Rullistya melihat pada Frisya, "lihat itu kelakuannya Frisya, Tante benar-benar tidak kuat punya menantu seperti dia, tahu begitu Tante tidak mau membawanya pulang," keluh Rullistya pada Frisya.Frisya hanya bisa menggigit bibirnya. Sebenarnya dialah yang membujuk Rullistya untuk membawa pulang.Saat Aeri tidak mau dia datang menjenguk di rumah sakit. Arvan juga malah melarangnya, dan dengan kasar dia mengusirnya dan Idris malam itu, lalu pagi harinya waktu dia menemui laki-laki itu di depan ruangan Aeri. Kembali Arvan mengusirnya."Kamu sudah dengarkan apa yang Aeri katakan semalam, dia tidak mau kamu datang menjenguknya, sebaiknya kamu kembali saja ke ruanganmu," kata Arvan sebelum dia pergi meninggalkannya di depan ruangan Aeri.Saat itu, dia sangat marah pada Aeri. Kalau bukan karena perempuan itu, Arvan tidak akan bersikap dingin seperti tadi. "Sialan, kenapa sih Arvan mendengarkan perkataan perempuan itu, berani-beraninya juga perempuan itu melarangku menjenguk, apa dia kira a
Suara langkah tergesa-gesa terdengar sebelum seseorang dengan kasar membuka pintu kamar."Aeri!"Arvan yang baru saja datang berteriak memanggil Aeri yang tidak dia lihat keberadaannya di kamarnya.Kembali Arvan turun ke lantai bawah, mencari Aeri di setiap penjuru rumah."Arvan, ada apa kamu teriak-teriak gak jelas begini di rumah." Rullistya yang mendengar teriakan Arvan dari dalam kamar Frisya keluar menghampiri putranya bersama dengan Frisya."Ma, Aeri dimana dia?"Rullistya memutar matanya, dia menghembuskan napasnya sembari berkata, "ya ampun, Van. Mama kira ada apa denganmu pulang-pulang malah berteriak memanggil perempuan itu.""Aku tidak melihat Aeri di kamar, dimana dia sekarang?" Arvan tidak sabar dia sedikit menaikkan nada suaranya."Dia ada di kamarnya, di mana lagi? Dan kamu berhentilah berteriak, setelah menikah kamu sekarang malah semakin berani meninggikan suara pada mama ya." "Tapi, di kamar, Aeri tidak ada Ma."Saat Arvan mendapat telepon dari Mamanya kalau akan me
Seperti yang Frisya katakan, AC di kamar Arvan tengah mati. Waktu tadi siang Aeri sampai di rumah mertuanya, dia dibuat tidak betah saat memasuki kamar Arvan. Saat dia menghampiri mama mertuanya untuk memberitahu soal AC di kamar putranya, respon Rullistya malah acuh. "Kamu tidak lihat aku sedang sibuk, kalau ac-nya mati, tinggal di buka ventilasi udaranya, kenapa malah menggangguku." Mendapat respon ketus mama mertuanya membuat Aeri memutar bola matanya. Kesibukan yang dilakukan mama mertuanya adalah membongkar koper Frisya, mengeluarkan baju yang tidak seberapa banyak dari dalam sana. Malah pembantu yang tengah bersih-bersih di kamar itu lebih sibuk daripada mama mertuanya. Padahal waktu mereka sampai, kamar itu sudah bersih, tapi begitu Frisya bersin sekali, kamar itu kembali dibersihkan atas perintah Rullistya yang khawatir dengan kesehatan perempuan itu. Yang sakit disini tidak hanya Frisya, tapi juga dia. Malah sialnya, panasnya kembali naik. Tidak hanya itu, kepalanya j
"Tidak bisakah kamu bersikap sedikit lebih baik di depan mamaku, Ri?" Ucap Arvan waktu mereka berada di kamar. Aeri memandang sekeliling, "kalau mamamu juga memperlakukan aku lebih baik lagi, jelas aku akan bersikap baik padanya, tapi coba lihat kamar yang dia berikan padaku." Ada banyak debu dimana-mana di dalam kamar itu, lantainya pun sangat kotor, juga hanya ada satu tempat tidur di sana, tidak ada meja, kursi bahkan lemari, yang membuatnya harus menaruh tas pakaiannya di atas tempat tidur. "Mamamu benar-benar pengertian ya, sama menantunya," sarkas Aeri. Bahkan pembantu di rumah ini juga seakan mengabaikannya. Runi, pembantu yang membawanya ke kamar ini, selesai mengantarnya langsung pergi begitu saja, tanpa mau membersihkan kamarnya dulu. Saat dia memintanya untuk membersihkan kamar itu, jawabannya malah bikin dia kesal. "Saya sedang banyak pekerjaan, nanti saya akan membereskannya setelah pekerjaan saya selesai." Tapi sampai sekarang pembantu itu tidak kunjung datang.
"Aeri apa yang kamu lakukan?" Teriak Arvan, dia segera memalingkan wajahnya.Tato Aeri bergambar mawar yang dikelilingi sulur-sulur berduri yang merambat ke perut, punggung, hingga selangkangan, sulur-sulur berduri itu mengelilingi paha kiri Aeri, melindungi dua mawar yaitu di paha atas, dan punggungnya."Kamu lihat, kata siapa aku tidak cocok punya tato.""Cepat pasang kembali celanamu!" Teriak Arvan.Bagaimanapun dia adalah laki-laki, meski dia adalah suaminya, tapi tidak sepantasnya seorang perempuan seperti Aeri membuka celana di depannya.Aeri menatap Arvan heran, bukankah mereka adalah suami istri, jadi tidak ada masalah dia membuka celana di depan Arvan, Bahkan membuka semua bajunya juga tidak ada masalah, tapi kenapa reaksi Arvan sampai sebegitunya?"Please deh Van, kita ini suami istri, memang apa salahnya lihat tubuh istri sendiri?"Jelas bagi Arvan salah, Aeri hanya istrinya untuk sementara. Daripada istri, dia lebih menganggap Aeri sebagai temannya. Dan sejak kapan temanny
[Hei aku tahu kamu sudah sehat, jadi kapan balik kerja?] Sudah 5 menit Aeri mengabaikan pesan dari Arika yang mereply story ignya. Selama 3 hari istirahat di rumah mertuanya. Kesehatannya berangsur-angsur membaik. Dia tidak bisa terus-terusan mengabaikan pesan itu. Tapi untuk membalasnya rasanya sangat malas. [3 hari lagi?] Lama Aeri tidak mendapat balasan, akhirnya saat dia akan pergi untuk mandi, teleponnya berdering. Tertera nama Arika di layar, saat dia mengangkat teleponnya. "Yo," sapa Aeri yang dibalas teriakan dari seberang. "Tahu nggak berapa banyak job yang masuk selama kamu sakit? Kamu nggak tahu seberapa menderitanya aku harus menolak beberapa job dengan bayaran tinggi gara-gara kamu sakit. Pemasukan studio kita jadi menurun gara-gara kamu. Pokoknya aku nggak mau tahu kamu cepat balik kerja dan balikin pemasukan studio kita seperti dulu." Reflek Aeri menjauhkan ponselnya mendengar omelan Arika dari seberang. "Tunggu, kamu kan bisa gantiin aku kerja?" "Aeri sayang,
Saat Aeri akan membawa nampan makanan ke dapur, dia melihat Arvan yang mendekatkan wajahnya pada Frisya, seperti orang yang akan berciuman.Spontan Aeri menyiram Arvan dengan sup yang dia bawa."Ck, ini siapa yang ...." Saat Arvan menoleh, dia melihat Aeri yang tersenyum cerah padanya, "Aeri. Apa maksudnya kamu menyiramku?" Arvan yang tadi akan marah, menekan nada suaranya untuk tidak berteriak di depan Aeri."Lama nggak ketemu ya Van, sepertinya kamu lupa kalau istrimu sedang sakit.""Apa-apaan kamu ini, kenapa kamu menyiramku?" Kembali Arvan bertanya mengacuhkan perkataan Aeri.Aeri memutar bola matanya, dia lalu menendang lutut Arvan."Auww!" Ringis Arvan memegang lututnya."Entahlah, pengen aja aku nyiram kamu, lagian bukannya negrawat istri yang sakit, ini malah enak-enakan berduaan dengan perempuan lain.""Ck, siapa juga yang berduaan.""Lalu ..." Aeri melihat antara Frisya dan Arvan.Sebelum Arvan bicara, Frisya lebih dulu berkata."Kamu salah paham Ri, aku dan Arvan bukannya b
"Meskipun sisa, makanan itu masih layak untuk dimakan, lagian yang makan makanan itu tidak hanya kamu saja, Aeri, tapi semua orang di rumah ini, bahkan Arvan, dia juga memakan makanan itu, benarkan Arvan?" Frisya bertanya pada Arvan untuk menyakinkan kata-katanya.Dan karena memang Arvan memakan makanan itu, jadi dia pun mengiyakan perkataan Frisya."Apa yang Frisya katakan benar Aeri, dan sejak kapan kamu jadi pilih-pilih makanan begini, lagian itu hanya makanan sisa semalam bukan makanan basi."Disudutkan oleh dua orang di hadapannya membuat Aeri tidak bisa tidak memutar bola matanya."Lalu, kalau semua orang makan makanan itu, apa aku harus memakannya juga, enggak kan?" Aeri mengangkat bahunya sebelum dia memunggungi Arvan untuk membantu Frisya membasuh tangannya di wastafel.Tapi Frisya menolak bantuannya, dia menepis tangan Aeri dan berjalan mendekati Arvan yang dengan sigap menahannya yang hampir terjatuh."Aeri yang kukenal tidak akan buang-buang makanan.""Sya, tanganmu perlu
"Ck," decakan kesal Arvan di tengah meeting sukses membuat suasana rapat menjadi hening.Keringat dingin membasahi dahi seorang anak buahnya yang tadi presentasi di hadapan semua orang di sana. Entah apa yang salah dari presentasinya hingga membuat bosnya itu berdecak. Tidak hanya anak buahnya yang presentasi saja, namun seluruh anak buahnya di ruangan itu juga merasa ketakutan. Setelah kemarin timnya melakukan kesalahan yang membuat proyek besar yang dia tangani hampir gagal. Arvan yang harus turun tangan untuk menangani masalah itu menjadi sensitif.Sedikit saja kesalahan yang anak buahnya lakukan bisa membuatnya marah besar dan bahkan sampai memecat anak buahnya tersebut.Karena itu, para anak buahnya bersikap hati-hati untuk tidak membuat bos mereka marah.Anak buah yang presentasi menelan ludah sebelum memberanikan diri untuk bertanya. "M-mohon maaf pak Arvan, apakah ada yang salah dari presentasi saya?" Jari-jari tangan si anak buah gemetaran, teman-temannya yang sesama anak bu
Menjadi fotografer wedding selalu membuat Aeri excited. Kepuasan mengabadikan momen bahagia pengantin yang baru menikah adalah hal yang membuatnya merasa bahagia."Bapak, boleh sedikit geseran ke kiri, nah iya, tahan ya, satu, dua, ...." Bersamaan dengan hitungan ketiga, muncul cahaya dan suara shutter dari kamera.cekrek!Aeri mengatur posisi para keluarga dalam sesi foto bersama keluarga kedua mempelai.Selesai sesi foto keluarga besar, kini giliran dia memfoto para tamu undangan yang ingin berfoto dengan pengantin. Kadang saat sesi foto begini, ada saja hal menyebalkan yang dia alami.Seperti saat akan memfoto, tiba-tiba saja ada seorang tamu undangan yang lewat di depannya, alhasil hasil fotonya menjadi jelek. Tidak lagi dengan para fotografer dadakan yang kadang mengganggunya waktu mengabadikan momen bahagia pengantin."Eh, kamu minggiran sana, aku mau ngambil foto cucuku."Seorang ibu-ibu dengan kasar menggesernya untuk mengambil foto cucunya bersama mempelai pengantin.'lah, di
Pada akhirnya Arvan dapat juga berbaring di tempat tidur. Dia melihat jam di ponselnya. Jam menunjukkan sudah pukul 4 lewat, entah sudah berapa jam dia dimarahi oleh papanya. Mungkin jika bukan karena Kyran, Arvan butuh berjam-jam lagi untuk bisa berbaring diatas tempat tidur. "Aku harus berterimakasih padanya nanti." Ucapnya sebelum dia jatuh tertidur. Rasanya tidak lama saat Arvan memejamkan mata dia kembali dibangunkan oleh suara berisik lagu yang diputar dengan keras. Arvan awalnya menutup kepalanya dengan bantal, namun karena lagu itu tidak kunjung berhenti, dia yang tidak tahanpun melempar bantal itu ke asal suara. "Berisik, nggak lihat orang lagi tidur." Arvan bangkit duduk di atas tempat tidur, dia menatap tajam seseorang di depannya. "Lagian, siapa suruh kakak tidur di kamarku," Alvin, orang yang ditatap tajam melempar balik bantal yang mengenainya pada Arvan, "AC dikamar kakak kan sudah diperbaiki, kenapa tidak balik ke kamar kakak sendiri, kenapa masih tinggal di kam
"Mama!" Senopati menekan nada suaranya untuk tidak membentak istrinya."Lagian kenapa sih Papa masih membelanya? Dia itu istri yang buruk, lihat!" Rullistya menunjuk pada Frisya yang tadi menyusulnya ke arah Arvan dan kini dia memegangi lengan Arvan yang terlihat akan jatuh kapan saja. "Beratus-ratus kali Frisya lebih baik dari perempuan itu, seharusnya papa mendukung putra kita menikah dengannya bukan dengan perempuan tidak jelas itu."Senopati hanya bisa menghela napas panjang, kepada putranya dia bisa saja tegas, tapi tidak demikian jika dengan istrinya."Tapi, yang kini menjadi istrinya Arvan itu Aeri, Ma," ingatkan Senopati, "dan Aeri adalah istri yang Arvan pilih.""Lalu, memang kenapa kalau Aeri istri Arvan, tidak menutup kemungkinan mereka akan cerai nantinya.""Jangan bicara seperti itu, Ma. Mama mau pernikahan putra kita gagal?""Tentu, malah mama berdoa secepatnya Arvan berpisah dari perempuan itu."'Amin.' Spontan Arvan mengaminkan ucapan mamanya. Dia memang ingin secepat
"Kenapa kamu tidak bilang pada papa kalau mama memintamu dan Aeri pulang?" Tanya papa setelah dari tadi menceramahi Arvan gara-gara Aeri yang tiba-tiba keluar rumah.Padahal waktu Senopati datang, jelas-jelas dia melihat Aeri menghajar Arvan, tapi masih saja Arvan yang dia salahkan karena melihat Aeri yang hampir mau menangis dan pergi begitu saja waktu dia tanya ada apa."Lalu ini, kamu. Bisa-bisanya kamu tenang-tenang saja padahal istrimu entah ada di mana sekarang."Sudut bibi Arvan sobek, dan lebam di pipinya membiru. Tidak ada yang merawat lukanya, tidak seperti Frisya yang karena luka ditangannya sampai dibawa ke rumah sakit oleh mamanya.'Apa mereka tidak menganggap aku anak apa? Satunya mengurus Frisya, satunya lagi Aeri,' gerutu Arvan dalam hati.Dia semakin menekan kompres es batu pada luka di bibirnya, mengalihkan rasa kesalnya pada rasa sakit yang malah membuatnya merintih."Aku kira papa tahu soal mama yang membawa Aeri pulang, lagian juga aku dan Aeri di sini sampai reno
Aeri yang biasanya tenang, hari ini memuntahkan segala uneg-unegnya, keluh kesahnya terlalu banyak hingga butuh waktu lama untuk dia berhenti mengeluh panjang lebar.Entah sudah berapa kali Arika menahan untuk tidak menguap di hadapan Aeri, dia juga sampai malas mengecek jam, waktu mendengarkan Aeri. Dia menopang kepalanya dengan lengan yang dia sandarkan ke sandaran sofa, dia duduk sembari menghadap Aeri yang ada di sampingnya.Di posisinya itu, godaan untuk tidur begitu besar. Hampir saja dia tertidur, tapi untungnya Aeri menyudahi keluh kesahnya."Rasanya aku menyesal menikah dengan si ba*sat itu, akan lebih baik kalau aku menikah denganmu, Ka." Aeri menoleh pada Arika di sampingnya yang mendadak kantuknya hilang mendengar ucapannya."Kamu bercanda, kan?""Aku tidak bercanda," mata Aeri penuh dengan keyakinan yang membuat bulu kuduk Arika merinding, "akan lebih baik kalau aku menikah dengan ...,""Oke, shut up," Arika menutup mulut Aeri.Aeri yang dia kenal memang orang aneh, salah
Keras kepala, itulah hal baru yang Arvan ketahui dari Aeri. Arvan memegang dahinya, pusing. Tidak tahu lagi bagaimana menghadapi Aeri."Kamu ini ya," saat Rullistya akan menampar Aeri, Frisya segera menahannya."Tante, sudah jangan main tangan dengan Aeri." Frisya memegang erat tangan Rullistya."Ma, sebaiknya mama keluar dulu dari sini, tenangin dulu diri Mama.""Kenapa mama yang harus pergi, yang seharusnya pergi itu dia, wanita kurang ajar itu, ini rumah mama!" tidak terima dengan perkataan Arvan, Rullistya kini malah memarahinya.Arvan menghela napasnya lelah, dia lalu menatap Aeri. Dia sebenarnya malas berurusan dengan istrinya itu, bahkan sekedar bicara saja rasanya berat."Aeri ...,""Ya, ya, aku tahu, kamu pasti mau mengusirku kan?" Aeri memotong perkataan Arvan."Sebaiknya kamu kembali ke kamarmu.""Kamarku?" ulangnya setelah mendengar ucapan Arvan, entah bagaimana kekesalannya pada laki-laki itu meningkat.Dia tahu Arvan akan menyuruhnya pergi, tapi dia tidak menyangka aka
"Meskipun sisa, makanan itu masih layak untuk dimakan, lagian yang makan makanan itu tidak hanya kamu saja, Aeri, tapi semua orang di rumah ini, bahkan Arvan, dia juga memakan makanan itu, benarkan Arvan?" Frisya bertanya pada Arvan untuk menyakinkan kata-katanya.Dan karena memang Arvan memakan makanan itu, jadi dia pun mengiyakan perkataan Frisya."Apa yang Frisya katakan benar Aeri, dan sejak kapan kamu jadi pilih-pilih makanan begini, lagian itu hanya makanan sisa semalam bukan makanan basi."Disudutkan oleh dua orang di hadapannya membuat Aeri tidak bisa tidak memutar bola matanya."Lalu, kalau semua orang makan makanan itu, apa aku harus memakannya juga, enggak kan?" Aeri mengangkat bahunya sebelum dia memunggungi Arvan untuk membantu Frisya membasuh tangannya di wastafel.Tapi Frisya menolak bantuannya, dia menepis tangan Aeri dan berjalan mendekati Arvan yang dengan sigap menahannya yang hampir terjatuh."Aeri yang kukenal tidak akan buang-buang makanan.""Sya, tanganmu perlu
Saat Aeri akan membawa nampan makanan ke dapur, dia melihat Arvan yang mendekatkan wajahnya pada Frisya, seperti orang yang akan berciuman.Spontan Aeri menyiram Arvan dengan sup yang dia bawa."Ck, ini siapa yang ...." Saat Arvan menoleh, dia melihat Aeri yang tersenyum cerah padanya, "Aeri. Apa maksudnya kamu menyiramku?" Arvan yang tadi akan marah, menekan nada suaranya untuk tidak berteriak di depan Aeri."Lama nggak ketemu ya Van, sepertinya kamu lupa kalau istrimu sedang sakit.""Apa-apaan kamu ini, kenapa kamu menyiramku?" Kembali Arvan bertanya mengacuhkan perkataan Aeri.Aeri memutar bola matanya, dia lalu menendang lutut Arvan."Auww!" Ringis Arvan memegang lututnya."Entahlah, pengen aja aku nyiram kamu, lagian bukannya negrawat istri yang sakit, ini malah enak-enakan berduaan dengan perempuan lain.""Ck, siapa juga yang berduaan.""Lalu ..." Aeri melihat antara Frisya dan Arvan.Sebelum Arvan bicara, Frisya lebih dulu berkata."Kamu salah paham Ri, aku dan Arvan bukannya b