digunakan, mengenai penggunaan teknologi seperti media sosial memang dapat berdampak buruk bagi anak-anak