"Ng-ngapain juga, Mbak bohong," ucapku berusaha tenang. "Kalau kamu mau kamu bisa jadi pembantu kayak, Mbak!" sambungku lagi.
"Apa Mbak? Jadi pembantu kayak, Mbak?" tanya Mita, mungkin tidak percaya akan tawaranku.
Aku mengangguk, "Iya, kalau kamu mau, Mbak bisa ngomong sama majikan, Mbak."
"Apa, Mbak gak salah ngomong nawarin aku jadi pembantu? Sorry ya, Mbak tampang kayak aku ini lebih cocoknya jadi bintang iklan," jawab Mita percaya diri.
"Ya itu terserah kamu. Bagi, Mbak sih mau kerja apa aja yang penting gajinya besar," ucapku pura-pura cuek, aku yakin setelah ini mereka akan bertanya tentang gajiku.
"Halah, mana ada pembantu gajinya gede!"
"Memang berapa gajimu, berani nawarin Mita jadi pembantu?" tanya Mama dengan nada sombong.
"Gak terlalu besar sih, Ma. Cuma 12 juta perbulan," jawabku asal, karena saat ini uang segitu bukan masalah bagiku.
Kompak Mita dan Mama pun terbahak mendengar jawabanku yang terdengar mengada-ngada.
"Kayaknya, Mbakmu mulai sedikit geser, Mit," ucap Mama setelah puas menertawakanku.
"Iya, Ma," balas Mita sambil mengusap air mata di sudut matanya karena habis tertawa begitu keras.
"Ya kalau kalian tidak percaya gak apa-apa sih, Mama sama Mita kenal keluarga Lastri Hanggara, 'kan?" pancingku.
"Ya iyalah siapa yang gak kenal mereka, tapi kamu jangan kebanyakan mimpi deh, apalagi ngaku-ngaku bekerja di sana," balas Mita.
"Udah, ah Ma. Lebih baik kita shoping-shoping aja, lama-lama dekat, Mbak Naya nanti jadi ikut nge-halu," ucap Mita mengajak Mama pergi sembari menggandeng tangan Mama yang besar itu.
"Hayo! Ini, Mama juga udah laper banget!" ucap Mama sembari mengusap perutnya.
Mereka pun segera pergi menuju kamar masing-masing. Tidak lama kemudian keduanya keluar dengan baju yang berbeda. Nampaknya mereka akan pergi keluar.
Ah biarlah, itu lebih baik dari pada mendengar ocehan mereka yang tidak ada habisnya. Suara deru mesin mobil pun mulai menjauh dari rumah, sepertinya Mita pergi menggunakan mobil.
Setelah mereka pergi aku segera masuk ke kamar dan mandi, bau keringat bercampur debu membuat tubuhku terasa lengket. Usai mandi dan bertukar pakaian aku pun membangunkan Rania dan memandikannya.
"Ma, Lania lapel," ucapnya. "Iya, Sayang, Mama juga laper tunggu sebentar ya Mama pesan dulu!" Rania pun mengangguk, aku segera mengambil ponsel pintar milikku pemberian dari Oma, dan segera memesan beberapa macam makanan.
Tidak perlu menunggu lama pesananpun datang, aku segera membawanya ke dalam kamar untuk makan bersama Rania. Beruntung Mama dan Mita belum pulang.
"Rania suka makanannya?" tanyaku.
"Cuka, Ma," jawabnya sembari menggigit ayam goreng.
"Kalau suka Rania boleh habisin makanannya!"
"Benal, Ma?" Aku hanya mengangguk sembari melanjutkan makan. "Aciiiiikk ...." Rasanya begitu senang melihatnya makan dengan lahap, seumur hidup baru kali ini bisa makan seperti ini.
Alhamdulillah!
Akhirnya selesai juga makannya, Rania pun nampak kekenyangan duduk bersandar di atas sofa, membuatku tersenyum lebar.
"Kamu kenapa, Sayang?" tanyaku.
"Lania, kekenyangan, Ma," ucapnya sambil mengusap perutnya yang kelihatan berisi.
Aku tersenyum sembari mengelus kepalanya dengan sayang, "Ya udah, Rania istirahat aja kalau gitu, Mama mau salat dulu ya!"
"Iya, Ma."
Aku pun segera masuk ke kamar mandi dan berwudu, kemudian melaksanakan tiga rakaat. Usai salam aku melipat mukena kembali, kulihat Rania sudah tertidur lagi, aku pun segera memindahkannya ke atas ranjang.
Aku melirik jam di dinding pukul menunjukkan 19 lebih 05, kenapa Mas Bram belum juga pulang. Aku ingin menghubunginya, tetapi takut Mas Bram lagi di jalan.
Aku keluar kamar menunggu kepulangan Mas Bram. Sudah hampir satu jam aku menunggu, tetapi belum ada tanda-tanda Mas Bram akan pulang. Akhirnya aku memutuskan untuk salat Isya terlebih dahulu.
Usai mengucap salam, terdengar deru mesin mobil memasuki halaman. Aku buru-buru mengecek siapa yang pulang melihat dari balik jendela kamar yang terhubung langsung dengan taman depan. Setelah jelas ternyata Mama dan Mita yang pulang.
Aku melipat mukena dengan perasaan gamang, bertanya-tanya perihal Mas Bram yang belum kunjung pulang. Akhirnya aku mencoba menghubungi Mas Bram, tetapi ternyata nomornya tidak aktif. Kemana kamu, Mas? Rasa penasaran dan sedikit khawatir menyergap dalam hati, bagaimana pun Mas Bram masih sah sebagai suamiku.
Dengan langkah gontai aku keluar kamar menuju ruang tamu tempat dimana Mama dan Mita berada. Mereka pasti tau keberadaan Mas Bram.
"Ma, kok Mas Bram belum pulang, kemana ya?" tanyaku pada Mama yang lagi asyik makan.
"Ya iyalah, orang Mas Bram lagi kerja di luar kota," Belum sempat Mama menjawab Mita sudah menjawab duluan.
"Kerja keluar kota? Sama siapa?" tanyaku spontan.
"Mana aku tau!" Mita mengendikkan bahu.
"Kira-kira kapan ya pulangnya?" tanyaku lagi, karena begitu penasaran.
"Palingan juga besok." Kali ini Mama yang menjawab.
"Udah ah, ngapain Mbak nanya-nanya terus, gangu orang makan aja, atau jangan-jangan, Mbak juga pengen ya?" ledek Mita sembari memamerkan makanannya.
Aku hanya menghela nafas, karena tidak tertarik untuk meladeninya dan memilih kembali ke kamar.
"Eh, eh orang lagi ngomong malah ngeloyor pergi," teriak Mita. "Mbak yakin gak mau?" tawarannya lagi, yang aku yakin hanya untuk mempermainkanku. Memilih terus melangkah tanpa memperdulikannya saat ini adalah pilihan yang tepat.
Akhirnya malam ini aku kembali tidur bersama Rania, tanpa Mas Bram. Aku baru tau kalau Mas Bram keluar kota, mengingat itu seketika hatiku resah, bukan lantaran cemburu, tetapi sangat menyakitkan jika Mas Bram pergi berdua dengan perempuan itu. Ah sudahlah lebih baik aku tidur dari pada memikirkan hal yang hanya akan menguras pikiranku.
***
Menjelang pagi, aku kembali kerutinitasku seperti biasa di rumah ini, menyiapkan sarapan, nyapu, ngepel dan mencuci pakaian. Baju yang kemarin sore kucuci baru kubilas pagi ini, semalaman sudah kurendam dengan pewangi.
Usai mengerjakan pekerjaan rumah aku menunggu tukang sayur yang biasanya lewat depan rumah. Tidak lama kemudian tukang sayurnya pun lewat aku segera membeli beberapa macam sayur, dan daging ayam untuk menu makan siang ini.
"Eh, Mbak Naya lagi beli sayur juga?" tanya Bu Rina tetangga depan rumah.
"Iya, Bu," jawabku.
"Ngomong-ngomong, Mamamu kemana?"
"Em, lagi di dalam."
"Neng, Naya rajin bener ya!"
Aku hanya tersenyum, dan pamit masuk. Aku tidak berniat meladeni Bu Rina yang merupakan sohib bergosip Mama. Di tambah lagi, Bu Ica kepalaku pusing kalau mereka sudah kumpul di rumah.
Setelah masuk tidak lama kemudian suara Mama bersama sohib-sohibnya terdengar di depan rumah entah apa yang mereka bicarakan, terkadang Mama menceritakan tentangku membanding-bandingkan dengan istrinya Mas Fatir yang cantik lagi kaya. Kalau sudah begitu aku hanya bisa menggigit bibir menahan rasa sesak di dada.
Rasanya aku malas sekali masak, sementara cucian piring belum sempat kucuci gegara mengerjakan pekerjaan rumah lainnya. Beruntung hari ini Mita pulang lebih cepat jadi aku bisa minta tolong padanya, pikirku. Masih dengan seragam putih abu-abunya Mita masuk ke dapur mengambil air di dispenser.
"Dek sini!" ajakku saat melihatnya.
"Apaan sih, Mbak gak lihat apa aku lagi capek?" ketusnya dengan wajah kesal.
"Mau duit gak?" tanyaku menggodanya sembari tersenyum.
"Gak?" jawabnya sok jual mahal.
Aku mengeluarkan beberapa lembar uang warna merah dari dompet, lalu mengibas-ibaskannya ke wajahku.
"Yakin gak mau?" tanyaku lagi.
Matanya terbelalak lalu menghampiriku sembari mengambil uang yang kupegang.
"Eit, tapi ada syaratnya," ucapku seraya menjauhakan uanganya.
"Apa?"
"Tuh cucian piringnya belum dicuci,"
Wajahnya cemberut.
"Ya udah kalau gak mau," ucapku seraya pura-pura kembali memasukkan uangnya. Namun segera di tarik Mita.
"Ya udah, tapi hanya cuci piring ya," ucapnya dengan wajah jutek. Aku pun mengangguk.
"Eh,eh ngapain anak gadis, Mama pake cuci piring segala?" tau-tau Mama sudah berdiri di belakang kami.
"Gak apa-apa, Ma sesekali," jawab Mita tersenyum.
"Ada apa sih?" tanya Mama penasaran lalu mendekat dan melihat tumpukan uang di atas tas Mita.
"Itu punya siapa?" tanya Mama.
"Ya punya, Mita lah!" jawab gadis itu. Sementara aku hanya diam mengamati sembari melipatkan tangan di depan dada.
Terlihat Mama menelan saliva, melihat lembaran-lembaran merah tersebut.
"Ya udah, biar Mama aja yang masak, tapi bayarannya dua kali lipat Mita!" tawar Mama sembari tersenyum menatap ke arahku.
"Tidak masalah," jawabku santai, sementara Mita terlihat mencebik.
"Jadi beneran, Nay kamu kerja jadi pembantu dan gajinya 12 juta?" tanya Mama penasaran.
"Apa pembantu? Gaji 12 juta?" tiba-tiba Mas Bram datang sembari mengulang pertanyaan Mama membuatku terkesiap.
Bersambung ...
"M-mas, Bram," ucapku tergagap melihat kedatangannya tiba-tiba."Udahlah, Nay ngapain kamu bohongin Mama sama Mita, sok-sokan jadi pembantu dengan gaji 12 juta?" tegas Mas Bram.Seketika Mama dan Mita menatap tajam kearahku."Kemarin kamu bilang ATM Mas hilang, tapi ternyata kamu sengaja menyembunyikannya dan memindahkan sebagian saldonya kerekeningmu, untungnya aku segera mengurusnya," ucap Mas Bram sambil melipatkan tangan di depan dada."Apa benar, Nay?" tanya Mama.Aku hanya menunduk diam tak menyahuti."Mas gak nyangka kalau, istri Mas pencuri uang suami sendiri.""A-aku, cu-cuma ...." Mas Bram segera memotong kalimatku."Kalau, Mas mau, Mas bisa saja melaporkan tindakkanmu ke polisi," ancamnya.Seketika membuatku mendongak, dan menatap kearahnya."Ja-jangan! Mas," ucapku pura-pura mengiba."Jadi uang yang kamu kasih sama aku dan Mama uang, Mas Bram?" tanya Mita geram.Aku hanya diam, tidak menj
"Naya, apa yang kamu lakukan sama, Meira?" tanya Mas Bram dengan suara meninggi.Seketika Meira bangkit dan memegang pergelangan tangan Mas Bram."Mas, aku takut, Mas. Naya bilang aku tidak boleh nginap di sini, dan dekat-dekat sama Mas Bram," ucapnya sambil terisak. Waw pintar sekali aktingnya padahal aku sama sekali tidak berucap demikian."Naya, keterlaluan kamu!" ucap Mas Bram geram. "Meira ini tamu kita, harusnya kamu bersikap baik padanya!""Mas, a-aku cuma ....""Sudahlah, Nay! Alasan apa lagi yang akan kamu katakan semuanya sudah jelas. Mas lihat sendiri kamu yang membuat, Meira terjatuh.""Tapi, Mas, Meira yang duluan," jawabku tak mau kalah."Mas aku takut, Mas," Meira semangkin mencengkaram tangan Mas Bram, berpura-pura ketakutan."Hentikan, Meira! Apa yang kamu lakukan tidak perlu bersandiwara!" Bentakku geram melihat tingkahnya yang membuatku naik darah, aku pun menarik tangannya agar melepaskan Mas Bram."N
"Mita?" ucap Mama panik.Mendengar teriakan Mita dari arah pintu depan membuat, Mama gegas melangkah menghampiri anak perempuan kesayangannya tersebut untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Mas Bram dan Meira pun ikut ke depan. Aku pun tak tinggal diam ingin menyaksikan tamu yang telah menyita perhatian isi rumah ini."Ca-cari siapa?" tanya Mita terbata pada sosok lelaki yang berdiri di depan pintu. Namun, yang ditanya hanya diam.Mataku membulat tidak percaya, melihat pemandangan itu. Lho itukan, Dewa kenapa dia yang datang kesini ada perlu apa? Mana Oma?"Omay god, itu beneran oppa-oppa korea?" Meira pun tak kalah takjub melihat Dewa yang tampannya menurutku malah lebih terlihat ke arab-araban tersebut.Terlihat Mas Bram menyikut tangan Meira, menyadarkannya dari rasa takjub. Lalu, Meira pun kembali bersikap biasa-biasa saja sambil senyam-senyum.Ya siapa yang tidak tertarik akan ketampanan seorang lelaki yang kini tengah berdiri di de
"Nay, tolong jangan tinggalin, Mas. Mas janji akan memperbaiki semuanya," ucap Mas Bram dengan wajah penuh penyesalan. Aku yang mendengar teriakan Mas Bram menghentikan langkah."Oma, tunggu sebentar sepertinya aku harus bicara sama, Mas Bram," pintaku, terlihat Oma keberatan namun akhirnya mengangguk.Aku pun berbalik menatap lekat wajah sendu, Mas Bram, sembari melangkah mendekat ke arahnya dengan wajah pura-pura sedih."Nay, kamu mau, 'kan maafin, Mas?" tanya Mas Bram tersenyum getir berusaha memegang jari jemariku dengan mata berkaca-kaca, sebenarnya aku tidak sudi menerima sentuhan mantan suamiku tersebut, namun demi membuatnya sedikit patah aku harus berpura-pura.Melihatnya sikap Mas Bram seperti itu, rasanya bukan membuat simpati malah ingin tertawa geli. Lelaki yang biasanya terlihat angkuh itu, kini menangis tak berdaya. Di samping kanannya berdiri Mama dan Mita, sementara di samping kananya Meira yang terlihat mencebik, melihat drama yang
"Hallo, Papa," Begitu sambungan video call terhubung Rania langsung menyapa Mas Bram. Aku duduk di samping Rania. Namun, sengaja belum menampakkan diri."Rania, anak Papa," ucap Mas Bram dengan binar bahagia.Aku pun segera memberi kode ke Rania untuk memberikan ponselnya, padaku Rania pun menurut."Hallo mantan!" sapaku sembari tersenyum lebar menampakkan baris gigiku yang putih.Glek, terlihat Mas Bram menelan saliva."I-itu ka-kamu, Naya istri, Mas?" tanya Mas Bram terbata. Tiba-tiba, rasanya mual mendengar kata istri yang terucap dari bibirnya. "Ca-cantik sekali," lanjutnya dengan mata tak berkedip."Perempuan itu akan terlihat cantik kalau dimodalin, Mas," jawabku sembari terus mengulas senyu.Terlihat Mama ikut menyempilkan wajahnya ke dekat Mas Bram, berebut ingin melihatku."Ma-mantu Mama cantik sekali," pujinya.Aku hanya tersenyum geli melihat kelakuan mantan suami dan mertuaku tersebut. Mereka baru memuji-muji
Aku terlonjak kaget mendengar suara Bass yang tiba-tiba mengusik pendengaranku. Aku beralih menatap ke sumber suara, ternyata Dewa."Mau tau aja urusan orang," celetukku lalu pergi meninggalkannya menuju dapur.Sekilas kulihat Dewa beralih menatap ke jendela mungkin rasa penasarannya tidak bisa ditahan. 'Dasar kepo' gumamku sambil terus melangkah.Tiba di dapur aku segera menaruh barang-barang yang tadi kubeli ke atas meja."Eh, Non Naya," ucap Bi Jum yang biasa mengurus bagian dapur.Aku tersenyum membalas sapaan dari Bi Jum sembari tanganku bergerak lincah mengeluarkan barang-barang dari kantong plastik."Itu mau ngapain, Non?""Saya mau masak cake spesial buat, Oma, Bi," jawabku sembari tersenyum lebar."Aduh sebaiknya, Bibi aja yang masak, Non. Saya takut Nyo ...."Belum sempat Bi Jum menyelesaikan kalimatnya aku sudah memotongnya. "Udah Bibi tenang saja, saya biasa mengerjakan pekerjaan rumah apa lagi yang ber
"Andai, Mas Bram tidak memberiku talak tiga tentu saja aku mau, Ma," jawabku memelankan suara. Aku yakin dengan begitu bertambahlah rasa penyesalan Mas Bram, juga Mama.Suasana sejenak hening."Jangankan cuma membantu, Naya di perusahaan, bahkan jika anak Ibu adalah suami yang bertanggup jawab dan menyanyangi cucu saya, tentu saja aku sendiri yang akan menjadikannya direktur di salah satu perusahaan saya," ucap, Oma seperti orang yang tengah menyesal. Aku tidak tau, apa yang dikatakan Oma benar adanya atau hanya ingin membuat keluarga Mas Bram semakin bertambah menyesal, karena kehilangan kesempatan.Mata Mama terbelalak mendengar ucapan, Oma. Sementara Mas Bram kulihat menelan saliva seperti orang yang sedang ngiler sesuatu."Di-direktur?" tanya Mas Bram terbata."Betul," jawab Oma singkat."Bu saya mohon, batalkan perceraian ini. Aku yakin Naya sama Bram masih saling mencintai, kita jangan jadi orang tua yang egois," ucap Mama terisak semb
Dewa dan Mas Bram sejenak saling tatap seperti film india yang sebentar lagi akan menari dan menyanyi. Namun, Dewa yang memang tidak suka basa-basi, kembali cuek dengan ciri khasnya dan mengajak kami untuk segera pulang."Ayo, Oma kita pulang!" ajak Dewa tanpa menghiraukanku. "Hei, kamu kenapa masih diam disitu apa mau tinggal di sini?" ketusnya."Samsul," panggil Oma saat Pak Samsul tengah menuju parkiran.Pak Samsul pun mendekat. "Terima kasih untuk kerja samanya," ucap, Oma sembari menyambut tangan Pak Samsul."Sama-sama, Bu. Senang bisa membantu," balas Pak Samsul."Terima kasih, Pak!" Aku pun ikut mengucapkan rasa terima kasih karena telah membantu sidang perceraian ini."Sama-sama, Mbak Naya. Kalau begitu saya pamit dulu, karena masih ada urusan yang harus saya selesaikan," pamit Pak Samsul. "Mari, Bu, Mbak!"Pak Samsul pun pergi menuju mobilnya yang terparkir tidak jauh dari mobil Dewa. Sementara Mas Bram masih berdiri di tempa
Usai subuh aku merapikan kamar, hari ini Dewa dan Keluarganya akan pulang ke Amerika setelah menginap beberapa hari di Indonesia.Aku bahagia meski akhirnya tidak bisa bersama setidaknya hubungan ini tetap berakhir dengan baik. Ya meski dalam hati masih ada rasa yang masih tertinggal, semoga itu menjadi doa kebahagian untuk, Dewa dan keluarganya.Hari ini aku juga berencana akan pergi ke pondok pesantren untuk mengunjungi, Rania. Saat aku tengah merapikan seprey yang baru kuganti, Nadifa datang."Mbak, lagi sibuk gak?" tanya Nadifa sembari membukan pintu, dan menampakkan bagian wajahnya."Gak nih, ada apa?" tanyaku balik."Boleh aku masuk?""Masuk aja!" ucapku.Nadifa pun masuk, dan langsung menghempaskan pantatnya di sisi ranjang. Aku pun ikut duduk di sisinya."Mbak, aku mau ngomong serius," ucap Nadifa sembari memutar tubuhnya menghadapku, lalu memegang tanganku."Mau ngomong apa sih, kayaknya serius banget?" ta
Setelah menempuh perjalanan lebih kurang 35 menit akhirnya aku tiba dirumah. Satpam yang jaga di depan segera membukakan pintu begitu melihat kedatanganku.Perlahan aku menghela nafas lalu membuangnya dengan masygul, ada perasaan tidak enak karena membuat, Oma menunggu. Begitu memasukkan mobil ke parkir aku langsung menuju pintu utama, Oma pasti sudah menungguku.Perlahan aku menekan handel pintu, berharap begitu melihat kepulanganku, Oma menyambut seperti biasanya, dengan senyuman meski kali ini aku telat.Namun, begitu pintu terbuka, mataku membulat melihat tamu yang sangat ini tengah berbincang dengan Oma di ruang tamu. Apa aku tidak salah lihat?Aku tertegun sesaat, bingung dari mana aku harus memulai kata, seseorang yang terkadang membuat rindu kini hadir kembali? Untuk apa? Aku masih menerka-nerka. Lalu perhatianku teralih pada seorang perempuan cantik dengan balutan busana muslimah menutupi seluruh tubuhnya kecuali muka, itulah yang kulihat.
Dua tahun telah berlalu sejak kejadian itu, sejak itu pula aku tidak lagi pernah bertemu, Dewa. Dia benar-benar melupakanku, dan pelan aku pun perlahan berusaha melupakannya, tidak mudah memang, tetapi bukan tidak mungkin.Hari-hari kulalui dengan berat, dan perasaan sedih. Hanya, Oma dan Rania yang selalu memberi semangat. Menyadarkanku untuk senantiasa tegar, sebab satu masalah yang terjadi bukan akhir dari segalanya.Dua kali gagal dalam rumah tangga dan satu kali batal bertunangan cukup membuatku trauma untuk kembali membuka hati pada seorang laki-laki. Bagiku saat ini, masa depan Rania adalah segalanya.Bukankah memulai semuanya dengan hal yang baru jauh lebih baik, dari pada mengingat-ingat masa lalu? Aku bersyukur sampai detik ini Tuhan masih mengizinkan, aku untuk membersamai, Oma di usi beliau yang semakin senja. Aku ingin lebih lama lagi merawatnya."Naya," panggil Oma saat aku tengah membereskan kamar, karena kebetulan hari ini libur."I
Aku mundur ke belakang, tubuh bergetar hebat. Sementara, tungkai kakiku begitu terasa lemas. Tidak percaya dengan yang barusan kulihat. Air mataku semakin deras mengalir bagai hujan yang tiba-tiba turun tanpa aba-aba, rasanya dada begitu sesak.Setelah merasa lebih tenang dengan menumpahkan tangis aku kembali melihat ke jendela, aku sudah tidak melihat, Doni lagi sepertinya sudah pergi. Begitu pun dengan Tante Alana sudah tak terlihat. Apa mereka juga sudah pergi?Saat tengah sibuk mencari keberadaan mereka, aku melihat, Dewa menuju mobil sepertinya sebentar lagi ia akan pergi, sekilas ia menatap ke arah jendela kamarku, buru-buru aku bersembunyi di balik gorden, aku tak sanggup melihatnya. Setelah dirasa cukup lama perlahan aku kembali menyingkap tirai gorden, mobil Dewa perlahan meninggalkan halaman rumah, dadaku semakin terasa sesak yang amat sangat bersama kepergiannya, yang sebenarnya tidak kuinginkan. Tetapi, aku bisa apa hanya bisa pasrah. Semoga ini jalan
Sementara itu, tanpa rasa bersalah Doni berjalan melewati aku dan Oma. Kedua tangannya ia masukkan dalam saku celana, sungguh gayanya seakan tidak terjadi sesuatu apapun."Doni, mau kemana kamu?" tanya Oma begitu melihat Doni hendak keluar kamar.Doni memutar tubuhnya. "Urusan saya sudah selesai," jawabnya santai."Apa maksudmu? Saya yakin kamu sengaja mengacaukan semua ini," geram, Oma.Doni hanya mengendikkan bahu dan tertawa."Saya akan melaporkan kamu ke polisi," ancam Oma.Doni menghentikan tawanya dan menatap serius ke arah, Oma."Jangan coba-coba mengancam, saya! Tentunya kamu tidak ingin, 'kan cucu kesayanganmu yang kini tengah beranjak remaja itu kenapa-kenapa?" ucap Doni santai tapi penuh ancaman.Seketika aku teringat, Rania. "Oma, biarkan saja dia pergi!" ucapku, karena aku tidak ingin mengambil resiko lelaki bre*gs*k sepertinya bisa saja melakukan apapun agar tujuannya tercapai.Mendengar perkataanku, Doni t
Dekorasi nuansa putih dengan perpaduan warna ungu menghiasi taman belakang. Para pelayan bagian konsumsi juga nampak sibuk dengan tugasnya masing-masing. Para tamu undangan juga mulai berdatangan.Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu datang juga, apa lagi kalau bukan hari pertunanganku dan Dewa. Perasaan gugup tidak bisa kutepiskan, padahal ini bukan kali pertama aku akan menikah.Berkali-kali aku mematut diri di depan cermin, mensugesti diri agar tidak gugup. Aku berbalik saat melihat pintu kamar terbuka. Oma tersenyum menatap ke arahku lalu berjalan mendekatiku."Oma ...." ucapku, aku pun duduk di sisi ranjang bersama Oma."Mudah-mudahan pernikahanmu kali ini langgeng ya, Sayang. Oma hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk kamu dan juga Dewa," ucap Oma sembari memegang tanganku."Aamiin ... Terima kasih, Oma itu sudah lebih dari cukup," jawabku tersenyum, lalu memeluk tubuhnya. Oma pun membalas pelukanku sembari mengusap-ngusap punggungku."
"Bentar ya, Nis! Saya angkat telpon dulu!""Cie yang ditelpon my sweet," goda Nisa saat aku permisi akan mengangkat telpon, namun aku hanya membalasnya dengan tersenyum."Assalamualaikum, iya ada apa, Wa?" tanyaku begitu sambungan telpon terhubung."Waalaikumsalam, sibuk gak?""Gak, nih baru habis meeting, dan mau makan sama, Nisa," jawabku sambil menoleh ke arah Nisa yang tidak jauh dariku."Ok, aku jemput kalian!""Em, kita ketemuan aja di tempat makan biasa," usulku."Ya udah kalau gitu, Assalamualaikum," ucap Dewa mengakhiri percakapan. Aku pun membalas salamnya dan mematikan ponsel.Aku dan Nisa pun langsung pergi menuju parkiran, lalu meluncur menuju tempat yang telah di janjikan bersama, Dewa."Mbak, emangnya gak apa-apa aku ikut? Gak ganggu?" tanya Nisa saat di dalam mobil."Apaan sih, Nis kamu itu udah kuanggap kayak adikku sendiri, jadi santai aja."Mendengar jawabanku, Nisa pun tersenyum. "
"Apa yang sedang kalian rencanakan?" tegasku, dengan menahan emosi, membuat wajah gadis itu semakin terlihat ciut."Bu-bu, Na-naya." Mita tergugup memyebutkan namaku. Sementara lelaki itu diam membisu, ia tertunduk. Langkahku semakin mendekat ke arah mereka."Ki-kita gak merencanakan apa-apa kok, Bu. Mungkin, Ibu salah dengar," ucap lelaki bernama Ammar itu membela."Diam kamu!" Bentakku dengan keras, membuat tubuhnya sedikit terlonjak."Aku sudah mendengar semuanya, dan kau! saya tidak menyangka kamu melakukan semua ini, aku pikir kamu sudah berubah," ucapku menunding wajah gadis yang masih berdiri tidak jauh dari Ammar."Saya bisa jelaskan semuanya, Bu. Semua ini salah paham," ucap Mita. Namun, aku tidak mempedulikannya."Aku bisa saja melaporkan kalian ke polisi dengan kasus tidak menyenangkan," ancamku penuh penekanan.Seketika Mita langsung memegang pergelangan tanganku memohon dan mengiba agar aku memaafkan kesalahannya.
Hari ini aku kembali bekerja seperti biasanya. Namun, pikiran tidak bisa konsentrasi, karena mengingat sikap mamanya, Dewa yang begitu terasa dingin terhadapku. Sejak tadi pagi sampai menjelang siang beberapa kali berkas yang kubuat salah, hingga terpaksa mengulang lagi.Setelah merasa terus-terusan salah, sejenak aku menenangkan diri bersandar di kepala kursi, dengan segelas air putih. Nampaknya butuh minuman coklat biar sedikit lebih rileks. Dengan segera aku mengambil gagang telpon dan menelpon bagian OB untuk minta di buatkan minuman coklat hangat.Tidak lama kemudian pesananku datang. "Ini coklat hangatnya, Bu," ucap salah satu OB kantor, Rina namanya."Oh iya, taruh saja di situ!" Aku menunjuk bagian ujung meja yang masih kosong.Dengan telaten Rina pun menaruh minumannya. "Terima kasih," ucapku sembari mengulas senyum.Rina pun mengangguk, lalu pamit keluar. Aku pun membalasnya dengan anggukan.Begitu minum coklat hangat, pikiran sedi