"Ya sudah, Bu, kalau begitu Delisa pergi saja. Percuma juga Delisa berada di sini, kalau sudah tidak dibutuhkan lagi," pamit Delisa, kemudian ia berdiri dan pergi tanpa menoleh lagi kepada kami.Delisa bahkan tidak menyalami Bu Ratmi, ia put tidak mengajak Bu Ratmi untuk pergi bareng dengannya. Delisa sepertinya sakit hati sekali, setelah tahu kalau dirinya tidak akan bisa mendapatkan Mas Romi."Bu, Ibu mau pulang apa mau menginap disini?" Mas Romi bertanya kepada Ibunya."Ibu mau pulang, tapi Ibu mau dianterin sana kamu, Romi. Mau ya, Rom. Kamu nganterin Ibu," pinta Bu Ratmi."Iya, Mas, mending kamu anterin Ibu dulu. Kasihan juga, kalau Ibu mesti pulang sendirian." Aku menyuruh Mas Romi untuk mengantarkan Ibunya.Biar seburuk apapun Bu Ratmi memperlakukan aku, tetapi ia tetap Ibu dari suamiku yang harus aku hormati dan aku jaga perasaannya. Justru, aku menginginkan Bu Ratmi menyayangiku dengan sepenuh hatinya. Aku ingin merasakan kasih sayang dari seorang mertua, yang tidak pernah
"Apa, Bu Ami? Ibu jatuh dan sekarang berada di rumah sakit? Terus bagaimana keadaannya sekarang," tanyaku.Aku merasa kaget, sebab mendapat kabar yang begitu mendadak. Aku juga merasa tidak percaya, dengan apa yang aku dengar. Baru saja kemarin aku bermaaf-maafan dengan mertuaku itu, kini malah harus mendengar berita, jika beliau masuk rumah sakit, bahkan katanya ia sudah tidak sadarkan diri. Aku merasa takut, jika sesuatu yang buruk akan menimpa mertuaku itu"Iya, Mira. Kamu segera datang ya, Mira. Assalamualaikum," ucap Bu Ami mengakhiri percakapan kami."Iya, Bu. Waalaikumsalam," sahutku.Aku pun langsung memberitahu Mas Romi, keadaan Ibunya saat ini. Setelah itu aku pun segera berganti pakaian dan mengambil tas serta segera berangkat menuju Rumah Sakit menggunakan motor maticku untuk melihat keadaan Bu Ratmi. Aku memacu kendaraannya dengan kecepatan sedang, sebab jalanan sedang begitu ramainya.Sesampainya di halaman Rumah Sakit, aku segera memarkirkan motorku . Kemudian aku berja
Iya, Bu. Mira memaafkan kalian kok, tapi Marni kemana Bu-Ibu? Apa dia tidak ikut mengantarkan Ibu? Padahal, dia yang sudah membuat Ibu sampai jatuh, hingga akhirnya mengalami stroke." Aku memaafkan mereka, serta menanyakan keberadaan Marni."Marni tidak ikut ke sini, Mira. Tadi setelah tau Bu Ratmi jatuh, ia pergi entah kemana. Mungkin ia takut, jika harus dimintai pertanggung jawaban atas kecelakaan itu. Terutama dia takut, jika kejadian itu dirinya akan berurusan dengan polisi." Bu Ami memberitahuku kemana Marni."Ternyata, Marni itu mulutnya aja ya yang gede, tapi nyalinya ciut. Memang dasar Marni itu seorang pecundang," sahutku. Aku mengatai Mirna seorang pecundang, sebab memang kenyataannya seperti itu. Dia hanya beraninya keroyokan, tetapi jika seorang diri jiwanya melempem. Seperti yang selama ini dia lakukan padaku, dia akan koar-koar saat di depan orang banyak. Tetapi saat sendirian dia akan ciut, seperti kertas yang terkena air."Baiklah Bu-Ibu, saya akan menemui Marni dul
"Iya, Mbak. Tadi Mbak Marni pergi buru-buru gitu. Aku juga tidak tau mau kemana dia tuh? Dia pergi membawa koper besar banget, seperti yang mau pergi berbulan-bulan." Mery menjawab pertanyaanku."Kira-kira mau pergi ke mana ya, si Marni itu, Sudah berbuat kesalahan, tapi dia tidak mau bertanggung jawab, malah maen pergi begitu saja. Dia pikir dengan pergi, dia akan terlepas begitu saja dari masalah yang diperbuatnya? Yang pastinya, jawabannya itu tidak. Justru malah dia akan terus dihantui rasa ketakutan karena merasa bersalah." Aku mengumpat kepergian Marni, yang entah pergi ke mana.Karena aku tidak mendapatkan hasil apa yang aku cari. Aku segera kembali ke Rumah sakit, sebab juga tidak tahu aku mau mencari Marni kemana? Aku pamitan kepada Mery dan juga Bu Asri, kemudian aku segera pergi membawa motor natic-ku, meluncur membelah jalan kota. Aku kembali menuju rumah sakit, tempat Bu Ratmi berada.*****"Dek, alhamdulillah kamu sudah kembali. Bagaimana? apa si Marninya ada,"tanya Ma
"Ya sudah, Kak, kalau memang Kak Rendi sedang sibuk dan tidak bisa pulang. Tapi Kakak bisa 'kan kirim uang buat biaya Ibu? Kita patungan buat biaya berobat Ibu," pinta Mas Romi."Aduh gimana ya, Rom. Justru untuk saat ini Mas juga belum bisa mengirimkan uang buat biaya berobat Ibu, Mas lagi nggak ada uang. Mas baru membeli mobil baru untuk Dewi, jadi keadaan uang Mas saat ini sedang menipis. Ini juga belum tau cukup atau tidak buat sebulan kedepan," sahut Kak Rendi. Ia juga beralasan, kalau dia tidak dapat membantu biaya pengobatan Ibunya. Kak Rendi tidak dapat memberikan uang sedikitpun, dengan alasan telah membeli mobil baru untuk istrinya. Aku merasa heran kepada Kakak suamiku itu, masa iya sih dia mampu beli mobil, tapi mampu memberi buat biaya berobat Ibunya. Aku juga merasa janggal dengan alasan Kak Rendi, yang tidak dapat pulang karena alasan kesibukannya. Masa iya sih, nggak bisa cuti sehari atau dua hari saja untuk nengokin Ibunya yang sakit. Menurutku dua alasan itu tidak
"Ibu tenang saja, nggak usah memikirkan masalah biaya, lebih baik Ibu fokus sama kesehatan Ibu sekarang, supaya Ibu cepet sembuh. Biar masalah kekurangan biaya, nanti Mira yang akan tanggung," timbrung.Aku menasehati mertuaku, supaya jangan terlalu banyak pikiran. Apalagi mikirin biaya rumah sakit tersebut."Mi-ra, ma-af-kan I-bu ya Nak! I-bu se-la-ma i-ni se-la-lu ja-hat sa-ma ka-mu," ucap Bu Ratmi meminta maaf sambil menangis"Iya, Bu, nggak apa kok itu masa lalu. Ibu nggak usah mikirin yang bukan-bukan sekarang. Ibu hanya perlu semangat untuk bisa sembuh, itu saja tugas Ibu sekarang." Aku menenangkan Bu Ratmi, supaya ia tidak banyak pikiran."Bu, cepet sembuh ya, Bu. Aku tidak mau melihat Ibu sakit seperti ini. Ibu kini tau 'kan, bahkan Ibu bisa merasakan sendiri? Kalau ternyata menantu yang selalu Ibu hina dan Ibu siksa batinnya ini. Justru dialah yang selalu membela dan membantu Ibu selama ini. Jadi aku harap setelah kejadian ini, Ibu benar-benar harus dapat menerima Mira apa
"Bu, ini bukti pembayarannya. Terima kasih, Ibu sudah melunasi biaya pengobatannya Bu Ratmi," ucap Petugas kasir Rumah Sakit, sambil menyerahkan kwitansi pelunasan biaya pengobatan mertuaku."Iya, sama sama," sahutku. Kemudian, kwitansinya aku masukan ke dalam tas, beserta obat yang barusan sekalian aku tebus. Setelah itu aku pun pergi, sambil menelepon Mas Romi untuk memberitahu dia, kalau Ibunya sudah bisa pulang. Seusai memberitahu Mas Romi, aku pun bergegas kembali menuju ruangannya Bu Ratmi. Aku kemudian masuk ke dalam ruangan dan segera membereskan perlengkapan aku dan mertuaku selama di rumah sakit ini. Selesai berkemas, aku merapikan pakaian dan memakaikan kerudung kepada mertuaku. Aku sengaja memakaikan kerudung kepadanya, supaya Bu Ratmi bisa terbiasa memakainya. Karena selama ini, Bu Ratmi memang tidak biasa memakai kerudung. Tidak lama kemudian Mas Romi datang, kalu menghampiri kami. Mas Romi ternyata sedang menarik angkot, saat tadi aku meneleponnya. Mungkin setelah ur
Kok ada ya orang yang seperti Kak Rendi. Dia sepertinya sudah tidak peduli, dengan perasaan Ibunya. Aku saja yang mendengarnya merasa tidak tega, tetapi ini anaknya kok tega sekali. Ia berbuat tega, berbuat sejahat itu kepada orang tuanya sendiri. Masa iya orang tua masih hidup dimintai warisan, sampai dengan lantangnya bilang mau menjual rumah, yang masih ditempati Ibunya. Ternyata Kak Rendi semaruk itu, semoga Allah segera memberi hidayah kepadamu"Kak, kenapa rumah Ibu mesti dijual? Itu kan satu-satunya kenangan kita dari mendiang Bapak. Rumah itu banyak kenangan kita semasa kecil lagi. Masa sih abang tega menjualnya, sedangkan Ibu saja masih hidup. Nanti beliau mau tinggal di mana? Mendung kalau dua mau tinggal bersamaku selamanya," protes Mas Romi kepada Kakaknya Rendi."Ren, ke-na-pa ru-mah Ibu mau di-jual?" tanya Bu Ratmi.Bu Ratmi ikut bertanya kepada Kak Rendi, kenapa ia sampai mau menjual rumah Ibunya itu."Jadi begini, Romi. Kak Rendi sama Mbakmu Dewi benar-benar lagi but
"Lho, kok ada foto Mas sama Meri sedang berpelukan begini sih? Kamu dapat dari mana, Dek?" Mas Romi bertanya dengan sorot mata yang menatap tajam ke arahku."Aku dikirim Susi, Mas. Katanya kalian berdua ada hubungan spesial, bener nggak sih Mas apa yang dia bilang? Karena aku melihat foto kalian juga terlihat begitu mesra," tanyaku mau minta penjelasan.'Dek ... Dek, kamu itu lebih percaya Mas suami kamu, sama Merry Adik kamu, atau sama Susi temen kamu? Temen yang sudah merebut mantan pacar kamu, sewaktu kamu masih sekolah dulu. Kalau memang kamu lebih percaya sama Susi, Berarti kamu salah besar, Dek. Karena Mas sama Merry itu tidak ada hubungan spesial, terkecuali hubungan antara kakak ipar dan adik ipar. Kamu jangan mau di bodohi sama Susi dong, Dek. Dia itu hanya menginginkan, supaya hubungan kamu dan Mas berantakan. Kamu tahu nggak, Dek, kalau Susi dan suaminya sekarang hubungannya sedang goyang. Karena suaminya Susi ketahuan selingkuh, makanya dia memanas-manasi kamu. Mungkin t
"Alhamdulillah, akhirnya Meri mau menggantikan Lusi. Kalau sampai Meri tidak mau, pasti toko kueku terbengkalai. Semoga dengan kedatangan Meri nanti, toko kueku akan semakin berkembang, aamiin," harapku.Kemudian aku mengangkat tubuh Nadyra dan segera memberikan asi kepadanya. Tidak berapa lama anak keduaku yang bernama Azka pulang dari sekolah dan langsung masuk ke kamarku untuk menyalamiku. Alhamdulillah, aku mempunyai anak-anak yang shaleh, semoga gadis kecilku juga menjadi anak yang shaleha, aamiin."Assalamualaikum, Bu, Kakak pulang," ucapnya sambil meraih tanganku dan menciumnya."Waalaikumsalam, Kak Azka, alhamdulillah Kakak udah pulang tuh, Dek. Bagaimana belajarnya hari ini, Kak, lancar?" Aku bertanya keadaan Azka di sekolah, setelah aku menjawab salam dari anakku yang nomer dua ini."Lancar dong, Bu, Kakak bisa menjawab semua soal ulangan hari ini," sahut Azka.Ia menjawabnya dengan begitu bersemangat, kebetulan hari ini memang ada ulangan harian di sekolah Azka."Alhamdul
"Mbak Mira, terima kasih ya. Karena Mbak Mira telah paham dengan keadaanku," ucap Lusi."Iya, Lusi, sama-sama. Aku harus paham, sebab yang namanya manusia pasti punya problem. Kehidupan yang kita jalani tidak akan selamanya bisa sesuai harapan kita," sahutku."Ya sudah, Mbak, aku pamit ke toko dulu ya. Assalamualaikum," pamit Lusi.Aku pun mengiyakan, saat Lusi pamit untuk pergi ke toko. Kemudian ia pergi meninggalkanku sendirian, yang sedang bingung memikirkan jalan keluar untuk masalah ini. Setelah Lusi kembali ke toko, setelah ia selesai membicarakan apa yang ingin diungkapkannya. Aku melamun seorang diri, membayangkan bagaimana nasib toko kueku, ketika Lusi sudah tidak ada lagi nanti? Sedangkan aku baru saja melahirkan dan tidak bisa membuat kue seperti dulu. Menurut Lusi, ia akan pergi sekitar satu minggu lagi. Jadi aku harus segera mencari orang untuk menggantikan Lusi membuat kue, mumpung masih ada waktu untuk mencari orang yang tepat pengganti Lusi tersebut. Setelah setelah
"Itu, Dek, Meri barusan menyuruh Mas memasangkan lampu yang ada di kamarnya. Kata dia mumpung ada Mas karena ternyata lampu kamarnya putus," sahut Mas Romi."Oh begitu, ya Mas, ya sudah kalau memang seperti itu. Mas, sudah dulu ya, meneleponnya soalnya Nadyra-nya mau nyusu dulu. Nanti kita sambung lagi," pungkasku.Setelah itu aku pun mengakhiri sambungan telepon, kemudian menyimpan telepon tersebut di atas nakas, sebab Nadyra memang sudah terbangun dari tidurnya. Aku menyusui Nadyra, sambil tiduran, supaya Nadyra kembali terlelap. Soalnya baru juga berapa menit dia tidur kini sudah terbangun karena kehausan. Setelah Nadyra kembali tertidur, aku pun merapikan selimutnya, lalu bangkit dari kasur. Aku berniat akan pergi ke toko untuk mengeceknya. Sudah lebih satu bulan semenjak aku melahirkan, aku tidak pernah lagi mengecek toko kueku. Biasanya aku menyerahkan semuanya kepada Lusi. Pas aku baru membuka pintu kamar, ternyata Lusi sudah ada di depan pintu kamarku. "Eh, Mbak Mira, baru
Rasanya nggak mungkin juga, jika suami serta adik kandungku tega menghianati aku. Makanya aku tidak akan percaya seratus persen, dengan perkataan Susi, yang belum jelas kebenarannya. Bisa saja Mereka berpelukan begitu karena Mas Romi mau menolong Meri, bukan karena sengaja berpelukan karena mempunyai perasan lain. Aku percaya, kalau mereka berdua tidak akan seperti itu.[Ya sudah, terserah kamu saja kalau memang kamu tidak percaya. Aku hanya ingin memberitahu kanu saja, apa yang terjadi di sini tanpa sepengetahuan kamu.] Susi mengirimi chat lagi kepadaku.[Terima kasih, Susi, sebab kamu telah mau memberitahu aku. Tapi aku lebih percaya kepada mereka berdua,] terangku lagi.Setelah membalas chat terakhir dari Susi, Susi pun tidak lagi mengirim chat kepadaku. Sepertinya ia kecewa karena aku tidak percaya dengan aduannya tersebut. Biar saja, sebab jika aku menuruti semua aduan Susi, sudah pasti rumah tanggaku, yang aku bina sekitar lima belas tahun ini akan sia-sia.Setelah tidak ada c
"Makanya, Mbak Widi, jangan menuruti emosi dulu. Cari tau dulu kebenarannya, kalau sudah seperti ini siapa yang rugi," tanyaku merasa geram dengan apa yang terjadi."Iya, Mbak Mira, aku menyesal sudah gegabah. Sekarang aku menyesal, Mbak, sebab telah mendengar kata orang dan menuruti emosi." ujar Mbak Widi."Ya sudah nggak apa-apa, Mbak. Aku mau kok memaafkan Mbak Widi," ungkap Meri.Adikku ini memang orang baik, ia tidak pernah mau ribet dan mempermasalahkan apa pun. Sifat dia sama persis dengan sikap Bapak kami, yang lebih memaafkan ketimbang memperpanjang masalah. Aku pun memiliki sifat yang sama, tidak pernah mau ribet, atau berpikir untuk membalas perlakuan jahat orang lain. Karena bagiku memiliki sifat seperti itu capek, sebab permasalahan akan tetap ada dan tidak ada habisnya. Aku ingin hidup tentram dan damai, makanya kami tidak terlalu mempermasalahkan semua itu. Toh lama kemanan orang yang membenci kita akan bosan sendiri, sebab kita tidak meladeni mereka."Terimakasih, M
"Asal Mas tau, kalau adik ipar Mas Romi ini seorang pelakor. Ia itu berusaha menggoda suamiku, saat kemarin ia belanja di warungku, Mas" Mbak Widi memberitahu kami semua itu."Maaf, Mbak, maksud, Mbak apa? Kok Mbak mengatakan aku seorang pelakor? Memangnya kapan aku menggoda suami Mbak," tanya Meri yang datang menghampiri kami.Melihat Meri keluar, Mbak Widi juga mendekatinya. Kemudian ia mengangkat tangan kanannya, akan menampar Meri. Tapi keburu ditangkis oleh Mas Romi. Mba" Wish hampir saja berbuat anarkis terhadap adikku, jika saja Mas Romi tidak sigap menangkis tangan Mbak Widi."Mbak Widi, tolong Mbak jangan kasar begitu. Tolong beritahu kami dulu, seperti apa sih permasalahan yang sebenarnya? Kok bisa seperti ini," tanyaku meminta penjelasan."Mbak Mira ngapain bertanya kepadaku? Mbak kan bisa tinggal tanya saja sama adik Mbak, ngapain mesti nanya sama aku," tanya balik Widi dengan begitu ketus."Maaf ya, Mbak, bukan aku mau ngeles. Tapi aku memang tidak merasa menjadi seorang p
"Ya sudah, Lus, suruh masuk saja ya," pintaku."Iya, Mbak siap," sahutnya.Setelah itu Lusi pun segera pergi untuk menyuruh orang, yang mencariku tersebut supaya masuk. Tidak berapa lama, Lusi bersama orang yang ingin bertemu aku itu pun masuk dan ternyata itu adalah Rani temanku."Rani, katanya kamu sedang di luar kota, tapi kok kamu sudah ada di sini?" Aku to the poin bertanya kepada Rani.Aku kaget bercampur heran, kenapa ia bisa berada di rumahku saat ini. Padahal tadi pagi saat aku telepon dia untuk mengundang dia, supaya datang keacaraku. Rani bilang, kalau ia sedang ada di luar kota. Makanya aku tidak percaya jika sekarang ia ada di hadapanku. Apa mungkin, pada saat pagi di telepon itu dia sedang mengerjai aku? Makanya sekarang ia sudah ada di hadapanku."Mira, kamu sudah kena prank yang aku buat. Aku memang sudah dari luar kota, tetapi sudah pulang dua hari yang lalu. Aku sengaja, bilang sedang diluar kota, sebab ingin memberi kejutan sama kamu. Dan ternyata kejutan aku berhas
"Mas pasti setuju dong, Dek, toh semuanya juga demi kebaikan keluarga kira juga," sahut Mas Romi."Ya sudah, masalah ini nanti kita obrolin lagi saja. Sekarang lebih baik kita makan sore dulu, pasti sudah pada laper kan," tanyaku.Kemudian kami pun pergi menuju ruang makan dan makan bersama. Empat minggu setelah kejadian perampokan di rumahku, Mas Rayhan pun dikabarkan sudah diperboleh dibawa pulang. Berhubung yang nabrak bertanggung jawab, jadi tidak perlu mengurusi administrasi lagi. Bahkan Mas Rayhan diantar pulang oleh orang yang menabrak tersebut. "Mas, alhamdulillah ya, Mas Rayhan sudah bisa pulang. Kebetulan kita mau syukuran kelahiran anak kita," ucapku."Iya, Dek, alhamdulillah. Ibu, Bapak dan Meri juga bisa hadir. Mereka sekarang sedang dalam perjalanan," sahut Mas Romi."Apa benar, Mas? Kapan Ibu memberitahu Mas," tanyaku.Aku merasa kaget, saat mendengar orang tua dan saudaraku mau datang. Ternyata mereka menyempatkan diri, supaya bisa hadir, di acara cukur akikah serta