Vindreya, gadis cantik berkulit putih itu membuka perlahan kedua matanya. Dengan mata sayup-sayup, dia mengubah posisinya yang tadi tidur terlentang, kini duduk di atas sebuah ranjang empuk. Dia melihat ke sekelilingnya. Ruangan yang sedang dia tempati itu tampak asing.
“Aku di mana?” Vindreya menggaruk kepalanya sambil terus menoleh ke kanan dan kirinya.
Prang!
Vindreya terperanjat kaget. Sepertinya itu adalah panci yang tanpa sengaja jatuh ke atas lantai. Karena merasa penasaran, gadis itu beranjak lalu berjalan dengan mengendap-endap kemudian keluar dari kamarnya.
Tak jauh di depan Vindreya, tampak seorang lelaki asing sedang membungkukkan badannya untuk mengambil panci yang baru saja terjatuh. Laki-laki itu lalu tak sengaja menoleh ke sisi kirinya dan melihat Vindreya sedang berdiri dengan raut wajah bingung sekaligus takut.
Laki-laki berambut hitam dengan sorot mata tajam itu tersenyum. Lalu, entah bagaimana bisa Vindreya mendadak mematung dengan perasaan bahagia yang sulit dideskripsikan. Rasanya seolah-olah senyuman dari laki-laki itu telah sejak lama dinantikan oleh indera penglihatan Vindreya.
“Pagi, Sayang,” ucap laki-laki itu.
“Eh? Sa--sayang?” Vindreya kaget. Mengapa laki-laki itu memanggilnya dengan sebutan ‘sayang’? Mereka bahkan tidak saling mengenal.
“Maaf, ya. Pasti gara-gara aku jatuhin panci, kamu jadi kebangun, ya?”
“Em, itu ….” Vindreya menggaruk kepalanya sambil memalingkan wajah dari laki-laki asing itu.
Laki-laki itu berjalan kemudian menarik salah satu kursi di meja makan lalu meletakkannya di sebelah Vindreya.
“Ayo, duduk.” Laki-laki itu memegang lembut kedua bahu Vindreya.
Vindreya sekarang malah dibuat semakin takut. Selain memanggilnya ‘sayang’, laki-laki itu juga berani menyentuh Vindreya seolah-olah Vindreya adalah miliknya.
Masih dengan perasaan tidak tahu apa-apa, Vindreya menurut saja dan menjatuhkan bokongnya di atas kursi. Laki-laki itu berbalik badan lalu menyalakan kompor dan mulai memasak.
Kedua tangan Vindreya saling menggenggam erat di atas pahanya. Apakah tidak apa-apa jika dia berbicara dengan orang asing? Ah, untuk apa berpikir panjang lebar? Jika dia diam, maka tidak akan ada pertanyaannya yang terjawab.
“Em, ma--maaf. Kamu siapa, ya?” tanya Vindreya dengan ragu.
“Hahaha.” Laki-laki itu masih sibuk memasak dan betah sekali membelakangi Vindreya. Tampaknya dia tidak tahu sudah berada di level mana rasa bingung Vindreya sekarang.
Laki-laki itu mengecilkan nyala api kompor lalu berjalan sambil tersenyum hangat pada Vindreya. Sesampainya di depan gadis itu, laki-laki itu berlutut sambil menggenggam kedua tangan putih Vindreya.
“Vindreya, nggak apa-apa kalo kamu masih belum bisa ingat aku. Aku juga nggak masalah kalo aku harus berkali-kali memperkenalkan diri aku sama kamu … karena aku suka sama status aku sekarang.”
Vindreya hanya diam, tetapi alisnya semakin merapat bahkan hampir bertaut. Dia semakin bingung.
“Vindreya Sanjaya, aku adalah Kenzo, suami kamu.”
“Hah?!” Vindreya terperanjat kaget dengan mata melotot. “Su--suami? Kamu suami aku? I--itu artinya aku istri kamu? Kita udah nikah? Tapi … aku nggak ingat semua itu.”
Laki-laki bernama Kenzo itu tersenyum. “Iya, Sayang. Untuk saat ini kamu memang nggak ingat sama semua itu. Tapi, aku nggak akan pernah nyerah untuk kembaliin semua ingatan kamu tentang kita.”
“Apa yang udah terjadi sebelumnya? Kenapa aku nggak bisa ingat apa pun?”
“Kamu kecelakaan dan akhirnya hilang ingatan.”
Vindreya menatap curiga pada Kenzo. Apa benar dia hilang ingatan? Apa benar Kenzo adalah suaminya?
Kenzo melebarkan senyumannya lalu mengacak-ngacak rambut Vindreya. “Tunggu sebentar, ya. Dikit lagi sarapannya siap. Ingat, kamu adalah istri aku dan mulai besok kamu yang akan menyiapkan makanan. Kalo kamu butuh bantuan apapun itu, beritahu aku karena aku bisa lakuin segalanya.”
Vindreya hanya mampu tersenyum kaku. Kenzo bangkit lalu kembali melanjutkan aktivitas memasaknya.
“Em, a--aku mau ke kamar mandi,” izin Vindreya sembari beranjak pelan dari kursinya.
Kenzo lagi-lagi berjalan menghampiri Vindreya lalu meraih tangan gadis itu kemudian menariknya lembut.
Vindreya menahan tangannya. “Eh, mau ke mana?”
“Tadi katanya mau ke kamar mandi, ‘kan?”
“Apa harus berduaan juga di kamar mandi?”
“Ahaha. Kamu ini polos banget, ya. Enggak, Sayang. Emangnya kamu ingat di mana kamar mandinya?”
Vindreya menggeleng pelan.
“Nah, makanya aku anterin kamu.”
“Tapi kamu bisa tunjukkin di mana kamar mandinya.”
“Memang.” Kenzo melepas genggaman tangannya lalu berjalan ke belakang Vindreya kemudian memeluk gadis itu. “Tapi aku suka selalu berada di dekat kamu.”
Vindreya tersenyum. Mengapa dia tersenyum? Bukankah tadi dia begitu takut dan bingung pada laki-laki asing yang sedang memeluknya dari belakang itu? Entahlah. Yang Vindreya tahu, dia merasa nyaman berada di dalam dekapan Kenzo. Apa ini artinya yang Kenzo katakan bahwa dia adalah suami Vindreya itu benar?
~bersambung
Kenzo dan Vindreya tiba di depan kamar mandi. Kenzo melipat kedua tangannya di depan dada sambil tersenyum memperhatikan tiap keindahan yang terpancar di wajah sendu Vindreya.“Masuk sana. Aku bakal tunggu di sini,” kata Kenzo.“Hah? Em, nggak perlu ditungguin. Aku bisa balik sendiri ke dapur nanti. Takutnya juga masakan kamu nanti gosong gara-gara nungguin aku.”“Kamu nggak suka makanan gosong?”“Hah?”“Ahaha.” Kenzo tersenyum gemas lalu mengacak-ngacak rambut Vindreya. “Oke, aku akan balik ke dapur sekarang. Tapi, hati-hati ya karna di dalam kamar mandi itu ada cermin angker.”Vindreya seketika merinding dengan mata yang membulat sempurna. “Eh? Se--serius?”“Ahaha.” Kenzo lagi-lagi tertawa melihat ekspresi Vindreya yang tampak begitu polos. “Enggak, Sayang. Aku bercanda. Udah, sana masuk.&rd
Setelah dibuat bingung oleh kehadiran Hansa, Vindreya keluar dari kamar mandi lalu berjalan menuju dapur. Di sana, dia melihat Kenzo tampak sedang terburu-buru menyajikan makanan di atas meja.Merasa ada seseorang di dekatnya, Kenzo mendongakkan kepalanya dan mendapati Vindreya sedang berjalan ke arahnya.“Hai, Sayang,” sapa Kenzo ramah.Kenzo berjalan cepat menghampiri Vindreya yang masih sekitar 1 meter lagi untuk tiba di meja makan. Laki-laki itu berdiri di belakang Vindreya lalu memegang lembut pundaknya dan mendorongnya hingga akhirnya duduk di depan makanan yang masih sedikit berasap itu.“Ayo, dimakan,” suruh Kenzo, masih dengan senyum ramahnya.Vindreya mengangguk pelan. Dia melihat ada yang aneh dengan suaminya itu yang tampak terburu-buru seperti ada sesuatu yang sedang dikejar.Vindreya mulai memasukkan suapan pertama ke mulutnya. Dia mengunyahnya dengan pelan sambil bebe
“Lho. Kamu mau ngapain?” tanya Vindreya yang kaget karena Elvano tiba-tiba mengajaknya masuk ke rumah dan mengunci pintunya.Bukannya menjawab pertanyaan Vindreya, Elvano malah asik melihat isi rumah itu. “Oke, jadi apa yang bisa kita berdua lakuin di sini, ya?”Vindreya sangat ketakutan. Bagaimana jika Elvano melakukan sesuatu yang buruk? Gadis itu kemudian tiba-tiba teringat pada Hansa, si gadis di balik cermin itu.“Hansa, kamu di mana? Please, tolong aku,” batin Vindreya.Hansa memang aneh sekaligus ajaib. Wujudnya tidak tampak, tetapi suaranya terdengar dan menjawab kekhawatiran Vindreya.“Vindreya, tenang aja. Elvano nggak mungkin bakal ngelakuin sesuatu yang buruk sama kamu. Asal kamu tau aja bahwa menjadi tunangan Elvano adalah keinginan kamu,” kata Hansa yang suaranya hanya bisa didengar oleh Vindreya.Alis Vindreya merapat dan lagi-lagi berucap dala
Vindreya berlari sekencang yang dia bisa menjauhi rumah di mana Kenzo dan Elvano sedang berdebat memperebutkannya. Beberapa kali Vindreya menengok ke belakang untuk melihat apakah kedua laki-laki itu mengejarnya atau tidak. Cukup mengagetkan bahwa tak ada satu pun di antara Kenzo dan Elvano yang mengejarnya. Ada apa ini? Apakah mereka benar-benar mencintai Vindreya atau tidak? Namun, ini membuat Vindreya bisa bernapas lega karena telinganya tak perlu lagi terganggu dengan perdebatan itu.Entah sudah berapa lama dan berapa jauh Vindreya berlari, tetapi entah kenapa dia tidak merasa lelah sedikit pun. Matahari yang tadinya bersinar terik, kini berganti dengan bulan yang menerangi gelapnya malam.Vindreya melihat ke kanan dan kirinya. Aneh sekali. Ada banyak rumah dengan lampu menyala seperti pada umumnya, tetapi sejak tadi dia tidak melihat ada satu orang pun di sana. Dunia asing itu seolah-olah hanya ditinggali oleh Vindreya, Kenzo, Elvano dan Hansa.
Di dunia nyata, tampak seorang dokter sedang memeriksa kondisi Vindreya yang sudah berhari-hari ini tidak sadarkan diri.“Gimana keadaan anak kami, Dok?” tanya Freya, ibu dari Vindreya dengan raut panik.Dokter menggantung stetoskop miliknya ke lehernya setelah selesai memeriksa detak jantung Vindreya. “Anak Ibu dan Bapak baik-baik aja. Jantungnya berdetak normal dan nggak ada tanda-tanda yang nunjukkin kalo dia sakit.”Gavin, ayah dari Vindreya melipat kedua tangannya di depan dada dengan tatapan enteng. “Ya, iyalah dia baik-baik aja. Dia itu cuma tidur. Lagian juga ada selang medis yang bisa salurin makanan dan minuman ke tubuhnya. Jadi, apa yang perlu dikhawatirin?”“Dok, apa Vindreya perlu dibawa ke rumah sakit? Mungkin dia harus diberi perawatan intensif atau operasi biar bisa bangun lagi.” Freya tampak semakin panik.Gavin tertawa kecil sambil menggeleng-gelengkan kepalan
Setelah mendengar penuturan Vindreya yang terkesan lebih suka berada di alam mimpi karena semua keinginannya bisa terwujud di sana, Freya tampak kecewa sekaligus sedih. Ya, itu wajar. Ibu mana yang akan rela jika ditinggal oleh putri sematawayangnya selama berhari-hari demi sebuah “mimpi”?“Terus gimana sama Mama dan Papa, Sayang? Kami sedih kalo kamu lebih suka berada di dunia mimpi dibanding ada di sini bersama kami.” Mata Freya berkaca-kaca lagi.“Ah. Cengeng lagi kamu, Frey. Vindreya, lihat. Kamu udah bikin Mama nangis, lho. Berdosa nggak, tuh?” Lagi-lagi Gavin mencari gara-gara dengan menggoda Vindreya.“Ih, Papa!” Vindreya melepas selang medisnya lalu bersembunyi di belakang Gavin. “Hibur Mama, Pa. Jangan sampe Mama keburu nangis bombai gara-gara aku.”Gavin melipat kedua tangannya di depan dada. “Nggak mau, ah. ‘Kan kamu yang buat Mama nangis. Ya, harusn
"Cie elah. Uwu-uwuan katanya. Emang siapa pangeran lo?” tanya salah satu siswa. Vindreya tersenyum remeh. “Ah, kayak gitu aja pake nanya segala. Harusnya kalian tau siapa di kelas ini yang cocok jadi pangeran.” “Eh, itu Elvano!” teriak salah satu siswi ketika Elvano baru saja masuk ke kelas. Kelas seketika gaduh. Para siswi berlarian mengerumuni Elvano, si laki-laki tampan, kaya dan berbakat di bidang seni itu. “Elvano, selamat ya. Lagi-lagi lo berhasil jadi pemenang dalam lomba melukis tingkat nasional itu,” ucap salah satu sisiwi. “Selamat, Elvano. Lo hebat banget,” kata siswi yang lain. “Bagi tipsnya dong gimana caranya biar bisa pinter menggambar sama melukis, El.” Bola mata Vindreya tak bisa bergerak ke manapun kecuali terpaku pada visual Elvano yang menurutnya sangat menawan. T
Vindreya merapikan rambutnya terlebih dulu kemudian berjalan dengan anggun keluar kelas. Di depan pintu, dia menengok ke kanan dan ke kiri hingga akhirnya menemukan Kenzo yang sedang berjalan menuju kelas. Tanpa pikir panjang lagi, Vindreya bergegas menghampiri laki-laki itu.“Ehem. Pagi, Ken,” sapa Vindreya yang sudah berdiri tepat di depan Kenzo.Kenzo menghela napas panjang. “Lo lagi. Awas. Jangan halangin jalan gue.”Bukannya memberikan Kenzo jalan, Vindreya malah tersenyum semakin lebar. “Hari ini gue udah masuk sekolah lagi setelah nggak masuk berhari-hari sebelumnya. Lo ….”“Gue nggak kangen sama lo kayak temen-temen yang lain. Awas.”“Aaah, bercanda, nih. Jangan malu lah bilang kangen sama istri sendiri.”Alis Kenzo merapat ditambah dengan tatapan ta
Sekitar lima menit kemudian akhirnya pengucapan janji suci pernikahan selesai. Kini tiba saatnya pemasangan cincin. Kenzo sedikit mengarahkan badannya ke kiri untuk mengambil cincin yang sejak tadi berada di atas meja di dekatnya dengan peti kecil nan indah sebagai bantalannya.Begitu cincin telah dia pegang, Kenzo kemudian kembali meluruskan posisi badannya menghadap Vindreya lalu memakaikan cincin itu di jari manis Vindreya. Sekarang giliran Vindreya yang mengambil cincin kemudian memakaikannya di jari manis Kenzo.“Sekarang, masing-masing mempelai silakan ucapkan sesuatu yang selama ini begitu ingin diungkapkan pada pasangannya,” ucap penghulu.“Vindreya Sanjaya,” ucap Kenzo sambil menatap dalam pada Vindreya. “Terima kasih karena sudah sangat membantuku untuk berada di jalan yang benar dan meninggalkan dunia kelam dan kejam itu. Terima kasih karena sudah mengajarkanku m
“Heh!” Freya dan Vindreya kompak sambil menatap tajam pada Gavin.“Eh, maaf. Salah ngomong saking bahagianya.”Vindreya mendengus kesal lalu mererat rangkulan tangannya di lengan Kenzo. Entah kenapa semakin banyak orang yang mengagumi Kenzo sekarang dan ini membuat Vindreya merasa posisinya sebagai calon istri Kenzo terancam.“Selamat datang, Kenzo. Tante seneng banget akhirnya bisa liat kamu lagi,” kata Freya dengan mata berkaca-kaca.Kenzo tersenyum hangat lalu mengangguk. “Iya, Om, Tante. Aku juga seneng banget bisa kembali ke sini. Makasih karena udah bersabar nunggu aku dan percaya bahwa aku akan kembali.”“Aaa, Kak Kenzo!” Rega tiba-tiba keluar dari barisan, berlari menuju teras dan memeluk Kenzo. “Astaga. Betapa kangennya aku sama salah satu makcomblang aku yang udah bantu aku n
Mata Freya seketika membulat. “Ke—Kenzo bakal datang? Vindreya bener-bener nemuin dia?” Freya diam sejenak dengan pikiran kosong sebelum akhirnya berteriak seperti orang gila. “Yuhuuu! Hei-hei! Calon menantu aku udah mau datang!”Butik seketika heboh karena teriakan Freya, juga para karyawannya yang langsung meninggalkan pekerjaan mereka dan berlari kecil menghampiri Freya. Wajar saja. Selama ini Freya memang selalu menceritakan tentang Kenzo kepada karyawannya, termasuk mengenai hilangnya Kenzo selama empat tahun ini.“Calon menantu yang Ibu maksud itu Kenzo, ‘kan?” tanya salah satu karyawan.Freya mengangguk dengan bersemangat dan senyum lebar.“Wah!” Para karyawannya ikut semringah.“Ssstt. Diem dulu. Aku mau telepon suami aku,” ucap Freya dan membuat seluruh karyawannya langs
Kenzo dan Vindreya berjalan beriringan masuk ke gedung kantor dan langsung menuju ke ruangan ayahnya Medika. Di sepanjang perjalanan, Vindreya begitu risau, takut jika ini semua tidak akan berjalan lancar.Tiba-tiba langkah kaki Vindreya terhenti sembari tangannya menarik lengan kanan Kenzo. Kenzo ikut berhenti dan menatap kekasihnya itu.“Kenapa?” tanya Kenzo.“Aku takut kalo ayahnya Medika nggak izinin kamu pergi. Aku takut kalo dia justru berpikir bahwa aku yang hasut kamu untuk ninggalin Bandung dan kembali ke Jakarta.”Kenzo tersenyum kecil dan paham ketakutan yang tengah dirasakan oleh Vindreya. “Kamu bilang, sekarang aku udah jadi lebih hangat dan lembut, ‘kan? Kemarin kamu juga udah ketemu dan ngobrol banyak sama Medika, ‘kan? Nah, sifat ayahnya Medika juga kurang lebih kayak gitu.”“Kamu
Kenzo menghela napas panjang. “Pantasan waktu itu kamu keliatan kaget dan bingung sama aku yang sekarang.”“Iya, karena kamu udah berubah jauh lebih baik, Ken. Kamu udah ada di titik terbaik dalam hidup kamu sekarang. Lupain aja masa lalu kamu. Kamu udah terlalu menderita selama ini dan ini waktunya kamu menikmati semua hasil perbuatan baik dan pengorbanan yang kamu lakuin di waktu itu.”Kenzo agak lama tak menjawab hingga akhirnya dia mengangguk pasrah dan tersenyum tipis. Tampak jelas dia sedang sangat berusaha untuk berdamai dengan masa lalunya.“Ayo.” Kenzo meraih tangan Vindreya lalu mereka kembali berjalan menuju restoran.…Di restoran, di atas meja Kenzo dan Vindreya sudah tersaji makanan dan minuman yang mereka pesan hampir 10 menit yang lalu. Vindreya tampak sangat menikmati makanannya. Beberapa kali dia
Medika menggeleng pelan. “Aku dan ayah aku udah sama-sama nyaman dengan hadirnya Leo di dalam keluarga kami. Leo adalah orang yang mampu buat aku nggak frustasi lagi sama hidup aku. Dia sembuhin hati aku dan buat aku ngerasa bahwa cinta pada orang yang tepat itu benar-benar indah. Dia juga berjasa banget dalam membangun dan memajukan perusahaan ayah aku. Dia cepat belajar dan memahami semuanya dengan baik.”Setelah mendengar penjelasan dari Medika, mendadak Vindreya menjadi takut dan khawatir soal kelanjutan hubungannya dengan Kenzo. Jika Medika dan ayahnya sudah sesayang dan senyaman itu dengan Kenzo, lalu bagaimana caranya Vindreya untuk membawa Kenzo kembali ke Jakarta?Medika kembali menegakkan arah pandang wajahnya lalu melihat pada Vindreya yang tampak sedang memikirkan sesuatu dengan tatapan kosong. Medika paham. Sebagai sesama perempuan, Medika tahu apa yang akan menjadi ketakutan Vindreya setelah mendengar semua pe
Vindreya mengambil tasnya yang tergeletak di atas tempat tidurnya lalu berlari kecil keluar rumahnya. Di luar sana, dia melihat Kenzo berdiri di depan mobil sambil tersenyum menatapnya. Vindreya ikut tersenyum lalu mengunci pintu rumahnya kemudian bergegas menghampiri Kenzo.“Pagi, Vin,” salam Kenzo.“Pagi, Ken,” balas Vindreya. Perhatiannya lalu teralihkan pada kursi depan di bagian penumpang. Ada seseorang di sana --- Medika.Kenzo ikut menoleh ke belakang, ke arah Medika. Laki-laki itu tersenyum setelah paham apa yang sedang dipikirkan oleh Vindreya.“Aku tinggal serumah bareng Medika. Itu sebabnya kami pulang-pergi kantor bareng,” kata Kenzo.“Eh?” Vindreya kaget. “Terus beberapa hari ini kamu selalu ke rumah aku tiap kali kamu selesai kerja. Itu ….”“Ak
“Dia cantik,” ucap Medika pelan.Vindreya yang bisa tahu bahwa Medika sedang merasa cemburu dengan melihat matanya hanya tersenyum kecil dengan sedikit perasaan tidak enak. “Makasih.”“Kalian mau ngobrol dulu biar lebih mengenal satu sama lain dan jadi akrab?” tanya Kenzo.“Em, mungkin nanti, Leo. Ini aku bawa beberapa berkas yang harus kamu periksa.” Medika menyerahkan beberapa berkas bermap kuning pada Kenzo.Kenzo menerima berkas itu. “Kapan deadlinenya?”“Jam 2 siang ini.”“Eh? Secepat itu?”“Iya. Berkasnya harus dipakai untuk rapat bersama pemimpin dari perusahaan lain hari ini.”Vindreya memegang lengan Kenzo lalu mereka saling bertatapan.“Nggak apa-apa, Ken. Kamu selesaiin aja dulu itu. Jalan-jalannya bisa nanti,” kata Vindreya yang tahu bahwa Kenzo ragu
“Salah satu orang yang nyelamatin aku itu adalah orang yang nabrak aku, Vin. Namanya Medika. Katanya, waktu itu dia lagi ada urusan di Jakarta. Dia bawa mobil dalam kondisi frustasi dan nggak sengaja nabrak aku. Sebagai permintaan maafnya, dia dan ayahnya yang ngerawat aku.”“Mereka ngerawat kamu di Bandung?”“Iya karena mereka emang asal Bandung.”“Ini masih aneh, Ken. Kalo Medika nabrak kamu di Jakarta, kenapa dia malah ngerawat kamu di Bandung? Kenapa dia nggak berusaha untuk nyari kenalan kamu di Jakarta dulu?”Kenzo mengangkat lalu menurunkan bahunya sebagai isyarat jawaban ‘tidak tahu’. “Kamu teliti banget sampe nanya sedalam itu. Intinya waktu itu karena aku juga nggak ingat banyak tentang identitas lengkap aku, jadinya aku ngikut aja pas mereka mutusin untuk bawa aku ke Bandung. Kalo kamu masih pingin banget t