"Andai, Mas Bram tidak memberiku talak tiga tentu saja aku mau, Ma," jawabku memelankan suara. Aku yakin dengan begitu bertambahlah rasa penyesalan Mas Bram, juga Mama.
Suasana sejenak hening.
"Jangankan cuma membantu, Naya di perusahaan, bahkan jika anak Ibu adalah suami yang bertanggup jawab dan menyanyangi cucu saya, tentu saja aku sendiri yang akan menjadikannya direktur di salah satu perusahaan saya," ucap, Oma seperti orang yang tengah menyesal. Aku tidak tau, apa yang dikatakan Oma benar adanya atau hanya ingin membuat keluarga Mas Bram semakin bertambah menyesal, karena kehilangan kesempatan.
Mata Mama terbelalak mendengar ucapan, Oma. Sementara Mas Bram kulihat menelan saliva seperti orang yang sedang ngiler sesuatu.
"Di-direktur?" tanya Mas Bram terbata.
"Betul," jawab Oma singkat.
"Bu saya mohon, batalkan perceraian ini. Aku yakin Naya sama Bram masih saling mencintai, kita jangan jadi orang tua yang egois," ucap Mama terisak semb
Dewa dan Mas Bram sejenak saling tatap seperti film india yang sebentar lagi akan menari dan menyanyi. Namun, Dewa yang memang tidak suka basa-basi, kembali cuek dengan ciri khasnya dan mengajak kami untuk segera pulang."Ayo, Oma kita pulang!" ajak Dewa tanpa menghiraukanku. "Hei, kamu kenapa masih diam disitu apa mau tinggal di sini?" ketusnya."Samsul," panggil Oma saat Pak Samsul tengah menuju parkiran.Pak Samsul pun mendekat. "Terima kasih untuk kerja samanya," ucap, Oma sembari menyambut tangan Pak Samsul."Sama-sama, Bu. Senang bisa membantu," balas Pak Samsul."Terima kasih, Pak!" Aku pun ikut mengucapkan rasa terima kasih karena telah membantu sidang perceraian ini."Sama-sama, Mbak Naya. Kalau begitu saya pamit dulu, karena masih ada urusan yang harus saya selesaikan," pamit Pak Samsul. "Mari, Bu, Mbak!"Pak Samsul pun pergi menuju mobilnya yang terparkir tidak jauh dari mobil Dewa. Sementara Mas Bram masih berdiri di tempa
Usai meeting aku kembali ke ruanganku, dan duduk dikursi kebesaran. Setelah bercerai dengan Mas Bram, Oma benar-benar menyerahkan perusahaan untuk kukelola. Namun, Oma tidak lepas tangan begitu saja ia tetap memantau perkembangan perusahaan.Dengan masukan-masukan petinggi-petinggi perusahaan aku mulai paham dan mengerti apa yang mesti kulakukan sebagai pemimpin demi kemajuan perusahaan, seperti hari ini meeting berjalan dengan lancar dan memenangkan tender. Meski begitu tak lantas membuatku merasa puas karena masih banyak yang harus kupelajari. Untuk pertama kali, Dewa juga merasa bangga akan usahaku.Aku mengambil gelas di atas meja yang sudah terisi dengan air, lalu meneguknya dengan pelan, tiba-tiba aku teringat Mas Bram. Sejak kami bercerai hampir tiap hari ia datang ke rumah dengan alasan ingin bertemu Rania, di saat jam istirahat. Tak jarang ia juga datang di saat jam pulang kantor. Namun, sudah beberapa hari ini, Mas Bram tidak datang ke rumah baik siang atau p
Meira terlihat nampak syok mendapati tas dan bajunya basah, pelayan lelaki itu pun nampak panik dan ketakutan. Ia segera mengambil tisu untuk mengelap baju dan tas Meira."Eh, eh mau ngapain kamu?" cegah Meira bangkit sembari membersihkan sisa air di atas tasnya."Lo tau gak berapa mahalnya tas yang gue pakai, gaji Lo setahun aja gak bakalan bisa beli," bentak Meira dengan kesal.Eh, tunggu dulu itukan tas yang waktu itu? Dih belagu banget, Meira tas diskonan gitu aja dia bilang mahal pake buanget, terus pake ngerendahin orang lagi, bener-bener bikin geleng kepala itu orang."Ma-maf, Mbak," ucap pelayan itu dengan gemetar."Panggil bos, Lo biar Lo dipecat sekalian,""Jangan, Mbak. Saya tidak mau di pecat, saya sangat membutuhkan pekerjaan ini," jawab pelayan itu memelas."Kalau, Lo gak mau di pecat sekarang juga berlutut di kaki gue, minta maaf!" tegas Meira, sambil menyentakkan high heelnya di atas mar-mar. Seketika membuat pel
Tiba di kantor aku segera masuk ke dalam ruanganku, sementara Nisa kembali ke meja kerjanya.Baru saja masuk, sudah dikagetkan oleh seorang laki-laki yang tengah duduk dikursi kerjaku dengan posisi membelakangi."Si-siapa?" tanyaku dengan suara yang sengaja kukeraskan, takut kalau ternyata itu penjahat yang ingin menculikku.Lelaki itu langsung memutar kursinya, ternyata Dewa."Ngapain kamu di situ?" tanyaku kesal setelah mengetahui siapa orangnya."Dari mana aja, Lo? Lihat udah jam berapa?" tanyanya sambil menunjuk jam yang menempel di dinding.Aku menatap jam di dinding, astaga ternyata hampir dua setengah jam aku keluar, gara-gara perempuan sundal itu jadi telat balik ke kantor.Sebisa mungkin aku bersikap tenang," Mau tau aja urusan orang," ketusku pura-pura cuek, dan melangkah menuju kamar mandi, untuk mencuci muka dan berwudu.Usai berwudu aku pun segera keluar, kulihat Dewa masih berdiri di dekat meja menatapku sembari m
"Bisa gak sih gak usah ngagetin orang, kalau aku jantungan terus mati gimana?" gerutuku kesal dengan panggilan Dewa tiba-tiba.Bukannya minta maaf, Dewa malah tersenyum. "Kalau, Lo mati ya tinggal kuburin susah amat!" jawabnya santai, kurang asem memang ini anak, bicara seenaknya saja. "Lagian ngapain sih dari tadi, Lo senyam-senyum?" tanyanya kemudian dengan alis terangkat. Membuatku terkejut, jadi dari tadi Dewa memperhatikan aku, Oh May God, kurang kerjaan banget."Em ... Mau tau aja urusan orang," jawabku terbata."Khem ... Atau jangan-jangan, Lo punya rencana jahat ya, gara-gara ditinggal nikah mantan," tebaknya sembari menatapku dengan memicingkan sebelah mata."Enak aja, ya e-enggaklah, kalau ngomong suka benar, eh maksudnya asal aja," jawabku kesal. Duh, kok jadi keceplosan. Lagian Dewa ngapain sih pake merhatiin aku segala."Dah lah ayo pergi!" ajak Dewa, mengalihkan pembicaraan."Kemana?"Dewa menoyor kepalaku, membuat
"Me-meira, kenapa kamu bisa ada di sini, Nak? Terus kenapa kamu pakai baju seperti itu?" Lelaki itu tak kalah terkejut melihat Meira, dengan dandanan pengantin. Belum sempat, Meira menjawab. Tiba-tiba Mas Bram datang bertanya pada, Meira."Papa? Siapa yang kamu sebut Papa ?"Meira semakin terlihat panik, wajahnya menjadi pucat pasi seperti mayat mendengar pertanyaan dari Mas Bram yang datang tiba-tiba."Dan kamu, siapa kamu? Kenapa Meira bisa menyebut kamu dengan sebutan Papa?" Mas Bram menunjuk ke arah Pak Rudi supir pribadi di rumah Oma."Mas, aku bisa jelasin semuanya," ucap Mita dengan wajah panik, sembari berusaha memegang tangan Mas Bram."Apa yang kamu sembunyikan dari, Mas. Meira?" tanya Mas Bram dengan suara tertahan.Meira nampak terkejut melihat, Mas Bram begitu emosi, rahangnya mengeras. Membuat wajah Meira nampak pias, dan terdiam."Meira ...." panggil Mas Bram."Kamu tau, Mas siapa ini?" Akhirnya aku ikut bi
"Maafkan anak saya, Non!" ucap Pak Rudi merasa tak enak. "Selama ini saya tidak tau kalau ternyata, Meira begitu dan menjadi penyebab rumah tangga, Non hancur," sesal Pak Rudi, dengan wajah tertunduk."Tidak perlu minta maaf! Mungkin ini adalah jalan takdir rumah tanggaku, jadi Bapak tidak perlu merasa tak enak," jawabku berusaha membesarkan hati, ya bagaimanapun aku tidak bisa serta merta menyalahkan orang lain atas apa yang terjadi dalam hidupku, setiap orang punya jalan takdirnya masing-masing."Sekali lagi saya mohon maaf, Non! dan saya ingin mengundurkan diri sebagai supir pribadi keluarga, Non," ucap Pak Rudi masih dengan kepala tertunduk.Ucapan Pak Rudi tak urung membuatku terkejut, atas keputusan yang diambilnya. Namun, sebisa mungkin aku tetap harus bijak menghadapi semua ini."Bapak tidak perlu berhenti kerja hanya karena merasa tak enak, setiap orang akan menjalani takdirnya masing-masing, saya tidak menyalahkan anak, Bapak sepenuhnya. D
"Na-naya ... A-apa kabar? Kamu sudah pulang?" tanya terbata dan basa-basi."Ada apa perlu apa, Bu Ratna datang kemari?" tanyaku balik tanpa menjawab pertanyaannya.Wajah Bu Ratna yang tadi terlihat bahagia, kini menegang dan serius."Kedatangan, Mama kemari ada yang ingin, Mama sampaikan ke kamu!""Apa?" Sebenarnya aku penasaran, ingin bertanya banyak tentang mereka, tapi gengsi membuatku terpakasa menahan semua itu. "Khem ... Maksudku cepat katakan, jangan banyak basa-basi, aku sibuk," ucapku, berusaha untuk tegas."Em ... Bram dan Meira, mereka sudah bercerai dan, Bram ...""Itu bukan urusanku. Kalau, Tante datang kemari cuma buat ngasih tau itu, silahkan pulang! Dan, kalau Tante ingin aku dan Mas Bram kembali maaf-maaf saja!" tegasku kembali, memotong pembicaraan Bu Ratna dengan PD.What? Jadi Mas Bram sudah bercerai sama Meira, kok bisa? Sebenarnya dalam hati sangat penasaran mendengar kisah keluarga mantan suamiku itu, tetapi har
Usai subuh aku merapikan kamar, hari ini Dewa dan Keluarganya akan pulang ke Amerika setelah menginap beberapa hari di Indonesia.Aku bahagia meski akhirnya tidak bisa bersama setidaknya hubungan ini tetap berakhir dengan baik. Ya meski dalam hati masih ada rasa yang masih tertinggal, semoga itu menjadi doa kebahagian untuk, Dewa dan keluarganya.Hari ini aku juga berencana akan pergi ke pondok pesantren untuk mengunjungi, Rania. Saat aku tengah merapikan seprey yang baru kuganti, Nadifa datang."Mbak, lagi sibuk gak?" tanya Nadifa sembari membukan pintu, dan menampakkan bagian wajahnya."Gak nih, ada apa?" tanyaku balik."Boleh aku masuk?""Masuk aja!" ucapku.Nadifa pun masuk, dan langsung menghempaskan pantatnya di sisi ranjang. Aku pun ikut duduk di sisinya."Mbak, aku mau ngomong serius," ucap Nadifa sembari memutar tubuhnya menghadapku, lalu memegang tanganku."Mau ngomong apa sih, kayaknya serius banget?" ta
Setelah menempuh perjalanan lebih kurang 35 menit akhirnya aku tiba dirumah. Satpam yang jaga di depan segera membukakan pintu begitu melihat kedatanganku.Perlahan aku menghela nafas lalu membuangnya dengan masygul, ada perasaan tidak enak karena membuat, Oma menunggu. Begitu memasukkan mobil ke parkir aku langsung menuju pintu utama, Oma pasti sudah menungguku.Perlahan aku menekan handel pintu, berharap begitu melihat kepulanganku, Oma menyambut seperti biasanya, dengan senyuman meski kali ini aku telat.Namun, begitu pintu terbuka, mataku membulat melihat tamu yang sangat ini tengah berbincang dengan Oma di ruang tamu. Apa aku tidak salah lihat?Aku tertegun sesaat, bingung dari mana aku harus memulai kata, seseorang yang terkadang membuat rindu kini hadir kembali? Untuk apa? Aku masih menerka-nerka. Lalu perhatianku teralih pada seorang perempuan cantik dengan balutan busana muslimah menutupi seluruh tubuhnya kecuali muka, itulah yang kulihat.
Dua tahun telah berlalu sejak kejadian itu, sejak itu pula aku tidak lagi pernah bertemu, Dewa. Dia benar-benar melupakanku, dan pelan aku pun perlahan berusaha melupakannya, tidak mudah memang, tetapi bukan tidak mungkin.Hari-hari kulalui dengan berat, dan perasaan sedih. Hanya, Oma dan Rania yang selalu memberi semangat. Menyadarkanku untuk senantiasa tegar, sebab satu masalah yang terjadi bukan akhir dari segalanya.Dua kali gagal dalam rumah tangga dan satu kali batal bertunangan cukup membuatku trauma untuk kembali membuka hati pada seorang laki-laki. Bagiku saat ini, masa depan Rania adalah segalanya.Bukankah memulai semuanya dengan hal yang baru jauh lebih baik, dari pada mengingat-ingat masa lalu? Aku bersyukur sampai detik ini Tuhan masih mengizinkan, aku untuk membersamai, Oma di usi beliau yang semakin senja. Aku ingin lebih lama lagi merawatnya."Naya," panggil Oma saat aku tengah membereskan kamar, karena kebetulan hari ini libur."I
Aku mundur ke belakang, tubuh bergetar hebat. Sementara, tungkai kakiku begitu terasa lemas. Tidak percaya dengan yang barusan kulihat. Air mataku semakin deras mengalir bagai hujan yang tiba-tiba turun tanpa aba-aba, rasanya dada begitu sesak.Setelah merasa lebih tenang dengan menumpahkan tangis aku kembali melihat ke jendela, aku sudah tidak melihat, Doni lagi sepertinya sudah pergi. Begitu pun dengan Tante Alana sudah tak terlihat. Apa mereka juga sudah pergi?Saat tengah sibuk mencari keberadaan mereka, aku melihat, Dewa menuju mobil sepertinya sebentar lagi ia akan pergi, sekilas ia menatap ke arah jendela kamarku, buru-buru aku bersembunyi di balik gorden, aku tak sanggup melihatnya. Setelah dirasa cukup lama perlahan aku kembali menyingkap tirai gorden, mobil Dewa perlahan meninggalkan halaman rumah, dadaku semakin terasa sesak yang amat sangat bersama kepergiannya, yang sebenarnya tidak kuinginkan. Tetapi, aku bisa apa hanya bisa pasrah. Semoga ini jalan
Sementara itu, tanpa rasa bersalah Doni berjalan melewati aku dan Oma. Kedua tangannya ia masukkan dalam saku celana, sungguh gayanya seakan tidak terjadi sesuatu apapun."Doni, mau kemana kamu?" tanya Oma begitu melihat Doni hendak keluar kamar.Doni memutar tubuhnya. "Urusan saya sudah selesai," jawabnya santai."Apa maksudmu? Saya yakin kamu sengaja mengacaukan semua ini," geram, Oma.Doni hanya mengendikkan bahu dan tertawa."Saya akan melaporkan kamu ke polisi," ancam Oma.Doni menghentikan tawanya dan menatap serius ke arah, Oma."Jangan coba-coba mengancam, saya! Tentunya kamu tidak ingin, 'kan cucu kesayanganmu yang kini tengah beranjak remaja itu kenapa-kenapa?" ucap Doni santai tapi penuh ancaman.Seketika aku teringat, Rania. "Oma, biarkan saja dia pergi!" ucapku, karena aku tidak ingin mengambil resiko lelaki bre*gs*k sepertinya bisa saja melakukan apapun agar tujuannya tercapai.Mendengar perkataanku, Doni t
Dekorasi nuansa putih dengan perpaduan warna ungu menghiasi taman belakang. Para pelayan bagian konsumsi juga nampak sibuk dengan tugasnya masing-masing. Para tamu undangan juga mulai berdatangan.Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu datang juga, apa lagi kalau bukan hari pertunanganku dan Dewa. Perasaan gugup tidak bisa kutepiskan, padahal ini bukan kali pertama aku akan menikah.Berkali-kali aku mematut diri di depan cermin, mensugesti diri agar tidak gugup. Aku berbalik saat melihat pintu kamar terbuka. Oma tersenyum menatap ke arahku lalu berjalan mendekatiku."Oma ...." ucapku, aku pun duduk di sisi ranjang bersama Oma."Mudah-mudahan pernikahanmu kali ini langgeng ya, Sayang. Oma hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk kamu dan juga Dewa," ucap Oma sembari memegang tanganku."Aamiin ... Terima kasih, Oma itu sudah lebih dari cukup," jawabku tersenyum, lalu memeluk tubuhnya. Oma pun membalas pelukanku sembari mengusap-ngusap punggungku."
"Bentar ya, Nis! Saya angkat telpon dulu!""Cie yang ditelpon my sweet," goda Nisa saat aku permisi akan mengangkat telpon, namun aku hanya membalasnya dengan tersenyum."Assalamualaikum, iya ada apa, Wa?" tanyaku begitu sambungan telpon terhubung."Waalaikumsalam, sibuk gak?""Gak, nih baru habis meeting, dan mau makan sama, Nisa," jawabku sambil menoleh ke arah Nisa yang tidak jauh dariku."Ok, aku jemput kalian!""Em, kita ketemuan aja di tempat makan biasa," usulku."Ya udah kalau gitu, Assalamualaikum," ucap Dewa mengakhiri percakapan. Aku pun membalas salamnya dan mematikan ponsel.Aku dan Nisa pun langsung pergi menuju parkiran, lalu meluncur menuju tempat yang telah di janjikan bersama, Dewa."Mbak, emangnya gak apa-apa aku ikut? Gak ganggu?" tanya Nisa saat di dalam mobil."Apaan sih, Nis kamu itu udah kuanggap kayak adikku sendiri, jadi santai aja."Mendengar jawabanku, Nisa pun tersenyum. "
"Apa yang sedang kalian rencanakan?" tegasku, dengan menahan emosi, membuat wajah gadis itu semakin terlihat ciut."Bu-bu, Na-naya." Mita tergugup memyebutkan namaku. Sementara lelaki itu diam membisu, ia tertunduk. Langkahku semakin mendekat ke arah mereka."Ki-kita gak merencanakan apa-apa kok, Bu. Mungkin, Ibu salah dengar," ucap lelaki bernama Ammar itu membela."Diam kamu!" Bentakku dengan keras, membuat tubuhnya sedikit terlonjak."Aku sudah mendengar semuanya, dan kau! saya tidak menyangka kamu melakukan semua ini, aku pikir kamu sudah berubah," ucapku menunding wajah gadis yang masih berdiri tidak jauh dari Ammar."Saya bisa jelaskan semuanya, Bu. Semua ini salah paham," ucap Mita. Namun, aku tidak mempedulikannya."Aku bisa saja melaporkan kalian ke polisi dengan kasus tidak menyenangkan," ancamku penuh penekanan.Seketika Mita langsung memegang pergelangan tanganku memohon dan mengiba agar aku memaafkan kesalahannya.
Hari ini aku kembali bekerja seperti biasanya. Namun, pikiran tidak bisa konsentrasi, karena mengingat sikap mamanya, Dewa yang begitu terasa dingin terhadapku. Sejak tadi pagi sampai menjelang siang beberapa kali berkas yang kubuat salah, hingga terpaksa mengulang lagi.Setelah merasa terus-terusan salah, sejenak aku menenangkan diri bersandar di kepala kursi, dengan segelas air putih. Nampaknya butuh minuman coklat biar sedikit lebih rileks. Dengan segera aku mengambil gagang telpon dan menelpon bagian OB untuk minta di buatkan minuman coklat hangat.Tidak lama kemudian pesananku datang. "Ini coklat hangatnya, Bu," ucap salah satu OB kantor, Rina namanya."Oh iya, taruh saja di situ!" Aku menunjuk bagian ujung meja yang masih kosong.Dengan telaten Rina pun menaruh minumannya. "Terima kasih," ucapku sembari mengulas senyum.Rina pun mengangguk, lalu pamit keluar. Aku pun membalasnya dengan anggukan.Begitu minum coklat hangat, pikiran sedi