Greta menjatuhkan dirinya di sofa panjang kala baru saja tiba di kosan. Tiba-tiba saja irisnya menangkap suatu pemandangan yang janggal. Sepasang sepatu perempuan berada di antara sepatu miliknya di rak dekat dengan pintu masuk.
"Sepatu milik siapa, ya?" tanyanya dalam hati. "Aku merasa tidak memiliki sepatu model itu."Ternyata bukan hanya itu, meja makan terlihat berantakan dengan beberapa sisa lauk. Serta wastafel berisi piring dan gelas kotor dibiarkan begitu saja."Calvin," panggil Greta kala mendapati sahabatnya itu berada di ruang santai bersama perempuan asing."Grey, kau sudah pulang?" Calvin menghampiri Greta kemudian mengajaknya bergabung bersama. "Aku ingin mengenalkan seseorang padamu."Greta menghela napas. Ruang santai yang semula bersih, kini berantakan dengan berbagai macam makanan. Beberapa snack juga berceceran di lantai."Grey, kenalkan dia Lidya, kekasihku. Lid, dia Greta, sahabatku." Calvin memperkenalkan keduanya.Greta terkejut manakala sahabatnya itu untuk pertama kalinya membawa perempuan lain ke kosan. Dia juga tidak pernah tahu kalau Calvin sedang dekat dengan perempuan."Baiklah. Kalian lanjut saja. Aku ke kamar dulu. Selamat bersenang-senang." Greta mengumbar senyum termanisnya meski terpaksa.Selesai membersihkan diri dan berganti pakaian, Greta tak berniat merapikan seisi ruang di kosan. Lagi pula bahan makanan di lemari es sudah habis, lebih baik mencari makanan di luar kosan.Greta memutuskan ke mini market karena jaraknya paling dekat dengan kosan. Beruntung, mereka menyediakan air panas di mesin dan beberapa topping sebagai pendamping mie. Greta mengambil mie favoritnya serta beberapa topping, telur, lobak, dan kimchi."Mie ramen dengan telur setengah matang, siap disantap," gumamnya seraya tersenyum. Dia benar-benar lapar sekali.Tanpa berlama-lama, Greta langsung mengambil tempat dekat jendela dan melahap mie tersebut. "Aww ... Panas," liirihnya sembari mengibas-ngibas bibirnya dengan tangan."Pelan-pelan makannya," ujar seseorang, mengambil tempat di hadapan Greta.Bola mata Greta membulat. Dia terkejut lelaki yang dikenalnya tiba-tiba berada di hadapannya."Pak Jerico?" Greta menyebut nama lelaki itu dengan tampang aneh. "Bapak kenapa berada di sini?" Greta merasa kalau atasannya selalu mengikuti ke manapun dia pergi."Panggil aku, Jerico. Sekarang berada di luar kantor, kan?" Dia terus menatap Greta hingga perempuan itu salah tingkah. "Aku hanya lewat dan mampir cari makan. Kebetulan aku melihatmu sendirian.""Ya ... tidak ada makanan di kosan, jadi aku ke sini." Greta kembali melahap mienya meski diliputi suasana canggung."Kau tinggal sendiri?" Jerico ikut melahap nasi dan chicken katsu miliknya."Tidak. Aku tinggal bersama sahabatku. Biasanya dia yang masak, tapi malam ini sedang tidak." Greta terkekeh."Oh gitu. Apa perlu kukirimkan asisten rumah tangga?""Ah ... Jangan!" tolak Greta secepat kilat. "Maksudku, aku tidak ingin merepotkan orang lain.""Orang lain?" ucap Jerico miris dalam hati. "Sekarang kau bisa menyebutku orang lain, Greta. Tapi nanti ... aku akan membuatmu bertekuk lutut padaku," lanjutnya.***"Kau dari mana saja?" tegur Calvin. Dia keluar kamar begitu mendengar suara pintu terbuka dan tertutup.Greta meletakan jaketnya di tempat gantungan sambil memasang wajah cuek. "Cari makan. Apa dia sudah pulang?" Dia edarkan pandangannya namun kekasih dari Calvin tersebut tak tampak batang hidungnya. Justru dia mendapati tempat-tempat yang kotor tadi, belum juga dibersihkan.Calvin paham siapa yang dimaksud Greta. "Sudah. Dia menolak diantar.""Aku ingin bicara padamu." Greta berjalan meju ruang santai dan menjatuhkan dirinya di sana. Sedangkan Calvin mengikutinya di belakang. "Dari pagi tadi, aku tidak melihat mobil kita terparkir di depan? Ke mana?"Calvin terdiam. Dia kebingungan kalimat apa yang ingin dia ucapkan. Sebab mulanya dia tak sampai berpikir jika Greta menyadarinya begitu cepat."Be-begini, Grey. Sebenarnya mobil itu sudah kujual." Calvin yakin Greta akan sangat marah padanya."Kau jual? Astaga untuk apa!" Bola mata Greta nyaris keluar dari tempatnya. Dia sangat marah karena mobil itu adalah mobil kesukaannya.Melihat emosi Greta mulai meradang, Calvin berusaha menjelaskan pelan-pelan. "Aku jual karena Lidya butuh uang untuk biaya operasi ibunya di rumah sakit."Greta memijat dahinya yang pening. "Aku tak masalah kau membantu orang lain. Tapi tidak dengan menjual mobil! Dan yang paling buatku kesal, kau tidak mengajakku berdiskusi dulu. Kau tahu, kan, kita sama-sama mengumpulkan uang untuk membelinya?""Aku tahu, Grey. Aku minta maaf kalau tidak bicarakan soal ini padamu terlebih dahulu, keadaannya sudah mendesak." Calvin terus berusaha agar Greta tidak marah padanya. "Lagi pula, kau juga tidak bisa menyetir mobil dan jarang dipakai, kan?"Perkataan terakhir Calvin seakan menampar Greta. Memang, dirinya tidak bisa menyetir mobil. Namun bukan berarti lelaki itu bisa melakukan apapun seenaknya."Baiklah. Terserah kau saja. Lakukan apa pun sesukamu." Greta beranjak dari sofa lalu melengos pergi ke kamar. Dia enggan berdebat lama-lama.***Aroma masakan menguar dan menusuk indera penciuman Greta. Dia baru saja selesai menghiasi wajahnya dengan make up natural. Sambil menenteng tasnya, Greta keluar kamar tanpa menoleh ke dapur ataupun meja makan."Kau sudah mau berangkat?" tegur Calvin. Dia menghampiri Greta dengan masih mengenakan apron. "Sarapan dulu, Grey. Aku sudah masak nasi goreng kesukaanmu.""Aku sarapan di kantor saja," ucap Greta seraya memakai sepatu kerjanya."Kalau begitu, tunggu sebentar! Aku siapkan bekal untukmu."Calvin berlari ke dapur, mengambil tupperware, dan ke meja makan. Namun sebelum semuanya selesai disiapkan, dia mendengar suara pintu terbuka. Greta sudah pergi tanpa membawa bekalnya.Setibanya di kantor, Greta disuguhi oleh pemandangan dua sejoli yang sedang bermesraan. Siapa lagi kalau bukan Mega dan Satria."Duuuhhh ... Pagi-pagi udah bikin iri aja deh," kata Greta menyindir dua sejoli itu yang sedang suap-suapan.Mega terkekeh. "Mau? Iri bilang, sayang," lanjutnya meledek."Makanya cari pacar dong," timpal Satria ikut mengompori.Greta memandang keduanya dengan sinis. "Menyebalkan sekali. Lihat saja nanti kalau aku sudah punya pacar," ucapnya dengan sombong."Okelah, baik. Kita tunggu kabar baiknya. Iya kan, Sat?" Mega menengadah ke atas lalu diberi anggukan oleh satria.Baru saja ingin mengomentari kedua pasangan itu, seseorang tiba-tiba muncul bersama asistennya. Greta memberi kode pada kedua temannya melalui mata jika atasan mereka sudah tiba. Mereka pun melirik melalui ekor mata dan langsung panik."Gosip lagi? Kalian ini benar-benar tidak ada kerjaan lain?" ucap Jerico sambil memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku celana. "Satria, kau masih di sini?""Eh, iya, Pak. Ini saya baru mau balik ke meja saya. Permisi." Satria pun langsung terbirit-birit kembali ke tempatnya."Hmmm ... Greta." Yang dipanggil menoleh. "Cek email kamu. Saya minta data-data semuanya dengan lengkap. Setelah selesai, antarkan ke ruangan saya," titah Jerico."Baik, Pak. Segera saya kerjakan." Greta mengecek langsung emailnya melalui komputer. Moodnya hari ini lagi tidak bagus, mengundang Jerico curiga.Jerico menutup sebagian jendela kaca ruang kantornya. "Sudah kau laksanakan apa yang kuperintahkan?""Aku sudah memulainya kemarin dan seperti yang kau mau, mereka bertengkar." Marko menjelaskan tugas awalnya."Bagus. Ini baru awal, pastikan salah satu dari mereka keluar dari kosan tersebut dan biarkan mereka terus bertengkar," perintah Jerico dengan wajah sumringah.Tiba-tiba saja, suara ketukan pintu terdengar. Jerico kembali membuka jendela kaca yang sebelumnya tertutup. Terlihat Greta di depan sana dengan membawa beberapa map di tangan.Greta masuk ke dalam ruangan usai dipersilakan. Akan tetapi baru beberapa melangkah, perempuan itu kehilangan keseimbangan. Dia ambruk tak sadarkan diri."Kalian siapa?" Greta mengerjap-ngerjapkan matanya usai sadarkan diri. Dia terkejut mendapati beberapa lelaki berpostur besar berada satu ruangan bersamanya. "Di mana aku?""Nona, tenanglah. Kau berada di rumah sakit karena sebelumnya pingsan." Salah satu dari lelaki tersebut menjawab.Greta berusaha mengingat apa yang telah terjadi sebelumnya. Terakhir kali yang dia ingat sedang berada di kantor, membawakan beberapa map untuk diberikan pada atasannya. Setelahnya dia tidak mengingat apapun lagi."Gret," seru lelaki berstelan jas yang tiba-tiba datang dan langsung memeluk erat perempuan itu. "Akhirnya kau bangun. Aku sangat mengkhawatirkanmu."Yang dipeluk merasakan napasnya sedikit sesak. "Ma-maf, Pak. Apa ini tidak berlebihan? A-aku baik-baik saja."Jerico melepas pelukannya. "Dasar ceroboh! Kau memiliki penyakit lambung, kenapa tidak sarapan?"Greta bingung kenapa atasannya bisa tahu jika dia memiliki sa
"Wajahmu kenapa redup sekali pagi ini? Seolah matahari berhenti bersinar," ucap Mega sambil menyuap sesendok bubur ke dalam mulutnya. Greta merebahkan tubuhnya di kursi serta membuang napasnya perlahan. "Aku hanya tidak bisa tidur semalaman." "Ada yang kau pikirkan?" "Yah ... kenapa hidupku rumit sekali." Greta mengeluhkan dirinya sendiri. "Kau sudah sarapan? Jangan sampai seperti kemarin. Kau membuatku khawatir." Greta terkekeh. "Tenang saja, Calvin membuatku sarapan pagi tadi. Maaf telah membuatmu khawatir." "Omong-omong saat kau pingsan kemarin, Pak Jerico langsung menggendongmu. Dan kau tahu? Wajahnya langsung panik dan khawatir." "Yang benar saja, Meg. Dia seorang CEO mana mungkin repot-repot menggendong karyawannya." Greta berpikir jika karyawan lainnyalah yang menggendongnya. "Astaga, dia tidak percaya. Aku rasa Pak Jerico benar-benar sangat menyukaimu. Karena kalau tidak, dia tida
Hari ini adalah weekend di hari sabtu. Sejak pagi tadi Calvin, Greta, dan Lidya memutuskan untuk lari pagi bersama. Usai berlari berkilo-kilo meter, ketiganya berhenti di sebuah taman untuk beristirahat.Greta membeli dua botol air mineral, satu untuk dirinya dan satu untuk Calvin. Namun saat dia ingin memberikannya pada lelaki itu, Lidya sudah lebih dulu memberikan minuman pada Calvin.Greta tersenyum miris lantas meremat satu botol yang dipegangnya. "Bodoh sekali. Aku lupa kalau Calvin telah memiliki Lidya," ucapnya pelan."Jangan merasa kalau kau sendirian," ujar seseorang yang tiba-tiba datang dan mengambil satu botol yang dipegang Greta. "Kau punya aku. Aku selalu siap kapan aja jika kau membutuhkanku." Kemudian dia meminumnya."Pa-pak Jerico?" Greta mengedip-ngedipkan matanya. "Bapak sedang apa di sini?""Bapak lagi. Susah sekali, ya, menyebut namaku?" Jerico mengusap dagunya sembari berpikir. "Kira-kira panggila
"Grey, kau baik-baik saja?" Calvin berlari menghampiri Greta yang baru saja tiba di kosan. "Berjam-jam kau tidak sadarkan diri di rumah sakit. Aku mengkhawatirkanmu."Aku baik-baik saja, Vin. Hanya sakit kepala biasa." Greta terkekeh lantas masuk ke dalam dan mengajak Jerico untuk mampir. "Kau sedang masak apa?""Ramen. Lidya ingin makan ramen buatanku. Berhubung kalian sudah pulang, aku akan memasak untuk kalian juga," kata Calvin kembali ke dapur diikuti Greta juga Jerico di belakang."Izinkan aku memasak untuk Greta." Tanpa persetujuan sang pemilik kosan lebih dulu, Jerico mulai mengambil pisau."Hey, aku belum mengizinkanmu," protes Calvin tak terima barang-barangnya disentuh lagi oleh Jerico. Ini kedua kalinya lelaki itu memasak di kosan Greta."Biarkan saja, Vin." Greta menggelengkan kepala sambil tertawa. "Aku tunggu di kamar. Masak yang enak, ya, kalian berdua."Greta menyeret kakinya menuju kamar.
"Greeeeyyyy," teriak Calvin. Dia sudah rapi dengan kemeja dan celana jeans."Yaaaa ... ada apa, Vin?" sahut Greta. Dia keluar dari kamar dengan kaos lengan pendek dan hotpants. Rambut basahnya pun ditutupi dengan handuk. "Kalian berdua sudah rapi? Mau ke mana?""Aku ingin mengajak Lidya jalan-jalan berdua," ucapnya sembari menatap Lidya dan tersenyum."Oh, gitu. Baiklah, kau tenang saja aku akan jaga kosan. Kalian bersenang-senang saja.""Hati-hati, kalau ada apa-apa langsung hubungi aku. Kami berangkat," kata Calvin dengan raut wajah senangnya.Mereka sudah pergi. Sedangkan Greta terlihat miris sendirian berada di kosan. Calvin tidak lagi mengajaknya jalan-jalan. Seharusnya Greta tahu itu. Tapi kenapa masih berharap?Calvin sudah tidak butuh dirinya. Lagi pula, Greta sudah merasa tidak nyaman di kosan. Semalam dia sudah memikirkan matang-matang kalau dia harus pindah dari kosan. Lebih baik dia mencari kos
"Greeeyyy ...." Calvin mengetuk pintu kosan yang terkunci. Dia dan Lidya baru saja pulang dari jalan-jalan. "Apa Grey pergi keluar?""Mungkin saja dia mencari makanan di luar," kata Lidya. "Kau memiliki kunci cadangan, kan?""Ya, aku memilikinya." Calvin mengambil kunci tersebut di saku celana kemudian membuka pintu."Aku ke kamar dulu." Ucapan Lidya langsung diberi anggukkan oleh Calvin.Sebenarnya ada perasaan khawatir yang bersarang di hati Calvin. Sepanjang perjalanan pulang tadi, dia terus memikirkan Greta. Dia takut jika perempuan itu terjadi sesuatu."Viiiiinnn ...," teriak Lidya dari dalam kamar hingga lamunan Calvin buyar.Calvin langsung berlari. "Ada apa, Lid?""Pakaian dan semua barang-barang Greta tidak ada. Sepertinya dia pergi dari sini."Calvin panik. Dia mengecek isi lemari dan sudut-sudut tempat biasa Greta menempatkan barang-barangnya, semuanya tidak ada. Buru-b
"Yasmin, apa yang kau lakukan pada Greta?" Mega geram karena rekan kerjanya itu tiba-tiba menampar Greta."Itu karena salahnya! Kenapa dia datang bersama Pak Jerico?" Kedua mata Yasmin melebar dan tangannya mengepal."Kenapa kau marah pada Greta? Suka-suka Pak Jerico ingin datang bersama siapa ke kantor." Amarah Mega ikut tersulut.Keributan yang terjadi di meja sekretaris, mengundang banyak pasang mata untuk menontonnya. Beberapa dari mereka mengetahui jika Yasmin menyukai Jerico sejak lelaki itu dinobatkan menjadi CEO perusahaan Louise Group."Karena aku menyukai Pak Jerico," ucap Yasmin dengan jujur."Sudah, hentikan! Yasmin, sebaiknya kau kembali ke tempat kerjamu." Greta angkat bicara."Kau tidak berhak memerintahkanku, memangnya kau siapa?""Terserah kau saja. Aku hanya mengingatkan sebelum Pak Jerico datang menegurmu." Greta malas sekali meladeninya.Pintu ruangan Jerico te
"Kenapa kau pulang lebih dulu?" Jerico protes ketika langsung masuk apartemen dan menemukan Greta sedang asyik menonton film. "Tak bisakah kau menungguku?""Bukankah kau masih meeting? Lagi pula aku tidak ingin menjadi sorotan karyawan lainnya lagi." Greta berkata tanpa mengalihkan pandangannya pada layar di depannya."Kau tidak senang? Kalau begitu besok aku akan mengumumkan hubungan kita di depan mereka. Supaya kau bisa leluasa dan tidak risih lagi." Jerico melenggang pergi ke kamar usai mengucapkan kalimatmya."Bukan itu maksudku, Kokooooo," teriak Greta. Dia mematikan televisi dan mengekori Jerico di belakang. "Aku tidak ingin mereka tahu, itu saja.""Bukankah kau tidak peduli dengan hubungan ini? Bahkan kau tidak menganggapku sebagai kekasihmu." Jerico melepas jasnya kemudian menggulung kemejanya sampai siku."I-iya. Tapi kau terus mendesakku dan membuatku was-was jika di kantor." Greta mengeluhkan sikap Jerico ya
"K-kau?" Greta terkejut saat seseorang itu berbalik badan. "Koko? Kenapa kau di sini?" Greta menghampiri Jerico di paviliun. "Jadi, Tuan Besar yang dimaksud Rita itu, kau?""Memangnya kenapa? Kau tidak suka aku berada di sini? atau kau mengharapkan orang lain?" Jerico berkata dengan dingin.Greta menggeleng cepat. "Bukan begitu. Aku justru lega kalau Tuan Besar itu adalah kau. Aku benar-benar ketakutan. Aku takut jika ternyata Marko menjualku pada lelaki hidung belang."Jerico menarik Greta ke dalam pelukannya. "Aku tidak akan membiarkan itu semua terjadi padamu.""Lalu kenapa kau melakukan ini semua padaku?" ucap Greta manja masih berada dipelukan lelaki itu."Aku melakukannya karena merindukanmu. Kau tidak merindukanku memangnya?" Jerico melepas pelukannya."Tentu saja aku merindukanmu. Kau yang lebih dulu cuek dan tak peduli padaku. Sampai-sampai aku tak menyangka, kau mengenalkan Shena di depan para karyawan." Greta memukul dada Jerico karena kesal."Bukankah, kita telah setuju so
Suara ketukan pintu kamar membuat Greta bangkit dari duduknya. Pintu tersebut akhirnya terbuka. Dia mendapati pelayan itu membawakan sebuah nampan berisi makanan."Makan siangmu sudah siap. Nona harus makan dulu," ucap pelayan seraya memberikan nampan tersebut pada Greta."Aku tidak mau makan," tolak Greta. Dia tidak mengambil nampan itu justru memalingkan wajahnya."Ini perintah. Kalau Nona tidak mau makan, mereka bisa melakukan apa saja padamu." Dua orang bodyguard dengan tubuh kekar masuk ke dalam kamar.Bulu kuduk Greta merinding saat kedua bodyguard itu menatapnya tajam. "Oke, baiklah. Letakan saja itu di nakas. Nanti aku akan memakannya."Pelayan tersebut menuruti perintah Greta. "Kalau Nona tidak memakannya, Nona tahu, kan, akibatnya?"Greta memutar kedua bola matanya jengah. "Iya, aku mengerti.""Baiklah, kami permisi dulu." Baru saja ingin keluar kamar, pelayan itu dicegah Greta lebih dulu."Tunggu! Siapa namamu?" tanya Greta. Dia tahu kalau pelayan itu sebenarnya baik hati d
Mobil yang dikendarai Marko tiba di sebuah rumah mewah. Dia turun lebih dulu dan berbicara pada salah satu bodyguard yang berjaga di sekitaran rumah. Kemudian dia kembali lagi ke mobil serta memerintahkan Greta keluar.Greta tampak kebingungan kenapa lelaki itu membawanya ke sana. Dia pikir Marko mengajaknya bertemu dengan klien, tapi ternyata tidak. Ketakutan yang dia rasakan mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. Perasaannya pun tak enak."Aku tidak bisa menemanimu ke dalam," ucap Marko. "Tugasku hanya mengantarkanmu ke tempat ini.""Maksudmu ... kau meninggalkanku sendiri? Di tempat asing ini?" Greta panik. Dia tidak mengerti kenapa Marko mengajaknya ke tempat itu."Maafkan aku, Ta. Tapi kau tak perlu khawatir dan takut, kau hanya perlu menurut dengan perintah mereka semua. Maka kau akan tahu jawabannya.""Sebenarnya ada apa? Kenapa berbelit-belit? Katakan saja langsung ke intinya." Bukannya tenang, Greta semakin panik dengan ucapan Marko."Aku tidak bisa memberitahukanmu. Percayalah,
"Kalau begitu minggu depan kalian akan bertunangan," kata Papa David memberikan keputusan secara sepihak."Apa?" Jerico dan Shena berucap bersamaan."Kenapa? Ada apa?" Papa David heran dengan Jerico dan Shena. Bukankah mereka sudah setuju?"Apa tidak terlalu cepat, Om?" Shena protes dengan keputusan Papa David."Papa tidak ingin menundanya lama-lama lagi. Lebih cepat lebih baik," ucap Papa David dengan tegas. "Papa juga tidak ingin kau berhubungan dengan sekretaris itu lagi."Kedua mata Jerico menatap Papa David dengan tajam. "Papa tahu dari mana aku memiliki hubungan dengan Greta?""Mudah saja bagi Papa untuk mencari tahu. Lagi pula Papa juga sudah menemui dan bicara padanya agar menjauhimu." Papa David menghembuskan napasnya. "Dengar, Jer. Dia tidak pantas untukmu. Dia tidak sebanding dengan keluarga kita.""Papa tidak berhak menilai Greta seperti itu. Meskipun sederhana tapi dia perempuan yang baik dan istimewa," sanggah Jerico. Dia tidak terima jika Papanya merendahkan Greta. "Aku
"Saya ingin memberitahukan informasi kalau ...." Jerico menggantungkan kalimatnya ketika melihat Greta di barisan paling belakang. Jerico berdeham seraya melingkarkan tangannya pada pinggang seseorang di sampingnya. "Kalian bisa melihat perempuan yang bersama saya, dia Shena, calon pendamping saya."Terdengar sorak sorai dari para karyawan. Di antara mereka ada yang memberikan selamat serta mendoakan agar hubungan keduanya langgeng. Bahkan beberapa ada yang tidak suka."Baiklah, itu saja. Silakan kembali ke meja kalian masing-masing," sambung Jerico.Jerico melangkah sembari menggandeng Shena menuju ruangannya. Dia melewati Greta begitu saja tanpa menoleh sedikit pun. Sikap Jerico yang dingin, sangat menyakitkan bagi Greta. Dia paham bahwa ini adalah konsekuensi dari keputusannya. Hubungannya dengan Jerico menjadi meregang."Kau tidak protes dengan Pak Jerico? Dia sudah berani memperkenalkan perempuan itu di hadapan para karyawan. Seharusnya yang berada di sana tadi adalah kau, Ta." M
"Siapa sebenernya perempuan itu?"Penasaran dengan apa yang dilihatnya, Greta memegang knop pintu dan membuka lebar dengan perlahan. Kedua mata Greta membulat kala seorang perempuan asing berada di kamar kekasihnya."Kau siapa?" tanya Greta langsung membuat perempuan itu beranjak dari tempat tidur. "Ada hubungan apa kau dengan Jerico?""Greta? Emmm ... aku Shena." Perempuan yang bernama Shena itu langsung menutup mulutnya. Dia melirik Jerico memberikan tanda bahwa dirinya keceplosan. Dia baru saja diberi tahu jika Greta mengalami amnesia."Kau tahu namaku? Padahal sebelumnya aku belum pernah bertemu dan kenal padamu." Greta menatap Shena heran."Ah, itu ... Jerico memberitahukanku jika dia sebenarnya telah memiliki kekasih bernama Greta. Aku langsung berpikir itu kau." Shena beralasan padahal dulu dia sempat mengenal Greta sebelum amnesia.Greta mengalihkan atensinya pada Jerico yang terbaring di kasur. Lelaki itu memandang ke depan tanpa memedulikan dirinya berada di sana. Sejak tadi
Lagi-lagi hari ini Greta tidak semangat masuk kerja. Padahal hari ini adalah hari senin dan sudah hampir jam makan siang. Entah karena Jerico tidak masuk ke kantor atau karena keputusannya kemarin. Tapi yang jelas, setelah dia mengatakan keputusanya Jerico langsung mendiamkannya hingga pagi tadi."Kau mau ikut makan siang bersama kami, Ta?" Mega telah disusul Satria untuk makan siang bersama."Kalian saja yang pergi. Aku sudah pesan lewat online." Greta sedang malas keluar dari kantor. Terlebih suasana hatinya yang campur aduk."Baiklah kalau gitu kami duluan." Mega dan Satria beranjak pergi dari sana.Sepeninggal Mega dan Satria, bersamaan itu pula seorang resepsionis datang ke meja Greta dengan membawa makanan yang dia pesan secara online. Dia mengucap terima kasih sebelum akhirnya resepsionis itu pergi."Biar bagaimanapun aku harus tetap makan," ucap Greta dalam hati. Dia memasukan makanannya ke dalam mulut.Greta akui tanpa kehadiran Jerico di kantor, suasana menjadi sepi. Tak ada
Greta mendorong troli menuju rak berisi sayuran ketika tiba di All Fresh. Sedangkan Jerico mengikuti saja kemana perempuan itu melangkah. Beberapa sayuran seperti wortel, kubis, kangkung, kacang panjang, bayam, dan lainnya dia pindahkan ke troli.Setelah itu Greta berpindah pada buah-buahan. Sekilas dia mengamati gerak-gerik Jerico yang gelisah. Lagi-lagi lelaki itu kelihatan sedang banyak pikiran."Kau kenapa? Ada yang mengganggu pikiranmu?" Greta menegur Jerico dengan pertanyaan."Tidak. Hanya saja, tiba-tiba tubuhku terasa enak." Jerico memegang pundaknya yang sakit."Kau sakit, Ko? Kenapa tidak bilang sebelumnya?" Greta merasa bersalah karena tidak menyadari jika kekasihnya itu sakit sejak di apartemen tadi. "Kita pulang saja, ya?"Jerico menggeleng lemas. "Tidak. Kita lanjutkan saja," ucapnya memaksakan diri. Padahal kepalanya mulai ikut sakit."Kesehatanmu lebih penting. Aku tidak ingin terjadi sesuatu padamu, Ko." Greta menarik tangan Jerico dan meninggalkan troli berisi sayura
Greta kembali ke meja saat sebelumnya meminta izin pada Jerico untuk mengangkat telepon. Dia memandang kekasihnya dengan tersenyum. Pasalnya, lelaki itu tengah menghabiskan dua piring sekaligus hingga berkeringat."Sudah makannya?" tanya Greta memastikan. Barangkali memang lelaki itu menginginkan sesuatu lagi.Jerico mengangguk. "Yah, aku sangat kenyang." Dia mengelus perutnya. "Omong-omong siapa yang meneleponmu?""Bukan siapa-siapa. Hanya teman lama," jawab Greta berbohong. Dia tidak ingin Jerico tahu siapa yang menelponnya tadi."Baiklah. Oh, ya aku sudah membayar ini semua. Tapi sebentar, aku mau menurunkan makanan ini dulu."Greta tak bisa untuk tak tertawa. "Oke, oke."***Keesokan harinya, Greta buru-buru menyantap sarapannya. Pagi ini dia sengaja sarapan tanpa menunggu Jerico bangun. Sebab dia sudah ada janji bertemu dengan seseorang.Greta pamit dan memberi pesan pada Flo jika nanti Jerico mencarinya. Dia tidak menghubungi sopir pribadinya melainkan memesan taksi online. Dia