"Masuk akal," Arimbi mengangguk puas. Begitu juga Ganesha. Keduanya lega atas alasan yang ingin mereka berdua yakini sendiri."Kita sudah sampai di UGD, Rim. Kamu tunggu di sini sebentar. Saya akan meminta petugas mengambil kursi roda untukmu." Ganesha melirik sekilas kedua lutut Arimbi yang terluka. Karena tidak segera diobati, luka-luka Arimbi sebagian tampak mengering dan membentuk kerak darah. Ganesha sadar, kalau Arimbi memaksa berjalan, pasti lututnya akan sakit karena kembali terluka."Nggak perlu, Mas. Saya masih bisa jalan sendiri ke UGD. Cuma lecet-lecet kecil biasa saja," Arimbi menggeleng keras. Ia tidak mau didorong-dorong seperti orang yang sedang sakit keras. "Mas langsung saja memarkir kendaraan. Lihat, mobil di belakang sudah menunggu Mas jalan. Oh ya, ini KTP saya untuk mengurus masalah administrasi." Arimbi membuka tas. Mengeluarkan KTP dari dompet dan meletakkannya di atas dashboard. Setelah mencangklong tas, ia membuka pintu mobil. Perlahan ia mencoba menjejek
Kabar buruk melanda keluarga Caturrangga. Nina keguguran! Arimbi tidak mengetahui dengan pasti apa yang menjadi penyebab Nina keguguran. Ia hanya menerima informasi singkat dari ibu mertuanya yang meminta ditemani ke rumah sakit. Ketika Arimbi mencari tahu dengan menelepon ibunya, sang ibu malah tidak mengetahuinya. Hubungan ibunya dengan Om Sujatmiko mendingin setelah kasus penghianatan Nina dan Seno. Sebenarnya Arimbi enggan menjenguk Nina. Istimewa hubungan mereka berdua sebagai sepupu juga tidak lagi seperti dulu. Arimbi yakin, Nina juga tidak senang dirinya ikut menjenguk. Hanya saja Arimbi sungkan untuk menolak permintaan ibu mertuanya.Arimbi memindai jam di pergelangan tangannya. Pukul 16.45 menit. Berarti sekitar lima belas menit lagi dirinya sudah bisa meninggalkan showroom. Arimbi merapikan meja kerjanya. Ibu mertuanya akan menjemputnya sebentar lagi. Setelah mejanya rapi, pandangan Arimbi tertumpuk pada Rini yang baru saja kembali dari toilet. Rini seketika tersenyum sopa
"Mbak Nina dirawat di lantai dan kamar berapa, Bu?" Arimbi menanyakan ruangan Nina pada Bu Santi, ketika memasuki gedung rumah sakit. "Kalau tidak salah katanya di lantai 5, Kenanga 115." Bu Santi mengingat-ingat pembicaraannya dengan Nina siang hari tadi."Kalau begitu kita naik lift di depan itu saja, Bu." Arimbi menggandeng lengan Bu Santi menuju lift. Di depan lift sudah banyak pembesuk yang mengantri. Karena memang hanya pada saat jam besuk seperti inilah, mereka boleh menjenguk pasien. Tangan mereka juga penuh dengan buah tangan dan alat-alat tidur. Mungkin sebagian dari mereka akan menemani pasien untuk menginap di rumah sakit. Sejurus kemudian pintu lift pun terbuka."Ayo kita masuk, Rim," seru Bu Santi."Tunggu penumpang lift keluar dulu baru kita masuk, Bu." Arimbi menahan lengan Bu Santi. Penumpang sangat banyak dan berdesakan masuk ke dalam lift. Arimbi ngeri melihat bagaimana penumpang terakhir tampak terhimpit di depan pintu lift. "Ya ampun. Sampai seperti ikan sarden
"Aku sama sekali tidak menyangka kalau Nina sebejat itu, San. Untung saja cepat ketahuan. Kalau tidak, seumur hidup si Seno akan terus dirongrong oleh perempuan tidak tahu malu itu." Bu Astuti membuat ekspresi jijik pada wajahnya."Yang membuatku tidak habis pikir. Kok dia tega membunuh darah dagingnya sendiri demi mencari aman. Astaghfirullahaladzim. Aku sangat bersyukur kalau pada akhirnya rencana jahatnya itu ketahuan." Bu Astuti membuat gerakan bersyukur dengan tangannya. "Aku juga bersyukur, Tut. Dari awal aku sudah tahu kalau pribadi Nina memang kurang baik. Tapi aku tidak menyangka kalau ia sampai tega melenyapkan darah dagingnya sendiri. Untung saja Fadil datang kemarin, sehingga semuanya menjadi jelas. Begitulah niat jahat, Tut. Sebaik-baiknya menyimpan bangkai, pasti akan ketahuan juga. Aromanya tidak bisa ditutupi. Seno membayar mahal atas kesalahannya pada Arimbi," ujar Bu Santi sambil memijat pelipisnya perlahan. Kejadian kemarin membuat heboh keluarga besar. Semua nai
"Kenapa kamu murung terus? Kamu teringat pada kata-kata Bu Astuti ya?" Ganesha menyapa Arimbi yang duduk termenung di depan jendela apartemen. "Tidak, Mas," Arimbi menggeleng. Ia memang tidak memikirkan kata-kata Bu Astuti sore tadi. Untuk apa menghabiskan energi untuk mengingat-ingat hal negatif yang Bu Astuti tebarkan?"Lantas apa?" Ganesha ikut duduk di sebelah Arimbi. Memandangi suasana ibukota di malam hari, dengan segala lampu kerlip-kerlip indahnya."Saya memikirkan pertanyaan ibu. Dan saya jadi merasa menyesal setelahnya." Arimbi berdecak. Ia merasa sangat bersalah karena telah membohongi ibu mertuanya. Setelah Nina, dirinya sekarang juga ikut mengelabuhi Bu Santi. Arimbi menjadi tidak enak hati."Tunggu... tunggu... jelaskan satu persatu. Ibu menanyakan apa, dan apa yang membuatmu menyesal karenanya." Ganesha penasaran. Ternyata Arimbi melakukan sesuatu yang tidak diketahuinya. Arimbi menarik napas panjang. Ia beringsut dari kursi. Membuka jendela kaca di depannya. Semilir
"Bagaimana, Rimbi? Kamu mau menjadi istri saya yang sesungguhnya?" Ganesha kembali mengulang pertanyaannya. Kadung perasaannya diketahui oleh Arimbi, Ganesha terus mencoba peruntungannya.Arimbi tidak menjawab. Karena ia memang tidak tahu harus memberikan jawaban apa pada Ganesha. Setelah sekian lama terkungkung dalam pemikiran bahwa Ganesha hanya menganggapnya sebagai beban alih-alih istri, membingungkannya. Pun ia masih bimbang dalam menerjemahkan perasaannya sendiri terhadap Ganesha. Apakah ia merasa respek, kagum atau cinta pada Ganesha ia belum bisa menentukannya. Ia butuh variabel waktu. Pertanyaan Ganesha sangat tiba-tiba. Akan halnya Ganesha, melihat air muka Arimbi yang berubah-ubah, ia jadi menyadari ketergesaannya. Arimbi ini beda dengan perempuan-perempuan yang selama ini ada di sekelilingnya. Arimbi tidak pernah menyukainya, apalagi mencintainya. Wajar jika Arimbi bingung ditodong tiba-tiba seperti ini. Sepertinya ia harus sedikit mengubah strategi. Cinta itu bukan sep
"Sudah siang rupanya, M--Mas. Mengapa Mas baru membangunkan saya sekarang?" Gugup Arimbi bermaksud beringsut dari ranjang. Ia harus mandi dan segera bersiap-siap ke kantor agar tidak terlambat.Tatkala Arimbi menyibak selimut dan bermaksud ke kamar mandi, ia tersentak. Ia tidak mengenakan apapun di bawah selimut. Dengam gerakan kilat rimbi kembali menutupi tubuhnya dengan selimut. Ia malu. Tanpa bisa ditahan ingatan akan peristiwa bersatunya jiwa dan raganya bersama Ganesha semalam membuat selebar wajah Arimbi memanas.Istimewa saat ini Ganesha tengah menatapnya mesra. Ganesha membungkuk ke arahnya dengan bertelanjang dada. Ganesha hanya melilitkan handuk putih yang menggantung indah di pinggulnya. Sepertinya Ganesha baru selesai mandi. "Saya tidak tega membangunkanmu. Kamu terlihat sangat bahagia dalam tidurmu. Tadinya saya malah tidak ingin membangunkanmu. Saya bermaksud membiarkan kamu beristirahat saja hari ini. Tapi saya tahu, kamu tidak menyukai hal itu. Makanya saya membangu
"Ke ruangan saya sebentar ya, Rimbi?" Baru saja menjejakkan kaki ke showroom, Arimbi telah disambut Ivander. Arimbi yang sedianya akan duduk di kursinya mengurungkan langkah. Ia membuntuti Ivander ke ruangannya. "Rimbi, apa kabar, Nak?" Pada saat pintu ruangan Ivander di buka, Arimbi melihat Bu Mirna, ibu Ivander dan Ivana menyapanya sedih. Seperti inilah sikap Bu Mirna setelah tewasnya Ivana. Selalu bersedih karena kehilangan anak perempuan satu-satunya."Baik, Bu. Ibu apa kabar?" Arimbi menyalim tangan Bu Mirna dan duduk di sebelahnya. Sudah lama sekali ia tidak bertegur sapa baik-baik dengan Bu Mirna. Pertemuan terakhir mereka beberapa tahun lalu, masih diwarnai dengan perang dingin. Bu Mirna terus menuduhnya sebagai pembunuh Ivana. Demikian juga dengan Pak kristov, suaminya."Ibu, ya beginilah. Ibu belum bisa sepenuhnya melupakan Vana. Apalagi melihat kehadiranmu. Ibu seolah-olah melihat masa lalu. Di mana kamu selalu menjemput Vana setiap akan mengikuti kegiatan sekolah. Ibu mer
"Relakan, Mbak. Tempatkan masalah sesuai dengan masanya. Masa lalu tempatnya memang di waktu lalu. Dewasalah untuk menerima kenyataan bahwa tidak ada yang bisa Mbak lakukan tentang masa lalu, kecuali memutuskan terus hidup di sana dan menderita selamanya atau berubah menjadi lebih baik."Nina tidak menjawab pertanyaan Arimbi. Dirinya sangat mengerti apa yang dikatakan oleh Arimbi. Ia bukanlah orang bodoh. Dirinya hanya seorang pendengki serakah yang tidak bisa melihat kebahagiaan orang lain."Kita pulang ya, Nin? Ayah yakin setelah minum obat dan tidur pasti kamu akan merasa lebih baik. Kalau ada waktu, Rimbi pasti akan menengokmu ke rumah. Iya 'kan, Rim?" Pak Sujatmiko menatap Arimbi sendu dengan pandangan meminta pertolongan.Arimbi langsung tidak menjawab pertanyaan terselubung pamannya. Melainkan ia menatap Ganesha terlebih dahulu. Meminta izin tanpa bicara. Ketika melihat Ganesha mengangguk samar barulah Arimbi berbicara."Iya, Mbak. Nanti kalau ada waktu luang, Rimbi akan menjen
"Kamu di sini saja, Rim. Ingat kamu sedang hamil. Nina itu sedang depresi. Apa pun akan berani ia lakukan." Ganesha menahan bahu Arimbi saat istrinya itu ingin bangkit dari tempat tidur."Tapi saya harus, Mas. Bagaimanapun Mbak Nina itu sepupu saya. Sedikit banyak saya memahami kepribadiannya. Lagi pula ada Mas juga. Saya pasti aman." Arimbi membujuk Ganesha."Ayolah, Mas. Daripada Nina membuat ulah yang mengacaukan acara, sebaiknya kita cegah terlebih dahulu." Arimbi menghela lengan Ganesha. Teriakan histeris Nina makin membahana."Baiklah. Tapi kamu jangan jauh-jauh dari Mas. Mas tidak mau kamu sampai kenapa-kenapa." Kalimat Ganesha ditanggapi anggukan singkat oleh Arimbi. Sesampai di ruang tamu, keadaan mulai kacau. Nina terus menjerit histeris, dan mengatakan bahwa ia tidak terima diperlakukan tidak adil oleh Seno. Sejurus kemudian dua orang Satpam komplek terlihat memasuki rumah. Dengan segera mereka mengamankan Nina. Namun Nina terus meronta-ronta liar dan memaki-maki Seno sera
"He eh," Bu Astuti mengangguk lemah. Mata tuanya berkaca-kaca. Sungguh ia menyesal pernah berbuat tidak baik pada Arimbi, hanya karena ia kesal pada Ganesha. Jika saja waktu bisa diulang, betapa ingin dirinya mengubah sikap judes dan nyinyirnya dulu pada Arimbi. Istri Ganesha ini lembut dan baik hati."Ini minumnya, Bu. Kalau Ibu tidak keberatan saya bantu meminumkannya ya, Bu?" Dengan sopan Arimbi meminta izin Bu Astuti."He eh... he eh..." Bu Astuti mengangguk berkali-kali. Kedua mata tuanya kini membentuk kolam air mata. Bu Astuti menangis tanpa suara."Ayo diminum, Bu. Pelan-pelan saja agar tidak tersedak." Arimbi membungkuk. Ia memeluk bahu Bu Astuti sambil mendekatkan bibir Bu Astuti pada birai gelas. "Sudah, Bu?" tanya Arimbi lagi. Bu Astuti sudah menghabiskan seperempat gelas air putih. Bu Astuti mengangguk. "Sebentar ya, Bu. Saya mengambil tissue dulu." Arimbi menarik selembar tissue dari atas meja. Setelahnya ia mengelap sudut bibir dan dagu Bu Astuti yang basah. "Maaf...
Dua tahun kemudian."Sah!" Arimbi, Ganesha dan beberapa kerabat lain ikut mengucapkan kata sah, saat penghulu menyatakan ijab kabul Seno dan Rina sah. Ya, hari ini adalah hari yang membahagiakan untuk Seno, Rina dan juga Mahesa. Karena keduanya pada akhirnya memutuskan menikah setelah dua tahun berpacaran."Akhirnya mereka menikah juga ya, Rim?" Ganesha tersenyum sumringah melihat sepasang pengantin baru di depannya saling memasang cincin. Ia ikut gembira untuk Seno. Sebagai seorang kakak, ia mengasihi Seno dengan caranya sendiri. Di masa lalu Seno memang banyak sekali melakukan kesalahan. Namun perlahan-lahan ia berubah dan menjadi pribadi yang lebih. "Iya, Mas." Arimbi menimpali kalimat Ganesha singkat. Ia memang selalu hati-hati apabila membicarakan soal Seno. Ia tidak mau Ganesha mengira kalau dirinya masih peduli pada Seno."Seno sekarang sudah banyak berubah ya, Rim? Tepatnya sejak ia tahu kalau dirinya ternyata memiliki Mahes. Sekarang kebahagiaan Mahes adalah prioritasnya, Ma
"Ayo lanjutkan ceritamu di taman belakang saja." Arimbi membawa Menik ke taman kecil kesayangannya. Di sana ia kerap menghabiskan waktu bercocok tanam. Mulai dari berbagai macam jenis bunga hingga tanaman herbal ada di tamannya."Lanjutkan ceritamu, Nik." Arimbi menghempaskan pinggulnya di kursi taman. "Tuh, Mbak Tini juga sudah menyiapkan makanan kecil. Kita mengobrol di sini saja sementara Mas Esha dan Bang Ivan bekerja." Arimbi kian semangat mengorek cerita tatkala Mbak Tini muncul dengan sepiring pisang goreng hangat dan dua gelas sirup markisa."Ya, terus aku membawa Bu Mirna ke rumah sakit. Beberapa saat kemudian Ivan dan Pak Kristov menyusul. Di situ aku baru tahu kalau ibu-ibu yang aku tolong adalah ibunya Ivan. Singkat cerita aku dan Bu Mirna kemudian menjadi akrab. Tidak lama kemudian Ivan pun menembakku. Katanya untuk pertama kalinya ibunya mencomblanginya. Dengan dua mantan Ivan terdahulu Bu Mirna tidak cocok. Ivan juga bilang ia sudah lelah pacaran ala remaja ingusan. Ia
Arimbi termangu menatap televisi. Baru saja diberitakan bahwa Bastian Hadinata yang digadang-gadang akan menjadi walikota telah dilengserkan. Selain dinilai tidak layak menjadi calon walikota, saat ini Bastian juga telah diamankan karena terbukti melakukan gratifikasi terhadap beberapa proyek pemerintah.Televisi juga menayangkan wawancara singkat dengan Bastian dalam seragam berwarna oranye. Di scene-scene lain, terlihat Priska dan Prisila berlarian sambil menutupi wajah mereka dengan syal. Mereka berdua tampak menghindari awak media yang terus memburu saat mereka baru saja keluar dari kantor polisi. Berita tentang korupsi dan gratifikasi yang dilakukan oleh Bastian Hadinata memang tengah menjadi headline di mana-mana. Apalagi semua aset-aset Bastian Hadinata saat ini telah disita oleh negara. Tidak heran kalau Prisila dan Priska sekarang menjadi bulan-bulanan pers. Mereka dikejar di mana pun mereka berada."Kamu percaya dengan karma bukan, Ri? Lihatlah, apa yang sekarang terjadi pa
"Kamu tadi menanyakan bagaimana Mas tahu perihal rumah impianmu bukan? Nah, itu dia orang yang sudah memberitahu Mas. Seno, sini." Ganesha melambaikan tangannya pada Seno. Memanggil adiknya yang tengah mewarnai gambar dengan Mahesa. Semenjak tahu bahwa dirinya telah mempunyai seorang anak, Seno berubah banyak. Ia kini lebih kalem dan bertanggung jawab. Di sela-sela waktu luangnya, ia selalu menyempatkan diri bercengkrama dengan putranya. "Jadi kamu yang membocorkan rahasiaku?" Arimbi berpura-pura marah pada Seno. Ia juga berusaha bersikap wajar pada Seno. Bagaimanapun Seno adalah adik iparnya sekarang."Ampun, Kakak Ipar. Aku terpaksa melakukannya karena diancam Mas Esha. Katanya ia akan membuangku keluar kota kalau aku tidak mau bekerjasama." Seno meringis. Ia menghargai usaha Arimbi yang ingin berinteraksi wajar dengannya. Mereka sekarang telah menjadi satu keluarga besar."Jangan membuat Rimbi memandangku sebagai kakak yang kejam ya, Sen?" Ganesha mengacungkan tinjunya pada Seno.
Arimbi melirik Ganesha sekilas saat laju mobil memasuki hunian mewah kompleks Graha Mediterania. Kompleks perumahan mewah yang baru saja launching minggu ini. Ia mengetahui perihal hunian mewah ini karena memang dibangun oleh Caturrangga Group dan beberapa investor dari Jepang. Selain hotel dan condominium, Caturrangga Group juga membangun kompleks-kompleks perumahan mewah dengan segmen pasar kelas atas atau high end."Kita akan mengunjungi salah satu customer Mas ya? Apa tidak mengganggu kalau Mas menemui costumer di hari Minggu begini?" "Nggak kok, Rim. Tenang aja. Kita semua akan bersenang-senang bersama." Ganesha tersenyum lebar. Ia memahami rasa penasaran istrinya. Arimbi mengerutkan kening. Kita? Bersama? Apa yang Ganesha maksud?Laju kendaraan melambat tatkala melewati rumah demi rumah mewah yang mereka lewati. Sebagian besar bentuknya sama karena memang dibangun seragam. Sebagaian lagi bentuknya sudah berubah karena direhab sesuai dengan selera para pemilik rumah.Tatkala la
Bu Astuti terpana. Ia tidak menyangka kalau Rina bisa bersikap seluwes itu terhadap Mahesa. Biasanya Rina itu tidak menyukai anak kecil. Rina anak tunggal. Ia tidak terbiasa berinteraksi dengan anak kecil. Menurut Rina anak kecil itu rewel dan menyusahkan. Tumben kali ini Rina bersikap begitu kompak pada Mahesa. Syukurlah, berarti tujuannya mendekatkan Rina dengan Seno akan semakin mudah. Mengingat Mahesa adalah darah daging Seno. Mendekati Mahesa artinya mendekati Seno juga."Rina dan Mahesa cocok sekali ya, San? Sepertinya kalau menjadi ibu dan anak pas ya?" Bu Astuti meminta tanggapan Bu Santi."Iya, Tut. Kita sebagai orang tua mendoakan yang terbaik saja. Biar yang muda-muda menentukan jalan hidup mereka sendiri." Bu Santi memberi jawaban netral. Ia memang setuju Rina menjadi pengganti Nina. Selain perilaku Rina yang sekarang membaik, ia juga gembira bisa melaksanakan niat Pak Syarief almarhum yang ingin berbesanan dengannya. Namun ia menyerahkan semuanya pada Seno dan Rina sendir