"Kamu tenang saja, Susi. Aku pastikan, kalau aku tidak akan pernah kembali, menjalin hubungan dengan Mas Ferdi. Aku akan jamin itu," sahutku.Aku juga tidak akan mungkin mau kembali, kepada Mas Ferdi yang mata keranjang. Apalagi aku sudah cukup merasakan sakit hati karena diduakan olehnya. Jadi bagaimana mungkin, aku mau jatuh ke dalam lubang yang sama untuk yang kedua kalinya."Aku akan pegang ucapanmu, Mira. Tapi kalau sampai aku mendengar, kamu mendekati Mas Ferdi lagi. Jangan salahkan aku, kalau aku berbuat kasar sama kamu." Susi kembali mengancamku untuk yang kedua kalinya."Iya, Susi, aku akan memastikannya kok. Aku juga berharap, jangan sampai Mas Ferdi mau kembali lagi padaku. Maka dari itu kamu jaga baik-baik Mas Ferdinya, jangan sampai dia beralih ke wanita lain. Kalau perlu, kamu rantai saja dia, biar tidak bisa kemana-mana," pesanku.Aku berpesan kepada Susi, serta sedikit berkelakar kepadanya. Aku melakukannya, supaya suasananya tidak terlalu tegang, walaupun sebenarnya
"Iya, Mira, jadi kamu jangan sampai meladeni dia. Soalnya dia akan senang, kalau ada yang meladeni sifatnya itu." Paman berpesan kepadaku, supaya aku tidak meladeni sifat Susi, yang suka cemburu kepada siapa pun perempuan yang lebih segalanya dari dirinya.Aku pun nengangguk-anggukan kepala, tanda mengerti apa yang Pamanku sampaikan barusan. Selesai membuatkan kopi, aku langsung menyuguhkannya, bersama kue yang aku bawa dari toko, kepada Pamanku itu. Kemudian, aku menengok Ibu yang masih tertidur di kamarnya, mungkin efek dari minum obat, jadi Ibu pulas lagi tidurnya. Sedangkan Bapak, sudah sejak tadi pagi dia keluar rumah untuk mengecek perkebunan buah dan sayur serta peternakannya. Setelah itu biasanya langsung menengok sawah yang tidak jauh dari peternakkannya tersebut. "Paman, kok tumben Paman nggak pergi kebun sekarang?" tanyaku, sambil duduk di kursi sebelah Pamanku."Iya, Mira, mungkin nanti sore saja Paman ngecek kebunnya. Soalnya tadi pagi Paman merasa nggak enak badan. J
"Itu, orangnya yang ada di sebelah Ibu-ibu" sahut Susi memukulku dengan dagunya.Bu Ida pun melirikku, lalu ia juga melirik ke arah Bu Eti, sebab kami berdua memang berada tepat di sebelah Bu Ida. Lebih tepatnya bu Ida ada di tengah-tengah antara aku dan Bu Eti."Siapa, Susi? Di sebelahku ada Mira dan juga Bu Eti, kalu siapa yang kamu maksud kamu sih?" Bu Eti bertanya lagi kepada Susi, sebab dia belum mengerti orang yang dimaksud Susi."Susi, apa kamu menuduh Ibu sebagai seorang penggoda?" Bu Eti bertanya."Bu-bukan, Bu, tapi itu sebelah kanan Bu Ida." Susi menjawab pertanyaan Bu Eti dengan gugup. Sepertinya ia kaget karena ternyata, Bu Eti tersinggung dengan ucapannya. Lagian Susi juga yang salah, ia berbicara memang terkadang nggak mikir-mikir dulu. Langsung bicara tapi nggak jelas maksudnya apa. Rasain kamu Susi, memang enak di semprot sama Bu Eti? Aku juga langsung tersinggung dengan ucapan Susi, sebab yang ada di sebelah kanan Bu Ida, itu adalah aku? Jadi, wanita penghoda yang
"Ah, Ibu-Ibu ini bisa saja. Aku tidak merasa berubah kok, Bu. Aku tetap menjadi Mira yang dulu. Mungkin, kalau penampilanku iya ada yang berbeda. Aku tidak dekil dan kumal seperti dulu lagi, sebab aku mengikuti perkembangan zaman. Apalagi aku sekarang menjadi penjual pakaian, jadi aku tau style aku itu seperti apa?" Aku membenarkan, kalau penampilanku memang berubah, tetapi tidak dengan sifat dan kepribadianku.Aku tetap merendah di hadapan mereka, supaya mereka tahu, kalau aku tetaplah seorang Mira yang dulu."Penampilanmu memang modis, Mira. Namun, tidak merubah sifat dan sikap kamu. Kamu ini memang benar-benar baik, Mira. Kami kagum padamu," ucap Bu Eti."Alah, Ibu-ibu bilang begitu karena belum merasakan, bagaimana jika suaminya direbut pelakor. Coba kalau sudah, pasti tidak akan berkata seperti itu. Terserah saja sih, jika kalian mau percaya atau tidak kepadaku, yang penting aku sudah mengingatkan kalian Semua." Susi keki, ketika mendengar Ibu-ibu memujiku, serta malah membel
"Apa kamu, Sekar teman sekolahku ya?" tanyaku "Iya, Mira, aku ini Sekar. Aku teman sekolahmu dari mulai SD sampai SMA," sahutnya.Ternyata benar dugaanku, jika dia ini adalah Sekar temanku. Aku sangat kaget mendengar pengakuannya, kalau ternyata dia itu benar Sekar sahabatku. Aku kaget dan tidak percaya, sebab penampilan dia berubah drastis begini. Tapi aku juga penasaran dengan alasannya, kenapa dia bisa berubah sangat drastis seperti ini? Padahal yang dulu aku tahu, kalau ia itu selalu menjaga penampilannya."Ya ampun sekar, maafkan aku karena tidak dapat langsung mengenalimu. Maklum ya, aku jarang pulang. Kita terakhir ketemu juga pas ade aku menikah, sedangkan waktu itu kamu belum menikah. Betul tidak," tanyaku.Aku meminta maaf karena tidak dapat langsung mengenali sahabat semasa sekolahku ini."Iya, Mira, nggak apa-apa kok. Aku maklum jika kamu nggak mengenaliku, sebab penampilanku memang seperti nenek-nenek sekarang. Sedangkan penampilan kamu, malah semakin cantik saja," ujarn
"Jadi begini, Mira, kalau memang kamu mau tau keadaan rumah tanggaku. Suami aku poligami, Mira. Ia menikah dengan janda kampung sebelah. Tadi aku datang ke sana mau meminta nafkah, soalnya semenjak dia menikah lagi, dia nggak pernah tinggal bareng sama aku. Dia terus berada di rumah istri barunya dan jarang menafkahiku, jika tidak aku minta. Dia seakan tidak peduli, jika anak istrinya yang disini mau makan apa? Terkadang, kalaupun aku datang ke rumah perempuan itu untuk meminta nafkah. Aku tidak mendapatkan jatah sama sekali, seperti hari ini aku tidak mendapat nafkah dari suamiku. Beruntung sekali aku bertemu kamu, Mira. Allah memang selalu memberi jalan, kepada setiap hambanya yang mau berusaha," tutur Sekar panjang lebar.Aku merasa kaget, saat mendengar penuturan Sekar. Sekar menceritakan semua kepiluannya dengan wajah sendu, menandakan begitu berat luka hati yang di deritanya. Aku merasa kaget saat mendengar berita ini, sebab yang aku tahu dari orang tuaku, Sekar dan suaminya d
"Iya, Mira, terima kasih ya," sahut Sekar"Sama-sama," kataku. Aku pun segera keluar dari rumah Sekar, kemudian berjalan menuju motorku. Aku diekori oleh Sekar, yang mengantarku sampai depan rumahnya. Setelah itu aku pun segera melajukan motorku, dengan kecepatan sedang, meninggalkan kediaman Sekar. Aku melakukan motor milik Bapak, menuju rumah orang tuaku. Kebetulan perjalanan dari rumah Sekar kerumahku tidak begitu jauh, hanya memakan waktu sepuluh menit, ketika menggunakan sepeda motor. Pada saat motorku melewati warung Susi, ada seorang Ibu yang memanggilku. Aku pun berhenti dan ternyata itu adalah Bu Nunung. Bu Nunung terkenal dengan mulutnya yang sadis jika berbicara. Selain itu, dia juga terkenal sebagai tukang nyinyir. Sebenarnya aku malas untuk meladeninya, tetapi jika aku tidak berhenti, nanti malah bisa dianggap sebagai orang yang sombong. Memang jadi serba salah, kalau menghadapi orang yang seperti ini."Mira, tunggu!" perintah Bu Nunung lagi."Iya, Bu Nunung, ada apa
"Ibu sudah makan disuapi sama Bapakmu, Nak. Alhamdulillah, mulut Ibu sekarang sudah mulai merasakan sedikit enak makan. Makanya, Ibu sedang ngemil agar-agar buatanmu," sahut Ibuku."Alhamdulillah, kalau begitu. Terus sekarang Ibu sudah minum obat?"tanya lagi.Aku merasa bersyukur, sebab sekarang Ibuku sudah mulai makan banyak lagi, serta mau ngemil apapun yang aku buat dan aku sajikan. Semoga saja Ibu segera pulih seperti sedia kala, kalau bisa lebih fit dari sebelumnya."Sudah, Nak, tadi Ibu sudah makan obat, sekalian sama Bapak diberikannya." Ibu memberitahuku lagi."Oh syukurlah, kalau memang Ibu sudah makan siang sama minum obat. Terus sekarang Bapaknya kemana, Bu?" tanyaku, menanyakan keberadaan Bapak sama Ibu.Aku merasa senang mendengarnya, saat Ibu Bapak saling membantu dikala lagi sakit. Mereka berdua adalah panutan buatku, sebab selama aku tunggal dan dibesarkan oleh mereka. Aku belum pernah mendengar dan melihat, kalau ada pertengkaran yang berarti di antara mereka. Justru m
"Lho, kok ada foto Mas sama Meri sedang berpelukan begini sih? Kamu dapat dari mana, Dek?" Mas Romi bertanya dengan sorot mata yang menatap tajam ke arahku."Aku dikirim Susi, Mas. Katanya kalian berdua ada hubungan spesial, bener nggak sih Mas apa yang dia bilang? Karena aku melihat foto kalian juga terlihat begitu mesra," tanyaku mau minta penjelasan.'Dek ... Dek, kamu itu lebih percaya Mas suami kamu, sama Merry Adik kamu, atau sama Susi temen kamu? Temen yang sudah merebut mantan pacar kamu, sewaktu kamu masih sekolah dulu. Kalau memang kamu lebih percaya sama Susi, Berarti kamu salah besar, Dek. Karena Mas sama Merry itu tidak ada hubungan spesial, terkecuali hubungan antara kakak ipar dan adik ipar. Kamu jangan mau di bodohi sama Susi dong, Dek. Dia itu hanya menginginkan, supaya hubungan kamu dan Mas berantakan. Kamu tahu nggak, Dek, kalau Susi dan suaminya sekarang hubungannya sedang goyang. Karena suaminya Susi ketahuan selingkuh, makanya dia memanas-manasi kamu. Mungkin t
"Alhamdulillah, akhirnya Meri mau menggantikan Lusi. Kalau sampai Meri tidak mau, pasti toko kueku terbengkalai. Semoga dengan kedatangan Meri nanti, toko kueku akan semakin berkembang, aamiin," harapku.Kemudian aku mengangkat tubuh Nadyra dan segera memberikan asi kepadanya. Tidak berapa lama anak keduaku yang bernama Azka pulang dari sekolah dan langsung masuk ke kamarku untuk menyalamiku. Alhamdulillah, aku mempunyai anak-anak yang shaleh, semoga gadis kecilku juga menjadi anak yang shaleha, aamiin."Assalamualaikum, Bu, Kakak pulang," ucapnya sambil meraih tanganku dan menciumnya."Waalaikumsalam, Kak Azka, alhamdulillah Kakak udah pulang tuh, Dek. Bagaimana belajarnya hari ini, Kak, lancar?" Aku bertanya keadaan Azka di sekolah, setelah aku menjawab salam dari anakku yang nomer dua ini."Lancar dong, Bu, Kakak bisa menjawab semua soal ulangan hari ini," sahut Azka.Ia menjawabnya dengan begitu bersemangat, kebetulan hari ini memang ada ulangan harian di sekolah Azka."Alhamdul
"Mbak Mira, terima kasih ya. Karena Mbak Mira telah paham dengan keadaanku," ucap Lusi."Iya, Lusi, sama-sama. Aku harus paham, sebab yang namanya manusia pasti punya problem. Kehidupan yang kita jalani tidak akan selamanya bisa sesuai harapan kita," sahutku."Ya sudah, Mbak, aku pamit ke toko dulu ya. Assalamualaikum," pamit Lusi.Aku pun mengiyakan, saat Lusi pamit untuk pergi ke toko. Kemudian ia pergi meninggalkanku sendirian, yang sedang bingung memikirkan jalan keluar untuk masalah ini. Setelah Lusi kembali ke toko, setelah ia selesai membicarakan apa yang ingin diungkapkannya. Aku melamun seorang diri, membayangkan bagaimana nasib toko kueku, ketika Lusi sudah tidak ada lagi nanti? Sedangkan aku baru saja melahirkan dan tidak bisa membuat kue seperti dulu. Menurut Lusi, ia akan pergi sekitar satu minggu lagi. Jadi aku harus segera mencari orang untuk menggantikan Lusi membuat kue, mumpung masih ada waktu untuk mencari orang yang tepat pengganti Lusi tersebut. Setelah setelah
"Itu, Dek, Meri barusan menyuruh Mas memasangkan lampu yang ada di kamarnya. Kata dia mumpung ada Mas karena ternyata lampu kamarnya putus," sahut Mas Romi."Oh begitu, ya Mas, ya sudah kalau memang seperti itu. Mas, sudah dulu ya, meneleponnya soalnya Nadyra-nya mau nyusu dulu. Nanti kita sambung lagi," pungkasku.Setelah itu aku pun mengakhiri sambungan telepon, kemudian menyimpan telepon tersebut di atas nakas, sebab Nadyra memang sudah terbangun dari tidurnya. Aku menyusui Nadyra, sambil tiduran, supaya Nadyra kembali terlelap. Soalnya baru juga berapa menit dia tidur kini sudah terbangun karena kehausan. Setelah Nadyra kembali tertidur, aku pun merapikan selimutnya, lalu bangkit dari kasur. Aku berniat akan pergi ke toko untuk mengeceknya. Sudah lebih satu bulan semenjak aku melahirkan, aku tidak pernah lagi mengecek toko kueku. Biasanya aku menyerahkan semuanya kepada Lusi. Pas aku baru membuka pintu kamar, ternyata Lusi sudah ada di depan pintu kamarku. "Eh, Mbak Mira, baru
Rasanya nggak mungkin juga, jika suami serta adik kandungku tega menghianati aku. Makanya aku tidak akan percaya seratus persen, dengan perkataan Susi, yang belum jelas kebenarannya. Bisa saja Mereka berpelukan begitu karena Mas Romi mau menolong Meri, bukan karena sengaja berpelukan karena mempunyai perasan lain. Aku percaya, kalau mereka berdua tidak akan seperti itu.[Ya sudah, terserah kamu saja kalau memang kamu tidak percaya. Aku hanya ingin memberitahu kanu saja, apa yang terjadi di sini tanpa sepengetahuan kamu.] Susi mengirimi chat lagi kepadaku.[Terima kasih, Susi, sebab kamu telah mau memberitahu aku. Tapi aku lebih percaya kepada mereka berdua,] terangku lagi.Setelah membalas chat terakhir dari Susi, Susi pun tidak lagi mengirim chat kepadaku. Sepertinya ia kecewa karena aku tidak percaya dengan aduannya tersebut. Biar saja, sebab jika aku menuruti semua aduan Susi, sudah pasti rumah tanggaku, yang aku bina sekitar lima belas tahun ini akan sia-sia.Setelah tidak ada c
"Makanya, Mbak Widi, jangan menuruti emosi dulu. Cari tau dulu kebenarannya, kalau sudah seperti ini siapa yang rugi," tanyaku merasa geram dengan apa yang terjadi."Iya, Mbak Mira, aku menyesal sudah gegabah. Sekarang aku menyesal, Mbak, sebab telah mendengar kata orang dan menuruti emosi." ujar Mbak Widi."Ya sudah nggak apa-apa, Mbak. Aku mau kok memaafkan Mbak Widi," ungkap Meri.Adikku ini memang orang baik, ia tidak pernah mau ribet dan mempermasalahkan apa pun. Sifat dia sama persis dengan sikap Bapak kami, yang lebih memaafkan ketimbang memperpanjang masalah. Aku pun memiliki sifat yang sama, tidak pernah mau ribet, atau berpikir untuk membalas perlakuan jahat orang lain. Karena bagiku memiliki sifat seperti itu capek, sebab permasalahan akan tetap ada dan tidak ada habisnya. Aku ingin hidup tentram dan damai, makanya kami tidak terlalu mempermasalahkan semua itu. Toh lama kemanan orang yang membenci kita akan bosan sendiri, sebab kita tidak meladeni mereka."Terimakasih, M
"Asal Mas tau, kalau adik ipar Mas Romi ini seorang pelakor. Ia itu berusaha menggoda suamiku, saat kemarin ia belanja di warungku, Mas" Mbak Widi memberitahu kami semua itu."Maaf, Mbak, maksud, Mbak apa? Kok Mbak mengatakan aku seorang pelakor? Memangnya kapan aku menggoda suami Mbak," tanya Meri yang datang menghampiri kami.Melihat Meri keluar, Mbak Widi juga mendekatinya. Kemudian ia mengangkat tangan kanannya, akan menampar Meri. Tapi keburu ditangkis oleh Mas Romi. Mba" Wish hampir saja berbuat anarkis terhadap adikku, jika saja Mas Romi tidak sigap menangkis tangan Mbak Widi."Mbak Widi, tolong Mbak jangan kasar begitu. Tolong beritahu kami dulu, seperti apa sih permasalahan yang sebenarnya? Kok bisa seperti ini," tanyaku meminta penjelasan."Mbak Mira ngapain bertanya kepadaku? Mbak kan bisa tinggal tanya saja sama adik Mbak, ngapain mesti nanya sama aku," tanya balik Widi dengan begitu ketus."Maaf ya, Mbak, bukan aku mau ngeles. Tapi aku memang tidak merasa menjadi seorang p
"Ya sudah, Lus, suruh masuk saja ya," pintaku."Iya, Mbak siap," sahutnya.Setelah itu Lusi pun segera pergi untuk menyuruh orang, yang mencariku tersebut supaya masuk. Tidak berapa lama, Lusi bersama orang yang ingin bertemu aku itu pun masuk dan ternyata itu adalah Rani temanku."Rani, katanya kamu sedang di luar kota, tapi kok kamu sudah ada di sini?" Aku to the poin bertanya kepada Rani.Aku kaget bercampur heran, kenapa ia bisa berada di rumahku saat ini. Padahal tadi pagi saat aku telepon dia untuk mengundang dia, supaya datang keacaraku. Rani bilang, kalau ia sedang ada di luar kota. Makanya aku tidak percaya jika sekarang ia ada di hadapanku. Apa mungkin, pada saat pagi di telepon itu dia sedang mengerjai aku? Makanya sekarang ia sudah ada di hadapanku."Mira, kamu sudah kena prank yang aku buat. Aku memang sudah dari luar kota, tetapi sudah pulang dua hari yang lalu. Aku sengaja, bilang sedang diluar kota, sebab ingin memberi kejutan sama kamu. Dan ternyata kejutan aku berhas
"Mas pasti setuju dong, Dek, toh semuanya juga demi kebaikan keluarga kira juga," sahut Mas Romi."Ya sudah, masalah ini nanti kita obrolin lagi saja. Sekarang lebih baik kita makan sore dulu, pasti sudah pada laper kan," tanyaku.Kemudian kami pun pergi menuju ruang makan dan makan bersama. Empat minggu setelah kejadian perampokan di rumahku, Mas Rayhan pun dikabarkan sudah diperboleh dibawa pulang. Berhubung yang nabrak bertanggung jawab, jadi tidak perlu mengurusi administrasi lagi. Bahkan Mas Rayhan diantar pulang oleh orang yang menabrak tersebut. "Mas, alhamdulillah ya, Mas Rayhan sudah bisa pulang. Kebetulan kita mau syukuran kelahiran anak kita," ucapku."Iya, Dek, alhamdulillah. Ibu, Bapak dan Meri juga bisa hadir. Mereka sekarang sedang dalam perjalanan," sahut Mas Romi."Apa benar, Mas? Kapan Ibu memberitahu Mas," tanyaku.Aku merasa kaget, saat mendengar orang tua dan saudaraku mau datang. Ternyata mereka menyempatkan diri, supaya bisa hadir, di acara cukur akikah serta